"Tidak Mi! Abi nggak akan pernah menikah lagi walau apapun yang terjadi sama Umi nanti. Tolong jangan terus memaksa Abi, Mi. Percayalah Allah nggak tidur, Allah pasti mendengar doa-doa supaya suami lekas sembuh. Percaya sama Abi," seru Zidan yang lagi dan lagi di bujuk oleh Adelia agar mau menikah lagi.
"Umi cuma mau Abi ada yang merawat, Abi lihat sendiri kondisi Umi sekarang gimana kan? Bahkan ke kamar mandi sendiri pun Umi nggak bisa. Umi merasa nggak berguna jadi istri, Bi! Umi nggak berguna!" Isak Adel mulai tak tahan.
Sudah berbulan-bulan dia hanya bisa berada di atas tempat tidur rumah sakit, kanker serviks yang di deritanya memaksanya untuk terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit tersebut.
Sedangkan Zidan, sang suami yang berprofesi sebagai pengusaha barbershop dan tenaga pengajar di sebuah lembaga pendidikan Islam itu harus bolak-balik setiap hari guna bisa merawat langsung istrinya dengan kedua tangannya.
Zidan membawa Adelia ke dalam pelukannya, membiarkannya menumpahkan semua tangis dan sesaknya di sana.
"Abi nggak apa-apa, Sayang. Abi ikhlas! Abi ikhlas ngurusin Umi, Abi cuma berharap Umi juga bisa yakin sama kekuasaan Gusti Allah. Berdoa terus, insyaallah Umi bakal segera sembuh," bisik Zidan di telinga Adelia.
Tidak ada siapapun di ruangan itu, hanya mereka berdua. Tidak mertua ataupun orang tua Adel yang tinggal berbeda pulau.
Adel melerai pelukannya dan dengan kasar menghapus air matanya.
"Umi akan sembuh, kalau Abi setuju menikah lagi." Adel menatap mata suaminya dalam-dalam.
Zidan mendesah, ini sudah kesekian kalinya kalimat itu keluar dari mulut wanita yang teramat sangat di cintainya itu. Walau rejeki akan hadirnya seorang anak belum didapatkan mereka tapi cintanya pada Adelia adalah yang paling suci baginya. Sangat luar biasa berat bagi Zidan untuk menyetujui keinginan istrinya yang satu itu.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu pasti sembuh, tanpa Abi harus menikah lagi," tukas Zidan lembut seraya mengusap kepala istrinya yang tertutup jilbab lebar itu.
Adel kembali terisak, kali ini bahkan sampai sesenggukan.
"Anggaplah ini permintaan terakhir Umi, Bi. Tolong penuhi permintaan Umi ini," Isak Adel semakin menjadi.
Perlahan isakan lirihnya berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Zidan yang tak tega akhirnya mengalah, memeluk kembal tubuh ringkih istrinya dan berbisik lembut di telinganya.
"Baiklah, kalau memang begitu kemauan Umi. Tapi dengan dua syarat," pinta Zidan setelah berusaha menekan egonya sedalam mungkin agar tak terus menerus membuat jejak air mata di pipi tirus istrinya.
Adel melepas pelukannya dan menangkup wajah Zidan dengan kedua tangannya, tampak binar bahagia terpancar jelas dari matanya.
"Serius, Bi? Katakan! Apa syarat yang Abi minta?" ucap Adel antusias.
Mata Zidan berkaca-kaca, betapa mirisnya hatinya saat melihat istri yang sangat di cintainya bahkan tampak begitu senang saat dia setuju untuk menikah lagi.
"Yang pertama, Umi harus semangat untuk sembuh. Nggak boleh putus asa dan jangan putus berdoa."
Adelia mengangguk mantap.
"Dan yang kedua, Umi yang harus memilih calon madu Umi sendiri. Karna ini keinginan Umi, jadi Abi nggak akan ikut campur. Selama Umi bahagia Abi akan lakukan apapun kemauan Umi," ucap Zidan penuh keterpaksaan.
Adelia kembali mengangguk dengan semangat, senyumnya terbit bercampur tangis. Setelah mereka berdua kembali larut dalam pelukan, melepaskan lagi segala beban yang bercokol di dada masing-masing.
****
Tok
Tok
Tok
Pintu ruangan rawat Adel di ketuk dari luar, Zidan yang tengah menyuapi istrinya itu gegas beranjak untuk membuka pintu.
"Assalamu'alaikum, Ma. Sama siapa?" sapa Zidan pada wanita paruh baya dengan dandanan ala sosialita yang ternyata adalah mamanya, ibu mertua dari Adel.
"Sama supir," jawab Bu Sita singkat, tak ada jawaban sama sekali atas salam yang di ucapkan Zidan tadi.
Bu Sita melangkah masuk, memindai sekitat ruangan bagaikan petugas polisi menyidik rumah tersangka. Zidan masuk dan kembali mengambil mangkok bubur untuk menyuapi istrinya lagi.
"Sendirian, Ma?" sapa Adel ramah, tangannya terulur hendak menyalami tangan ibu mertuanya.
Tapi bukannya menyambut uluran tangan menantunya, Bu Sita justru menatap sinis pada mereka berdua.
"Kamu ngapain sih segala nyewa kamar VIP gini, Dan? Kan sayang uangnya kalau cuma buat ngurusin benalu satu ini!" tunjuknya pada Adel.
Sejak awal mereka menikah Bu Sita memang sudah tak suka pada Adel, karena Adel hanyalah anak dari keluarga biasa yang menurutnya tak sebanding dengan mereka yang merupakan keturunan darah biru.
"Ma! Berhenti bilang Adel benalu! Dia istriku, Ma! Tolong hargai dia juga!" marah Zidan tak terima dengan perkataan Bu Sita.
Adel memegang lengan suaminya agar tak kelepasan membentak ibu kandungnya.
"Jadi kamu udah berani bentak Mama? Ingat Zidan! Surga kamu ada di bawah telapak kaki Mama, bukan perempuan mandul dan penyakitan ini! Heran Mama, masih aja kamu pertahankan perempuan nggak berguna seperti dia ini!" tuding Bu Sita pada Adel.
Zidan memejamkan matanya sambil mendesah berat. Tangannya yang terus di usap Adel sedikitnya mengalirkan ketenangan walau sedikit padanya agar tetap ingat kalau sedang berhadapan dengan orang yang melahirkannya.
"Maaf, Ma. Bukan maksud Zidan bentak mama, tapi Zidan mohon Ma jangan selalu sinis begitu sama Adel. Dia lagi sakit, Ma. Kasian dia," pinta Zidan penuh harap.
Sudah cukup selama mereka menikah, Adel selalu jadi sasaran olok-olok Bu Sita. Bahkan menjadi bahan gunjingan ya dengan para anggota sosialitanya.
"Ya justru itu! Dia itu penyakitan Zidan! Masa kamu nggak bisa liat, kamu itu cuma di manfaatin sama dia, sama orang tuanya supaya penyakitnya itu bisa sembuh tanpa harus keluar biaya karena kamu yang nanggung semuanya." Bu Sita berkacak pinggang.
Adel yang tak tahan setiap orang tuanya mulai dibawa-bawa akhirnya berani buka suara.
"Maaf, Ma. Tapi Adel nggak pernah di ajari buat memanfaatkan kebaikan Mas Zidan ke Adel, bahkan orang tua Adel di sana pun nggak pernah sekali pun berbuat seperti apa yang Mama takutkan barusan. Tolong berhenti menjelekkan nama orang tua Adel, Ma." Adelia kembali meratap, tangisnya kembali luruh bak air bah.
Melihat tangis istrinya, Zidan yang sejak tadi berusaha untuk tak terpancing akhirnya geram juga. Dengan wajah merah padam Zidan beranjak dan berjalan cepat menuju sang mama.
"M ... mau apa kamu, Zidan?" tanya Bu Sita dengan raut ketakutan. Ini pertama kalinya sang putra tampak begitu marah sampai urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol.
Zidan tak menjawab, hanya rahangnya yang bergemeletuk menjelaskan betapa marahnya dia saat ini. Air matanya tumpah dari matanya yang turut memerah.
Dengan nafas naik turun tak beraturan Zidan merogoh saku belakang celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Mata Adel membeliak lebar saat melihat apa yang di pegang Zidan di balik punggungnya.
Zidan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengarah benda berkilat itu ke arah Bu Sita yang menatap dengan wajah pucat pasi.
"Jangan Abi!" pekik Adel terkejut.
"Jangan Abi!" pekik Adel terkejut.
Tapi terlambat, benda berkilat itu kini sudah sampai di depan mata Bu Sita yang membelalak lebar.
"Mama lihat? Lihat baik-baik, Ma! Ini hasil CT scan Adel, dan Mama lihat ini? Sel kankernya sudah menyebar, Ma! Tolong jangan terus menambah beban pikiran Adel karna omongan nggak berguna Mama! Cukup Ma! Cukup!" jerit Zidan frustasi.
Bu Sita termangu, mulutnya terbuka dan tertutup seperti hendak mengatakan sesuatu namun urung. Matanya bergantian menatap wajah marah Zidan dan Adel yang kini menangis tersedu-sedu di pembaringannya.
"Apa masih ada yang mau Mama katakan? Kalau nggak pintu keluar ada di sana, Ma. Kalau Mama masih terus bertindak seperti barusan, Zidan harap dan Zidan mohon dengan sangat tolong Mama jangan pernah lagi datang kemari," lirih Zidan menunduk.
Kertas berkilat hasil pemeriksaan istrinya jatuh ke lantai, luruh bagaikan hatinya yang kini luluh lantak ke dasar penyesalan yang paling dalam karna tak bisa menjauhkan istrinya dari kebencian sang mama.
Bu Sita menghentakkan kakinya ke lantai dan berlalu dengan kesal menuju pintu keluar tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Brakk
Pintu ruangan tertutup dengan kencang saat Bu Sita sengaja membantingnya.
Adel terkejut, begitu pula Zidan. Namun setelahnya Adel kembali menangis mengingat semua perkataan kasar ibu mertuanya padanya.
"Maafin Abi belum bisa buat Umi bahagia ya, maaf kalau Abi belum bisa mendamaikan Mama sama Umi. Abi yang salah, maafin Abi," lirih Zidan sambil memeluk Adel.
Adel menggeleng cepat di pelukan suaminya. "Nggak! Abi nggak salah. Ini salah Umi yang belum bisa kasih Mama cucu seperti keinginan Mama sejak dulu, jadi ini salah Umi. Stop nyalahin diri Abi sendiri ya."
"Jadi sekarang, Umi minta keikhlasan Abi supaya mau menikah secepatnya. Supaya Abi bisa kasih cucu ke Mama, siapa tau dengan begitu nanti Mama akhirnya mau berdamai sama Umi. Iya kan?" imbuh Adel kembali meyakinkan Zidan akan permintaannya.
"Umi yakin?" Zidan menghapus air mata istrinya, menatap matanya dalam mencari sebersit keraguan di sana. Namun sayangnya tidak ada, Adel sudah sangat yakin untuk meminta suaminya menikah lagi.
"Yah, bismillah Umi sangat yakin." Adel mengangguk mantab.
"Umi sudah punya calonnya?" telisik Zidan lagi, karena melihat istrinya begitu semangat setiap membicarakan akan pernikahan keduanya.
Senyum manis Adel terbit. "Tentu saja."
****
Anissa Salsabilla.
Telingaku tiba-tiba panas pagi ini, padahal hari sedang hujan. Ku nikmati seduhan teh hangat di cangkirku sambil menatap hujan lewat jendela yang sengaja ku buka.
"Kamu nggak ngajar, Nis?" tanya ibuku yang berjalan menuju dapur sambil membawa sapu di tangannya.
Aku tersenyum tipis. "Nggak, Bu. Hujan gini pasti anak-anak banyak nggak masuk, biasalah anak TK hujan dikit libur," kekeh ku sambil berjalan ke meja makan mendekati ibu yang kembali sibuk menata sarapan.
Begitulah hari-hari di kampung kami, hujan di pagi hari selalu bisa menjadi alasan jitu untuk meliburkan diri dari rutinitas sekolah. Terutama murid-murid PAUD tempatku mengajar saat ini. Jadilah akhirnya tanpa ada aba-aba apapun setiap hujan pagi maka seluruh murid termasuk staf gurunya pun akan libur tanpa terkecuali. Lucu bukan?
"Enaknya kerja mu itu, Nduk. Hujan sedikit libur, hujan sedikit libur. Wes marem (puas) sama libur kalo musim hujan begini," cibir ibuku sambil mulai menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
Ibuku bernama Bu Sekar, hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Ibu seorang janda sejak beberapa tahun lalu, saat bapak meninggal dalam kecelakaan ketika tengah mengangkut hasil kebun kami ke kota.
"Biar puas di rumah jadi anak semata wayang, Bu." Aku turut menyendok nasi ke mulut ku.
"Semata wayang? Lha terus adek bontotmu yang jarang pulang itu gimana?" cerocos ibu.
"Ya nggak bisa di anggap anak toh, wong pulang aja jarang. Haha, biarin lah Bu. Lebih seneng kerja dia," ujar ku mengenang adik ku, Alan yang bekerja paruh waktu di kota sebagai kasir minimarket.
Ibu tampak menghela nafas, sekelebat tampak kabur tipis di matanya. Mungkin lagi-lagi ibu merindukan Alan yang memang sangat jarang pulang karena terikat kontrak dengan pekerjaannya.
"Kamu sendiri kapan nikah, Nis? Umur mu sudah cukup. Mau nunggu apalagi? Kalau cuma ngarepin gaji dari ngajar di PAUD, ibu rasa nggak bakalan cukup Nis. Bukannya apa-apa, ibu cuma khawatir," lirih ibu sambil menundukkan kepalanya menatap pilu pada nasi di hadapannya.
Aku turut merasa sesak setiap kali ibu membahas masalah ini, umur ku sudah hampir 27 tahun namun sekali pun aku tak pernah berpacaran. Jangankan berpacaran, dekat dengan teman lelaki saja tak pernah.
Ku pandangi nasi yang ada di hadapanku kini, bisa di bilang nasi ini sudah tak begitu enak karena aku tau ini nasi sejak dua hari yang lalu yang kembali di panaskan ibu karena kami tak punya uang lagi untuk membeli beras. Memang Alan kadang mengirim sebagian gajinya untuk kami, namun kondisi sekarang yang serba mahal membuat uang sama sekali tak berarti apa-apa.
"Nis? Kamu tersinggung ya? Maaf ya Ibu ngomongin ini, ibu nggak bermaksud ...."
"Ah, nggak kok Bu. Nggak papa, Nisa cuma lagi mikir aja," ucapku memotong ucapan ibu.
"Kalau ucapan ibu tadi bikin kamu kepikiran, ibu minta maaf ya Nis. Ya wes ibu mau ke kebun dulu kalo gitu, mau ambil pisang," tukas ibu seraya beranjak dari duduknya membawa piring bekas makannya keluar, tampak sedikit sisa nasi di sana mungkin untuk memberi makan ayam-ayam peliharaan kami.
Sepeninggalan ibu, aku masih termangu di tempatku. Teringat kembali gunjingan warga tentang aku yang tak kunjung menikah di usia ku sekarang. Berbagai gosip miring mulai beredar, terkadang sampai membuatku malu untuk sekedar duduk di teras rumahku sendiri.
Ceklek
Pintu dapur terbuka, tampak ibu kembali masuk ke dalam rumah dan meletakkan golok yang sebelumnya akan di gunakan untuk menebang pohon pisang.
"Kok balik lagi, Bu? Ada yang ketinggalan?" tanyaku penasaran.
Dengan wajah tegang ibu kembali duduk di kursinya tadi dan memandangiku.
"Nggak jadi pergi, ada ibu-ibu tukang gosip di gang sana," tukas ibu sambil menuang air ke gelas dan meminumnya hingga tandas.
"Cuma ibu-ibu saja kok pake balik lagi toh, Bu? Kan bisa numpang lewat? Memangnya mereka minta pajak lewat apa?" tanyaku sedikit berkelakar.
Ibu mengibaskan tangannya di depan wajah. "Haish, kamu ini orang lagi serius kok di ajak bercanda terus."
"Ya gimana? Abisnya belum ada yang ngajak serius sih," kekeh ku pula.
Ibu tiba-tiba menatapku serius. "Katanya kemarin si Fajar anaknya pak kades itu suka sama kamu loh, Nis."
Mataku membelalak lebar demi mendengar perkataan ibu barusan.
"Apa Bu? Si Fajar yang giginya sampe ke Monas itu?" seruku kaget sampai menggebrak meja dan membuat ibu turut kaget.
"Biasa aja! Kaget ibu, memang kayaknya kamu ini punya cita-cita buat jadi anak yatim piatu kayaknya," omel ibu sambil mengelus dadanya.
"Hush, ibu kok ada-ada aja sih? Yo nggak mungkin toh sampe kayak gitu. Aku itu cuma kaget lha kok bisa-bisanya ibu mau jodohin aku sama si Fajar," gelak ku.
"Ya maksud ibu kan ...."
Ucapan ibu kembali terpotong dengan bunyi dering ponsel jadul ku, ponsel yang sempat di belikan bapak dulu saat panen raya dari kebun kami.
Tring
Tring
Tring
Lekas aku mengangkatnya saat melihat nama Mbak Adel di sana, senior kesayangan ku saat di SMA. Sudah lama kami tak saling berkomunikasi sejak dia menikah, tapi entah kenapa kini dadaku berdebar kencang saat akan menjawab telepon darinya.
"Assalamu'alaikum, Mbak?" sapaku pelan.
"Wa'alaikumsalam, bisa bicara dengan saudari Nisa?"
Aku terkejut bukan kepalang saat mendengar suara bariton yang baru saja menyapa gendang telingaku. Namun yang semakin membuatku tak mengerti adalah debaran jantung ini yang malah semakin luar biasa.
Nt2 bab 3.
"Kenapa, Nis? Kok tegang gitu mukanya?" tanya ibu setelah aku selesai bertelepon.
Aku menatap ibu dengan pandangan syok, bagaimana tidak. Baru saja aku mendapat kabar kalau Mbak Adel di rawat di rumah sakit, dan parahnya lagi sudah berbulan-bulan dan aku bahkan baru tau sekarang.
"Hayo malah ngelamun." Ibu menepuk pundak ku.
Aku tersentak kaget, namun lekas mengusir rasa kaget ku barusan dengan minta pendapat ibu.
"Tadi Mbak Adel telepon, Bu," gumam ku tak memberi tahu yang sebenarnya kalau yang bicara dengan ku adalah seorang pria yang ku tebak adalah suami Mbak Adel.
"Adel anaknya lek Surya itu? Yang rumahnya di kampung sebelah kan?" tanya ibu bertubi-tubi.
"Iya." Aku mengangguk lemah.
Ibu menatapku cemas dan beranjak berpindah tempat duduk ke sebelah ku.
"Lah terus kenapa kok kamu kayaknya sedih gitu?"
Aku menatap ibu dengan pandangan nanar. "Mbak Adel sakit, Bu. Sudah lama di rawat di rumah sakit."
Tanpa sadar air mataku luruh, begitu pula dengan ibu yang tampak terkejut dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Ya Allah, Adel sakit. Sudah di rawat lama? Kok ya kita bisa nggak tau, Nis? Padahal dulu Adel itu loh baik sekali sama keluarga kita," kenang ibu sambil menerawang jauh, mengingat kembali semua kebaikan Mbak Adel pada keluarga kami.
Aku mengangguk dalam tangis. "Nisa mau jenguk Mbak Adel, Bu."
Ibu mendesah pelan, seperti melepaskan beban yang tengah bercokol di pikirannya.
"Ibu sebenarnya nggak ngelarang kamu mau ke kota jenguk Adel, Nis. Cuma kan kamu tau sendiri ibu sekarang nggak pegang uang, gaji kamu dari PAUD juga belum cair. Jadi mau pake apa kamu ke sananya?" tanya ibu lirih.
Secercah mendung tampak menggelayuti wajah tuanya yang mulai di hiasi keriput.
Aku lekas menghapus air mataku dan tersenyum menenangkan ibu.
"Masalah itu ibu nggak usah khawatir, Alhamdulillah tadi Mbak Adel sekalian ngasih ongkos buat ke sana. Udah di kirim ke rekening belum lama tadi, jadi Ibu nggak usah khawatir Nisa gimana perginya, ya." Aku menepuk tangan ibuku pelan, meyakinkannya kalau aku pasti akan baik-baik saja.
"Masyaallah! Adel sampe ngasih kamu ongkos buat berangkat ke sana? Ah tapi masa ngasih cuma-cuma sih Nis? Kok Ibu malah nggak yakin?" tukas ibu tampak tak percaya.
"Iya Bu, serius. Bahkan barusan Mbak Adel ngirimin aku bukti transfernya nih." Aku menunjukkan layar ponsel ku yang menampakkan gambar struk transfer pada ibu.
"Banyak banget, Nis? Ini nggak salah? Balikin aja, Nis. Ibu kok malah takut kalau ujung-ujungnya nanti malah jadi masalah." Ibu menjauhkan layar ponsel dari hadapannya.
Aku menarik ponsel itu menjauh, dan membawanya dalam pangkuan ku.
"Tadi kata Mbak Adel, aku di minta buru-buru ke sana sih, Bu. Katanya ada sesuatu hal penting yang mau di bicarakan sama aku," gumam ku memberi tahu ibu.
Ibu tampak mendengar dengan seksama dan mulai berpikir dengan keras, tampaknya.
"Hal penting apa kira-kira, Nis?" gumam ibu pula.
Aku menanggapinya dengan menggeleng pelan, pertanda aku pun tak tau hal apa yang akan di bicarakan mbak Adel padaku.
"Ya sudah kalau gitu gih kamu siap-siap berangkat, mungkin Adel di sana lagi butuh orang buat bantu-bantu. Katamu dia lagi sakit kan? Bisa jadi dia nyari kamu buat bantu bersih-bersih di rumahnya atau apalah. Tapi ibu setuju sih kalau akhirnya kamu kerja sama Adel, kan biar gimana pun dia juga udah kayak kakak buat kamu. Pasti dia bakal gaji kamu lebih tinggi daripada gajimu sekarang yang bahkan sampai bulan ini belum juga cair," oceh ibu sambil berpindah tempat menuju ruang tamu yang hanya beralaskan sebuah tikar pandan tipis yang sudah tampak berlubang di beberapa sisinya.
Aku masih diam di tempat, merasakan dilema luar biasa antara pilihan yang satu dengan pilihan yang lainnya.
****
Di rumah sakit tempat Adel di rawat.
"Gimana, Bi? Apa kata Nisa?" tanya Adel tak sabar setelah Zidan baru saja selesai menelpon Nisa sesuai permintaannya.
Zidan bergegas mendatangi brankar istrinya, meletakkan ponsel dan mengelus lembut jemari istrinya yang kini tampak lebih kurus itu.
"Nisa bilang mau pikir-pikir dulu, Mi. Karena di sana dia juga punya pekerjaan, jadi dia harus urus izinnya dulu," jawab Zidan apa adanya.
"Terus ongkos yang buat dia udah Abi kirimin belum?" telisik Adel lagi.
Zidan mengangguk. "Udah juga kok, Sayang."
Adel mengalihkan pandangannya, menerawang jauh menatap keluar jendela ruang rawatnya. Tampak lalu lalang kendaraan yang tak henti-hentinya di bawah sana.
Bohong jika Adel berkata hatinya tak sakit membayangkan suami tercintanya akan bersanding dengan wanita lain, walau dia sendiri lah yang meminta hal itu. Perih hatinya kini berusaha di tutupinya dengan senyuman, bersikap seakan dirinya baik-baik saja.
"Kalau Umi nggak kuat, kita batalin saja ya rencana ini. Abi nggak kuat kalau harus nyakitin hati Umi, sumpah Abi nggak sanggup, Mi." Zidan menggenggam tangan Adelia erat.
Adel lekas menoleh menatap manik mata suaminya yang sejak dulu begitu menjadi candu baginya. Dan kini, dia harus mulai belajar menerima kenyataan kalau nanti tatapan mata hangat suaminya itu tak akan jadi miliknya seorang lagi.
"Nggak, Bi. Umi nggak apa-apa kok, Umi cuma lagi mikir kata-kata yang tepat untuk di sampaikan ke Nisa nanti kalau dia jadi datang. Umi harus bisa buat dia bersedia jadi istri muda Abi, karna Umi sudah lama kenal dia. Dan Umi juga tau karakternya, jadi insyaallah dia adalah calon istri yang ideal buat Abi," papar Adel dengan senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat menyampaikan apa yang dia tau tentang Anissa.
Zidan mengelus lembut kepala istrinya, tampak jelas di matanya luka yang tengah di sembunyikan istrinya demi bisa berbakti padanya.
"Selama itu bisa bikin Umi tersenyum seperti ini, dan bisa buat kondisi Umi lebih membaik tentunya. Abi akan turuti, apapun mau Umi," gumam Zidan beralih mengecup punggung tangan istrinya.
"Terima kasih banyak ya, Sayang?" Adel balas mencium tangan suaminya takdzim.
"Kapan pun, Sayang. Umi adalah prioritas Abi, Abi mohon jangan pernah tinggalin Abi ya." Zidan menghapus sisa air mata di pipi Adel.
Adel mengangguk cepat, dan dengan tetap tersenyum mulai mengambil obat-obatan yang sebelumnya selalu di tolaknya. Adel mulai meminum obatnya satu demi satu sampai habis, dan hal.itu tentu saja membuat Zidan berucap syukur berkali-kali di dalam hati.
Akhirnya setelah berminggu-minggu, Adelia mulai mau mengonsumsi obat dan vitaminnya kembali. Padahal beberapa waktu lalu dia sempat menolak semua jenis obat dan makanan yang masuk ke mulutnya.
"Sesuai janji Umi ke Abi, Umi bakalan cepat sembuh." nada suara Adel terdengar getir, namun dia tetap memaksakan senyumnya di depan Zidan.
Zidan baru hendak menjawab saat tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan kembali di ketuk.
Tok
Tok
Tok
"Boleh kami masuk?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!