NovelToon NovelToon

Yuk Lanjuti Aja Rumah Tangganya

Ch - 1 Prolog

POV Aisyah

Melihat sekeliling ruangan, berjalan ke segala arah. Hari ini gue memutuskan untuk berhenti bekerja di universitas terkenal ke dokteran di Jakarta.

Namaku Aisyah Hadirah, usia dua puluh tujuh tahun. Lulusan kedokteran universitas Amerika Serikat, dengan usia yang terbilang masih mudah. Entah otakku yang di bilang encer ini, bisa mendapatkan beasiswa sampai melompat ke jurusan yang gue inginkan.

Dengan keputusan yang mantap, memutuskan untuk pulang ke Bogor setelah sekian tahun lamanya.

Seorang Ibu yang ku tinggalkan di sebuah kampung halaman tempat kami hidup dan di lahir, kan.

Bapak telah meninggal, sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, akibat serangan jantung.

Pada saat itulah gue ingin menjadi dokter, agar bisa menyembuhkan penyakit yang sekarang sedang marak terjadi.

Tabunganku telah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Uang yang gue kirim ke Mama setiap bulannya lumayan untuk memenuhi kesehariannya di kampung.

Setiap hari gue selalu menghubungi Mama tersayang melalui video call lewat handphone. Selalu dirinya bertanya, kapan gue akan menikah? Kapan dirinya akan mendapatkan cucu seperti tetangga dan sanak saudara lainnya?

Entah gue merasa Tuhan belum memberikannya.

Apalagi, gue melihat sekeliling laki-laki hanya mencintaiku dengan raut wajah dan gelar yang gue punya saat ini.

Memang iya, keturunan kami terkenal dengan wajah-wajah yang menarik bukan mau sombong.

Di sisi lain, gue mau ada seseorang yang benar-benar tulus mencintai tanpa rupa dan lainnya. Menerima diri ini apa adanya, bukan ada apanya.

Mulailah pada saat di mana mencari belahan jiwa yang di perintahkan oleh Mama.

Tapi gue malah menipu laki-laki yang gue pacarin lewat media sosial. Terlihat cantik di kamera, ketika datang gue tampak terlihat wanita menjijikan.

Jelas mereka semua pergi tanpa kata satu pun.

Pulang ke rumah dengan status yang masih gue simpan dan tidak mau jujur terhadap Mama, kenapa begitu? Gue ingin menjalani hidup seperti orang biasa, menerima apa adanya.

Gue nggak mau, menciptakan keluarga menjadi lebih sombong, kikir dan lainnya. Yang terpenting Mama dan aku bisa makan sehari-hari.

Jujur penglihatan Mama saat pertama kali melihatku merasa jijik, geli, aneh, tercampur aduk dengan rata.

Bagaimana tidak? Kulit yang gue poles dengan tepung berbentuk penyakit bahaya, di campur berbagai warna, wajah terlihat banyak jerawat.

Yah inilah hasil karya gue, untuk mendapatkan apa yang di inginkan.

Di kota gue nggak mendapatkan laki-laki tersebut. Siapa tau pulang ke kampung, ada laki-laki yang benar-benar mencintaiku.

Di saat itulah, gue akan mempersembahkan diri ini untuknya.

Mamaku bernama Iyem Sunarti dan di dampingi Mia, anak dari adik bungsunya Mama. Ke-dua orang tua Mia telah meninggal dunia akibat wabah penyakit. Mia diangkat Mama sebagai anak tiri dan tinggal di rumah bersamanya.

Semuanya merasa terkejut dengan kepulanganku yang terbilang tidak layak di katakan sebagai manusia.

Tapi inilah perjuanganku menjalani hidup walau gue nggak tau kedepannya seperti apa?

Mama menyambut ku dengan begitu rasa syukur setelah bertahun-tahun kami tidak bertemu, walau dirinya belum banyak berkata tentang penyakit yang menggerogoti tubuhku.

Mama hanya terlihat menahan air matanya saat melihat kondisiku, begitu juga dengan Mia.

Mungkin pikir mereka begitu keras gue hidup di kota, sampai-sampai tubuh gue menjadi begini.

Maaf semuanya, setelah mendapatkan orang yang menerima dan menikahiku dengan tulus.

Kalian akan tau wujud dan rupaku sebenarnya, gue berjanji pada kalian.

Bersambung...

Ch - 2 Omelan

"Ais, bangun!" suara Mama memekik sambil menarik dan menghempaskan selimut ke lantai, terdengar dirinya merasa kesal.

Apaan sih Mama? Pagi-pagi banguni seperti mau ngajak berantem aja. "Masih ngantuk, Ma!" jawabku merasa kesal. Lagian ini hari pertama gue bangun siang, di tambah lagi datang bulan.

"Bangun, Ais..." Mama menarik tanganku, sampai terduduk.

"Bentar lagi, Ma!" jawabku masih memejamkan mata dengan kembali tidur lagi.

Napas kasar Mama terdengar. "Mandi, Ais. Gimana kamu mau dapat jodoh, usia kamu dua puluh tujuh tahun masih belum menikah? Tetangga aja sudah banyak anak, kamu masih perawan." omelan Mama sangat menggangu di pikiranku. Bisa nggak sih, pagi-pagi nggak usah bahas nikah lagi?

"Iya Ma." malasku berdebat.

"Ais, kamu tuh berobat ke dokter, Ndok. Lihat kulit kamu penuh dengan kudis gitu." jelas Mama.

Perlahan duduk membuka mata secara perlahan akibat jendela yang entah kapan sudah terbuka lebar. Mengakibatkan sinar mentari pagi masuk langsung ke dalam kamar. "Udah, Ma. Hanya ini nggak sembuh-sembuh." jawabku pelan melihat Mama yang rupanya telah cantik berpakaian daster sampai mata kaki. Rambutnya di gulung seperti biasa.

"Mandi di sikat, siapa tau kulit kamu putih bersih seperti Mama. Kamu itu keturunan siapa sih, Ndok? Almarhum Bapak kamu saja ganteng kebangetan sampai artis Lee min ho aja lewat, sedangkan kamu, ya Allah pusing aku." terlihat jelas wajah Mama kesal, sambil memegangi kepala.

"Nantilah Ma, sebentar lagi. Lagian aku nih manusia bukan ular yang suka ganti kulit, emang kalau mandi langsung hilang semuanya?" ngeyelku yang nggak mau kalah dari Mama.

"Udah pusing Mama, lebih baik kamu mandi jagain warung di depan, Mama mau masak." perintah Mama.

"Di depankan ada Mia yang jaga Ma, lagian aku baru pulang." tolakku ingin bersantai hari ini.

"Kamu pulang udah dari kemarin, mau istirahat apa coba? Mandi atau Mama usir kamu dari rumah." ancam Mama membuatku merasa sedih.

"Jahat banget Mama sama anak sendiri." ucapku yang nggak tau itu benar-benar menyakitkan.

"Kamu itu udah lama ndak pulang ke rumah, sama tetangga aja kamu pasti lupa. Kamu sibuk kerja dan sekolah di kota. Usia kamu sudah dua puluh tujuh tahun belum juga nikah, wes pusing Mama, anak satu-satunya hancur lebur gini hiks hiks hiks." Mama menangis dengan duduk di ranjang sampingku.

Maaf Ma, ini semua ku lakukan agar mendapatkan suami yang tulus, bukan mencintaiku karena rupa.

"Mandi sana jangan bantah lagi." bentak Mama yang berdiri lagi dan pergi ke luar kamar.

"Hmmm!" jawabku mengikuti arahan.

Ceklek!

"Mandi yang bersih, sikat semuanya." Mama memberi peringatan lagi, saat baru masuk ke kamar mandi.

"Iya, Ma." jawabku sambil membawa handuk berisi alat makeup untuk menghiasi kreativitas pada kulit.

Menutup pintu, mulailah gue mandi seperti biasa, sat set memainkan busa menggosok seluruh tubuh. Rasanya risih tapi mau gimana lagi?

Setelah mandi mengelap dengan handuk sampai kering. Agar yang di pasang menempel dengan sempurna.

Ceklek!

Keluar kamar mandi. "Walah, Ndok. Apa yang bersihnya kamu ini?" Mama telihat syok melihat kondisiku.

"Udah aku bilang, Ma. Nggak semudah itu." jalan ke arah kamar.

"Setidaknya adalah putihnya, Ndok." teriak Mama dari belakang.

Kuping gue terasa bengal mendengar omelan Mama pagi-pagi. Gue baru tau, Mama mempunyai kekuatan suara melebihi toa masjid.

Tanpa menjawab langsung memakai pakaian, merapikan rambut yang di kuncir kuda, dengan kaca mata besar. Jangan nggak ada usaha di depan Mama.

Jalan ke luar menghampiri Mia. "Eh Neng geulis udah bangun." tegur Mia.

Gue tersenyum. "Udah dari tadi, tapi masih mau di kamar. Mama marah nyuruh bangun, mandi, sama jagain warung." jawabku saat duduk di samping Mia.

"Oh gitu." jawab Mia seadanya, dengan mata melihatku secara detail. "Ih, Ais. Jerawat kamu kenapa seperti itu, besar-besar banget? Kamu nggak cocok pakai cream ya, atau nggak sama sekali pakai?" Mia terlihat penasaran dan geli.

"Memang dari dulu gini." jawabku membenarkan kaca mata yang kebesaran.

"Di obatin dulu sana. Lihat gue mulus gini, kalau lagi datang bulan aja banyak." Mia menjelaskan dirinya.

"Gue lagi datang bulan juga, jadi jerawatnya seperti ini." jelasku beralasan.

"Tapi elu parah banget loh, Ais." Mia menuju kulit di seluruh wajah serta tanganku.

"Maaf ya, kurang enak di pandang." berakting menyedihkan.

Apa gue berlebihan memasangkannya? Ah entar di kurangin aja.

"Mia, beli gado-gado." pekik Ibu-ibu menghampiri.

"Iya Bu." jawab Mia segera menghampiri.

"Siapa atuh perempuan di sebelah kamu?" tanya Ibu itu saat Mia berada di dekatnya, masih terdengar di telingaku.

"Oh itu anak Mak Iyem yang baru pulang dari kota, namanya Ais." jawab Mia sambil mengaduk bumbu kacang.

"Oh Aisyah yang dulunya terlahir paling cantik di kampung kita dulu ya? Kenapa sekarang kamu jelek banget, Ais? Berbeda banget sama Mak Iyem dan almarhum Pak Cacan yang terkenal ke gantengannya." ucap Ibu paruh baya menyindir secara halus, saat melihat kondisi tubuhku.

Siapa sih Ibu ini, gue lupa ya?

Hanya bisa tersenyum. "Mungkin salah ambil anak kemarin, Bu." jawabku santai.

"Maaf ya Ais, Ibu jujur loh. Wajar kamu belum nikah, Mak Iyem juga pusing pikirin kamu yang kerja di kota tapi belum nikah. Anak saya saja sudah punya anak dua jalan tiga bentar lagi melahirkan. Lihat kamu begini, mana ada yang mau." ucapnya semakin menyindir.

Kenapa pagi-pagi gue di bahas begini sih? "Terus saya harus apa, Bu?" puraku mengikuti arahan.

"Ke dokterlah berobat, mau kamu jadi gadis tua?" solusinya.

"Sudah di lakukan Bu, tapi belum juga sembuh." bohongku.

"Masa sih Ais, parah banget berarti jerawat sama kulit kamu. Ih geli lihatnya."

Berusaha menutupi kulit dengan pakaian. "Maaf ya Bu?" aktingku.

"Eh, Ais. Mending kamu di rumah aja, duduk di warung dengan kulit kamu gitu, semua orang bisa-bisa nggak mau datang ke sini lagi."

"Ini, Bu. Gado-gadonya." Mia memberi pesanan Ibu-ibu itu.

"Oh ya, ini uangnya." Ibu itu memberikan uang sepulu ribu. "Ingat ya Mia, kasih tau pada Ais jangan duduk di sini lagi, entar warung Mak Iyem sepi pelanggan kalau lihat Ais di sini. Jika itu terjadi, kalian semua mau makan apa? Makan aja dari hasil jualan yang nggak seberapa ini." pesan Ibu itu membuat gue panas.

Gue bisa kali menghidupi Mama sama Mia tanpa nih warung.

"Oh iya Bu, entar saya sampaikan." jawab Mia lemah lembut.

Bu itu pergi dengan sombongnya.

"Kamu jangan pikirkan ucapan Bu Norma ya, Ais." ucap Mia setelah duduk di sampingku.

"Oh, itu Bu Norma yang nggak suka lihat gue dulu, gara-gara anaknya tersaingi terus-menerus?" ingatku dengan kejadian waktu belum kuliah dan bekerja di kota.

"Iya! Kamukan tau, dia terkenal pedas kalau berbicara, terlalu jujur dengan ucapan. Bukan berarti aku nyindir kamu ya Ais, tapi ada benarnya deh kamu mending berobat dulu setidaknya wajah kamu itu. Kalau warung sepi gara-gara kamu, aku kerja apa?" Mia terlihat setuju dengan pendapat Bu Norma.

"Iya Mi, entar aku coba." iyain ajalah.

Paling entar di kurangi sedikit jerawat sama tepung yang menempel.

Bersambung...

Ch - 3 Berobat

Berjalan masuk ke dalam rumah, langsung masuk ke dalam kamar.

"Ais, siap-siap kita ke dokter." perintah Mama saat diri ini baru duduk di ranjang dalam kamar.

"‘Kan udah berobat Ma di kota." tolakku melihat Mama masuk ke dalam kamar.

"Jangan bantah Ais, siapa tau dokter sana nggak sebagus dokter di sini. Mana terkenal ganteng. Siapa tau kamu sembuh di lihatin aja." Mama duduk di sampingku.

"Percuma Mama ganteng, kalau mencari yang di lihat hanya fisik dari pada hati." kebanyakkan begitu, kalau ada yang mencari tulus apa adanya, gue paling depan berdiri.

"Ais, manusia memang begitu semua, di lihat fisik dulu baru hati. Mama aja lihat kamu begini mana mau jadikan kamu anak Mama, kalau bukan lahirnya sudah di tentukan memilih kamu. Kalau tinggal pilih aja, Mama lebih baik memilih yang cantik, seksi, bohai, lihat kamu aja nggak." sindiran Mama agar gue mau berubah.

"Mama tega banget bilang gitu, lagian aku nggak memandang fisik orang Ma, mau dia kaya, mau dia miskin, jelek pun tidak masalah yang penting terima aku apa adanya hiks hiks hiks." puraku menangis di depan Mama.

Pelukan hangat Mama berikan. "Jangan sedih, Ndok. Mama hanya bercanda." melepaskan pelukan. "Sekarang gantilah pakaian kamu, kita ke dokter berobat." sekilas bendungan air mata terlihat di kelopak mata Mama.

"Iya, Ma." mengikuti arahan.

Ah sudahlah tuh dokter akan tertawa melihat kebohongan yang gue buat. Terbongkarlah semuanya.

"Tunggu! Mama dari mana uang untuk mengobatiku, bukannya Mama bilang lagi nggak ada uang, sekolah aku aja dapat beasiswa? Apa Mama masih menyimpan uang yang aku kasih?" bingungku dari mana uang untuk berobat sedangkan hasil makan sehari-hari bagi dua dengan Mia.

"Mama berhutang sama Pak Burhan saudagar kaya disini. Itu loh, yang punya lahan sawa dan kebun berhektar-hektar. Dirinya juga terkenal ramah." jelas Mama tersenyum-senyum.

Apa? Pak Burhan yang banyak istri itu, jangan bilang Mama mau menjodohkan gue sama beliau.

"Pak Burhan terkenal lintah darat itu. Kenapa nggak bilang sama aku aja kalau butuh uang? Tiap bulan juga aku kirim buat Mama, nilainya juga nggak sedikit, Ma." jelasku masih bingung.

"Udah pusing Mama dengan pertanyaan kamu Ais, lebih baik kamu siap-siap." Mama berdiri. "Mama juga mau siap-siap, jangan lama, entar tutup dan antri. Soalnya banyak pura-pura sakit hanya melihat dokter Adam yang terkenal kegantengannya, banyak wanita desa kesana hanya untuk melihatnya kerja." Mama jalan keluar kamar.

Terserah Mamalah, pusing gue.

***

"Ais..." panggil perawat cantik berdiri di depan pintu.

"Iya." jawab Mama melihat perawat, setelahnya melihatku. "Ayo." menarik tanganku.

Mengikuti tarikan Mama.

Gue memakai kain yang menutupi tubuh, hanya terlihat mata saja. Akibat Mama nggak mau anak semata wayangnya ini menjadi bahan perbincangan oleh warga kampung. Di lihat gue seperti wanita Arab, hanya saja berbeda dasar kain.

"Masuk, Bu." ucap perawat cantik saat kami berada di dekatnya.

"Oh iya, permisi." jawab Mama dengan sopan, sedangkan gue mengikuti jalan Mama masuk ke dalam ruangan.

Melihat dokter yang di bilang ganteng itu.

Adam teman kelasku waktu sekolah di Amerika, kenapa dirinya bisa di sini?

"Silahkan duduk, Bu. Ada keluhan apa, Bu?" ucap Adam melihat buku yang tertulis penyakitku.

Kami duduk di hadapan Adam dengan tersekat meja. "Itu, Dok. Anak saya kulitnya banyak kudis dan kurap." Mama menjelaskan.

Adam melihat kami. "Boleh saya lihat penyakitnya dulu?" Adam meminta Izin melihat kondisi kulitku

"Oh boleh, Dok. Anak saya di tutup begini agar tidak terlihat oleh warga desa." tangan Mama membuka kain yang menutupiku dari kain sarung batik. "Cepetan buka." perintah Mama.

Dah terjebak gue di sini, membuka kain sarung yang melilit.

"Kamu!" terkejut Adam melihatku saat semuanya telah terbuka.

Mataku langsung melebar dengan wajah yang memberi kode ke Adam, saat Mama melihat Adam terkejut.

Awas lu kasih tau! Gue bius ambil semua organ di tubuh elu. Setelahnya gue buang ke laut untuk makanan ikan paus. Ancamanku yang seperti biasa ke Adam, saat dirinya tidak mau mengikuti kemauanku.

Adam mengulum senyum melihat penyakitku, taunya sekilas bahwa itu bukan penyakit.

"Bagaimana, Dok?" cemas Mama melihat respon Adam.

Adam tersenyum-senyum, membuat Mama terlihat semakin tertarik pada wajah ganteng Adam.

"Saya kasih obat dulu untuk beberapa hari ke depan. Jika tidak kunjung sembuh, terpaksa operasi." jelas Adam menakuti.

Elu mau operasi apa? Kulit gue sehat gini, gila ngelantur lu, bukan gue terkena kanker.

"Di jamin bisa sembuhkan, Dok. Di operasi?" Mama langsung menanyakan pengobatan dengan jalur operasi.

Jawab apa lu?

"Sebenarnya melihat kasus ini tidak perlu operasi, kita coba kasih obat dulu. Kalau misalnya tidak juga berhasil, terpaksa kita kirim anak Ibu ke negara Korea untuk operasi kulit di sana." jelas Adam.

"Korea, Dok?" terkejut Mama mendengar negara itu, pasti membutuhkan banyak uang untuk mengobati gue.

Bagus juga ucapanmu, Dam. Gue kasih dua jempol tangan.

"Ibu silahkan keluar sebentar, saya mau mengeluarkan isi di dalam kulit anak Ibu, agar mudah dalam penyembuhan saat dalam masa pengobatan." pinta Adam pada Mama.

Keponya Adam mulai bereaksi.

"Oh iya, Dok." Mama berdiri.

"Ma, masa aku di tinggal berdua di ruangan sama Pak Dokter." puraku berakting.

Adam hanya mengulum senyum dari tadi.

"Nggak apa-apa, Ais. Siapa tau Dokter Adam suka sama kamu, langsung nikah pulang ini." bisik Mama di telingaku, tapi jelas Adam juga terdengar. "Mama keluar dulu." mata Mama melihat Adam. "Saya keluar dulu, Dok." sopan Mama.

Adam menganggukan kepala dengan tersenyum.

Mama berjalan ke arah pintu.

Ceklek!

Dup!

Mama menutup pintu keluar ruangan, meninggalkan kami.

"Hahahaha...." tawa Adam puas melihatku. "Lu kenapa jadi begini, Ais? Jujur lucu banget. Hahah.... Haha..." puasnya tertawa melihat aktingku yang terbilang sangat nekat ini.

"Puas lu ya, ketawain gue." kesalku melihat tingkah Adam.

"Lu nggak berubah-rubah makin parah aja, stres Mama elu di buat begini, hahahaha..."

"Syuuut!" jari telunjukku di letakkan ke mulut, menyuruh Adam diam. "Elu bisa nggak sih, tertawa sama bicaranya pelan-pelan." ucapku berbisik.

Adam menahan mulutnya dengan tangan. "Iya iya maaf! Khem." upayanya berhenti tertawa. "Benarin dulu kulit elu, jangan sampai keluar ruangan masih seperti itu." Adam mengingati.

"Oh iya, gue lupa." mengeluarkan berbagai alat di dalam tas. "Elu ngapain disini?" kepoku sambil membentuk kulit agar terlihat habis di keluarkan isinya.

"Oh, gue di suruh Mas Calvin menggantikan dirinya sementara di klik ini. Mamas lagi liburan ke Belanda." jelas Adam mulai santai duduk menyender di kursi.

"Oh, itu keluarga elu?"

"Hmmm, sepupuh dari sebelah Ayah. Elu nggak kerja lagi di universitas, atau mau buka klinik?"

"Gue lagi menikmati masa pengangguran, entar kalau udah habis uang, gue tinggal jadi dukun beranak selesaikan." santaiku dalam menjalankan hidup.

"Lu jangan aneh deh, otak pintar elu di gunakan untuk semacam ini. Elu tuh paling berprestasi tau nggak di antara kita berempat." Adam terlihat kesal.

"Gue lagi mencari pujaan hati yang tulus, jelas." ucapku jujur yang dari dulu Adam mengetahui.

"Nggak usah repot-repot mencari, gue masih sigle." tawarnya.

"Iya sigle, tapi pacar elu di mana-mana. Awas lu jadi playboy terus, bisa terkena karma lu." memberi peringatan.

"Kalau elu mau kita nikah, insyaf gue." tawarnya lagi.

"Enggak!" tolakku langsung.

"Di luar pada antri berobat di sini mendapatkan gue, elu malah menjauh." jelas Adam dengan sombong.

"Gue sebagai yang tidak mengantri, berarti tau tabiat elu sebagai teman yang lama mengenal. Ingat ya! Lebih baik gue menjadi gadis tua dari pada nikah sama elu." jelasku penuh penekanan.

"Pedas banget sih Ais kalau elu bicara." ketus Adam merasa tersinggung.

"Syukuri." bahagiaku menyindir Adam.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!