..."Andai aku sempurna, Tuhan."...
...-Alan Angkasa Putra-...
...********...
Atma Alan hancur, kala menyaksikan satu-persatu tubuh disiksa bahkan sampai meregang nyawa di hadapan bola matanya sendiri. Laki-laki itu menjerit tangis, pada seorang pria yang melakukan semua ini.
"KAKAK BERHENTI KAK!" suaranya parau, deraian air mata semakin meluncur deras membasahi pipinya. Tak banyak yang bisa Alan lakukan, selain berteriak tidak berdaya di atas kursi rodanya.
Sekali lagi... sekali lagi ia melakukannya.
...°•••|ANDAI AKU SEMPURNA|•••°...
//Tok tok tok// terdengar suara ketukan berasal dari pintu kamar.
"Tuan Alan, Tuan! Ayo bangun Tuan! Anda harus segera berangkat ke sekolah," panggil pelayan, membuat remaja laki-laki tampan berkulit putih dengan dua lesung pipi manis itu, perlahan membuka kedua matanya.
-Di dalam kamar Alan.
"Hoam," Alan perlahan membuka mata, mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar yang masih setengah sadar, ia mencoba untuk duduk tetapi....
"Auchss," desis Alan merasakan sakit di bagian punggungnya.
"Ck sial, punggung gua masih sakit," batin Alan mendecak.
Alan kembali merebahkan tubuhnya pelan-pelan, ia kembali teringat akan kejadian kemarin yang menimpa dirinya.
Kemarin di sekolah, Alan di bully lagi oleh teman-temannya di kelas, ia didorong dari kursi roda hingga Alan terjelungap jatuh, sehingga membuat punggungnya memar kebiruan.
Alan berbeda dengan anak-anak yang lain, disaat mereka semua bisa berjalan dan berlari sesuka hati mereka, Alan hanya bisa duduk manis di atas kursi rodanya, meratapi kesedihan melihat kedua kakinya yang lumpuh itu.
"Gua gak bakal biarin Kak Elang tahu, tentang hal ini," gumam Alan ketakutan, seraya meremas erat selimut yang membalut separuh tubuhnya.
Mengapa si Kakak Elang tidak boleh sampai tahu?
Tentu saja, karna Alan sang Adik sudah mengerti apa yang akan Kakaknya itu lakukan.
Sudah banyak orang yang pernah merasakan kekejaman Elang sang Kakak, sedangkan Alan sang adik hanya bisa duduk diam di kursi rodanya, menangis dan berteriak berharap Elang bisa menghentikan semua perbuatannya.
Karna menurut sang Kakak Erlangga Mahesa Putra 'Elang', "tiada kata ampun untuk siapapun yang berani mengganggu Adiknya."
Mungkin Elang akan masih sedikit berbaik hati kepada seseorang yang berani mengganggu Alan, memberikan secuil harapan kepadanya walaupun masih dengan cara yang kasar.
Dengan menyeret atau menjambak orang tersebut ke hadapan Adiknya, memintanya untuk mengatakan kata 'maaf' dengan tulus, maka Elang akan melepaskan orang tersebut.
Tapi, bagaimana kalau orang itu tidak mau melakukannya dan malah memilih untuk memberontak?
Singkat, 'dor' biar pistol yang berbicara!
"Siaall!" ucap Alan kesal sambil mengacak-acak rambutnya, ia tak mau lagi ada seseorang yang menjadi korban, kekejaman Kakaknya hanya untuk melindungi dirinya.
Alan tahu bahwa Elang melakukan ini semua hanya semata-mata untuk melindungi dan menjaganya, tapi menurut dia caranya saja yang salah.
"Apa Alan sudah bangun?" tanya seorang lelaki berbadan proporsional berwajah tampan berkulit putih, dengan rahangnya yang tegas dan manik matanya yang tajam seperti namanya 'Elang'.
Elang yang sudah berbaju rapi, siap berangkat ke kantor, tapi masih menyisihkan waktunya untuk melihat keadaan si Adik apakah ia sudah bangun atau belum.
"Tu-Tuan Elang," seketika pelayan tersebut langsung menunduk, memberi hormat kepada tuannya.
"Sa-saya tidak tahu Tuan, sedari tadi saya mengetuk pintu dan memanggil nama Tuan Alan, ta-tapi masih tidak ada jawaban," sambungnya terbata-bata.
"Hm, pergilah, lanjutkan tugasmu!" titah Elang penuh penekanan.
"Ba-baik tuan," jawab pelayan tersebut ketakutan, mendengar suaranya saja sudah membuat wanita itu bergidik ngeri.
//Tok tok tok// suara ketukan pintu.
"Alan Alan Dek, kamu masih tidur?" panggil Elang dari luar kamar, sontak membuat Alan terkejut.
"Gawat," Alan yang panik saat mendengar suara Kakaknya itu, dia langsung pura-pura tertidur, memejamkan matanya rapat-rapat seraya memeluk guling.
"Gak ada jawaban," batin Elang lalu memutuskan untuk membuka pintu kamar Alan.
Elang mengambil langkah, memasuki kamar adiknya. Langkah tersebut semakin mendekat, hati Alan menjadi resah, detakan jantungnya semakin berdegup kencang, ia takut bagaimana kalau nanti Kakaknya mengetahui tentang luka memar di punggungnya ini, jawaban apa yang harus dia berikan?
"Alan!" panggil Elang lembut.
Elang sang kakak mungkin terlihat tegas dan kejam kepada semua orang, dari sorotan matanya saja sudah terlihat jelas.
Tapi, kalau Elang sudah dihadapkan dengan adiknya, maka kata tegas dan kejam itu seketika meleleh, berubah menjadi pribadi yang lebih lembut dan penyayang.
"Alan!" panggil Elang sekali lagi sambil menepuk pelan punggung Alan.
"Auchs," desis Alan pelan, namun masih sempat terdengar oleh Elang.
"Alan, kamu sakit?" tanya Elang curiga.
"Eng... enggak kok kak," jawab Alan terbata-bata, yang masih tak mau menoleh menatap wajah Elang.
"Alan tahan dikit kek, lo laki, cemen banget sih!" batin Alan mengomel.
"Beneran? Kamu gak bohongkan sama Kakak?" tanya Elang memastikan, menaikkan sebelah alisnya.
"Enggak kok Kak."
Tanpa aba-aba 'pak', dengan sengaja Elang menepuk sedikit keras punggung Alan.
"Aahhhh," teriak Alan kesakitan.
"Ck ah," decak Alan seraya mengelus-elus punggungnya yang terasa panas bercampur perih.
"Kenapa punggungmu?" tanya Elang dingin, nada suara Elang menjadi lebih menakutkan tak selembut tadi.
Tiba-tiba, atmosfer di kamar Alan berubah, aura mengerikan sangat terasa, kenapa Elang bisa tahu kalau dia sedang berbohong, padahal Alan sudah berusaha untuk menyembunyikannya.
"Eng... enggak apa-apa kok Kak," jawab Alan mencoba mengelak.
"Benarkah?" Elang tak pikir panjang, ia langsung membuka baju Alan dengan paksa, untuk melihat bagian punggungnya.
"Ja-jangan Kak!" ronta Alan sia-sia, karena tenaga sang Kakak lebih besar.
Elang mengerutkan keningnya, ia tampak sangat marah dengan apa yang ia lihat saat ini.
"Siapa yang melakukan ini Alan?" tanya Elang penuh penekanan dengan sorotan matanya yang tajam, dari nadanya saja Alan sudah tahu bahwa saat ini Kakaknya pasti sedang marah besar.
"Eng... enggak ada kok Kak, aku gak sengaja jatuh dari kursi roda, ini semua salah aku sendiri kok," jawab Alan mencoba mencari alasan.
"Benarkah? Sekarang kau istirahat saja di rumah, aku akan meminta izin kepada gurumu di sekolah, sekalian mencari anak yang melakukan ini kepadamu," ucap Elang tegas, ia langsung bergegas pergi keluar dari kamar Alan.
"Kak jangan Kak, mereka gak salah!" teriak Alan keras mencoba untuk menghentikan kakaknya.
"Alan, siapapun yang berani mengganggu dirimu, maka mereka pantas untuk mendapatkan balasannya," Ucap Elang pelan namun tajam, lalu ditutup dengan bantingan pintu. //BRAKK//
"Sial Alan, sial!" kesal Alan memukul-mukul bantalnya.
Elang berjalan dengan langkah kaki cepat, keluar menuju mobil putih miliknya yang sudah disiapkan oleh sopir.
"Tuan Elang, hari ini anda ada rapat dengan-"
"Tunda dulu, saya masih ada urusan," potong Elang cepat kepada sekretarisnya yang bernama Ken itu.
"Tapi tuan, ini adalah rapat yang-"
Sekretaris Ken belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tapi langsung dibalas dengan tatapan tajam penuh peringatan oleh Elang.
"Ba-baik Tuan, saya tunda saya tunda," jawab asisten Ken mengangguk-anggukkan kepala.
"Hampir mati lo Ken!" batin Sekretaris Ken bernafas lega sambil menepuk-nepuk nakal mulutnya itu, setelah berhasil keluar dari situasi menyesakkan tadi.
Bila ada masalah yang menyangkut tentang Adiknya, Elang tidak akan memperhatikan hal yang lain sekalipun itu tentang pekerjaan.
...°•••|ANDAI AKU SEMPURNA|•••°...
"Bro broo!!!!!" panggil siswa laki-laki mengenakan seragam putih abu-abu berlari gelagapan masuk ke dalam kelasnya, bergegas menuju ke sudut ruangan yang sudah terdapat tiga anak laki-laki di sana.
Kedatangan anak tersebut, membuat beberapa pasang mata mengikuti ke mana tubuhnya itu pergi.
"Apaan? Tumben-tumbenan lo telat," tanya murid berambut ikal berkulit sawo matang bernama Aldo.
"Gawat, hosh... pokoknya gawat!!!" jawab Kemal ngos-ngosan, sembari menopang kedua tangannya pada lutut.
"Apanya yang gawat?" sahut laki-laki bermata sipit bernama Ardi.
"Gu-gua takut."
"Takut? Takut apa? Lu dateng-dateng bikin orang heboh aja, lihat noh pada diliatin anak-anak sekelas, artis dadakan yah Bun," celetuk Aldo.
Semua anak yang sadar akan sindiran dari Aldo, langsung kembali melakukan aktivitas mereka masing-masing.
"Kemarin kan, kita berempat habis bully si Alan sampai jatuh dari kursi rodanya, gua- gua takut kalau entar dia ngadu sama Kakaknya," bisik Kemal pelan, ia ketakutan sambil *******-***** jari jemarinya yang berkeringat.
"Yaelah Mal Mal, gitu aja lo takut, santai aja kali, cemen amat lo jadi cowok," ledek Ardi dengan sengaja menepuk keras pundak Kemal.
//Pak//
"Yah biasa aja dong, gak usah gini juga kali!" ujarnya kesal.
"Emang Kakaknya Alan kenapa? Bisa bikin lo ketakutan banget?" tanya Aldo penasaran.
"Kalian berdua gak denger berita dari kelas sebelah?"
"Gak tuh," balas Aldo dan Ardi bersamaan.
"Lo berdua kudet 'kurang update' banget sih jadi orang," ketus Kemal menonyor dahi kedua temannya.
"Yaahh kita berdua mah, bukan cowok tukang gosip kayak lo," timpal Ardi gamblang.
"Dasar lo!" umpat Kemal.
"Jadi gini, gua dapet kabar dari kelas sebelah. Katanya, ada dua anak yang habis bully si Alan. Nah, si dua anak ini yang satu hilang entah kemana dan tidak pernah kembali lagi, dan yang satunya lagi tiba-tiba pindah dari sekolah dengan alasan yang misterius, setelah Kakaknya si Alan datang ke kelas mereka," jelas Kemal panjang kali lebar.
"Emang Kakaknya Alan dateng ke kelas itu ngapain?" tanya Aldo.
"Gua gak tahu, mereka pada tutup mulut, jelasnya itu dua anak tiba-tiba ngilang begitu aja waktu Kakaknya Alan bawa mereka pergi."
"Terus?" tanya Hans pengok.
"Lu jadi orang telmi 'telat mikir' banget sih, kalau seumpama dua anak itu tiba-tiba menghilang dari sekolah, berarti kan si Kakaknya Alan habis ngapa-ngapain mereka," ujar Kemal geram.
"Serius lo?" sahut Aldo tak percaya.
"Yah serius lah, masa iyah hoax. Lo gak percaya sama gua?"
"Lu banyak bohong soalnya, makanya gua susah percaya," cerca Aldo pedas.
"Sialan lo, eh Bima mana?"
"Tuh, lagi ngorok dia," balas Hans sambil menunjuk ke arah anak laki-laki, tengah tidur di dua kursi yang disatukan sambil menutup wajahnya dengan lengan kanan.
"WOY BIMAAA!!!" teriak Kemal seraya menggebrak meja, membuat pria bernama Bima itu tersentak kaget.
"Ck biasa aja kali, telinga gua gak tuli," jawab Bima kesal sembari perlahan duduk "stres dipelihara," umpatnya.
"Eh lu udah denger soal-"
"Udah," potong Bima cepat, mengorek kedua telinganya yang masih berdengung itu.
"Gua udah denger semua cerita lo yang unfaedah tadi."
"Unfaedah lo bilang! Emang lo gak takut?"
"Buat apa gua takut, Adiknya aja lumpuh gitu, gimana Kakaknya coba, pasti cemen lah, udah dibuat santai aja, kakaknya si Alan pasti gak ada apa-apanya," balas Bima tersenyum remeh.
...°•••|ANDAI AKU SEMPURNA|•••°...
Mobil berwarna putih berhenti tepat di depan gerbang sekolah Alan, lelaki berwajah tampan memiliki manik mata tajam, berpakaian setelan jas keluar dari dalam mobil, yah siapa lagi kalau bukan Elang.
SMA Pandawa merupakan salah satu sekolah elit di kota tersebut, banyak anak berprestasi terlahir di sana.
Erlangga Mahesa Putra bukanlah seorang senior, tetapi ia sangat dihormati karena uang Elang banyak sekali membantu pembangunan SMA Pandawa, bahkan kepala sekolah pun takut kepada dirinya.
Elang berjalan memasuki gerbang sekolah didampingi dengan sekretarisnya Ken. Rahang wajah tegas dengan ekspresi dingin, pandangan Elang tidak menoleh ke arah lain, hanya lurus ke depan.
Banyak sekali pasang mata yang memperhatikan kedatangan mereka berdua. Mulai dari tatapan aneh, sampai terpesona.
"Eh itu siapa?" bisik siswi kepada temannya.
"Lo lupa yah? itu kan Kakaknya si Alan."
"Hah itu Kakaknya si Alan? Beda banget yah sama adiknya."
Para siswa-siswi terus memperhatikan dan membisikkan tentang kedatangan mereka berdua, banyak dari mereka yang merasa kagum akan ketampanan Elang, tapi ada juga beberapa dari mereka yang merasa ketakutan.
"Tuan, banyak pasang mata yang memperhatikan anda," ucap sekretaris Ken tertawa kecil.
"Diam Ken, fokus saja ke depan!" balas Elang risih.
"Ma-maaf Tuan."
"Huh, apa mulut mereka tidak mempunyai fungsi lain, selain untuk membicarakan orang?" batin Elang merasakan panas di telinganya.
...********...
-Ruang kepala sekolah.
"Pak, Pak Somad!!!" panggil Pak Bambang si wakil kepala sekolah, tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan kepala sekolah, dengan cucuran keringat yang membasahi pelipisnya.
Pak Somad yang sedang sibuk memakan nasi sambelan di dalam ruangannya pun tersentak kaget hingga tersedak.
"Ada apa sih, saya ini lagi makan!" kesal Pak Somad lalu meneguk segelas air putih yang terletak di atas meja.
"Ta-tapi Pak, ini kan masih belum waktunya istirahat?" ujar Pak Bambang.
"Istri saya bangun kesiangan, jadi saya belum sempat sarapan!" balas Pak Somad.
"Orang lagi makan diganggu. Gak tahu orang lagi laper apa?"
"Salah di rumah saya cuman ada nasi putih, gak ada lauk, ini lagi enak-enaknya makan malah di kagetin, untung saya gak jantungan," Gerutunya seperti anak kecil.
"Pak, Tuan Elang datang ke sekolah," ujar Pak Bambang dengan nada yang gemetar.
"APA!!!" kejut Pak Somad menggebrak meja.
"Iyah Pak, Tuan Elang datang ke sekolah didampingi sekretarisnya."
"Waduh, modyar aku!!!" panik Pak Somad menepuk jidat.
"Ono masalah opo maneh iki?" sambungnya berkacak pinggang.
Info: Modyar artinya mampus, onok masalah opo maneh iki artinya ada masalah apa lagi ini.
"Ya sudah, ayo cepat ke sana!"
"Ta-tapi, nasi sambelannya gimana pak?" tanya pak Bambang yang masih sempat membicarakan soal nasi sambelan exrta telur dadar.
"Kamu ini, heeehhhh, udah ayok!!!" tukas pak Somad terburu-buru keluar ruangy untuk menemui Elang.
...********...
Tepatnya di lorong kelas, Pak Bambang dan Pak Somad berlari terburu-buru untuk segera menemui Elang dan sekretaris Ken yang berencana untuk pergi ke kelas Alan.
"Tuan Elang, tunggu sebentar!!!" panggil Pak Somad seraya berlari.
"Tuan," Sekretaris Ken menepuk pelan pundak Elang, "Pak Somad memanggil anda."
Elang membalikkan tubuhnya, melihat ke arah dua orang pria berbadan gemuk si kepala sekolah, dan berbadan kurus si wakil kepala sekolah.
"Pak Somad, apa kabar?" ucap Elang membuka suara dengan nada sopan walau masih terdengar dingin, mau bagaimana lagi, itu memang sifatnya.
"Kabar saya baik Tuan Elang, oh yah Tuan ada perlu apa anda datang kemari? Kalau memang ada sesuatu yang penting kenapa tidak langsung menelpon saya saja?" tanya Pak Somad sambil mengatur napasnya.
Elang mengedipkan matanya kepada sekretarisnya Ken, memberikan kode untuk mengatakan apa yang ia inginkan.
"Ehem," deham sekretaris Ken sambil membenarkan kacamatanya, mencoba untuk terlihat cool.
"Permisi Pak Somad, kedatangan kami kemari untuk membicarakan soal masalah bully yang sekali lagi menimpa Adik atasan saya, Tuan Alan."
"Nak Alan? Ada apa lagi dengannya?" tanya Pak Somad.
"Pagi tadi, Tuan Elang menemukan luka memar di bagian punggungnya, diduga itu karena kasus bully disekolah ini," ucap Sekretaris Ken menjelaskan.
"Luka memar di punggung?" bingung Pak Somad.
"Pak Somad!" panggil Elang.
"I-Iyah Tuan?" balas Pak Somad terbata-bata.
"Kita berdua sudah pernah membicarakan soal ini sebelumnya, Adik saya Alan, ia memanglah tidak sempurna, tetapi ia juga pantas mendapatkan perlakuan yang sama seperti layaknya manusia normal," ujar Elang dengan nada serius.
"Apalagi tentang pertemanan, ia pantas mendapatkan teman dan bergaul dengan siapa saja."
"Ten... tentu saja Tuan Elang, nak Alan pantas untuk mendapatkan itu semua," sahut Pak Bambang.
"Jadi, kedatangan saya kemari demi mendapatkan keadilan untuk Adik saya, saya ingin mencari tahu, siapa yang melakukan ini kepadanya," ucapnya tegas.
"I-iyah Tuan, silahkan silahkan!" balas Pak pak Somad mempersilahkan, dan mendampinginya untuk masuk ke dalam kelas Alan.
...********...
..."Adikku Alan memanglah tidak sempurna. untuk itulah, aku Elang ditakdirkan berada di sisinya untuk melindungi dirinya, walau nyawa taruhan akan ku berikan."...
...-Erlangga Mahesa Putra-...
...°•••|ANDAI AKU SEMPURNA|•••°...
-Kelas 11 A.
//Tok tok tok// suara ketukan pintu memecah keheningan dalam kelas, Bu guru yang sedang mengajar pun seketika menghentikan aktivitasnya.
"Silahkan pelajari buku paket kalian halaman 21 sampai 23! Saya mau membukakan pintu sebentar," suruh Ibu guru sambil menaruh spidol hitam itu di atas meja.
"Baik Bu," jawab serentak semua murid.
Bu guru berjalan menghampiri pintu kelas, lalu membukanya. "Selamat pagi Bu Cici!" salam Pak Somad kepada guru bahasa Indonesia dengan rambut sebahu yang sedang berdiri di hadapannya.
"Masya Allah gantengnya, pangeran tampan berkuda putihku datang, apakah ini yang dinamakan jodoh ya tuhan," batin Bu Cici terpesona melihat ketampanan Elang, pandangannya sama sekali tidak teralihkan, sehingga tak menghiraukan panggilan dari Pak Somad.
"Bu Cici!" panggil Pak Somad sekali lagi, kini dengan nada sedikit tinggi.
"Ah Iyah Pak?" jawab Bu Cici pengok.
"Haha, saya kira anda sudah tuli Bu, efek ngajar di kelas bar-bar yang suaranya nyaring ngalah-ngalahin toanya masjid," batin Pak Somad.
"Bu, perkenalkan ini Tuan Elang dan sekretarisnya Ken," ucap pak Somad memperkenalkan dua pria yang sedang berdiri di sampingnya.
"Owh, hallo Tuan Elang, sekretaris Ken," salam Bu Cici dengan senyum malu-malu kucing.
"Bu Cici, kedatangan saya kemari untuk meminta izin kepada anda, Adik saya Alan tidak dapat masuk karna sakit," sahut Elang membuka suara.
"Owh nak Alan, iyah-iyah, hehehe."
"Dan bukan itu saja, kedatangan kami kemari karna ada urusan kecil Bu, maaf jika mengganggu waktu mengajar anda sebentar," tambah sekretaris Ken.
"Mengganggu, tidaaak, sama sekali tidak, silahkan, silahkan masuk!" jawab Bu Cici mempersilahkan mereka berempat untuk masuk ke dalam kelas.
...********...
Disaat mereka semua sudah berada di dalam kelas, sontak para murid dibuat terkejut sekaligus bertanya-tanya. "Ada apa ini?" bisik siswa-siswi, kenapa ada kepala sekolah dan wakil kepala sekolah datang ke dalam kelas mereka? Ditambah dengan dua orang asing itu.
"Hallo anak-anak semua, maaf Bapak sedikit mengganggu waktu belajar kalian. Perkenalkan ini Tuan Elang, Kakaknya teman kalian.... Alan," ucap Pak Somad membuat semua murid melongo tak percaya.
"Tu-tuh kan, apa gua bilang," gumam Kemal dengan nada gemetar.
"Itu Kakaknya si Alan?" ucap Aldo ternganga, dengan tatapan yang berbinar terkesima. "Keren!"
"Apa? Gak, tenang aja Bima, dia pasti gak ada apa-apanya," batin Bima menelan ludah. Nyali remaja itu seketika menjadi ciut setelah melihat siapa Elang sebenarnya.
"Maaf telah mengganggu waktu belajar kalian, saya ke sini hanya untuk mengetahui sesuatu. Adik saya Alan tidak dapat masuk karna sakit," Ucap Elang nampak dingin.
"Terdapat luka memar dipunggungnya, saya hanya ingin kalian mengaku, siapa yang melakukan ini kepada Adik saya?" sambung Elang, menekan kalimat terakhir.
Seisi kelas sunyi tiada suara, semua anak-anak diam menunduk, tidak ada yang berani berbicara, hingga satu anak berdiri dari tempat duduknya.
Anak lelaki bermata empat bernama Riza, anak yang mempunyai sebutan si culun di satu sekolah.
"Saya tahu siapa anaknya," ucap Riza.
Kemal menyolek pria yang duduk di depannya, bernama Hans. "Eh tuyul, lu bilang gak ada yang lihat kita waktu bully si Alan, lah tuh si culun tahu," bisik Kemal kesal.
"Yah gua gak tahu, kemarin waktu gua liatin aman kok," balas Hans lirih.
"Siapa?" tanya Elang.
"Ada empat anak. Namanya itu Hans, Aldo, Bima, dan Kemal, biasa disebut, preman Gans bar-bar," jawab Riza sembari menunjuk ke arah mereka berempat secara bergantian. Beberapa anak berusaha untuk menahan tawa, mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Riza.
"Preman Gans bar-bar, puft ngelawak bang?" tawa para siswi pelan.
"Bengek lo culun!" umpat Aldo.
"Kenapa sebutan itu pake di omongin juga ya Allah, taruh mana nih muka gue," malu Hans menutupi wajahnya dengan buku tulis.
"Preman Gans bar-bar?" batin Elang tersenyum remeh.
Elang berjalan menghampiri mereka berempat, menghampiri preman Gans bar-bar yang sudah duduk menjadi satu di barisan belakang.
Elang memegang pundak Kemal, membuat remaja itu mematung dengan keringat dingin bercucuran.
"Preman Gans bar-bar yah, kalau begitu, buktikan apa kalian pantas disebut preman. Lawan saya, anggap saja saya seperti Alan, yang lemah dan tak berdaya," ucap Elang penuh penekanan.
"Ti-tidak tuan, ka-kami-"
"Kami terima, kami terima tantangan anda Tuan Elang," Bima memotong cepat perkataan Kemal, yang membuat ketiga temannya itu melotot terkejut akan apa yang Bima katakan.
"Bagus, empat lawan satu, mudah bukan," Elang menurunkan tangannya dari pundak Kemal, lalu berbalik badan.
Bima langsung memberi kode kepada Aldo cepat. Aldo menyadari kode itu, ia langsung melesatkan pukulannya. Tapi Elang dengan sigap menghentikan pukulan dari Aldo, dan meremas erat tangannya hingga membuat remaja tersebut mengerang kesakitan.
Ketiga anak lainnya langsung bergegas mengeroyok Elang, mengerahkan semua kekuatan mereka. Sedangkan anak-anak lainnya? Hanya bisa diam melihat santai perkelahian mereka. "Serasa nonton bioskop gratis," pikirnya.
/BUG BRAK BUG/ suara perkelahian tersebut memenuhi satu ruangan.
"Sekretaris Ken!" khawatir Pak Somad sembari menggenggam tangannya yang sudah berkeringat.
"Tenang Pak Somad, Tuan Elang sudah terbiasa dengan situasi seperti ini," ucap sekretaris Ken.
Menurut sekretaris Ken, pemandangan seperti ini sudah biasa baginya, ia tak perlu mengkhawatirkan keadaan Tuannya. Karna pada akhirnya, Pasti Elanglah yang akan menang.
Benar saja, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, keempat remaja itu sudah kalah.
"Ck, dasar sampah!" batin Elang jijik sembari mengancingkan kembali lengan bajunya.
"Kalian menyebut diri kalian preman?" ucap Elang tajam ke arah ke-empat remaja yang sudah terkapar tak berdaya, serta bekas biru yang Elang buat dengan pukulannya di wajah mereka. Sungguh seni yang indah.
Elang berjongkok dihadapan mereka berempat, menatap wajah mereka yang sudah penuh akan luka lebam itu.
"Sebutan preman Gans bar-bar sama sekali tidak cocok untuk kalian, tapi pengecut rendahan itulah yang pantas."
"Jika kalian memang preman di SMA Pandawa. Maka carilah lawan yang setara atau lebih kuat dari kalian, bukan anak yang lumpuh seperti Alan."
"Jangan mencari kelemahan orang lain demi terlihat sok jago di hadapan orang, cih, karna kalian saya jadi telat untuk menghadiri rapat," pungkas Elang dan kembali berdiri menegakkan tubuhnya.
"Sekretaris Ken, bawa mereka!" titah Elang kepada Sekretaris Ken.
"Baik tuan."
"Oh yah, ini juga sebagai peringatan untuk kalian semua, berani kalian menyakiti Alan, walaupun itu hanya sedikit saja, siap-siap nasib kalian akan berakhir seperti mereka," lirih Elang tajam membuat semua anak diam ketakutan.
...********...
"Tuan Alan!" panggil pelayan sembari mengetuk pintu coklat tersebut.
"Ada apa?" balas Alan dari dalam kamar yang sedang membaca majalah olahraga.
"Tuan Elang, menyuruh anda untuk datang menemuinya."
"Ba-baiklah," jawab Alan ragu, ia harus siap mental, tentang kejutan apa yang akan Kakaknya itu berikan.
Alan pergi keluar untuk menemui Kakaknya dengan menaiki kursi roda.
Sesampainya di depan pintu ruangan Elang. Dengan tangan yang gemetar Alan meraih gagang pintu dan membukanya. Alan merasa tak siap dengan pemandangan apa yang akan Kakaknya itu suguhkan dibalik benda persegi panjang itu.
"Ka-Kakak!" panggil Alan seraya membuka pintu. "APA!" batinnya terkejut bukan main.
Di dalam ruangan, Alan melihat Elang duduk sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja, dan keempat temannya dengan tangan yang diikat serta wajah yang penuh luka lebam.
Mata Elang melirik kedatangan Alan Adiknya.
"Kakak," lirih Alan.
"Alan mereka adalah-"
"Aku memaafkan mereka," potong Alan cepat dengan kepala menunduk.
Kenapa Alan? kenapa kau memaafkan mereka? Bukankah lebih bagus jika Kak Elang memukuli dan menghabisi mereka, mereka telah membully dirimu, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali mereka telah berbuat jahat kepadamu.
Kenapa? Bukankah lebih baik kejahatan dibalas dengan kejahatan juga.
"Apa kau yakin? Mereka telah berbuat jahat kepadamu, kata maaf itu mahal Alan, jangan kau sia-siakan hanya karena merasa kasihan melihat sampah seperti mereka," ucap Elang mengambil ancang-ancang untuk menendang salah satu wajah dari mereka.
"KAKAK!!!" teriakan Alan membuat kaki Elang berhenti seketika tepat diwajah Kemal, Kemal menelan ludah dengan keringat dingin mengucur deras.
ia melihat keseriusan Alan dari raut wajahnya, Elang tahu bahwa anak itu ingin dirinya melepaskan mereka.
"Haah baiklah," hela Elang seraya menurunkan kembali kaki kanannya.
Elang berjongkok dan membisikkan sesuatu ditelinga mereka. "Dengarkan aku baik-baik, mungkin nyawa kalian selamat untuk kali ini, jika saja Adikku tidak memintaku untuk melepaskan kalian. Maka sekarang pun, aku bisa menendang wajah kalian sampai hancur."
"I-iyah Tuan, kami- kami minta maaf," jawab Hans dan Aldo dengan nada ketakutan.
"Kakak, kubilang lepaskan mereka!" lirih Alan penuh penekanan.
"Oke, Ken bawa mereka pergi, kembalikan mereka ke rumahnya masing-masing," titah Elang kepada sekretaris Ken.
"Baik tuan."
"Terima kasih, terima kasih banyak Alan, kami janji.... kami janji gak bakalan bully lo lagi!" ujar Kemal sungguh.
"Sama-sama," balas Alan tersenyum kaku.
"Ck, walau dipaksapun gua juga gak bakalan ngemis maaf ke dia," batin Bima.
Sekretaris Ken membawa ke-empat remaja itu keluar ruangan, dibantu dengan bodyguard Elang yang lainnya. Hingga, di dalam sana hanya tersisa Elang dan Alan saja.
"Alan, kau harus lebih bisa mengendalikan sifat pemaaf mu itu, terkadang seseorang harus diberi pelajaran agar tidak berlaku semena-mena kepada kita."
"Dan mereka akan mengatakan kata janji, demi apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, dunia ini keras Alan."
Elang berjalan beberapa langkah menghampiri Alan, ia berjongkok di hadapan Adiknya, lalu memegang telapak tangan Alan dengan penuh kehangatan.
"Itu sebabnya Kakakmu di sini, untuk melindungimu Adikku," ujar Elang seraya mengelus lembut kepala Alan.
"Kakak harus segera pergi untuk mendatangi rapat, tunggu aku, kita akan makan malam bersama," sambung Elang melemparkan senyum manis lalu pergi.
"Kakak, sebenarnya, aku merindukan dirimu yang dulu," batin Alan menangis, butiran bening itu tanpa sadar meluncur bebas begitu saja membasahi pipinya.
"Kakak Elang ku yang dulu."
...°•••|ANDAI AKU SEMPURNA|•••°...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!