Sandra Aruni, gadis berusia 20 tahun yang memiliki paras cantik dengan kulit kuning langsat dan bentuk tubuh yang mempesona, tengah mengerjapkan matanya di sebuah kamar berukuran 3×3. Ia meraih ponselnya yang Ia letakkan di bawah bantal dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi.
Sandra lantas meregangkan tubuhnya dan segera bangkit dari tempat tidur. Ia meraih handuk yang tergantung di pintu kamarnya dan segera keluar untuk mandi.
"Kamu kok baru bangun? Anak gadis harusnya bangun pagi. Kapan kamu mulai kerja?". Tanya Retno, Sang Ibu dengan beruntun.
Sandra melenggang pelan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Lalu Ia segera menghampiri Retno yang sedang mengelap meja. Sandra berdiri di sisi Retno sembari meneguk air putih yang tadi di ambilnya hingga tandas.
"Ini masih pagi juga kok, Bu." Jawab Sandra sekenanya.
"Kapan kamu mulai kerja?". Tanya Retno menatap putri sulungnya.
"Hari ini aku udah mulai kerja setelah briefing katanya sih, Bu".
"Di gaji harian atau mingguan, San? Nanti bagi Ibu juga ya hehe".
Sandra menghela napas pelan. "Aku belum mulai kerja udah di todong gitu sih, Bu. Ya doain dulu gitu lho". Decak Sandra sebal.
Retno terkekeh pelan. "Ibu pasti doain kok. Ibu pusing, jatah bulanan dari kakekmu udah habis tanggal segini untuk bayar spp adek-adekmu".
"Loh spp mereka kan tiap bulan di kasih kakek juga, Bu?" Tanya Sandra heran menatap sang Ibu.
"Memang.. Tapi Ibu bulan kemarin nunggak untuk bayar tagihan air. Jadi di bulan ini Ibu harus bayar 2 bulan. Minta bapak kamu, ya kamu lihat sendiri lah. Mana ada uang. Kakek kamu juga keuangannya sudah tidak sebaik dulu, San. Ibu sebenarnya sudah sangat malu".
Sandra melarikan pandangannya menatap sesosok pria yang masih segar bugar sedang santai menyeruput secangkir kopinya.
Sandra menghela napas dengan kasar. Sungguh Ia sangat kesal dengan keadaan keluarganya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah.
Rumah yang di tempatinya sejak Ia baru lahir di dunia hingga sekarang. Rumah milik Kakek Sandra yang di biarkan oleh sang Kakek untuk tempat tinggal anak dan menantunya sedari membina rumah tangga. Rumah tua dengan ciri khas belanda. Temboknya sudah terlihat mengeropos. Bahkan atap terasnya pun hampir runtuh hingga akhirnya hanya di ganti oleh asbes.
Sebenarnya rumah tersebut sangat luas. Dengan luas tanah 450m² dan luas bangunan 1 lantai berbentuk memanjang seluas 200m². Di halaman rumah Sandra di tanami berbagai macam pohon buah dan juga bunga. Bahkan bunga matahari tumbuh subur di halamannya.
Bapak Sandra merupakan anak dari orang kaya dahulunya. Namun itu semua tidak menjamin kehidupan keluarganya akan ikut sejahtera saat ini. Sayangnya hingga Sandra berusia 20 tahun hingga memiliki 2 orang adik, kehidupannya di biayai oleh sang kakek dari segala aspek.
Namun seiring waktu, sang kakek pun menua dan pensiun hingga tak mungkin lagi mampu menghidupi anak, menantu dan ketiga cucunya. Namun sayang.... tidak ada tindakan yang di lakukan oleh sang bapak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena sudah terlalu terlena. Hingga terkadang Sandra sangat kesal dan meminta sang Ibu untuk berpisah saja.
Sandra terkadang memaklumi sang Ibu yang terkadang bicara hanya tentang uang pada dirinya. Sandra tahu sang Ibu terkadang harus berpikir keras ketika uang untuk kebutuhan rumah tangga sudah habis. Bahkan sang Ibu pernah berulang kali terpaksa berhutang kesana kemari hingga Sandra pun tak tahu pada siapa saja sang Ibu berhutang dan berapa jumlahnya.
"Sandra mandi dulu deh, Bu". Ujar Sandra seraya berdiri dan melangkah masuk ke kamar mandi.
...🌻🌻🌻...
Matahari bersinar sangat terik siang hari ini hingga membuat Sandra yang sedang berdiri di pinggir jalan berulang kali mengelap keringat di dahi. Ia menatap tumpukan flyer (selebaran) yang berada di tangan kirinya dan menghembuskan napas dengan kasar.
"Kamu harus bagikan flyer itu sampai habis. Setiap harinya akan aku beri 100 buah flyer. Awas! Aku akan tahu jika kamu sengaja membuang flyer tersebut!"
Sandra mengingat ucapan supervisor tadi pagi yang tengah memberikan briefing untuknya. Hari ini Sandra baru saja bekerja sebagai seorang salesgirl di sebuah provider. Tugasnya adalah membagikan selembaran kecil seukuran buku tulis yang berisi berbagai pilihan paket untuk tv kabel yang di canangkan oleh provider tersebut.
Pekerjaannya mobile yakni tidak menetap di satu tempat. 1 pekan Ia bisa berada di sebuah mall, namun 1 pekan kemudian Ia bisa seperti sekarang berdiri di pinggir jalan.
"Flyer lo tinggal berapa, San?". Tanya Cica.
Sandra mengangkat tangan kirinya untuk memberi tahu. "Banyak". Ucap Sandra.
Cica yang sudah lebih dulu bekerja menjadi salesgirl lantas tersenyum saat melihat wajah cemberut Sandra.
"Udah.. Gak apa-apa. Habis gak habis, kita tetap di bayar kok sesuai perjanjian!".
"Tapi kan lumayan kalau flyer ini habis, gw bisa dapat tambahan 50 ribu! Lagian masa iya sih tuh supervisor bisa tahu kalau kita buang flyernya? Memangnya dia hantu tak kasat mata yang bisa intai kita kemanapun dengan bebas?". Sungut Sandra sekaligus merasa heran.
Cica tertawa renyah. "Hahahaa.. Lo tau gak supir yang antarin kita kemana-mana?". Dagu Cica mendongak ke arah seorang pria yang sedang duduk bersantai di sebuah kursi plastik yang berada di bawah tenda payung kecil untuk booth mereka.
"Dia mata-mata si supervisor itu!".
Sandra menatap pria yang cukup tua untuk dia panggil bapak dengan mendengus. "Sialan...Setidaknya dia bantuin kita dong! Malah enak-enakan duduk!".
Cica lantas menarik tangan Sandra untuk beralih ke sudut lain yang di rasanya lebih ramai.
"Gimana kalau kita bersebrangan? Lo mau di sini atau di sebrang sana?". Tanya Cica menatap Sandra dengan mendongak di karenakan tinggi badan mereka terlihat jauh berbeda.
Sandra melarikan pandangannya ke sekitar. Jalanan dua arah yang terbentang luas dan cukup padat di lalui oleh pejalan kaki maupun kendaraan bermotor.
"Gw di sebrang aja deh. Lo di sini, Ca!". Ujar Sandra menoleh pada Cica yang di tanggapi dengan acungan jempol gadis itu.
Sandra menoleh kanan kiri untuk memastikan tak ada kendaraan yang melaju dengan cepat. Ia pun berlari kecil seraya menadahkan tangannya ke samping ketika menyeberang.
Sandra mengedarkan kembali netra matanya dan menemukan sebuah pohon yang cukup rindang untuk tempatnya berdiri berlindung dari teriknya sinar matahari dan segera menuntaskan pekerjaan hari itu.
"Ayolah semangat Sandra!". Teriak Sandra tertahan untuk menyemangati dirinya sendiri.
...🌸🌸🌸...
Halo! Aku kembali! Semoga kalian semua menikmati cerita ke 3 ku ini ya!
Tambahin ke favoritnya dulu supaya ter-notice ketika update. Untuk menunggu karya ini up tiap harinya, boleh banget baca 2 karyaku sebelumnya, "Cinta Tanpa Syarat dan Reynald Sang CEO".
Happy Reading!❤
"Nanti aku akan ke tempat Ayah. Siapa tau ada uang." Sahut Dimas.
Retno memicingkan mata pada pria yang sudah merajut mahligai pernikahan selama 22 tahun bersamanya. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang ke 42 tahun terlihat menghela napas dengan kasar.
"Apa kamu tidak malu? Sampai kapan kita seperti ini, Mas! Ayahmu sudah tua! Tidak seharusnya kita membebaninya terus!." Cecar Retno dengan raut wajah kesal.
"Lalu bagaimana lagi? Kamu mengeluh padaku tentang SPP anak-anak. Aku usahakan pergi ke tempat Ayah besok pagi! Kamu siapkan saja uang bensin dan uang tol nya!." Balas Dimas tak kalah kesal.
"Bahkan untuk uang makan saja aku irit-irit, Mas! Aku tidak ada uang lagi untuk ongkosmu!."
"Kamu minta lah ke Sandra. Bukannya dia sudah mulai bekerja? Harusnya dia yang mulai membiayai adik-adiknya." Ucap Dimas sekenanya.
Retno lantas menatap Dimas dengan raut wajah tak percaya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan ucapan suaminya.
"Mas! Sandra itu baru saja bekerja! Dia juga punya kebutuhan pribadinya sendiri. Apa kamu tidak malu pada anakmu itu? Dia bahkan mau bekerja apa saja asal menghasilkan uang, Mas!". Ucap Retno.
Dimas berdiri dan berkacak pinggang. "Kamu menyindirku?!."
Retno menghela napas dengan lelah. Ia pun beranjak berdiri menghadap ke arah suaminya. "Baguslah jika kamu merasa tersindir. Setidaknya masih ada rasa tau diri dalam pikiranmu."
Dimas menganga tak percaya mendengar ucapan Retno hingga pria itu hanya bisa menahan amarah ketika melihat Retno melangkah pergi meninggalkan dirinya begitu saja.
Di kamar yang berada tepat di ujung, Sandra mendengar segala perdebatan kedua orang tuanya. Sedari tadi Ia sudah bangun dan bergegas untuk keluar kamar. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba terdengar keributan antara Retno dengan Dimas.
Sandra mendengar semuanya. Ia mengatupkan kedua tangannya di wajah sembari menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Matanya berkaca-kaca meratapi nasibnya juga nasib keluarganya. Ia muak. Jelas saja muak! Ia bahkan tidak ingin mengenal cinta karena Ia takut jika nasib Ibunya turun pada dirinya. Tidak beruntung dengan lelaki!
Tok!
Tok!
Tok!
Sandra menatap ke arah pintu kamarnya yang tiba-tiba di ketuk oleh seseorang. Sandra lantas berdiri dan membuka pintu kamarnya. Terlihat Retno dengan wajah yang basah karena air mata di baliknya.
"Bu..."
"Ibu boleh masuk, San?"
Sandra melangkah mundur untuk mempersilakan sang ibu masuk ke dalam kamar. Retno lantas duduk di sebuah kursi plastik dalam kamar Sandra masih sambil menangis.
"Ibu lelah, nak.. Kamu pasti mendengar semuanya kan?". Tanya Retno.
Sandra hanya bisa mengangguk tanpa menjawab apapun.
"Ibu lelah dengan keadaan yang seperti ini, San". Keluh Retno pada sang putri.
Sandra menghela napas dan menatap wajah Retno dengan seksama. "Bu... Sudah aku bilang lebih baik pisah saja. Apa Ibu tau? Aku sebagai anak sejak dulu sangat stress melihat kedua orang tuaku bertengkar. Bahkan sampai aku sebesar sekarang, kalian berdua masih selalu bertengkar tentang hal yang sama".
"Tapi, San..."
"Bu..." Sanggah Sandra.
"Ibu tidak perlu mempertahankan hubungan rumah tangga tetap utuh namun yang sebenarnya terjadi adalah penuh keretakan dan rapuh, Bu. Aku dan adik-adik ku tidak bahagia walau melihat kedua orang tua kami bersama namun terjadi kesengitan di setiap sudutnya."
"Karena kalian berdua juga aku sampai berpikir, aku tidak ingin menikah. Aku tidak ingin mengenal cinta. Aku takut kalau ternyata pasanganku adalah pria seperti Bapak."
"Aku juga tidak mau menjadi wanita yang hanya bisa menerima keadaan begitu saja dan menangis meratapi nasib. Aku tidak bisa seperti itu, Bu."
Sandra berucap mengeluarkan segala uneg-unegnya seraya menatap Retno dengan sendu. Ia ingin Ibunya bahagia. Namun apa daya, Sandra pun belum memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menghidupi Ibu dan adik-adiknya dengan pekerjaannya saat ini. Untuk diri sendiri saja Ia masih kalang kabut.
"Ibu tidak mungkin meninggalkan Bapakmu, San. Ibu kasihan kalau bukan Ibu siapa lagi yang mau hidup dengan Bapakmu. Bapakmu tidak biasa untuk beli makanan di luar. Selapar apapun dia pasti dia hanya menunggu Ibu untuk masak atau jika tidak ada apa-apa, dia hanya minum air putih seharian." Lirih Retno.
"Bu! Bapak itu adalah suami Ibu. Kepala keluarga yang harusnya melindungi dan membimbing seluruh anggota keluarga. Bapak bukan anak Ibu yang harus Ibu perlakukan seperti anak kecil!". Ucap Sandra kesal.
Bukan hanya dengan Bapaknya, terkadang Sandra pun kesal dengan sang Ibu yang terlampau pasrah. Sungguh Ia sudah muak ketika sedari kecil dirinya melihat dengan nyata bahwa keluarganya adalah keluarga yang tidak mandiri. Di saat sang kakek memberikan jatah bulanan di awal bulan, kedua orang tuanya akan menghamburkannya dengan banyak jajan di luar. Namun ketika pertengahan bulan uang sudah habis, keduanya diam dengan pikiran yang buntu dan berakhir dengan meminta uang lagi pada sang kakek, berhutang sana sini atau menekan Sandra untuk memberikan uang dan bekerja lebih giat.
"Terserah Ibu saja. Sandra bicara sampai berbusa pasti Ibu tidak akan mendengar Sandra juga kan?." Ucap Sandra seraya berdiri melangkah mengambil handuk yang tergantung di pintu kamarnya.
"Sandra harus pergi kerja, Bu. Nanti Sandra minta uang kerja Sandra lebih dulu ke bos Sandra."
Sandra pun melangkah keluar kamar meninggalkan sang Ibu seorang diri yang diam termangu. Baru saja Ia bekerja sehari, sudah harus di ambil hasilnya. Sandra menghela napasnya pelan.
...🌻🌻🌻...
"Sandra! Kamu kok telat sih? Tuh si supervisor kita udah marah-marah lho!" Seru Cica saat melihat Sandra yang baru saja memasuki ruangan.
Sandra melihat jam di dinding. "Cuma telat 5 menit kok. Gw udah lari kayak orang kesetanan lho kesini. Lo gak lihat nih gw masih ngos-ngosan?." Ucap Sandra seraya mengibaskan tangannya ke wajah karena berkeringat.
"Udah gw bilang sama lo, supervisor kita itu devil. Dia gak suka kalau sales-salesnya gak tepat waktu, San". Jelas Cica seraya memberikan sebuah tisu pada Sandra.
Sandra tak menjawab apapun. Pikirannya justru sibuk menyusun kalimat untuk di utarakan pada bos nya itu mengenai upahnya bekerja kemarin. Ia ragu bahwa supervisor itu akan memberikannya mengingat kalau perjanjian kerja menyebutkan bahwa upah nya akan di berikan per 1 pekan sekali.
"Ca.." panggil Sandra tiba-tiba.
"Apa?"
"Selama lo kerja jadi sales di sini, lo pernah gak sih minta upah lo lebih cepat?". Tanya Sandra menatap Cica dengan serius.
Cica terlihat mengerutkan dahinya menatap Sandra dengan keheranan.
...🌴🌴🌴...
Like, Subscribe dan komentar kalian aku tunggu ya😁😘
"Ca.." panggil Sandra tiba-tiba.
"Apa?"
"Selama lo kerja jadi sales di sini, lo pernah gak sih minta upah lo lebih cepat?". Tanya Sandra menatap Cica dengan serius.
Cica terlihat mengerutkan dahinya menatap Sandra dengan keheranan.
"Kenapa lo tanya begituan? Baru juga kerja sehari, San!".
"Bisa atau gak?". Ulang Sandra dengan raut wajah serius.
"Gw belum pernah sih.. Setau gw juga gak boleh deh, San". Jelas Cica.
"Kenapa? Lo butuh uang?."
Sandra menghela napas pelan. "Ya.. Gw butuh makanya gw tanya sama lo tentang itu. Gw mau ke supervisor dulu deh. Siapa tau bisa!" Ucap Sandra seraya membalikkan tubuhnya.
Cica menahan lengan Sandra dengan cepat hingga membuat Sandra mengerutkan dahi. "Kalau lo butuh uang, gw bisa pinjamin lo kalau hanya sebesar bayaran kita kemarin sih gw ada, San".
Sandra menggelengkan kepala. "Jangan, Ca. Lebih baik gw coba dulu hadap ke bos. Siapa tau dia mau turunin upah gw yang kemarin".
Cica pun akhirnya menyerah dan melepas tangan Sandra. "Ya udah. Lo coba aja dulu. Nanti kasih tau gw kalau si bos gak ngasih".
Sandra pun mengangguk dan segera keluar ruangan menuju ke lantai 3 di mana ruangan sang supervisor berada.
...🌻🌻🌻...
"Apa kamu bilang?"
"Saya mau minta upah bekerja kemarin, Pak." Sandra menegaskan kembali maksudnya pada supervisor itu.
"Tidak bisa! Kamu sudah tau aturannya kan? Kamu juga sudah tanda tangan persetujuan tentang upah sales yang akan di bayarkan per 1 pekan!" Sahut sang supervisor menatap Sandra dengan tajam.
"Iya.. Saya tau, Pak. Tapi tidak bisakah bapak berikan pengecualian kali ini saja? Saya benar-benar butuh walau hanya 150 ribu, Pak." Ujar Sandra seraya mengaitkan jari jemarinya di bawah meja menahan rasa gugup.
"Tetap tidak bisa, Sandra. Ini sudah peraturan dari kantor."
Sandra menghela napas pelan dan beranjak berdiri.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Saya permisi." Ujar Sandra sedikit menundukkan kepala.
Sang supervisor itu tidak menjawab apapun dan hanya melihat Sandra dengan seksama.
"Tunggu." Ucap Sang Supervisor menahan langkah Sandra untuk keluar ruangan.
"Saya bisa memberi uang tapi kamu harus menemani saya."
Sandra mengerutkan dahinya. "Menemani bagaimana maksudnya, Pak?."
"Temani saya tidur. Saya akan beri kamu 10 kali lipat dari upah kamu kemarin."
Sandra menganga tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar olehnya. "ORANG GILA!" Pekik Sandra.
"Saya tidak gila. Saya hanya menawarkan solusi untukmu. Mengingat kamu sampai meminta upah 1 hari, saya asumsikan kamu membutuhkan uang dengan mendesak kan?" Sahut supervisor itu dengan santai.
"Saya memang butuh uang tapi masih waras, Pak! Oh, anda tidak pantas saya sebut panggil bapak lagi."
"Terserah kamu. Saya hanya menawarkan".
Sandra melangkahkan kakinya mendekat kembali ke meja sang supervisor. Sandra meletakkan kedua tangannya di atas meja dan sedikit membungkukkan badan ke arah sang supervisor.
"Tadi anda bilang 10 kali lipat dari upah saya?."
Sang supervisor menganggukkan kepalanya dengan tersenyum angkuh.
"10 kali lipat dari upah saya yang 150 ribu artinya hanya satu juta lima ratus ribu rupiah."
"Ya. Besar kan buat kamu? Kamu cukup temani saya tidur 1x saja di hotel. Saya akan langsung berikan kamu cash setelah kita selesai." Ujar sang supervisor.
Sandra mendengus menatap sang supervisor dengan mengejek. "Anda kalau miskin jangan bertingkah! Jangan sok berniat membeli perempuan. Cih!."
Sang supervisor itu pun lantas berdiri menatap Sandra dengan wajah penuh amarah tak terima penghinaan yang di lontarkan oleh Sandra.
"Kamu jangan kurang ajar!" Bentak sang supervisor.
"Anda yang lebih dulu kurang ajar pada saya!".
"Keluar kamu sekarang dari ruangan saya!" Usir sang supervisor dengan penuh amarah.
"Saya memang akan keluar! Saya berhenti dari pekerjaan ini!" Ujar Sandra menatap sang supervisor dengan tajam. Ia pun segera melangkah pergi.
"Oh ya saya lupa..." Sandra menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya menatap sang supervisor.
"Upah saya yang kemarin bisa anda ambil. Anggap saja saya beri cuma-cuma untuk orang gila seperti anda". Ucap Sandra dengan santai dan segera menutup pintu ruangan supervisor itu dengan cukup keras.
Sandra tertawa sinis namun dalam hatinya meringis. Inilah nasib orang tidak mampu, Sandra! Selalu diremehkan dan harga diri bisa di beli dengan uang!
Sandra menghela napasnya dan kembali menuju ruangan sales. Ia hendak mengambil tasnya dan segera pergi.
"Gimana, San?Boleh?." Serbu Cica yang sedari tadi ternyata masih menunggu Sandra.
Sandra menggelengkan kepala. "Gak boleh, Ca."
"Udah gw duga..."
"Gw pulang dulu deh, Ca! Lo baik-baik kerja di sini. Ada orang gak waras!" Ucap Sandra meraih tas nya yang berada di kursi.
Cica mengerutkan dahinya. "Orang gak waras siapa, San? Terus kok lo malah pulang? Gak kerja?."
"Gw keluar dari kerjaan ini, Ca."
"Hah?! Lo baru sehari kerja lho!" Seru Cica tak percaya.
"Gw lebih milih kewarasan gw daripada kerja di bawah orang gila! Hahahahahaha." Sandra tertawa terbahak-bahak.
"Terus lo masih perlu uang gak? Gw bisa pinjamin lo kalau lo mau." Tawar Cica.
Sandra menatap Cica dengan menghela napas. "Gw perlu. Tapi lo tau kan gw sekarang gak ada kerjaan. Jadi terlalu beresiko kalau lo pinjamin gw uang sedangkan gw belum tau kapan bisa kembaliin ke lo." Ujar Sandra jujur.
Cica tersenyum manis dan segera membuka tas nya.
"Nih! Lo pakai aja dulu. Lo bisa kembaliin setelah lo punya pekerjaan lagi nanti." Sahut Cica seraya menyerahkan uang sebesar dua ratus ribu rupiah ke tangan Sandra.
Sandra lantas memeluk Cica dengan erat. "Makasih ya, Ca! Lo baik banget walau kita belum lama kenal". Ucap Sandra terharu.
Cica menepuk punggung Sandra dengan lembut. "Gw memang bukan orang berada, San. Gw juga tau gimana rasanya kita perlu uang saat keadaan mendesak. Itu gak enak banget..."
Sandra melepas pelukannya dan menatap Cica dengan haru. "Gw janji akan ganti uang lo ini setelah gw dapat pekerjaan ya".
Cica mengangguk. "Semangat ya! Tetap kontak gw ya, San!"
Sandra mengangguk dan segera pamit untuk pulang.
Di sepanjang perjalanan, saat Sandra sedang menunggu bus untuk pulang. Pikirannya berlari kemana-mana. Ibu jarinya menscroll daftar telfon temannya yang kemungkinan bisa memberinya info tentang sebuah pekerjaan.
Lalu matanya menangkap satu nama dari salah seorang teman lamanya.
Apa gw harus hubungin dia ya untuk tanya kerjaan? Tapi kan dia kerjanya di............. Ah, tapi bayarannya besar sih kata dia dulu kan. Tapi....
Sandra menyugar rambut panjangnya dengan kesal. Biarin ajalah gw coba dulu! Batin Sandra berperang namun pada akhirnya Ia tetap memutuskan untuk dial nomor telfon teman lamanya itu.
...🌴🌴🌴...
Like, favorit, komentar ya! 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!