"Udah jangan banyak bicara ke mana-mana. sekarang bereskan saja tali dan bambu penggotongnya, bawa keluar. biarkan babi ini kita tahan dulu di sini, karena Mamang yakin babi ini tidak akan pergi ke mana-mana. sambil menunggu waktunya tiba, karena sekarang pekerjaan Mamang belum bisa dimulai." Ujar Pria tua yang bernama Sarpu
Jana dan Dadun dengan segera Mereka pun keluar sambil membawa tali dan bambu pikulan, begitupun dengan Mang sarpu yang terlihat mengikuti, kemudian menutup pintu kamar itu meninggalkan Ranti sendirian, membuatnya merasa sedih, merasa bingung, tapi ada sedikit kebahagiaan dan harapan, karena sebentar lagi dia akan ditolong untuk kembali berubah ke wujud aslinya.
Sedangkan Jana dan Dadun ketika mereka berada di dapur, mata mereka membulat sempurna karena melihat wajah Marni yang terlihat Cemong dipenuhi oleh gosong dari seeng Bahkan bukan hanya wajah tapi pergelangan tangannya pun terlihat sama, karena tadi dia dibantu oleh Mang sarpu yang baru saja memegang pantat seeng.
"Bi...! Kenapa wajahnya Cemong?" tanya Jana sambil terus menatap ke arah wajah Marni.
"Wajah siapa yang Cemong, Kalau ngomong itu jangan asal nguap....!" jawab Marni sambil mengusap wajahnya sehingga cemongnya semakin menyebar ke mana-mana.
"Sudah Ibu jangan diusap-usap seperti itu, nanti cemongnya menyebar. mungkin warna hitam itu dari tangan Bapak yang tadi memegang seeng," ujar mang Sarpu sambil menunjukkan tangannya yang terlihat menghitam dipenuhi oleh arang, membuat Jana dan Dadun terlihat menggulung senyum
Sedangkan orang yang ditertawai, Dia hanya bisa menekuk wajah, sampai terlihat bibirnya monyong ke depan bak pantat asuepan, dia sangat marah terhadap suaminya.
"Kurang ajar dasar suami kurang garam...! bukannya menolong malah menambah malu....!" gerutu Marni sambil bangkit dari tempat duduknya, kemudian keluar dari dapur menuju ke Pancuran Mungkin dia mau membersihkan wajahnya.
Sedangkan Mang sarpu, dia pun kembali memberikan nasihat sama Jana dan Dadun agar mereka tidak kembali melihat ke dalam kamar, jangankan melihat mengintip pun tidak diperbolehkan, karena kalau ada yang mengintip usahanya akan sia-sia.
Setelah mereka mengert, kedua Pemuda itu pun berpamitan, lalu pergi menuju ke rumah masing-masing, namun nanti ketika Lembayung senja keluar mereka akan kembali ke rumah Mang sarpu, ingin melihat hasil pekerjaan yang akan dilakukan oleh Mang sarpu.
Sedangkan Ranti dalam wujud babi ngepetnya, Dia terlihat menyandarkan kepala ke kaki depan yang di selonjorkan. air matanya terus mengalir tidak bisa ditahan, hatinya terus berdebar tidak jelas. di satu sisi Dia sangat bahagia karena sebentar lagi dia akan ada orang yang menolong, ada orang yang bersedia membukakan baju jimat yang selama ini menyiksa dirinya. di satu sisi Ranti merasa bingung karena kalau dia sudah terbebas dari baju jimat dan kembali ke wujud aslinya, pasti Jana akan mendatangi orang tuanya yaitu Mbah Abun untuk melamar dirinya. karena dari awal dia bertemu dengan Jana dia mendengar seluruh pembicaraan orang yang menangkapnya.
Ucapan Jana terdengar sangat sombong, sangat percaya diri, kalau dia akan menikahi Ranti. sedangkan Ranti dia sudah berjanji dalam hati sanubarinya, bahwa dia akan setia bukan sama orang lain, tapi dia akan setia sama orang yang bernama Eman yang sudah jelas pengorbanannya tanpa ada embel-embel yang lain. karena Eman belum pernah mendengar tentang persayembaraan.
"Ya Allah, Ya Robbi, Kenapa hamba selalu dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit, hamba harus bagaimana. ada orang yang mau menolong tapi setelahnya harus menghadapi kesusahan, harus bagaimana menghadapinya. Bagaimana memutuskan atau menolak keinginan orang yang bernama Jana, karena saya sudah berjanji saya akan setia sama Kang Eman. Abah, ambu...! Kenapa kalian tidak cepat-cepat menolong Ranti, lihat anakmu yang sedang kesusahan siang malam tanpa henti, terus ditimpa dengan kesusahan, kesedihan, ke nelangsaan. tolong Ranti Abah, ambu...!" umpat hati Ranti dia menyebut-nyebut nama orang tuanya yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu.
Di luar kamar, Mang sarpu setelah mengantarkan kedua tamunya pulang dengan tatapan, dia pun menarik nafas dalam kemudian dia masuk kembali ke dapur, lalu duduk di atas tikar yang tinggal sebelah. dari arah pintu terlihat Marni yang baru selesai membersihkan wajah yang Cemong terkena mehong dari seeng. matanya terlihat memerah, raut wajahnya terlihat masam, seperti menahan amarah. di tangannya terlihat ada handuk mungkin habis digunakan untuk menyeka wajah.
"Kang Sarpu ini bagaimana Sih, kok kejadiannya seperti ini? buat apa Akang memasukkan babi ke dalam pendaringan, apa akang Masih normal, Apa sudah miring?" gerutu Barni sambil duduk di hadapan suaminya.
"Lah....! jangan cepat menyimpulkan, jangan cepat terbawa emosi ibu...! bapak bukan sedang mengigau atau bermimpi, bapak sekarang masih waras lahir batin, tidak miring, tidak linglung, karena masih tahu mana Selatan mana Utara. bapak masih hafal dengan rasa, Bapak tidak akan menjadi orang yang tamilung."
"Syukur kalau begitu...! tapi buat apa membawa babi ke dalam rumah?"
"Dengarkan Ibu! Bapak dimintai tolong oleh Jang Jana agar Bapak membukakan baju jimat yang di pakai oleh seorang gadis, dan yang perlu Ibu ketahui bahwa Gadis itu bukan gadis yang lain, tapi Gadis itu adalah anaknya Mbah Abun, sahabat dekat Akang yang dulu pernah ke sini, yang dulu pernah menolong Akang dari bahaya Pati. Nah, dari dasar itu Bapak sudah membulatkan tekad, menyatukan tujuan, bahwa bapak akan menolong Jang Jana dengan cara menyanggupi permintaannya. satu lagi yang harus Ibu tahu, kalau bapak berhasil membuka baju jimat, Bapak secara tidak langsung menolong tiga orang. pertama bapak bisa menolong Jang Jana yang langsung meminta pertolongan, yang kedua Bapak menolong Mbah Abun yang menjadi sahabat Akang, yang ketiga langsung menolong Ranti yang tidak lain adalah anaknya Mbah Abun. dan yang jelas Sekarang dia sedang menghadapi ujian yang begitu berat, Soalnya dia harus mengalami berubah wujud menjadi babi hutan. Nah begitulah maksud bapak," jelas Mang sarpu panjang lebar.
"Bentar, sebentar.....! Apa Bapak sudah yakin bahwa babi itu adalah babi ngepet, Awas nanti babinya babi jarah yang suka di buru oleh warga Kampung Ciaul," sanggah Marni yang terlihat penuh hati-hati.
"Lah Ibu, kalau hidup tuh jangan bodoh-bodoh amat. masa ibu lupa, kalau bapak sudah menghabiskan puluhan tahun mendalami ilmu perbabian, sudah sering makan asam manis dalam ilmu itu. masa iya bapak yang sudah menjadi Pakar tidak bisa membedakan mana Babi jadi-jadian mana Babi jarah."
"Iya....!" jawab Marni singkat.
"Iya apa Ibu?" tanya Mang sarpu sambil menatap ke arah istrinya.
"Iya Marni percaya, terus selanjutnya bagaimana?"
"Sekarang begini Ibu, kita jangan kepalang tanggung untuk membela, karena orang yang kita tolong bukan orang lain, orang yang kita tolong adalah orang yang sudah terasa baiknya sama kita. ingat sebelum kita menemukan jalan kehidupan yang sekarang kita jalani, Mbah Abun lah orang yang suka menolong kita baik dari segi materiil, moril, dia selalu Sigap membantu. Nah dari dasar itu sekarang ibu siapkan Sajen seperti biasa, seperti mau menyajen ketika malam Jumat, Tapi sekarang ditambah dengan pisang emas, jangan banyak-banyak Cukup dua biji saja!"
"Oh begitu, ya sudah itu masalah gampang, Karena sekarang juga bisa disiapkan."
"Syukur kalau begitu...! tapi, Bapak mau menitip pesan satu lagi sama ibu."
"Pesan apa Bapak?"
"Ibu harus ngasih makan babi. tapi makanannya jangan dikasih singkong mentah, jangan dikasih talas mentah, tapi kasih nasi pakai lauk pauk seadanya."
"Baik, baik."
Akhirnya Marni pun mengalah, dia menurut dengan apa yang diperintahkan oleh sang suami. sedangkan Mang sarpu dia pun pindah tempat duduk ke teras depan dengan menyandarkan tubuhnya ke kursi, di tangannya terlihat rokok putih yang menyala, asapnya mengepul memenuhi kepala. hidupnya tidak ada sedikitpun ketakutan, karena dia sangat yakin kalau babi yang ada di kamarnya tidak akan berani melarikan diri, paling juga babi itu akan tidur dengan lelap.
Tidak jauh dari kampung Sukaraja, tepatnya di kebun singkong yang berbatasan dengan kebun teh. terlihat ada seorang pemuda yang hidupnya selalu ditiban kesialan, karena baru saja dia disiksa kemudian diikat di pohon nangka. orang itu terlihat belum sadarkan diri, karena mendapat pukulan yang sangat keras dari musuhnya. orang itu terlihat berdiam tidak bergerak sama sekali. sehingga membuat siapapun orang yang melihat hatinya akan teriris merasa sedih, Bagaimana tidak sedih melihat kondisi pakaiannya yang dipenuhi dengan sobekan, badannya terlihat kotor dan dekil, wajahnya pucat bak manusia yang dibuang ke tong sampah.
Tapi walau begitu, Eman seperti memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang lain, walaupun dia sudah disiksa habis-habisan tidak sampai Kehilangan nyawa, dia hanya mengalami tidak sadarkan diri, sehingga lama-kelamaan dia pun terbangunkan oleh semilir angin kecil, seperti ada orang yang berbisik menyadarkan kesadarannya yang sempat menghilang.
Dengan perlahan tubuhnya terlihat bergerak sedikit, matanya perlahan terbuka, maksudnya dia ingin bangkit. tapi dia merasa kaget karena seluruh tubuhnya terasa susah untuk digerakkan karena dia diikat oleh Jana. Matanya memindai area sekitar, melirik ke samping kanan melirik ke samping kiri, terlihatlah pohon-pohon yang tumbuh menjulang tinggi, daunnya bergerak-gerak tertiup oleh semilir angin.
Pluk!
Satu daun kering jatuh menimpa dadanya, membuat Eman terlihat menarik nafas dalam, kemudian seperti biasa dia pun berbicara sendiri.
"Lah sebenarnya aku sedang berada di mana dan ke mana Neng Ranti?" Gumam Eman yang semakin sadar, makin ingat terhadap Ranti. menggejolakkan jantung yang berada di dada, sehingga dia pun mulai sadar kembali, mengingat dengan apa yang menimpa dirinya. Tadi sebelum dia pingsan, Dia pernah bertarung dengan seorang Pemuda, Namun sayang dia yang sedang apes sehingga harus menerima kekalahan.
"Ke mana perginya si kurang ajar itu....., Kalau aku tidak jatuh pingsan, mungkin tubuhnya sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian, biar dia Jera....!" ujar Eman Sambil mencoba kembali menggoyangkan tubuhnya berharap tali pengikatnya terlepas. tapi daripada ikatan itu terlepas yang ada tangannya terasa sakit, tulangnya terdengar tertarik sehingga mengeluarkan suara kmeretek, membuat Eman pun terdiam kembali, menerima semua yang menimpa terhadap dirinya.
Khayalannya mulai kembali terbang memikirkan Ranti, dalam bayangannya sudah tergambar jelas pasti Ranti dibawa oleh orang yang tadi menyiksanya, membuat gigi Eman mengerat mengeluarkan suara, matanya memerah dan membulat sempurna, bibirnya digigit sedikit menandakan nafsunya sudah memuncak.
"Kurang ajar, dasar licik, dasar sial4n, dasar kejam.....! Awas kalau nanti kita bertemu kembali, tidak akan ada maaf lagi aku akan langsung membunuhmu," gumam hati Eman sambil mengatur nafas yang terlihat memburu keringat dingin mulai bercucuran, terdorong oleh amarah yang sudah memenuhi dada, nafsu yang tidak bisa keluar, nafsu yang tidak bisa dilampiaskan, napsu yang memenuhi seluruh relung hati, memenuhi seisi dada.
Keadaan matahari siang itu semakin lama semakin tinggi, walaupun terhalangi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi, tapi itu tidak bisa menahan cahaya matahari untuk menyinari wajah Eman. membuat tubuh pemuda itu terasa hangat, ditambah silau. Eman pun memejamkan mata, sambil terus berpikir mencari akal, mencari cara agar bisa melepaskan diri dari ikatan.
Burung-burung terdengar berkicau dari atas pohon, begitupun dengan bajing-bajing yang berlarian di rantingnya. Sebagian ada yang mengeluarkan suara seperti sedang menertawakan Eman, saling sahut menyahuti dengan tupai-tupai yang lainnya.
Ketika memejamkan mata, terdengar suara orang yang sedang bernyanyi dari arah atas, dengan nyanyian seingatnya, tidak terpaku dengan judul ataupun lirik. Tapi walaupun seperti itu, nyanyiannya bisa dimengerti oleh Eman, bahwa orang itu sedang bertemu dengan kesenangan, karena kalau dia sedang kesusahan mana mungkin orang itu bisa bernyanyi.
Eman terperanjat ketika mendengar ada orang. matanya terlihat bergerak ke arah kiri dan kanan, telinganya dipasang agar dia bisa mendengar jelas suara nyanyian itu
"Kenapa orang lain bisa bahagia, Kenapa hidupku selalu sengsara. kalau hidup hanya untuk berenang dalam kesedihan, mendingan aku lebih memilih selamat saja." ujar Eman sambil menggeliat, tapi tetap dia tidak bisa bergerak lebih, karena ikatannya sangat kuat.
Orang yang bernyanyi semakin lama semakin terdengar jelas, seperti sedang mendekati ke arah Eman. bahkan lama-kelamaan terdengar suara kemerosok seperti orang yang sedang berjalan menapaki rumput kering.
Pluk!
Terdengar suara batu kecil yang jatuh, mungkin ketendang oleh orang itu sehingga jatuh ke arah lembah.
Bret! bret! bret! krosok.
Bret! bret! bret! krosok.
Terdengar suara rumput yang sedang di Arit bergemuruh mengumpul dengan suara nyanyian, diiringi oleh lantunan suara angin yang menerpa dedaunan.
Eman merasa bahagia, sekilas dia menemukan ide. dengan cepat dia pun merintih kesakitan, bahkan diakhiri dengan teriakan minta tolong, setelah beberapa kali meminta pertolongan suara orang yang bernyanyi pun terdiam seketika, bahkan suara Arit yang menebas rumput pun terdiam, seperti sedang memfokuskan pendengaran, memastikan orang yang sedang merintih kesakitan.
Eman sangat mengerti, dengan segera dia pun meminta tolong kembali dengan teriakan yang lebih keras dari yang tadi. sehingga membuat teriakannya semakin terdengar jelas, tak lama setelah itu suara kemerosok orang yang berlari pun mendekat ke arahnya, bercampur dengan suara pijakan kaki yang mengenai tanah.
Setelah sampai, terlihatlah bahwa orang yang datang itu adalah seorang pemuda berbadan gempal, wajahnya sangat bersih, namun bajunya sederhana. memakai topi yang terbuat dari daun pandan yang sudah Rawing, tangannya memegang Arit yang terlihat sangat tajam.
"Terima kasih sudah datang, Tolong saya...! tolong, tolong....!" pinta Eman sambil terus menatap ke arah sang Pemuda, mungkin umurnya berada di bawah Eman, hanya badannya yang terlihat lebih besar.
"Kenapa Akang diikat seperti ini?" jawab pemuda itu balik bertanya sambil membalas tatapan Eman. tapi dia belum terlihat mau menolong, seperti orang yang memiliki banyak pertimbangan.
"Jang Akang ada yang menyiksa, tadi Akang dipukulin, di tampar, digebuk menggunakan kayu bakar, disiksa di saung, digilas di tungku pembakaran. lihat baju dan kepala Akang yang penuh dengan Abu pembakaran, seperti orang yang mau dipepes. Akang adalah orang yang susah dan dipenuhi dengan kesengsaraan, padahal kesalahan Akang hanya sedikit, tapi akibatnya harus menerima siksaan sampai seperti ini. tolong Akang Ujang, karena Akang ingin selamat, ingin bebas. yang terpenting akang ingin menjalankan tugas yang harus mendampingi sang adik, yang sama sedang mengalami kesusahan," ujar Eman yang terlihat mengiba.
"Sebentar....! Apa dosa Akang sampai harus disiksa seperti ini, dan siapa orang yang tega menyiksa Akang." jawab pemuda itu yang semakin terlihat penasaran, dia tetap tidak berdiri, tidak buru-buru menolong, karena dia takut masuk dalam peribahasa menolong anjing yang sedang terjepit.
"Akang mengakui kesalahan akang, karena akang merasa kurang sopan, Kurang ajar, karena akang berani berbuat tidak sopan kepada pemilik Saung. kemarin akang kemalaman di jalan, sehingga akang memutuskan beristirahat di saung ini. menurut pemikiran Akang tempat ini jauh dari kampung, jauh dari desa. Dan Akang tidak terlalu hafal tempat ini, Akang memutuskan menginap di saung itu karena kalau tidur di atas rumput, Akang takut terendam oleh air embun. sehingga akang pun ketiduran dengan begitu lelap sampai pagi, karena siangnya sudah berjalan jauh.
"Akang merasa dosa, Akang merasa salah, karena akang tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik Saung karena orangnya tidak ada. sehingga akang memutuskan dengan memberanikan diri untuk tidur di dalam Saung, walaupun belum meminta izin. tapi ketika yang punya Saung datang tadi pagi, tiba-tiba dia memarahi Akang yang diakhiri dengan penyiksaan, hingga akhirnya akang seperti ini." Jelas Eman panjang lebar agar pemuda itu mengerti.
"Jadi Akang disiksa oleh pemilik Saung?" tanya pemuda itu memastikan.
"Benar Jang seperti itu, orang yang memiliki Saung ini yang menyiksa Akang."
"Kang Jana, begitu...?" ujar Pemuda tanggung yang terlihat mengerutkan dahi, karena dia tahu bahwa kebun itu adalah milik Jana.
"Mungkin iya Jana, karena dia masih muda, ganteng, bersih, badannya sangat kekar, bajunya sederhana. tapi rapi seperti Ujang, pakaiannya sangat bersih tidak kucel seperti Akang yang sengsara, karena Akang orang Melarat, makanya sangat pantas menerima kenyataan seperti ini."
"Begini saja Kang, saya akan melepaskan ikatan Akang. tapi kalau hati akang ingin bebas dari rasa dosa dan kesalahan, coba temui saja Kang Jana ke kampung Sukaraja, karena seluruh warga Kampung sudah mengenalnya, tidak akan ada orang yang tidak kenal dengan Kang Jana," ujar pemuda itu memberi keputusan dengan segera dia pun memotong tali pengikat Eman dengan aritnya.
Akhirnya tangan Eman pun terbebas, membuat hatinya terasa plong, karena dipenuhi dengan kebahagiaan bisa bebas dari siksaan.
"Terima kasih banyak Ujang, Terima kasih banyak atas pertolongannya. tapi mohon maaf, Akang tidak bisa membalas kebaikan Ujang, kecuali hanya berdoa sama sang pencipta. semoga kebaikan Ujang diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala,"
"Amin.....!"
"Semoga dijadikan amal sholeh yang baik."
"Amin.....!"
"Yang bisa menjadi bekal yang bermanfaat bagi Ujang baik di dunia dan di akhirat."
"Amin.....!"
Doa Eman untuk pemuda yang menolongnya dengan begitu tegas dan dipenuhi keikhlasan, sehingga membuat pemuda itu mengucapkan kata amin berulang kali.
Mendengar doa yang dipanjatkan oleh Eman, membuat pemuda itu hanya bisa menatap melongo, soalnya doa yang dipanjatkan oleh Eman terasa pas, terasa menusuk ke dalam hati sanubarinya, doa yang bisa dia mengerti dan bisa diterima oleh batinnya.
Sorot mata Eman terasa Teduh, seperti mengandung ketentraman, seperti memiliki kekuatan aneh yang bisa meluluhkan hati manusia, sehingga membuat pemuda itu memiliki prasangka lain dia menyangka kalau Eman adalah seorang malaikat yang sedang menguji terhadap dirinya, yang sedang merubah wujud menjadi manusia sengsara. soalnya dia suka terbawa oleh dongeng dan cerita-cerita orang tuanya, yang suka menerangkan seorang malaikat yang bisa merubah wujud menjadi laki-laki atau perempuan, menjadi orang yang sengsara atau susah, untuk menguji kebaikan seseorang.
"Sudah....! sudah kang. jangan terlalu banyak berbicara, karena saya sangat ikhlas, sangat Ridho, tidak ada yang diharapkan selain menolong orang lain." jawab pemuda itu yang semakin merasa tidak enak, perasaannya semakin campur aduk bahkan pembicaraannya semakin terlihat sopan.
"Bahagia, akang sangat bahagia kalau Ujang punya hati sebaik itu. syukur, syukur. semoga Ujang menjadi orang yang banyak rezeki, orang yang tinggi derajat, jauh dari Balahi dekat dengan rezeki. Oh iya, siapa tadi orang yang memiliki Saung ini?"
"Kang Jana, orang Sukaraja."
"Kalau Ujang orang Sukaraja bukan?"
"Bukan, saya bukan orang Sukaraja. tapi saya orang Cibeureum, kampungnya berdekatan dengan Kampung Sukaraja, hanya terhalang oleh selokan Ci Mandiri. Ya sudah Kang saya mohon izin untuk melanjutkan pekerjaan saya yang sedang mencari rumput." ujar pemuda itu sambil berdiri, karena hatinya dipenuhi dengan rasa sungkan dan ketakutan.
"Ya sudah kalau begitu, sekali lagi akang ucapkan terima kasih dan Ujang harus hati-hati ketika mengambil rumput nanti bisa terluka oleh Arit." ujar Eman memberikan nasehat, matanya terus menatap ke arah pemuda yang sudah pergi sambil membawa Arit, Eman terus menatap sampai pemuda itu tak terlihat lagi, terhalang oleh rerumpunan rumput yang menjulang tinggi.
Burung-burung terus berkicau saling sahut menyahuti dengan burung-burung lainnya, seperti yang sedang bersukacita. sedangkan Eman dia terdiam memikirkan pembicaraan pemuda yang menolongnya, yang menjelaskan bahwa pemilik Saung yang menyiksanya adalah Jana orang kampung Sukaraja.
Hati Eman merasa bahagia karena sudah menemukan jejak bisa menyusuri babi ngepet bernama Ranti yang dibawa oleh orang itu. "Alhamdulillah Akhirnya aku bisa menemukan jejak, Terima kasih ya Allah, semoga Neng Ranti berada dalam lindunganMu, jangan sampai disiksa oleh orang yang kejam, jangan sampai dibawa ke mana-mana." begitulah gumam Eman sambil bangkit dari tempat duduk, kemudian dia meregangkan otot-otot yang terasa kaku, sehingga terdengar suara kemeretek akibat tulang yang ditarik.
Setelah berdiri, Eman pun berjalan dengan gontai menuju ke arah Saung kebun, kemudian dia memindai sekitar tempat itu, terlihatlah sisa-sisa bambu pembuatan tali dan ada potongan bambu, kayaknya sisa pembuatan pikulan.
Eman terus memperhatikan meneliti Saung itu, kadang pula dia mengerutkan dahi seperti seorang detektif yang sedang mencari bukti otentik, yang nantinya bisa dijadikan petunjuk untuk menyusuri jejak Ranti. Namun sayang tidak ada petunjuk yang jelas, tapi dia punya perhitungan pasti Ranti digotong dibawa ke kampung Sukaraja.
"Iya, benar. sudah jelas alamatnya, mendingan Aku susul saja ke kampung Sukaraja, apapun yang akan terjadi pasti akan aku hadapi," begitulah keputusan Eman.
Setelah puas memindai sekitar Saung, akhirnya Eman pun berjalan dengan santai, tujuannya mau menuju Kampung Sukaraja, mau mencari pemuda yang bernama Jana.
Perjalanan Eman Akhirnya sampai ke jalan desa yang sedikit agak lebar, dia terus berjalan menuju ke arah Timur, punduknya terasa panas karena matahari sudah condong ke sebelah barat, panas matahari itu sedang terik teriknya, membuat Siapa saja yang tersinari oleh sinarnya akan merasakan pusing, apalagi buat orang yang sedang mempunyai rasa sakit, rasa capek. ditambah dengan rasa lapar membuat perut akan semakin terasa melilit.
Eman terus berjalan tanpa mengeluh sedikitpun, hingga akhirnya dia sampai ke sebuah bukit, terlihatlah ada sebuah Saung yang berada di samping jalan. Eman tidak berpikir panjang Walaupun dia tidak memiliki uang, dia tetap mampir ke warung itu, Karena dia sudah tidak kuat dengan teriknya matahari dan dia mengetahui bahwa Saung itu adalah jongko atau kios penjual makanan, yang dijaga oleh seorang wanita yang bernama Salamah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!