Cuaca dingin di kota New york benar-benar membuat para warga terjerembap, tak kuasa menahan dinginnya udara yang menusuk hingga ke tulang. Tidak ada salju lebat memang, tetapi udara dingin yang diperparah dengan angin kencang, cukup membuat banyak orang yang melakukan aktivitas di luar rumah memakai pakaian tebal bahkan berlapis-lapis.
Namun, berbeda dengan seorang perempuan yang berjalan di tengah udara dingin itu. Dia hanya berbalutkan sehelai kemeja, jaket tebal dan rok hitam selutut yang melekat sempurna di tubuh mungilnya. Udara dingin yang menghantam betis telanjangnya tidak membuat dirinya untuk berhenti, ia masih tetap berjalan melewati blok demi blok dengan derap langkah yang pelan dan santai, membelah udara dingin yang membuat mulutnya berasap setiap embusan napas. Sesekali wanita itu berusaha mempererat sweater rajut yang dia kenakan.
Langkahnya terhenti ketika dia sudah sampai di depan sebuah kedai bunga. Sekali lagi, wanita itu melepas napas dengan pelan, lalu berderap memasuki kedai sederhana tersebut.
"Hai, Star. Kali ini masih seperti biasanya?" sapa sang pemilik kedai bunga setelah menyambut kedatangannya dengan senyuman hangat.
Wanita yang bernama Starla dan akrab dipanggil Star itu tersenyum manis seraya mengangguk ringan. Dia memang sudah sangat sering ke kedai bunga itu, sehingga ia tak perlu repot-repot lagi memesan bunga apa yang ia inginkan. Karena pemilik toko bunga ini sudah tahu betul apa keinginannya.
"Kau terlambat kali ini?"
Sang pemilik toko bunga bertanya sembari menyiapkan buket bunga untuk pelanggan setia yang sudah satu bulan ini hampir setiap hari berturut-turut mendatangi toko bunganya itu.
Starla mendesah pelan dan mengangguk singkat seraya menjawab, "Ya, aku baru pulang kerja."
Gadis pemilik toko mengedarkan pandangan, layaknya tengah mencari seseorang, membuat Starla mengernyit ketika melihat iris hijau itu bergerak.
"Di mana kekasihmu? Tidak biasanya dia tidak menemanimu ke sini?"
Kernyitan di dahi Starla semakin dalam saat mendengar pertanyaan yang gadis itu ajukan.
Kekasih?
Di detik kemudian, akhirnya Starla mengerti maksud gadis itu mengenai tentang kekasihnya.
"Oh itu, aku yang memintanya untuk tidak menemaniku hari ini. Dia cukup sibuk di kantor, dan aku tidak ingin mengganggunya," jelasnya kemudian pada gadis muda pemilik toko bunga tersebut. "Ah iya ... pria itu atasanku, bukan kekasih," lanjutnya kemudian membuat gadis tersebut hanya mengangguk, mengerti.
Starla sedikit tersenyum kikuk ketika bibirnya menyebutkan kata 'kekasih' tadi.
Sambil merangkai pesanan bunga Starla, gadis itu kembali bersuara. "Di luar sangat dingin. Kenapa kau malah berpakaian seperti itu?"
Starla terkekeh. "Aku bahkan tidak memikirkan dinginnya udara di luar sana, yang aku pikirkan hanya segera mengunjungi mereka."
Jawaban itu sukses membuat gadis pemilik toko bunga tercengang, senyum yang sejak tadi terulas di bibirnya perlahan menghilang ketika pandangannya jatuh tepat pada wajah lelah Starla. Sorot mata gadis itu selalu memancarkan kesedihan, membuat ekspresinya tampak seperti seseorang yang kehilangan semangat hidup. Semenjak satu bulan yang lalu, saat pertama melihat kedatangan wanita itu untuk pertama kalinya. Sorot mata yang dimilikinya selalu memancarkan kekosongan, benar-benar terlihat seperti menanggung sebuah beban hidup yang sangat besar.
"Yap! Dua buket bunga mawar putih sudah siap."
Suara gadis cantik pemilik toko bunga itu membuyarkan lamunan Starla. Dia lalu menoleh ke arah gadis yang entah sudah sejak kapan berdiri di sampingnya itu.
"Ah ya. Thank you, Mya," ucapnya dengan lirih sambil menerima buket bunga yang telah diserahkan oleh Mia. Senyum tulusnya tak pernah lepas setiap kali dia berbicara.
Mya lalu memeluknya. "Sampaikan salamku pada mereka."
Starla mengangguk. "Pasti, akan aku sampaikan kepada mereka. Terima kasih sekali lagi, Mya," katanya, yang membuat Mia mengangguk ringan, kemudian melepas pelukannya.
Starla kemudian melanjutkan perjalanan. Raut wajah yang terlihat lelah sama sekali tidak membuatnya mundur. Ia tetap melangkah mantap dengan dua buket bunga di kedua rengkuhan tangannya. Menembus udara dingin yang sangat mencekam.
Setelah hampir lima belas menit menempuh perjalanan, menyusuri trotoar yang sudah dilapisi salju yang tipis. Wanita yang bernama Starla itu akhirnya tiba di tempat tujuan utama. Dia berjalan menyusuri gundukan-gundukan tanah yang berwarna hijau bahkan masih ada yang terlihat baru dengan taburan bunga di atasnya. Sampai kemudian dia sampai di tempat yang sangat dia rindukan, Starla berdiri tegak di antara dua gundukan rumput nyaris hijau dan batu nisan yang nyaris rata dengan gundukan tersebut.
Starla menarik napas perlahan. "Maaf, aku datang terlambat kali ini!"
"Bagaimana kabar kalian?" lirihnya dan melirik kedua batu nisan itu secara bergantian.
"Keponakanku? Apa dia baik-baik saja?"
Hening.
Dengan perlahan, wanita cantik itu berjongkok lalu meletakkan buket bunga di atas makam dengan nama Arlan Jhonson di batu nisannya. Penglihatannya buram akibat air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
" Arlan, kau menjaga mereka dengan baik, bukan?" tanya Starla dengan suara bergetar.
Lalu setetes air mata itu mengalir membasahi kedua pipinya. Dengan bibir yang bergetar menahan isakan, Starla kembali berujar dengan suara parau. "Apa kau tahu, Arlan? Aku sangat merindukanmu. Aku merindukan kalian. Sangat-sangat merindukan kalian semua."
Kembali hening.
Starla menyeka air matanya, lalu menoleh ke arah sebuah makam yang serupa dengan milik Arlan. "Hai, Gabriella," sapanya lembut. Bibirnya mengulum senyum ketika ia melihat sebuket bunga di atas makam itu. "Apa dia baru saja mengunjungimu? Bunganya terlihat jauh lebih segar dan besar. Kau pasti suka, bukan?"
"Ah iya, ini juga untukmu, dariku. Mawar putih seperti biasanya."
Starla lalu meletakkan buket bunga yang tadi dibeli—tepat di samping buket bunga yang besar itu.
"Aku merindukanmu, Gaby. Kau tahu, aku tidak bisa menemukan sahabat seperti dirimu lagi. Aku tidak punya tempat lagi untuk berkeluh kesah, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini."
Starla tergugu di atas gundukan tanah itu. Air matanya semakin deras berjatuhan. "Kau tahu bahwa aku menyayanginya. Aku ingin kau menjaga Arlan untukku. Bisakah?"
Hening.
Terdiam cukup lama dan hanya air mata yang tak pernah berhenti mengalir, Starla kembali membuka suara. "Aku merindukan kalian. Apa kalian mendengarku?"
"Aku merindukan kalian. Aku butuh kalian. Aku kesepian sendiri di sini."
"Aku merindukan kalian semua!"
Perempuan cantik itu kembali mengulang ucapannya ketika keheningan tersebut masih terus mengerubungi sekitarnya. Berharap bahwa mereka yang sebenarnya sudah tidak ada, dapat mendengar lirihan pedih yang baru saja dia lontarkan.
Mungkin, siapa pun yang mendengar atau melihat Starla seperti saat ini, mereka mungkin saja akan beranggapan bahwa dia adalah wanita gila yang berbicara tanpa henti di depan sebuah makam. Akan tetapi, sungguh, pernyataan yang barusan dia lontarkan itu benar-benar berasal dari relung hatinya.
Sejak kematian Arlan sekitar satu bulan yang lalu, wanita itu memang setiap hari mengunjungi makam, tak pernah sehari pun dia tidak hadir. Namun, entah mengapa, tangisan dan kesedihan yang Starla rasakan itu benar-benar tidak bisa menghilang.
Starla sangat terpukul atas kematian Arlan, kakaknya, keluarga satu-satunya yang dia miliki di dunia ini.
“Ada yang ingin bertemu denganmu, Riana!”
Wanita yang dipanggil Riana itu segera menoleh saat mendengar namanya dipanggil, dan ia mendapati Zoe di sana—partner kerjanya.
Riana yang tengah bersiap-siap kini menjawab ucapan dari temannya itu. “Siapa?” tanyanya dengan kening berkerut.
Dia tahu, mereka berdua adalah primadona yang paling banyak dicari dan di sukai karena skilnya di club malam terkenal ini. Oleh karena itu, tidak heran lagi jika Riana tahu ada yang mencarinya padahal dia baru saja akan kembali memulai bekerja.
Wanita bernama Zoe itu hanya mengedipkan matanya. “Kau pasti tahulah, Riana. Siapa lagi yang repot-repot mencarimu meski tahu sudah ada banyak wanita cantik dan seksi yang berjejer siap melayaninya.”
Tanpa dijelaskan lebih inci lagi, Riana langsung tahu siapa ‘tamu' yang dimaksud oleh Zoe tersebut. Dengan perasaan bahagia dan aura yang berbinar Riana langsung mengulas senyum lebar.
“Aku akan segera menemuinya, Zoe!” balas Riana dengan sumringah.
Sudah berapa hari ‘tamu' kesayangannya utu memang absen untuk berkunjung ke sini dan tentu saja Riana merindukannya. Pria berduit itu tergolong sangat royal, terlebih lagi kepada Riana yang kata banyak orang wanita kesayangan dari pria tersebut.
Meskipun begitu, sampai sekarang Riana belum juga berhasil menarik pria itu naik ke atas ranjangnya. Entah ada alasan apa yang membuat pria itu sangat anti dengan dirinya maupun wanita lainnya, dia hanya akan datang untuk minum-minum tanpa kegiatan lainnya.
Walaupun begitu, Riana tetap bahagia melayani pria itu. Di samping wajahnya yang sangat tampan, dia juga adalah pria royal yang tidak tanggung-tanggung mengeluarkan uang untuk Riana yang hanya wanita malam di club malam tersebut.
Dan dengan perasaan bangga dia akan menemui pria itu dan kembali melayaninya, meskipun bukan layanan di atas ranjang seperti pria-pria hidung belang lainnya.
“Di di ruangan mana?” tanya Riana kembali kepada Zoe.
“VIP 1. Cepatlah, jangan sampai dia kembali mengamuk karena menunggumu terlalu lama!” perintah Zoe dengan tegas.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Riana segera bergegas dari sana. “Doakan aku agar berhasil menariknya ke ranjang malam ini, Zoe!” ucap Riana diselingi dengan senyum lebar.
Zoe hanya mendengkus. “Jangan terlalu percaya diri! Dia tidak mempan dengan godaan wanita-wanita seperti kita.”
“Jangan salah, Zoe. Bisa saja malam ini adalah malam keberuntunganku.”
Setelah mengatakan kalimat itu, tanpa menunggu tanggapan dari Zoe, Riana segera bergegas dari sana untuk menemui pria yang katanya sudah menunggunya itu sebelum mengamuk karena kelamaan menunggu.
Ah, semoga saja malam ini adalah malam keberuntungannya!
****
Saat membuka pintu megah VIP itu, Riana langsung di sambut dengan tatapan tajam dari pria yang duduk di tengah-tengah sofa dengan satu tangan yang memegang gelas berisi cairan kekuningan. Di sekitarnya berjejer pria berseragam hitam, bodyguard yang siap sedia di samping tuannya.
Riana terkadang masih bergidik ketakutan mendapati banyaknya pria-pria sangar di sana. Seakan siap melahapnya habis-habisan kalau sedikit saja ada yang lecet pada tubuh bosnya tersebut. Benar-benar mengerikan!
Mengabaikan pikiran-pikiran anehnya, Riana langsung mengulas senyum ke arah pria itu. “Hallo, Tuan Skylar—“
Riana sudah bersiap akan bergelayut di lengan pria itu dan menciumnya habis-habisan, namun salah satu pria berseragam hitam itu menghalangi niatannya. Sialan!
Hingga kemudian suara baritone itu terdengar di ruangan yang sunyi itu. “Duduk di sana, Riana!” perintahnya untuk segera duduk tidak jauh dari sampingnya.
Hmm ... typical bossy sekali. Entah apa yang membuat para wanita seakan bertekuk lutut pada pria itu. Padahal bisa dibilang dia sangat cuek dan sangat menakutkan. Bahkan Riana yakin belum ada yang berhasil menyentuh pria itu dengan baik, paling jauh skinship yang pernah Riana lakukan hanyalah menyentuh wajahnya. Hanya itu, tidak lebih!
“Ariana, kau mengenal Starla, bukan?” suara baritone itu kembali terdengar memecah kesunyian.
Mendengar nama lengkap diucap dengan baik oleh pria itu membuatnya terkejut. Pasalnya tidak ada yang mengetahui namanya di tempat ini, apalagi para kliennya. Terlebih lagi pria itu juga tahu siapa Starla itu. Oh Tuhan! Apa dia tengah diselidiki?
“Apa yang ingin Anda ketahui dari perempuan itu, Tuan?” tanya Riana dengan sedikit rasa penasaran.
Starla adalah temannya di perusahaan tempatnya bekerja di siang hari. Pekerjaan normalnya yang hanya beberapa orang yang tahu. Tetapi apa yang membuat pria di hadapannya ini mempertanyakan perempuan itu?
“Bawa dia ke sini untukku besok, Riana!” perintah Skylar tanpa berbasa-basi.
Riana mengerutkan keningnya. “Dan untuk apa aku membawa wanita polos itu ke sini?”
“Lakukan saja perintahku, Riana! Dan jika kau berhasil aku akan memberikan apa pun yang kau minta!”
Kedua mata Riana langsung membelalak sempurna. “Apa pun?”
Riana tidak lagi memperdulikan alasan apa yang membuat seorang Skylar sampai ingin bertemu dengan Starla si wanita polos itu. Dia hanya tertarik dengan janji yang akan diberikan oleh pria itu.
“Iya, apa pun yang kau inginkan, Riana!”
Riana langsung berdiri dan berpindah ke samping pria itu. Para bodyguard dengan sigap bersiap menghalangi, tetapi dengan satu anggukan dari sang bos para bodyguard itu kembali mundur dengan teratur.
“Jika kau berhasil mempertemukanku esok hari di sini, maka apa pun yang kau inginkan akan aku berikan, Riana!”
Skylar kembali melanjutkan kalimatnya, dan dia tahu bagaimana serakahnya seorang Riana. Dengan segepok uang, dia sudah pasti akan membawa mangsa yang dimintanya tersebut.
“Tetapi untuk kali ini aku tidak meminta uang, Tuan. Tetapi ada sesuatu yang sangat aku inginkan darimu, Tuan Skylar,” ucap Riana dengan nada menggoda, sembari mengedipkan satu matanya ke arah Skylar.
Skylar terkejut, pasalnya ia tidak menyangka seorang Riana tidak lagi butuh uang darinya. Lalu apa yang dibutuhkan kali ini?
“Jadi, apa yang kau inginkan dariku, huh?” tanya Skylar dengan nada penuh penekanan.
“Easy, boy!” Tangan-tangan lentik Riana yang bercat kuku berwarna merah kini bergerilya di dada bidang Skylar dengan menggoda. “Tidur denganku, bagaimana?”
Skylar terdiam, tidak menyangka bahwa hal itulah yang sekarang Riana minta darinya. Sungguh, Skylar sangat menjaga tubuhnya dari wanita-wanita sejenis Riana ini. Dia hanya menyerahkan tubuhnya pada wanita-wanita anggung yang memang diinginkannya.
Akan tetapi, Skyalar tahu jika tidak menyetujui permintaan wanita itu maka dia tidak akan ada kesempatan untuk menemui Starla dan itu tidak boleh terjadi.
“Baiklah, bawa wanita itu dan aku akan tidur denganmu malam ini!”
Kedua bola mata Riana membelalak sempurna, dia tidak menyangka akan semudah ini untuk menarik seorang Skylar ke atas ranjangnya. Astaga! Sepertinya hari ini ini adalah hari keberuntungan untuk seorang Riana.
“Oke, deal! Aku akan memastikan Starla ada di sini esok hari dan aku akan tidur dengan Anda,” ucap Riana dengan penuh kebanggaan.
Skylar menyodorkan satu tangannya untuk menjabat tangan Riana. “Deal!”
Riana tersenyum lebar, tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan jackpot tiada terkira malam ini. Ah, dia tidak sabar melihat performa seorang Skylar di atas ranjang. Riana benar-benar sudah tidak sabar akan hal itu.
"Please ... bantu aku, Star!"
Sejak tadi temannya ini terus menerus memohon meminta bantuan kepadanya. Starla sudah pasti akan membantu seandainya bukan sesuatu yang mustahil yang diminta oleh wanita itu. Tempat itu adalah tempat yang terlarang bagi Starla dan ia sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa dia tidak akan menginjakkan kakinya di tempat tersebut.
Dan memang benar, di usianya sekarang, dua puluh lima tahun ia memang tidak pernah menginjakkan kaki di tempat tersebut. Arlan dahulu begitu menjaganya dan mengharamkan tempat itu untuknya, dan sampai sekarang ia tentu saja masih mengingat larangan kakaknya itu. Oleh karena itu, sampai kapan pun dia tidak bisa melakukan permintaan Ariana.
"Aku tidak bisa, Ari. Maaf, ya!" ucap Starla sambil melanjutkan pekerjaannya.
Ariana masih keukeuh membujuk Starla untuk membantunya. Wanita itu adalah teman satu-satunya dan hanya wanita itu yang dapat membantunya.
"Aku mohon, Star. Kalau aku absen malam ini, gaji aku akan ditahan dan kamu tahu apa yang akan terjadi, aku tidak bisa membayar operasi ibuku."
Starla menoleh ke arah temannya yang bernama Ariana itu, seorang wanita yang satu-satunya mau berteman dengannya di tempat kerjanya. Seorang wanita berkacamata tebal, dengan dandanan yang lebih ke perempuan cupu. Tetapi tidak ada yang tahu dibalik dandanannya itu, dia akan berubah menjadi wanita menggoda jika malam tiba, semua itu karena tuntutan pekerjaan.
Ariana pernah bercerita kalau ibunya punya penyakit jantung yang harus secepatnya di operasi, oleh karena itu Ariana bekerja banting tulang untuk mencari biaya untuk operasi ibunya. setahu Starla, Ariana itu juga bekerja saat malam setelah pulang dari kantor. Tetapi dia sama sekali tidak tahu pekerjaan apa yang digelutinya dan baru ketahuan sekarang.
"Di sana ada temanku yang bakal menjagamu. Kamu hanya sebagai waitress di sana, menggantikan aku untuk malam ini saja. Ibuku meminta untuk menemaninya malam ini, dan aku tidak bisa lagi berbohong untuk menolaknya."
Starla dibuat tidak bisa berkata-kata lagi. Dia dilema. Satu sisi dia kasihan dengan Ariana, apalagi wanita itu memohon-mohon padanya. Tetapi di satu sisi Starla tidak terbiasa ke tempat itu. Dia ketakutan.
Demi Tuhan! Pekerjaan yang dimaksud oleh Ariana adalah waitress di club malam terkenal di kota ini. Seandainya hanya menjadi waitress biasa di cafe atau pun restoran, di kalimat pertama Ariana meminta dia akan langsung mengiyakan. Tetapi ini club. Tempat yang tidak pernah Starla datangi dan tidak akan pernah dia datangi.
"Tetapi ini club, Ari. Tempat yang tidak bisa aku datangi. Kau minta sama yang lain saja, ya!" lirih Starla dengan perasaan tidak enak telah menolak permintaan Ariana.
Ariana menunduk murung. "Ya sudah kalau kau tidak bisa. Sepertinya aku harus merelakan bulan ini ibuku tidak di operasi. Mungkin nanti bulan depan aku masih bisa kerja mati-matian untuk mendapatkan uang operasi untuk ibuku."
Mata yang telah mengeluarkan air mata itu seketika membuat Starla merasa bersalah. "Ari, jangan menangis!"
"Bagaimana aku tidak menangis, Star. Aku tidak bisa membayangkan ibuku akan terus-terusan terbujur kesakitan di atas ranjang rumah sakit. Ibuku sangat ingin sembuh, tetapi aku belum bisa mengabulkannya."
Starla semakin dibuat kebingungan. Bagaimana mungkin dia akan setega itu menolak permintaan seseorang yang begitu baik padanya selama ini. Satu-satunya orang yang mau mengajaknya berbicara, di saat yang lain menghindarinya entah karena apa.
Lagian kata wanita itu hanya menjadi waitress biasa, hanya menghidangkan beberapa minuman pada tamu dan selesai. Kata Ariana juga, dia punya teman di sana yang akan menjaganya. Starla hanya harus meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Starla menghela napas dengan berat. "Baiklah, Ari. Aku akan membantumu, tetapi hanya untuk malam ini saja. Ke depannya aku harap kau tidak memintaku untuk menginjakkan kaki lagi di tempat itu."
Ariana tersenyum semringah. "Tentu ... tentu saja, Star. Sekali lagi terima kasih. Kau memang adalah sahabat terbaikku."
Starla hanya bisa tersenyum tipis dan membalas pelukan kebahagiaan yang dilakukan oleh Ariana. Ketakutan tentu saja masih menghantuinya. Semoga pilihannya ini tidak salah. Semua pasti akan baik-baik saja, yakinnya di dalam hati.
****
Skylar Aleandro Wolves, pria tiga puluh dua tahun itu tengah duduk di atas kursi kebesarannya, seraya memandangi selembar foto yang berisikan wajah gadis cantik dengan pria yang sangat dikenalnya.
Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk, matanya memerah ketika tatapannya jatuh pada wajah sang pria di foto itu. Sedetik kemudian, iris birunya beralih ke arah pintu ruangan pribadinya yang baru saja terbuka.
"Dia sudah berhasil, Sir," ucap seorang pria padanya.
Salah satu sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman licik ketika sang empu mendengar kabar yang sangat baik itu.
Sebentar lagi ....
"Siapkan mobil! Aku harus menjemputnya dan bermain-main sebentar dengannya."
Skylar berdiri dan berderap meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh seseorang yang baru saja memberitahu kabar baik tersebut. Dia menuruni anak tangga satu persatu dan berjalan menuju mobilnya. Ini adalah sesuatu yang dia tunggu-tunggu setelah sekian lama dan Skylar akan memastikan kalau orang itu akan hancur di tangannya.
"Perintahkan beberapa orang untuk ikut bersamaku!"
****
Suasana yang hingar bingar membuat Starla mengernyitkan matanya. Inilah yang tidak disukai dari tempat ini, karena dia tidak suka suasana ramai dan menyesakkan seperti ini. Dia merindukan kamarnya, kamar tenang yang damai, tempat biasanya ia duduk dan membaca sambil mendengarkan musik sayup-sayup.
Tetapi musik yang sangat keras ini hampir melampaui batas toleransinya, ingin rasanya dia pergi dari tempat ini, tetapi dia tidak bisa. Ini demi Ariana dan kesembuhan ibunya. Ibu dari temannya itu butuh operasi secepatnya, oleh karena itu Starla mencoba membantunya dengan cara ini. Biarkan saja Ariana quality time malam ini bersama ibunya, dan Starla di sini bekerja keras untuk memberikan bantuan.
Starla terus mencoba menarik turun rok hitam pendeknya yang mulai terasa tidak nyaman, dengan belahan dada yang begitu rendah dan rok yang begitu pendek. Starla seperti dipaksa menyamar menjadi orang yang tidak dikenalnya. Starla kini menjelma menjadi orang berbeda dengan dandanan seperti ini. Oh Tuhan! Semoga tidak ada yang mengenalinya di tempat ini. Baik itu kenalannya ataupun kenalan dari mendiang kakaknya.
Starla mengernyitkan matanya lagi. "Aku benar-benar berpenampilan seperti perempuan murahan," desahnya.
Suara berisik dari arah pintu masuk mengalihkan perhatian Starla, matanya mendapati seorang laki-laki yang tidak terlihat jelas wajahnya, namun kedatangannya begitu heboh dikelilingi beberapa bodyguard berbadan kekar. Sepertinya dia orang yang berpengaruh di club ini, terlihat beberapa orang sangat senang menyambut kedatangannya.
Starla tentu saja ikut penasaran dengan rupa orang terkenal itu. Dengan rasa penasaran yang besar, Starla menjinjitkan kakinya itu dan berusaha melihat dengan jelas wajah pria yang terlihat tidak jelas karena dikerumuni banyak orang.
Dan ... Oh Tuhan! Pria itu ... pria itu adalah orang yang sangat dikenalnya.
Kenapa dunia sesempit ini? kenapa Starla dengan kebetulannya harus melihat pria itu lagi?
Dia adalah Skylar Aleandro Wolves orang yang telah membunuh Arlan—kakaknya. Kakak laki-laki Gabriella—sahabatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!