NovelToon NovelToon

Sakitnya Menikah Denganmu

Bab 1 Hilangnya kesucianku

Di siang hari yang sangat terik, ada seorang perempuan yang sedang menangis seorang diri di bawah pohon.

"Bagaimana ini? Hal yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Apa yang harus aku katakan pada mereka nanti? Akankah mereka percaya padaku?" ratap Kirana sambil terus memegangi perutnya.

"Sebaiknya sekarang juga aku harus memberitahu Mas Hendrik kalau aku sedang hamil anaknya. Iya, dia harus tanggung jawab sama perbuatannya!" Lalu Kirana segera memesan taksi online dan menuju ke apartment Hendrik.

Sesampainya di depan pintu kamar apartemen Hendrik, Kirana segera mengetuk pintu beberapa kali.

"Kirana?" ucap Hendrik terkejut saat melihat Kirana sudah berdiri di depan kamar apartmentnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan.

"Mas, aku hamil." Kirana menyodorkan alat tes kehamilan yang sudah ada dua garis merahnya.

Lalu ia menerobos masuk ke dalam yang kemudian di ikuti oleh Hendrik.

"Hah? Kamu hamil sama siapa? Kenapa bilangnya sama aku?" tanya Hendrik dengan alis berkerut.

"Jelas aku hamil anakmu lah, Mas! Apa kamu lupa kejadian hampir 2 bulan yang lalu?" Kirana mencoba mengingatkan Hendrik kembali tentang kejadian malam itu.

Ya, malam itu adalah malam yang tak bisa di lupakan bagi Kirana sampai kapanpun. Bagaimana tidak, karena di malam itu Kirana harus kehilangan kesuciannya secara paksa. Memang sudah lama Kirana menyukai Hendrik, tetapi bukan berarti Kirana rela begitu saja jika keperawanannya di ambil sebelum mereka resmi menikah.

Malam itu, Kirana yang baru pulang dari bekerja dan sedang menunggu datangnya taksi online, tanpa sengaja ia melihat Hendrik sedang duduk di salah satu cafe dalam keadaan kepala tergeletak di atas meja.

Kirana buru-buru masuk ke dalam cafe itu dan menghampiri meja Hendrik. Saat Kirana sudah ada di sampingnya, Kirana baru sadar jika Hendrik dalam keadaan mabuk berat malam itu.

Kirana yang merasa khawatir dengan keadaan Hendrik, segera meminta tolong pada karyawan cafe untuk membantunya menuntun Hendrik masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan sebelumnya.

"Pak, antar saya ke alamat ini ya," Kirana menyerahkan kartu nama Hendrik pada pak supir.

Pak supir itu pun mengangguk dan segera mengemudikan mobilnya ke arah alamat yang di minta Kirana.

"Maaf ya, Mas. Aku sudah lancang membuka dompetmu. Tapi aku nggak ambil apapun kok. Aku hanya cari kartu namamu saja. Karena aku nggak tau kamu tinggal dimana selama ini. Sekali lagi maafkan aku ya." Kirana berucap dalam hati.

Sedangkan Hendrik yang dalam keadaan mabuk, tanpa sadar kini justru memeluk Kirana secara tiba-tiba.

Pak supir yang melihat tingkah Hendrik dari kaca spion tengah pun kini mulai bertanya-tanya.

"Itu pacarnya apa suaminya, Mbak? Kok bisa sampai mabuk berat begitu?" tanya pak supir.

"Ini teman saya, pak."

"Teman tapi mesra ya, Mbak," ledeknya lagi.

Kirana enggan menanggapi ucapan pak supir itu. Takutnya nanti pak supir itu semakin kemana-mana tanyanya.

"Ganteng banget loh Mbak temennya. Kelihatannya juga anak orang kaya ya? Kalau Mbak bisa nikah sama dia, saya jamin pasti banyak orang yang iri. Dan maaf ya, bisa aja nanti orang-orang bakal ngira kalau Mbak pakai ilmu pelet buat dapetin Mas ini," ungkapnya.

Kirana membuang muka ke arah jendela mobil. Dia berusaha mengatur nafasnya agar tidak emosi dengan ucapan pak supir barusan. Memang Kirana akui, dia tidak memiliki kecantikan seperti perempuan yang rajin melakukan perawatan. Karena Kirana terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tetapi jika ada yang mengatakan dia bisa mendapatkan lelaki seperti Hendrik dengan cara pakai ilmu pelet itu terlalu menyakitkan baginya.

"Maaf Mbak kalau ucapan saya terlalu menyakitkan. Tapi saya hanya bicara apa adanya." Pak Supir itu akhirnya menyadari jika ucapannya membuat Kirana sakit hati.

"Nggak masalah, Pak. Saya sudah biasa mendengar kalimat seperti itu."

"Coba Mbak melakukan perawatan, pasti bisa cantik seperti perempuan di luar sana," sarannya kemudian sambil tetap fokus menyetir.

"Saya nggak ada waktu, Pak. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan saya saat ini. Biarlah saya seperti ini saja, yang penting saya bahagia," sahut Kirana santai.

"Memang saya juga jatuh cinta sama lelaki ini sejak dulu, Pak. Tapi bagi saya, jika memang dia juga mencintai saya, dia pasti akan menerima semua kekurangan dan kelebihan saya."

Pak supir menganggukan kepalanya.

Beberapa saat kemudian, mobil telah sampai di depan apartmen milik Hendrik.

Tetapi Kirana tak langsung turun, dia berpikir bagaimana caranya agar dia bisa membawa Hendrik naik ke lantai atas? Sedangkan tadi di cafe dia di bantu sama karyawan disana.

"Pak, bisa minta tolong untuk mengantar saya membawanya ke kamarnya?" Lagi-lagi Kirana harus minta tolong ke orang lain untuk membantunya menuntun Hendrik.

Tanpa banyak bicara, pak supir tersebut segera turun dan membuka pintu mobil bagian tengah. Dia segera meletakkan tangan kiri Hendrik melingkar di bahunya. Sedangkan tangan kanan Hendrik melingkar di bahu Kirana.

Sesampainya di depan pintu kamar, Kirana segera merogoh kantong celana Hendrik lagi. Dia mencari kartu yang biasa Hendrik gunakan untuk membuka pintu kamar apartementnya.

"Pak, ayo bantu saya membawanya ke dalam kamar," pinta Kirana dengan nafas terengah-engah.

Setelah tubuh Hendrik berhasil di rebahkan di atas tempat tidurnya, Pak supir itupun segera pamit.

"Saya pamit ya, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf kalau ada perkataan saya tadi yang menyinggung perasaan, Mbak. Tapi tolong di pertimbangkan saran saya tadi. Percantik diri Mbak, supaya Mbak lebih di hargai sama orang lain," ucap Pak supir itu lalu ia berjalan keluar.

Degh!

"Kenapa seakan-akan Pak supir ini tau kalau selama ini hampir semua orang selalu merendahkanku? Apa karena aku yang jarang melakukan perawatan? Bahkan Sintya sahabatku sendiri, juga sering mengejekku," batin Kirana.

Kirana membalikkan badan, lalu melihat Hendrik yang sedang tertidur pulas. Dia berniat ingin memakaikan Hendrik selimut, lalu segera keluar dari apartement ini.

Namun tiba-tiba saat tangan Kirana tanpa sengaja menyengol tangan Hendrik, secara spontan ia menarik kuat tangan Kirana. Hingga Kirana terjatuh tepat di atas badan Hendrik.

"Aduh!" pekik Kirana tertahan. Karena dia tak mau suaranya menganggu Hendrik yang sedang tertidur.

"Kamu mau kemana, Sayang? Ayo kita bersenang-senang malam ini. Aku mohon kamu jangan pergi," Ucap Hendrik denga mata masih tertutup rapat.

"Mas, sepertinya kamu salah orang," Kirana berusaha melepaskan tangan Hendrik yang kini sudah menahan tubuhnya.

"Aku cinta sama kamu. Kamu mau kan menikah denganku?"

"Kamu cinta sama aku, Mas?" tanya Kirana dengan mata membulat tak percaya.

"Iya, aku cinta sama kamu. Apa kamu nggak cinta sama aku?" kali ini Hendrik mulai mencium bibir tipis Kirana secara paksa.

"Mmmmppphhhh,"

Kirana masih terus berusaha melepaskan diri dari Hendrik. Namun usahanya sia-sia, Hendrik yang dalam keadaan mabuk ternyata masih memiliki banyak tenaga untuk menahan Kirana.

"Mas, sadar! Jangan seperti ini, aku Kirana temanmu. Kita juga belum menikah, tolong jangan lakuin ini sama aku," ucap Kirana kala Hendrik sudah melepaskan ciumannya.

Bukannya sadar, Hendrik justru semakin berani melakukan hal yang tak sepantasnya malam itu.

"Aku cinta sama kamu, ayo kita bersenang-senang, Sayang!"

Hendrik segera melepas secara paksa kaos dan celana yang Kirana kenakan. Hingga Kirana kini tak memakai sehelai kainpun di tubuhnya.

Kirana segera meringkuk dan menutupi tubuhnya menggunakan bedcover. Namun lagi-lagi tenaga Hendrik mampu menarik bedcover yang menutupi tubuh Kirana.

"Mas, tolong jangan! Aku nggak mau, Mas!"

Hendrik segera menarik tubuh Kirana dan menindihnya dari atas meskipun Kirana terus saja menolak.

"Akkkkkhhhhh! Sakit, Mas!" pekik Kirana dengan deraian air mata yang sudah membasahi pipi mulusnya.

Entah sudah berapa lama Hendrik menikmati aktifitasnya itu. Berbeda dengan Kirana yang justru kesakitan akibat ulah Hendrik.

Hingga beberapa jam kemudian, Hendrik merebahkan tubuhnya di samping Kirana yang masih diam mematung sambil terus menangis.

"kamu jahat, Mas! Bagaimana kalau aku hamil nantinya?" isak Kirana yang masih di abaikan oleh Hendrik.

Dengan sekuat tenaga, Kirana mencoba untuk berdiri. Meskipun masih terasa sakit, Kirana harus bisa pergi secepatnya dari apartment ini. Namun ternyata usahanya sia-sia, Kirana yang sudah tidak berdaya kembali terduduk dan bahkan tertidur di lantai hingga keesokan paginya.

"Kamu ngapain tidur di lantai kamarku?" tanya Hendrik sambil menepuk pipi Kirana.

"Mas, tolong jangan lakuin lagi. Aku mohon sama kamu," Kirana beringsut menjauh dari Hendrik.

"Maksud kamu apa?" Hendrik mencoba memperhatikan sekitar.

Seketika matanya membulat sempurna. Ternyata dia baru menyadari hal apa yang sudah terjadi semalam antara dia dan Kirana. Ada bercak merah di sprei putihnya. Apalagi di tambah Kirana yang saat ini masih belum mengenakan pakaiannya lagi.

"Nggak mungkin! Ini pasti hanya mimpi, atau kamu sengaja menjebak aku?" tuduh Hendrik pada Kirana yang kini mulai terisak lagi.

"Jahat kamu, Mas! Semalam aku hanya berniat menolongmu yang sedang mabuk berat di cafe saja. Tetapi ternyata malah kamu ambil kesucianku secara paksa. Dan sekarang kamu malah nuduh aku sudah menjebak kamu?" tanya Kirana tak habis pikir.

"Aku akui, kalau aku memang suka sama kamu. Tapi aku nggak pernah punya niatan buat menjebak kamu dengan cara murahan seperti ini, Mas!"

"Kamu tenang aja, Mas. Aku nggak bakal nuntut kamu buat nikahin aku kalau aku nggak hamil kok! Biarlah aku simpan sendiri aib ini! Tapi jika sampai aku nanti hamil, aku akan datang lagi menemui kamu untuk minta kamu bertanggung jawab!" Lalu Kirana berusaha berdiri dan berlalu ke kamar mandi.

Sedangkan Hendrik masih terduduk di pinggir tempat tidurnya sambil meremas kasar rambutnya.

"Aku pamit, Mas. Berdoalah semoga aku nggak hamil anakmu! Jadi kita nggak perlu terikat dalam sebuah pernikahan nantinya!" Kirana berlalu keluar dari dalam kamar apartemen Hendrik.

Bab 2 Keputusan

"Sudah ingat kamu, Mas?" tanya Kirana membuyarkan lamunan Hendrik.

"Bagaimana aku bisa tau kalau itu anakku atau bukan?" sahut Hendrik santai.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat ke pipi Hendrik.

"Kamu kira aku perempuan murahan? Yang biasa tidur dengan beberapa laki-laki? Serendah itu ternyata kamu menilai aku? Aku akui, kalau aku memang miskin, dan aku juga nggak secantik perempuan di luar sana. Tapi aku punya harga diri!" cecar Kirana penuh emosi.

"Kita sudah hampir dua bulan nggak ketemu, lalu sekarang kamu tiba-tiba datang dan bilang sedang hamil anakku. Bisa aja kan selama hampir 2 bulan belakangan ini kamu juga sudah tidur dengan laki-laki lain? Lalu kamu datang padaku dengan mengatakan kalau kamu hamil anakku?" sinis Hendrik.

"Andai aku nggak hamil anak kamu, aku juga nggak mau bertemu dengan kamu! Aku datang kesini juga terpaksa! Kalau kamu masih nggak percaya jika sekarang aku hamik anak kamu, aku siap jika harus tes DNA nantinya!" bentak Kirana dengan mata melotot.

"Tapi aku nggak cinta sama kamu, Ran. Aku nggak mungkin menikah dengan perempuan yang nggak aku cinta. Sedikitpun kamu bukan tipe perempuan yang ingin aku jadikan istri," tolak Hendrik.

Degh.

Kalimat itu mampu membuat Kirana merasa terhina.

"Tapi aku sekarang sedang hamil anak kamu, Mas. Aku nggak mungkin mengugurkannya. Aku nggak mau menambah dosa lagi," bantah Kirana cepat dengan berlinang air mata.

"Beri aku waktu satu minggu. Nanti akan aku kabarin kamu lagi, bagaimana solusinya," lalu Hendrik berjalan membuka pintu apartemennya.

Kirana yang sadar telah di usir oleh Hendrik secara halus pun segera melangkah ke arah pintu.

"Aku harap kamu bisa bersikap dewasa. Aku tau kamu orang baik," ucap Kirana sebelum ia benar-benar melangkah keluar.

Di dalam kamar kos, Kirana segera merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Pikirannya kali ini benar-benar kacau.

Di satu sisi dia bahagia, karena akan menikah dengan Hendrik. Apalagi ia telah mengandung anak Hendrik. Tetapi di sisi lain, dia sedih karena ternyata Hendrik hingga kini belum juga punya perasaan yang sama dengannya.

"Perempuan seperti apa sih Mas yang bisa membuatmu jatuh cinta? Apakah aku harus merubah diriku seperti perempuan yang kamu suka itu?" Kirana berucap dalam hati.

tok

tok

tok

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kos nya.

"Sintya? Kok tumben kamu mau datang ke kos ku? Aku pikir kamu sudah nggak mau datang lagi kesini," ujar Kirana lalu mempersilahkan Sintya masuk.

"Iya terpaksa, karena ada sesuatu yang mau aku tanyakan."

"Kok nggak lewat pesan singkat aja, Sin? Kan biasanya jam segini kamu selalu sibuk kerja di toko papamu?"

"Apa benar kamu sekarang sedang hamil anaknya Mas Hendrik?" tanya Sintya dengan tatapan tak suka.

"Kamu tau darimana? Kok kamu bisa kenal sama Mas Hendrik juga?" Kirana justru bertanya balik. Karena selama ini yang Kirana tau, Sintya dan Hendrik tak saling kenal. Bahkan berita soal kehamilannya pun ia belum memberitahu siapa-siapa selain Hendrik.

"Jawab aja pertanyaanku, Ran!" kali ini Sintya berbicara dengan lantang.

"Iya, aku hamil anak Mas Hendrik," sahut Kirana pasrah. "Tapi kamu tau ini semua dari mana, Sin? Kamu juga kenal dengan Mas Hendrik?" tanya Kirana penasaran.

"Aku dan Mas Hendrik adalah sepasang kekasih! Tapi justru kamu menghancurkan hubungan kami saat ini, Ran!" teriak Sintya sambil mendorong tubuh Kirana.

"APA?" mata Kirana membulat sempurna.

"Sejak kapan kalian menjadi sepasang kekasih? Kenapa kamu nggak cerita sama aku, Sin? Kita sudah lama bersahabat, tapi kamu malah menyembunyikan soal ini?" cecar Kirana.

"Aku tau Ran kalau kamu juga suka sama Mas Hendrik. Makanya aku nggak kasih tau kamu kalau kita sudah pacaran. Itu semua demi menjaga perasaanmu. Tapi tadi Mas Hendrik ngabarin aku kalau kamu datang ke apartemennya dan mengaku telah hamil anaknya."

"Aku minta sekarang lebih baik kamu gugurkan kandunganmu itu. Aku bakal beri apapun yang kamu mau, asal jangan rebut Mas Hendrik dariku!" sambung Sintya lagi.

"Sin, bukannya aku nggak menghargai kamu. Tapi tolong posisikan jika kamu saat ini ada di posisiku. Apakah kamu tega jika harus membunuh janin yang tak berdosa?" isak Kirana sambil memegang perutnya.

"Persetan dengan janin itu! Kalau kamu masih ngotot mau mempertahankan janin itu, jangan salahkan aku jika nanti rumah tanggamu dengan Mas Hendrik berantakan! Karena kalian menikah bukan atas dasar saling cinta!"

"Tega kamu, Sin. Aku juga nggak mau kok Sin merebut Mas Hendrik dari kamu. Apalagi kamu adalah sahabatku."

"Kalau kamu anggep aku sahabat, gugurin janin itu. Ayo aku antar kamu cari tukang urut yang bisa bantu kamu buat gugurin kandungan!" Sintya menarik kasar tangan Kirana.

Dengan cepat Kirana segerw menepis tangan Sintya.

"Aku nggak mau, Sin! Aku tetap mau mempertahankan janin ini. Lagipula kemana kamu saat itu? Andai yang menolong Mas Hendrik malam itu adalah kamu, aku nggak bakal ganggu hubungan kalian."

"Bukan urusan kamu malam itu aku kemana!"

"Okeh, berarti mulai sekarang kita sudah bukan sahabat lagi! Dan ingat janjiku, aku bakal rusak rumah tanggamu nanti! Karena Mas Hendrik hanya cinta sama aku!" imbuh Sintya sebelum ia keluar dari kamar kos Kirana.

"Ya Tuhan, ternyata selama ini Mas Hendrik mencintai sahabatku sendiri. Tapi kenapa di antara mereka tak ada yang memberitahuku?" ratap Kirana.

Satu minggu kemudian, sesuai dengan janjinya, Hendrik kembali menghubungi Kirana.

[Temui aku di cafe yang dekat dengan tempat kerjamu sekarang juga.] pesan dari Hendrik.

[Baik.] balas Kirana.

Kebetulan hari ini adalah hari libur kerja, jadi Kirana punya banyak waktu.

Cukup menempuh perjalanan selama lima belas menit, Kirana akhirnya sampai di cafe yang Hendrik maksud. Kirana segera membuka pintu cafe dan mencari keberadaan Hendrik. Ternyata disana Hendrik telah menunggunya sambil memainkan ponsel.

"Maaf kalau sudah menunggu lama," Kirana berbasa-basi.

"Duduklah!" Hendrik menunjuk kursi yang ada di hadapannya.

"Aku sudah ambil keputusan, kita akan menikah secepatnya. Karena kedua orangtuaku pun sudah lama menginginkan aku menikah dan segera memiliki anak. Tapi dengan syarat, ...." Hendrik tak melanjutkan kalimatnya.

"Syarat? Apakah harus ada syarat itu?" Kirana mengerutkan keningnya.

"Ya! Itupun jika kamu mau aku bertanggung jawab atas kehamilanmu itu," sahut Hendrik dengan wajah datar.

"Apa itu syaratnya?" tantang Kirana.

"Setelah anak itu lahir, aku mau kamu melakukan tes DNA. Jika hasilnya tidak cocok maka aku akan ceraikan kamu. Tapi jika hasilnya cocok, maka aku akan siap menerima kalian berdua meskipun aku nggak pernah cinta sedikitpun sama kamu."

"Aku setuju." Kirana yakin jika hasilnya nanti pasti akan cocok. Dan Kirana juga yakin jika suatu saat nanti Hendrik akan mencintainya.

Seperti pepatah jawa yang mengatakan cinta karena terbiasa bersama.

"Mas, boleh aku tanya sesuatu?"

Hendrik menganggukan kepala.

"Apakah kamu dan Sintya ada hubungan?" tanya Kirana hati-hati.

"Nggak ada. Kita hanya sebatas teman, sama seperti aku dan kamu."

"Tapi kenapa Sintya bilang kalau kalian ada hubungan spesial? Bahkan dia juga memintaku untuk mengugurkan kandungan ini." sahut Kirana.

"Aku dan Sintya nggak akan pernah bisa bersatu sampai kapanpun."

"Jadi, ...."

"Sintya bohong sama kamu. Memang beberapa bulan lalu dia pernah menyatakan cintanya padaku. Tapi aku tolak, karena dia juga bukan tipeku."

"Kamu kenal Sintya darimana?"

"Sepertinya pertanyaanmu itu nggak terlalu penting buat di tanyakan."

Kirana memilih diam setelahnya. Karena memang benar yang Hendrik katakan barusan.

"Baiklah, karena semua sudah jelas. Aku mau menghubungi kedua orangtuaku dulu. Lusa kita bahas lagi masalah pernikahan kita," lalu Hendrik bangkit dari kursinya meninggalkan Kirana yang masih duduk disana.

Namun saat Kirana akan berdiri juga, tiba-tiba ada yang menahan bahunya untuk tetap duduk di kursinya.

Bab 3 Tidak Setuju.

"Mas, Johan? Kok ada disini?" tanya Kirana gugup dan mata membulat.

"Harusnya aku yang tanya kamu ngapain disini?" selidik Johan, kakak Kirana.

"Aku ... aku habis bertemu sama teman tadi, Mas."

"laki-laki yang barusan keluar tadi itu temanmu?" Johan menunjuk ke arah pintu.

Kirana menganggukan kepala.

"Tadi Sintya telpon. Dia ngasih tau sesuatu tentang kamu," Johan menatap tajam ke arah Kirana.

Degh.

"Maafkan aku, Mas. Itu semua murni kecelakaan," jawab Kirana masih terus menundukkan wajahnya.

"Kenapa kamu nggak cerita sama aku, Ran? Aku ini kakakmu satu-satunya disini. Kenapa aku harus tau kabar buruk ini dari orang lain? Apalagi Sintya bilang kalau laki-laki itu adalah kekasihnya," sesal Johan.

"Aku takut membuatmu kecewa, Mas. Dan aku juga nggak mau merepotkan Mas Johan. Kalau soal laki-laki itu siapanya Sintya, aku nggak tau menau sebelumnya. Karena yang aku tau mereka nggak saling kenal. Tapi kapan hari Sintya bilang juga ke aku kalau Mas Hendrik itu kekasihnya. Sedangkan tadi aku tanya langsung ke Mas Hendrik, katanya Sintya itu hanya teman biasa. Entahlah mana yang benar dan mana yang salah," tutur Kirana sambil mengangkat bahunya.

"Bodoh! Kamu pikir dengan kamu merahasiakan semua ini dari aku, kamu nggak bikin aku sedih?" sinisnya.

"Terus apa laki-laki itu mau tanggung jawab?" sambungnya lagi.

"Iya, Mas. Kita akan menikah secepatnya. Aku harap Mas Johan merestui kami. Meskipun kami menikah karena kecelakaan seperti ini," pinta Kirana.

"Aku mau bertemu dengannya dulu. Aku ingin lihat seperti apa sikap dia sama kamu. Bilang sama dia aku tunggu disini sekarang juga," titah Johan.

"Dia baru saja pulang, Mas. Bagaimana kalau lusa aja? Kebetulan lusa kami akan bertemu lagi dan membahas rencana pernikahan kita."

"Baiklah." lalu Johan mengajak Kirana untuk segera pulang.

*****

Dua hari kemudian, Kirana kembali bertemu dengan Hendrik. Tapi kali ini Kirana mengajak Johan juga.

Melihat Kirana yang datang berdua dengan laki-laki lain, membuat Hendrik menatap heran ke arah mereka.

"Maaf, Mas aku nggak datang sendiri kali ini. Kenalkan ini kakakku," ujar Kirana sambil menunjuk ke arah Johan.

"Oh, salam kenal, Mas. Saya Hendrik, temannya Kirana." Hendrik mengulurkan tangannya sembari berdiri dari kursinya.

Hendrik benar-benar tak tahu tentang latar belakang Kirana. Karena selama ini Hendrik hanya tau Kirana bekerja di salah satu swalayan yang ada di dekat restoran miliknya.

Lalu mereka berkenalan karena Kirana sering di suruh oleh bos nya untuk membeli makan di restoran milik Hendrik. Awalnya Hendrik sempat sedikit kagum dengan Kirana karena Kirana seorang yang pekerja keras dan mandiri. Tapi untuk rasa cinta memang nggak ada sama sekali.

Berbeda dengan Kirana yang dari awal sudah ada rasa tertarik dengan Hendrik. Tapi selalu di pendamnya seorang diri.

"Teman?" tanya Johan dengan raut wajah tak suka.

"Ca-calon suami Kirana maksud saya, Mas," mendapat tatapan tak suka membuat Hendrik menjadi gugup seketika.

Lalu mereka bertiga duduk dikursi masing-masing.

"Silahkan pesan minum dulu, Mas. Biar enak kita ngobrolnya nanti," tawar Hendrik dengan sangat ramah.

"Cuiih, kemarin waktu ketemuan sama aku aja, aku nggak di tawarin minum sama sekali. Sekarang giliran ada Mas Johan, kita di minta pesen minum dulu. Pinter juga aktingnya di depan Mas Johan. Atau jangan-jangan dia bersikap seperti ini lantaran takut sama penampilan Mas Johan?

Memang kalau dilihat secara fisik, Mas Johan penampilannya seperti seorang preman. Tapi sebenarnya hatinya lembut banget seperti softcake," Kirana berucap dalam hati, tapi sambil senyum-senyum sendiri.

"Kamu mau pesan minum atau makan apa, Ran?" kali ini Hendrik menawari Kirana dengan sangat ramah.

"Aku pesen minum aja, Mas. Tadi sebelum kesini sudah makan kok di kos," tolak Kirana.

"Loh, kita harus pesan makan yang banyak dong hari ini. Apalagi kamu kan lagi hamil muda, jadi harus pesan makanan yang banyak dan bergizi," celetuk Johan sambil melirik ke arah Hendrik.

"Oh, iya betul itu, Ran. Kamu harus makan yang banyak dan bergizi," sahut Hendrik sambil menyodorkan buku menu. "Ayo kamu pilih-pilih aja mana yang kamu suka. Biar kita enak nanti ngobrolnya," imbuhnya lagi.

Setelah puas memilih menu makanan dan minuman, sekarang mereka tinggal menunggu pesanan mereka datang.

"Jadi kapan rencananya kalian akan menikah?" tanya Johan.

"Secepatnya, Mas. Tapi kedua orangtuaku nggak bisa datang nanti. Karena sibuk mengurus rumah makan yang ada di Jakarta," jawab Hendrik.

"Terus siapa nanti yang jadi wali dan saksi kamu?" Kirana mengerutkan dahinya bingung.

"Ada adikku nanti yang datang kesini. Jadi kamu tenang aja."

"Terus soal biaya pernikahan bagaimana?" Johan bertanya lagi.

"Semua biaya nanti saya yang tanggung, Mas. Kalian nggak perlu memikirkan soal biaya lagi. Oh iya, kita nikahnya di gereja aja ya. Jadi nggak perlu sewa gedung. Kan yang penting kita sah jadi suami istri."

"Terserah kamu aja lah, Mas!" jawab Kirana sedikit jutek.

Padahal kalaupun harus ada pesta, Kirana siap untuk mengeluarkan uang juga. Tapi ternyata Hendrik memang tak mau acara nikahnya di buat pesta.

"Lusa kita daftar bimbingan pranikah ya, Ran," ajak Hendrik.

"Tapi bimbingan pranikah kan butuh waktu sekitar tiga bulan? keburu perutku membesar nanti, Mas."

"Nanti kita minta di percepat. Pasti bisa kalau kita jujur tentang keadaan kamu saat ini," ucap Hendrik yakin.

"Ya sudah kalau gitu kita nikah di gereja tempat aku ibadah aja," pinta Kirana dengan wajah masih cemberut.

"Iya lah, kan aku selama ini memang nggak pernah ibadah di gereja. Males gitu," sahut Hendrik santai.

Sontak Johan dan Kirana saling adu pandang. Mereka berdua sama-sama kaget dengan pernyataan Hendrik barusan.

Beberapa menit kemudian semua makanan yang di pesan oleh Johan telah datang. Hendrik membeliakkan matanya, karena saking banyaknya makanan yang di pesan oleh Johan.

"M-mas, pesen makanan sebanyak ini untuk kita bertiga?" tanya Johan terbata sembari memperhatikan para pelayan menata piring-piring berisi makanan ke atas meja.

"Iya, apa ada yang kurang? Kalau ....,"

"Cukup, Mas. Ini sudah lebih dari cukup kok," potong Hendrik segera.

Johan tertawa puas dalam hati. Memang Johan sengaja memesan banyak makanan dan tidak akan menghabiskannya nanti. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Hendrik ketika calon istrinya bersikap boros dan membuang-buang makanan seperti ini.

"Sepertinya aku sudah tidak lapar lagi sekarang," seloroh Johan ketika baru menyendokkan beberapa suap nasi goreng seafood ke dalam mulutnya.

"Tapi ini masih banyak, Mas. Ayo di habiskan aja," bisik Kirana merasa tak enak pada Hendrik.

Johan menatap ke arah Hendrik, "Maaf ya, makanannya jadi mubadzir deh," ucap Johan dengan wajah di buat sesedih mungkin.

"Nggak apa, Mas. Kita bisa bungkus kok makanannya nanti." sahut Hendrik berusaha tetap ramah di depan Johan.

"Tapi seharusnya tadi jangan pesan terlalu banyak begini juga," gerutu Hendrik, namun Johan tetap bisa mendengarnya.

"Kamu bilang apa barusan? Coba kalau ngomong jangan terlalu pelan begitu," tanya Johan pura-pura tak dengar.

"Nggak ada kok, Mas. Mungkin Mas Johan aja yang salah dengar," jawab Hendrik kikuk.

"Mas, Ran, sepertinya pertemuan kita hari ini sudah cukup. Aku sekarang mau pamit dulu ya, soalnya tadi karyawan di rumah makan sudah meminta saya untuk datang kesana," pamit Hendrik lalu ia berdiri dari kursinya.

"Untuk makanannya sudah aku bayar semua, dan sudah aku minta untuk sisanya bisa di bungkus aja," sambungnya lagi.

Johan dan Kirana sama-sama menganggukan kepala. Lalu Hendrik melangkah ke arah pintu.

"Aku nggak setuju kalau kamu nikah sama dia, Ran!" seru Johan dengan wajah marah.

"Tapi kenapa, Mas? Bukannya tadi dia terlihat baik dan sopan? Dan kemarin Mas juga berharap agar Mas Hendrik mau tanggung jawab atas kehamilanku. Tapi kenapa sekarang Mas Johan berubah pikiran jafi nggak setuju?" bantah Kirana merasa heran dengan keputusan Johan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!