"Takdir seperti sebuah lelucon yang terus mempermainkan setiap orang dengan liciknya."
****************#######**************
Bulan adalah gadis manis dengan tempramen yang tenang. Ia bisa tersenyum lembut meski pikirannya dipenuhi oleh berbagai siasat jahat. Bulan adalah definisi sejati dari iblis berkedok malaikat.
Suatu ketika Bulan mengalami insiden yang tidak terduga dimana takdir mempermainkan hidupnya. Dimana takdir dengan sengaja mengirim Bulan menuju dimensi yang berbeda.
Dimensi yang penuh dengan sihir dan monster, bahkan dalam mimpi sekalipun Bulan tidak pernah membayangkan dirinya berada di tempat tersebut.
Tempat yang hanya bisa ia lihat dari buku dongeng dan game konsol terbaru. Tempat dimana segala keajaiban dan omong kosong terjadi disana.
Meski begitu Bulan tidak bodoh, ia dengan licik menyusun rencana untuk mengetahui takdirnya. Ia mencari alasan demi alasan mengapa dirinya dikirim ke tempat tersebut.
Selama pencarian Bulan harus berperan sebagai Senja de Ari yang merupakan putri utama Duke Ari. Putri yang naif dan dengan polosnya menghancurkan dirinya sendiri demi cinta.
Bahkan putri polos itu dengan bodohnya berhasil ditipu dan dikhianati oleh bawahannya sendiri. Menyadari hal itu, Bulan pun memutuskan untuk mengambil peran sebagai Senja dan membalaskan dendamnya.
Selama Bulan menjadi Senja, ia pun menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan tempat itu. Entah mengapa Bulan yang hanya manusia biasa terlihat begitu mirip dengan Senja bahkan ia juga bisa menggunakan sihir yang bahkan ia tidak tahu bahwa dirinya memiliki sihir tersebut.
Beruntungnya Bulan sebelum ia tampil di depan publik, ia berhasil menemukan buku diari pemilik nama sebelumnya. Disana Bulan menyadari dunia seperti apa yang ia tempati saat ini.
Demi kelancaran misinya, ia pun dengan licik mengubah penampilan Senja menjadi citra baru yang polos dan lugu. Senja yang sebelumnya terkenal jahat kini terlihat seperti malaikat rapuh yang bisa hancur kapan saja.
"Dengan ini tidak ada seorang pun yang akan mengenali diri mu. Meski kau benar-benar orang yang berbeda, mereka akan selalu mengingat mu sebagai gadis polos yang tidak berdosa." seru Bulan pelan.
Ia kemudian menatap kembali buku diary ditangannya dan dengan perlahan menutup buku itu seraya melangkah keluar dari ruang rahasia.
"Aku akan membalas rasa sakit mu akibat pengkhianatan mereka," lirih Bulan sambil menggenggam gagang pintu yang terlihat usang.
"Aku tidak tahu ini bisa dikatakan beruntung atau tidak. Sebelum aku memutuskan untuk kabur, aku menemukan ruangan rahasia ini dan buku diari tua di dalamnya." lanjut Bulan seraya mengelus pelan pintu dihadapannya itu.
Awalnya Bulan berencana untuk kabur dari tempat itu. Ia tidak ingin bertaruh dengan hal-hal yang bahkan tidak ia ketahui. Namun niatnya itu pupus setelah ia membaca habis isi buku diari tersebut.
Dengan tangan yang terkepal erat, Bulan lalu berjalan menuju meja rias di kamarnya. Ia kemudian menatap wajah dingin di cermin itu seraya menyentuh pelan pipinya.
"Wajah kita sangat mirip, apakah ini benar-benar kebetulan atau ada niatan lain dibelakangnya?" gumam Bulan pelan.
"Ah, mungkinkah ada rahasia lain dari takdir ini?" tanya Bulan dengan nada main-main.
"Yah, apa pun itu rumah ini dan keluarga ini harus membayar harga yang setimpal."
Bulan kemudian berdiri dari duduknya, ia lalu berjalan santai menuju jendela kamar dan membukanya sedikit. Seketika udara dingin menyentuh kulit mulus Bulan. Udara itu seakan menyadarkan Bulan bahwa tempat ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan.
"Tidak buruk, setidaknya aku masih bisa bernapas kali ini."
"Takdir begitu aneh dan kejam, selalu membuat kejutan yang tak terduga bahkan pertukaran ini adalah salah satu mainannya."
*****************#####***************
Langit begitu cerah dengan kicauan burung yang saling sahut - sahutan. Udara dingin tampak sejuk dengan suasana pagi yang indah di selimuti dengan embun yang segar.
Kesegaran itu membawa nuansa hangat di villa tua yang berada ditengah hutan. Meski terlihat tua, namun villa itu terawat dengan baik. Dindingnya masih kokoh dan kuat, area disekitarnya pun ditanami oleh berbagai bunga indah.
Duduk manis di ruang santai villa itu, ada seorang gadis remaja yang tengah asyik memakan camilan ditemani seekor kucing Persia.
"Juan jangan dimakan, kamu bisa sakit." remaja itu mengangkat si kucing yang bernama Juan dengan susah payah.
"Kamu dilarang makan coklat, paham tidak."
Juan yang tidak paham apa yang dikatakan majikannya itu hanya bisa bergelayut kesal sambil mengibas - ngibaskan ekornya.
Meong...!
"Juan...!" teriak remaja itu, kesal.
"Sudahlah Bulan, biarkan saja Juan makan coklatnya."
Remaja yang dipanggil Bulan itu pun mendelik kesal kearah sumber suara sambil melemparkan snacks kesukaannya.
"Aduh," pekik Anton yang tidak siap dengan serangan mendadak Bulan.
"Kata dokter, Juan dilarang makan coklat karena beracun bagi tubuhnya."
"Mana aku tahu, Lan. Aku kan..."
Belum sempat Anton menyelesaikan kalimatnya, ia sudah dicerca ribuan pukulan oleh Bulan.
"Ya ampun, ada apa ini? Kenapa pagi - pagi sudah ribut!" seru Farel heran.
"Biasa kak," balas Tania malas.
"Kak Farel tolong aku." teriak Anton sambil berlari ke arah Farel sambil menghindari amukan Bulan.
"Aku tidak melakukan apa pun, mereka saja yang terlalu sensitif," lanjut Anton sambil menendang kaki Tania.
"Anton...!"
"Sudah - sudah, mari kita keluar saja. Udara pagi disini bagus untuk menenangkan pikiran." potong Farel sebelum amukan Tania meledak seperti Bulan.
"Kak, aku..."
Belum sempat Bulan selesai berbicara, Farel sudah menarik tangannya dan langsung membawa Bulan menuju pintu keluar.
***
"Kak Farel, Villa ini punya siapa?" tanya Tania sambil berjalan menelusuri taman bunga Lily.
Baru kali ini Tania dan Anton melihat taman bunga yang hampir semuanya di penuhi oleh bunga Lily. Meski dirinya dan Anton sudah berteman lama dengan Bulan, namun baru kali ini mereka bisa berlibur bersama ke villa itu.
"Tentu saja punya keluarga Latri, memang kamu pikir ini punya... Blum... ummpp."
Anton yang malang, belum sempat ia menggoda Tania, namun mulutnya sudah disumpal keripik kentang oleh Bulan.
"Ya ampun, Anton kamu baik - baik saja?"
"Uhm... uhuk. Baik kak!" seru Anton dengan air mata yang sedikit membasahi pipinya.
Bulan dan Tania hanya tertawa riang melihat Anton yang kesusahan menelan keripik kentangnya.
"Bwahah..."
"Astaga, kalian tidak boleh begitu, kasihan Anton."
"Kak, yang lebih kasihan itu kami bukannya Anton. Iya kan Tania?"
Tania hanya mengangguk setuju, tanpa memperdulikan Anton yang terlihat kesakitan.
"Hah, ada - ada saja kalian ini."
"Oh iya kak, yang tadi Tania tanya itu serius loh."
"Hmm, kakak juga kurang tahu Tania. Villa ini sudah dibeli oleh keluarga Latri lama sekali, bahkan sebelum kakak lahir."
Tania merenung sejenak sebelum melirik ke arah danau yang tepat berada di ujung jalan taman.
"Uhm, bisa dipahami." lirih Tania sambil menarik tangan Bulan menuju danau.
"Tania...!"
"Aku gerah banget Lan, melihat danau ini jadi tidak sabaran untuk nyebur."
Bulan yang belum siap apa-apa langsung diseret ke arah danau, ia bahkan tidak sempat melepaskan sepatunya terlebih dahulu.
BLUR...
Anton dan Farel yang telat bereaksi tidak bisa menahan tawa saat melihat Bulan dan Tania yang melompat ke dalam danau.
"Gimana Lan, segarkan?"
"Setidaknya biarkan aku melepaskan sepatu dulu Tan. Lihat ini, aku kehilangan satu." gerutu Bulan sambil menunjuk ke arah kakinya yang hanya tersisa satu sepatu saja.
"Aku juga mau,"
Anton yang sedari tadi menahan kesalnya segera terjun ke danau tanpa aba-aba. Halhasil, Bulan yang hendak melepaskan sepatunya itu pun turut terhempas jauh.
"Anton!" teriak Bulan kesal.
"Liat ini," Bulan mengangkat kakinya dan seperti yang dilihat tidak ada satu sepatu pun di sana.
"Hahaha"
Anton hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Bulan yang kesal kemudian melemparkan kaos kakinya kepada Anton.
"Sialan," lirihnya sambil menyelam ke dalam danau untuk mengambil sepatunya yang terjatuh.
***
Mansion Duke Ari
Hembusan angin pagi menyeruak masuk ke dalam mansion Duke Ari bersamaan dengan aroma manis bunga Magnolia membuat suasana mansion menjadi lebih hidup.
Sayangnya hal itu tidak berlaku bagi gadis muda yang saat ini tengah menangisi nasibnya. Ia hanya bisa menahan rasa sakit dihatinya dengan terus bertahan hidup.
Menurutnya hidup di dunia ini sama dengan pengorbanan. Ia telah berkorban banyak namun yang ia dapatkan hanyalah cacian dan makian. Meski awalnya ia sangat bersemangat namun akhirnya ia menyerah.
"Hanya ada satu kesempatan," batin gadis muda tersebut.
Ia kemudian dengan malas memilih buku sihir dari banyaknya buku yang berjejer rapi dihadapannya. Dalam hati gadis muda itu sudah lelah, ia ingin mengakhiri ini dengan cepat.
Sayangnya keinginan gadis itu hanya sebuah keinginan kosong. Karena beberapa saat setelah lembar buku terbuka ia mendengar seruan lantang para penjaga yang sedang membuka pintu gerbang mansion.
Dari balik jendela perpustakaan gadis muda itu dapat melihat sebuah kereta mewah berlambang keluarga kerajaan. Seketika gadis itu tersengat, napasnya menjadi pendek dan terputus - putus.
Kereta kuda itu terus melaju hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu masuk mansion. Disana gadis itu melihat saudara tirinya sedang bersiap naik kereta kuda tersebut.
"Hah, hahahaha...."
Tawa hambar pun muncul dari bibir Senja, ia adalah putri utama Duke Ari dan baru tiga hari sebelumnya tunangannya memutuskan hubungan mereka dan saat ini ia tengah melihat mantan tunangannya tersebut sedang bergandeng tangan dengan adik tirinya.
Miris memang tapi itulah kenyataannya, mantan tunangannya memutuskan hubungan mereka karena alasan bosan dan menggantikannya dengan adik tirinya yaitu Arina.
Adapun kisah ini telah menjadi lelucon bagi sebagian bangsawan dan rakyat biasa. Senja yang semula tenang kini mulai terlihat sedih, kristal bening pun berhasil lolos dari kelopak matanya.
Senja hanya bisa menyembunyikan wajahnya di balik buku. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan karena itu adalah harga dirinya yang terkahir.
Disisi lain, ada seorang remaja muda yang tengah memegang bunga Dandelion. Remaja itu tampak senang dengan senyum sinis mengembang di wajahnya. Dan dihadapan remaja tersebut ada seorang pelayan yang tengah memegang nampan berisi teh.
"Semuanya sudah selesai, tinggal menunggu hasilnya saja," gumam remaja itu sambil menyuruh pelayan tersebut keluar.
Beberapa menit kemudian, seorang pelayan yang sama membawa nampan berisi teh masuk ke dalam perpustakaan. Pelayan itu tersenyum manis sambil meletakkan teh ke dalam cangkir.
"Nona silahkan diminum tehnya."
"Amel kamu dari mana saja? Aku mencari mu sejak tadi," tanya Senja sambil mengusap lembut sudut matanya.
"Maafkan saya Nona, saya baru saja menyelesaikan pekerjaan dapur." Amel memasang wajah berdosa sambil memegang tangan Senja berharap diampuni.
"Ya ampun Amel, sudahlah tak apa." Senja memegang bahu Amel dan menyuruhnya untuk berdiri.
Amel yang masih merasa bersalah kemudian mengusulkan ajakan jalan-jalan pada nonanya itu. Ia paham betul bahwa saat ini nonanya sedang bersedih.
"Nona langit begitu cerah, tidakkah nona ingin berjalan-jalan." tanya Amel sambil menaruh nampan kue di atas meja. Senja dengan reflek melihat keluar jendela untuk sesaat, sejenak ia berfikir.
"Mungkin udara segar dapat menenangkan hati ku."
Senja kemudian setuju dengan tawaran Amel dan segera mereka pergi keluar dari kediaman Duke Ari.
***
Selama perjalanan Senja mulai merasa baikan. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama karena orang-orang pada melihatnya dengan tatapan sinis dan cemoohan.
Senja tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi dilihat dari ekspresi wajah, ia tahu bahwa itu bukan hal yang baik. Bukan rahasia umum lagi bahwa pertunangannya dengan pangeran kelima sudah dibatalkan.
Namun jika dilihat dari berbagai sisi itu bukanlah kesalahannya. Mengingat bahwa dua hari lagi Senja akan merayakan hari ulang tahunnya dan tidak lama lagi akan diadakan ujian masuk akademik membuat Senja tetap bertahan meskipun itu sulit.
"Amel bisakah kita pergi ke tempat yang lebih tenang?"
Segera Amel menyuruh pak kusir untuk memutar arah kereta kuda dan membawa mereka menuju tempat yang lebih sepi. Tiga puluh menit kemudian kereta kuda yang ditumpangi Senja sudah berada di tempat yang begitu sepi.
Sangking sepinya bahkan tidak terdengar suara hewan atau apapun disana. Senja mulai takut, ia dengan panik bertanya pada Amel dimana mereka sekarang, namum Amel hanya menatap Senja dengan ekspresi jijik.
"Bukannya tempat ini yang nona butuhkan?" seru Amel dengan sudut bibir yang mengejek.
"Tapi... Ini terlalu sepi Amel."
Senja tidak masalah dengan tempat sepi karena memang dia sangat menyukainya, namun ini terlalu aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada hal buruk yang akan terjadi jika ia terus berlama - lama di tempat tersebut.
"ayo kita putar kem... Argh!" Senja berteriak keras saat ia merasakan sakit diperutnya, sakit itu begitu hebat layaknya di tusuk - tusuk oleh pisau.
"Ugh, sakit. Amel tolong bawa aku pergi, ini menyakitkan."
Bukannya panik melihat nona mudanya terluka, Amel malah tertawa nyaring sambil menunjuk - nunjuk ke arah Senja.
"Ya ampun Nona, kau naif sekali. Kau pikir selama ini Aku menjadi pelayanmu dengan senang hati?"
Senja bingung, ia terus memegang perutnya hingga tak terasa darah mulai mengalir keluar dari ujung bibirnya.
"Aku ini bukan pelayan pribadimu Nona, aku adalah milik Nona Sarah. Aku ditugaskan olehnya untuk membuat mu dibenci oleh banyak orang dan menjadikanmu sebagai wanita jahat."
Senja mulai menangis tersedu - sedu, rasa sakit yang diakibatkan oleh pengkhianatan membuatnya lupa akan rasa sakit yang sedang ia alami sekarang.
"Dasar j*l*ng." Senja kesal, ia menarik rambut Amel dengan kasar, dan membuatnya penuh dengan luka.
"Lepaskan aku, kau adalah putri buangan yang bahkan ayahmu sendiri saja tidak peduli padamu dan jika kau mati disini maka tidak akan ada satu orang pun yang menangisi mayat mu."
Amel mendorong Senja, membuatnya jatuh tersungkur dari gerbong kereta kuda. Ia lalu menunjuk ke arah kusir dan menyuruhnya untuk membuang Senja ke danau mati.
Senja yang tak berdaya dengan kondisinya mulai rapuh saat melihat pak kusir yang dengan acuh tak acuh membawa tubuh lemahnya dan membuangnya ke danau mati.
Senja mulai mengingat satu - persatu kejadian yang menimpanya karena hasutan Amel. Dimulai dari memukul Sarah di depan ayahnya dan membuat Arina jatuh dari kereta kuda, hingga membakar baju pesanan Sarah di depan para bangsawan lainnya.
Ada juga ketika Amel menyuruh Senja berpakaian aneh untuk datang ke pesta teh dan mempermalukan Senja di hadapan banyak wanita bangsawan, mengingat kejadian itu membuat air mata Senja jatuh tak terbendung.
"Aku begitu bodoh dengan polosnya aku percaya kepada siapa pun yang hanya memberikan sedikit kasih sayang padaku."
Senja menangis sedih, ia merasa jijik dan benci terhadap dirinya sendiri.
"Aku hanya menginginkan cinta, namun yang ku dapatkan hanyalah rasa sakit dan pengkhianatan."
Senja teringat akan wajah kesal dan marah Duke Ari. Ayah yang sangat ia inginkan cinta dan kasih sayangnya. Namun yang ia dapatkan hanyalah penolakan dan makian.
Perlahan cahaya kehidupan dari kedua mata indah Senja mulai redup. Ia terlihat mati rasa dan mulai kehilangan penglihatannya. Lambat laun tubuh Senja mulai pucat dan jatuh lebih dalam lagi ke ke kedalaman danau mati.
***
"Akhirnya jumpa Juga," batin Bulan sambil memegang kedua sepatunya.
Ia kemudian segera naik keatas untuk menghirup udara segar sehingga memenuhi paru - parunya yang kering karena terlalu lama berada di bawah air.
"Sudah jumpa?" tanya Farel sambil mengulurkan tangannya pada tubuh Bulan.
"Sudah kak,"
"Kamu gigih banget, padahal itu bukan edisi terbatas. Masih banyak tuh di..."
Sekali lagi kesialan menimpa Anton, belum sempat ia selesai mengatakan keinginannya. Bulan dengan kesal melemparkan salah satu sepatunya menuju kepala Anton.
"Aduh... Kali ini sakitnya parah loh!" teriak Anton sambil mengusap lembut benjolan yang timbul di jidatnya.
"Hahaha, kasihan." tawa Tania membuat mereka lupa bahwa yang dilemparkan Bulan adalah sepatu yang sedang ia cari sedari tadi.
"Hahaha, Anton kamu sial banget hari ini." Farel pun ikut tertawa, ia merasa lucu dengan teman adiknya itu.
"Nah Bulan, ayo naik. Sudah hampir waktunya makan siang."
"Tunggu kak, aku mau cari sepatunya yang tadi."
Bulan menunjuk ke arah tempat jatuhnya sepatu. Ia merasa kesal sekaligus senang dengan apa yang terjadi pada Anton. Namun ia juga kesal karena harus mencari kembali sepatunya.
"Sudah, kita beli yang baru saja nanti."
"Aduh kak, itu hadiah dari ibu. Jika ibu tahu sepatunya hilang, nanti aku disuruh kerja rodi."
"Jangan dilebih - lebihkan."
Bulan mencoba meyakinkan kakaknya itu, ia lalu menyuruh Tania untuk menyeret farel ke villa.
"Akhirnya," lirih Bulan lega.
"Sini, biar aku saja yang cari," tawar Anton, dan tanpa menunggu jawaban Bulan, Anton segera menyelam dan mencari sepatu Bulan.
Saat menunggu Anton, Bulan merasakan sesuatu yang hangat mengalir di bawah kakinya. Ia pikir itu ulah Anton yang sengaja bermain dengannya.
"Anton, jangan jahil deh." gerutu Bulan sambil menggoyangkan kakinya.
Namun anehnya, aliran hangat itu tetap terasa dan makin menggangu dirinya. Akhirnya Bulan memutuskan untuk menyelam dan melihat apa benda itu.
Saat ia mencoba mencari, Bulan tanpa sengaja melihat seutas cahaya bening yang berasal dari bawah danau. Bulan yang penasaran mencoba mendekati cahaya itu dan menyentuhnya.
Ketika jarinya menyentuh cahaya itu, suatu tarikan kuat membuat Bulan terseret ke dalamnya. Anehnya semakin Bulan melawan semakin kuat pula tarikan tersebut menyeretnya.
"Sial, apa ini?"
Bulan berusaha untuk lepas, namun semakin ia bergerak maka pusaran air itu akan semakin kuat menarik tubuhnya. Di ujung kegelisahan, Bulan melihat seorang wanita berpakaian aneh dengan mulut yang mengeluarkan noda merah.
"Siapa dia? Kenapa dia bisa ada di dalam danau ini?"
Bulan yang ragu pun mencoba untuk menarik wanita tersebut. Ia mencoba sekuat tenaga dan sebisa mungkin untuk menghemat oksigen di paru-parunya. Meski Bulan bukan penyelam profesional, namun setidaknya ia tahu cara mengendalikan napasnya di dalam air.
Bulan lalu memegang lembut tangan wanita itu dan mencoba untuk menariknya namun saat ia hendak menariknya seketika saja hal aneh pun terjadi. Bulan merasa dirinya tersedot ke tempat lain begitu pula dengan wanita aneh itu.
"Senja. Aku Senja. Semua orang membenciku, semua nya mengkhianati ku. Ayah, dia telah membuang ku. Aku hanya ingin di cintai, aku hanya ingin kasih sayang."
Wanita itu terus menangis dan berteriak hal yang sama berulang-ulang kali. Hal ini membuat Bulan merasa pusing dan mulai kehilangan kesadarannya.
"Takdir yang berubah adalah kunci kebenaran bagi kita."
*****************######****************
Ruangan itu tampak gelap dan kecil bahkan sinar mentari tak dapat menerobosnya. Siapa pun yang berada disana pasti merasa takut dan cemas, namun hal itu tidak berlaku bagi seorang gadis muda.
Gadis itu dengan semangat duduk disudut ruangan dengan pencahayaan minim. Ia tengah asik membalikkan setiap lembar buku dihadapannya.
Anehnya berbeda dengan tangannya yang terlihat bersemangat setiap kali membalikkan lembar buku, wajah gadis itu terlihat kesal. Ia terus saja mengerutkan dahinya yang membuat alisnya tampak menyatu.
Gigi nya pun saling bertaut satu sama lain sehingga membuat bunyi ngilu bagi siapa pun yang mendengarnya. Tangan gadis itu juga terkepal erat dan ia tampak begitu marah.
Gadis itu terlihat lelah dengan semua emosi yang ia rasakan. Kepalanya berdenyut pusing, tampak begitu mati. Gadis itu berusaha untuk memijat dahinya agar lebih rileks.
"Senja." gadis itu bergumam lirih. Bibirnya terasa keluh.
Wanita itu mencoba melihat ke sekeliling ruangan untuk memastikan apakah ini nyata atau palsu. Ia pun melangkah ke sebuah lukisan besar yang diukir dengan cantik. Dimana lukisan itu menampakkan wajah yang sangat familiar baginya.
Wajah yang tersenyum manis ditambah gaun biru muda yang ia kenakan begitu sempurna. Seakan-akan gaun itu khusus dibuat hanya untuk sosok itu saja.
"Melihat lukisan ini aku jadi merasa gugup sekaligus sedih." gumam gadis itu pelan.
Perlahan gadis itu membuka kembali buku tua tersebut. Buku yang ia temukan sehari sebelum memutuskan untuk kabur dari rumah itu. Namun ia menghentikan niatnya setelah membaca keseluruhan isi buku tersebut.
Gadis itu kemudian kembali teringat akan kejadian dua hari yang lalu. Tepat saat dimana ia pertama kali membuka matanya di dunia ini. Saat itu ia tengah berada di sebuah kamar mewah, lebih mewah dari kamarnya ini.
"Putri, kejadian ini tidak biasa dan seperti yang kita duga pasti ada sesuatu dibaliknya."
Pria berpakaian dokter itu pun terlihat sedih sambil menatap sayu kearah wanita muda yang sedang tertidur lelap.
"Aku juga merasa demikian," sama seperti sang dokter, wanita muda yang di panggil putri itu pun terus menatap ke arah kasur.
"Kemana pelayannya saat itu? Mengapa ia pergi sendirian ke hutan?" lanjut sang putri kesal.
"Entahlah putri, saya juga tidak tahu mengenai hal itu. Tapi melihatnya seperti ini, saya rasa ia mencoba untuk bunuh diri setelah, hmm."
Dokter itu terdiam sesaat seolah sedang menimbang perkataanya. Ia sudah memiliki spekulasi awal, namun terlalu gegabah untuk berkata juga tidak baik.
"Maksudmu tentang pembatalan pertunangannya itu?"
"Saya rasa begitu."
"Aku pikir tidak, meskipun ia putus asa dengan hal itu tapi seperti yang kita semua tahu bahwa tidak lama lagi adalah hari itu."
"Kejadian ini pasti sudah direncanakan, aku tahu wanita itu memang jahat tapi setahu ku ia tidak pernah pergi jauh dari kediamannya. Selain itu, jika memang dia pergi sendirian mengapa tidak ada kereta kuda disana?"
"Bagaimana ia bisa sampai disana yang notabenenya tempat itu sangat jauh dari ibu kota tanpa adanya kereta kuda? bahkan jika ia pergi kesana naik kereta kuda dan menyuruh sang kusir untuk pergi pasti mereka akan melaporkan kejadian ini pada Duke bukan?"
Wanita muda itu terlihat semakin bingung, ia penasaran dengan motif dibalik ini semua.
"Meski aku tahu bahwa ia dibuang oleh Duke, tapi ini sungguh keterlaluan. Bagaimana pun juga, ia tetaplah putri tertua dan anak satu - satunya mendiang permaisuri."
Di kerajaan ini, siapa yang tidak tahu bahwa Senja adalah anak permaisuri dan merupakan putri sah pertama dari keluarga Duke Ari. Bukan rahasia umum lagi jika kematian permaisuri membuat Duke mengabaikan Senja.
"Namun membuang darah daging nya sendiri dan merencanakan pembunuhan sudah diluar akal sehat. Ini perlu diselidiki lebih lanjut."
"Aku tidak peduli jika ia mati atau tidak, karena itu juga bukan urusan ku. Namun hutan itu adalah wilayah ku, wilayah Marques Winter."
Teriak wanita muda tersebut dengan keras. Ia merasa terlibat dalam konspirasi besar dengan putri seorang Duke. Meski secara kasar ia sama sekali tidak terlibat di dalamnya.
"Aku mau hal ini di usut hingga ke akarnya, dan satu hal lagi perketat keamanan daerah ini. Mungkin saja mereka akan datang untuk memastikan mayatnya," Lanjut wanita muda itu sambil melihat kearah jendela kamar. Terlihat samar - samar bayangan seorang pria yang berpakaian serba hitam menghilang dengan cepat.
***
Bulan Point of View
"Ugh, sakit sekali."
Rasa sakit ini menghantam kuat kepala ku seperti baru saja tertembak mati. Aku tahu jelas bahwa aku sedang berada di dalam air, dan kehabisan oksigen bisa membuat sakit kepala yang nyeri.
Andai saja aku tidak begitu keras kepala, ah tidak lupakan saja. Semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa mundur begitu saja.
"Lagi pula ada apa ini? Kenapa begitu ribut? Kalian tidak tahu apa jika orang sakit butuh istirahat yang cukup"
"Siapa itu?" tanya ku kesal.
perlahan aku membuka mataku, dan seketika cahaya mentari langsung menyeruak masuk ke dalam retina mata ku. Hal ini membuat aku berkedip beberapa kali agar bisa menyesuaikannya, rasanya begitu aneh aku tak paham sama sekali.
Aku mendengar suara wanita muda dan pria tua samar - samar. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu hal yang penting. Ngomong - ngomong ranjang ini empuk sekali. Aku mencoba untuk melihat ke sekeliling tapi aku tidak melihat kak farel dan yang lainnya.
"Sial, ini dimana?" Seketika aku melihat bayangan seorang pria yang menghilang dengan cepat, jantungku seketika berdetak dengan kencangnya.
"Apa yang barusan itu hantu atau aku sedang berhalusinasi?"
Aku lalu melihat wanita muda itu menatap ku, sedangkan si pria tua yang memakai setelan dokter datang ke ranjang dan memegang tanganku. Sontak aku kaget dan menarik tangan ku kembali darinya.
"Si, siapa kalian?" Aku melihat dokter itu berekspresi aneh dan kemudian berbalik arah untuk melihat gadis yang tengah mengisap teh di sudut meja.
"Apa anda baik - baik saja Nona? Ada yang sakit?"
Dokter itu bertanya setelah mendapatkan anggukan dari gadis misterius di sudut meja. Aku hanya bisa terdiam sambil menarik diri dari hadapannya.
"Dimana Kakak ku? Dan siapa kalian?"
Aku berusaha untuk menuruni kasur tapi tubuh ku tak siap yang akhirnya membuat ku jatuh ke lantai. Ku lihat wanita misterius itu melangkahkan kakinya ke ranjang sambil melihat ku dengan ekspresi bingung di wajahnya.
"Apa dia baik - baik saja?" tanya gadis itu sambil melihat ke arahku.
"Saya menduga ia mengalami benturan keras ketika jatuh dan itu membuatnya hilang ingatan," Jawab dokter itu dengan ekspresi wajah sedih.
"Hilang ingatan? Siapa? aku? Gila kali dokternya. Ah tidak, apa jangan-jangan ini adalah kejutan dari kak farel ya, tapi ini sama sekali tidak lucu."
Aku tidak sengaja berpapasan mata dengan wanita misterius itu. Ia menatap ku aneh dan kemudian menggendong ku ke atas ranjang dan menyuruh dokter itu untuk keluar. Setelahnya ia memanggil seorang pelayan dan menyuruhnya untuk menyiapkan kereta kuda.
Ini aneh sekali kenapa pelayan itu memakai baju maid sedangkan ini bukan abad pertengahan. Tidak hanya itu, bahkan pakaian gadis misterius ini pun terlihat kuno.
"Namaku Muna Winter, sekarang kau sedang berada di rumah ku," Jelas gadis itu, wajahnya tegas namun masih terlihat imut walau hanya sedikit.
"Na.., nama ku Bulan de Latri."
Seketika wajah Muna berubah dratis, ia terlihat kaget dan secara misterius memandang wajahku dengan alis yang terpaut.
"Sepertinya Nona Ari butuh istirahat untuk memulihkan diri."
Aku semakin bingung dengan ucapannya.
"Nona Ari?" tanya ku. Muna dengan malas menghela napasnya lalu menceritakan seluruh kejadian bagaimana aku bisa sampai ke rumahnya dan bagaimana kondisiku saat ini.
Mendengar ucapannya itu membuat ku yakin bahwa memang ada yang aneh disini. Jika ini perbuatan kak farel, ia tidak akan mungkin bisa melakukan semua ini dengan suasana yang begitu nyata.
"Apa kau memang berencana untuk bunuh diri? Jika iya maka menjauh lah dari wilayah ku."
Aku melihatnya skeptis, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu kepada ku, lagi pula siapa juga yang mau mati.
"Dengar ya Nona Winter, aku sama sekali tidak ada niatan untuk mati, lagi pula aku sama sekali tidak hilang ingatan."
Muna melihat ku dengan tajam dan pergi meninggalkan kamar itu sehingga hanya menyisakan aku sendirian di dalamnya.
Penasaran dengan apa yang terjadi aku pun memutuskan untuk keluar dan mengeceknya sendiri. Hal pertama yang aku jumpai cukup membuatku syok berat. Aku melihat hal aneh di sepenjang koridor menuju taman.
Di taman aku melihat beberapa pelayan yang sedang menyirami tanaman dengan menggoyangkan sebuah tongkat kecil, ada juga pelayan lain yang menggerakkan tangan mereka untuk mengarahkan angin, ini sungguh membuatku jantungan.
"Rupanya kau disini."
Aku melihat Muna dengan dua pelayan di sampingnya. Muna lalu menarik ku kembali ke kamarnya dan kemudian memberiku pakaian.
"Lain kali kau tidak boleh keluar kamar dengan pakaian seperti itu, sangat memalukan."
Aku melihat pakaian yang sedang aku kenakan ini. Jelas sekali ini bukan pakaian yang aneh, ini adalah pakaian yang biasa aku kenakan untuk berbelanja dengan mama ke pasar.
"Pakailah gaun ini dan turun ke bawah. Aku akan mengantarmu pulang."
Muna pun segera turun dan lagi-lagi meninggalkan ku sendirian bersama dengan dua pelayan yang ia bawa tadi.
Setelah berpakaian yang cukup lama akhirnya aku pun selesai. Pakaian ini terlihat sederhana namun tetap anggun, walau begitu memakainya saja sudah cukup membuat ku pusing belum lagi hiasan rambutnya.
Aku sudah tidak tahan untuk kembali pulang dan menikmati kehidupan santai ku. Aku pun turun ke lantai satu dan melihat Muna sedang berbincang ringan dengan para prajuritnya.
Ia kemudian berbalik dan menatapku sambil menyuruh para prajurit itu untuk pergi dengan menggoyangkan tangannya.
"Naiklah." seru Muna seraya menunjuk kereta kuda di hadapannya.
Kereta kuda itu sangatlah mewah, ada hiasan burung hantu terukir di dinding kereta dengan sulaman emas di pinggirannya. Kereta kuda itu pun berjalan cukup kencang namun tidak membuat ku merasa pusing atau mual.
Jalannya juga mulus dan baik, kereta ini memang sangat hebat. Rasanya seperti naik mobil saja. Tidak lama kemudian kereta kuda ini sampai ke sebuah mansion mewah yang sangat besar.
Mansion itu memiliki lambang burung elang dengan lingkaran seperti pedang tak lupa pula warna emas yang menyertainya.
Muna lalu membawa ku masuk ke dalam mansion itu.
Disana aku merasa sedikit ganjal, karena anehnya mereka semua memandangku dengan tatapan tidak suka. Mereka bahkan mencibir ku di sepanjang jalan menuju ruangan utama.
"Dimana tuan Duke? Aku ada perlu dengannya."
Muna bertanya pada seorang pelayan dan menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian datanglah seorang pria tampan paruh baya dengan dua istrinya dan juga tiga anak perempuan dan satu anak laki - laki.
"Ada perlu apa Nona Winter sampai datang ke kediaman ku ini?" tanya pria itu. Wajahnya memang keren namun auranya sangat mendominasi.
"Aku datang untuk memberitahu mu sesuatu."
Muna berkata tanpa ragu dan menceritakan semua yang terjadi. Ketika Muna sedang bercerita aku melihat para istri dari pria itu menatapku tidak senang. Ketiga anak perempuan mereka juga melihat ku penuh dendam.
Namun ada yang aneh, salah seorang dari ketiga gadis itu terlihat pucat pasi. Ekspresinya seakan takut seperti sedang melihat hantu saja. Sedangkan anak laki - laki itu langsung pergi setelah melihatku. Ia seperti tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di tempat ini.
"Jadi begitu. Maafkan aku karena tidak bisa mencegahnya, mungkin saja ia masih trauma dengan pembatalan pertunangan."
Seketika aku langsung kaget mendengar pria itu berkata tentang pembatalan pertunangan. Namun Muna terlihat tidak senang. Ia berkata bahwa ini adalah kasus pembunuhan dan ia akan menyelidikinya sampai tuntas.
"Non..., Nona Winter mengapa kau bersusah payah untuk menyelidikinya, serahkan saja masalah ini pada kami." Salah satu istri dari pria itu menjawab ketidaksenangannya.
"Itu benar Nona, biarkan aku yang mengurusnya." Pria itu lalu menatap ku sambil berkata.
"Jika kau benar-benar hilang ingatan maka kau harus istirahat di kediaman mu, Dina cepat bawa Senja ke kediamannya."
Salah satu pelayan yang berdiri tidak jauh dari pria itu datang menghampiri ku. Ia kemudian membawaku ke arah selatan rumah utama menuju sebuah bangunan mewah dengan dua lantai.
"Nona kau bisa masuk sendiri kan?"
Pelayan itu mengejek ku dengan wajah tak suka, aku hanya diam dan masuk ke dalam bangunan itu.
"Rumah ini sangatlah sepi hanya ada beberapa pelayan yang berlalu lalang di dalamnya."
Ketika aku sedang beristirahat datanglah ketiga gadis yang tadi kulihat di rumah utama, ketiga gadis itu menatapku tidak suka.
"Kenapa kau tidak mati saja," seru salah satu dari mereka.
"Apa kau masih tidak rela juga dengan pembatalan pertunangan itu huh, jangan harap pangeran kelima akan datang untuk mencari mu dasar gadis tidak berguna."
Keduanya datang hanya untuk mengatakan omong kosong lalu pergi meninggalkan ku bersama seorang gadis yang sedari tadi melihatku dengan wajah pucat nya.
"Aku tidak tahu kau pakai jimat apa, Arina dan Bella sudah pergi." Wanita itu diam sesaat sebelum lanjut berbicara lagi.
"Cepat katakan padaku bagaimana kau bisa hidup setelah meminum racun itu?"
Dia menatap ku tajam dan berharap bahwa dengan tatapan itu aku bisa mati dengan cepat.
"Memangnya mata mu itu laser apa?" ejek ku malas.
Kemudian aku kembali memandang wanita itu dengan sudut mata ku.
"Oh jadi nama mereka berdua itu Arina dan Bella, kalau begitu kau itu pasti Sarah,"
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang menghampiri ku, wajahnya tidak jauh berbeda dari Sarah.
Aku mengetahui dari Muna beberapa hal tentang keluarga ini ketika kami dalam perjalanan menuju kediaman Duke Ari.
Aku yang merasa bosan membiarkan semua ini dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah membiarkan Sarah sendirian di luar. Sarah terlihat marah dan kesal lalu memukul pelayan itu dengan kencang, aku yang melihatnya di jendela lantai dua hanya bisa diam.
"Kasihan sekali dia."
Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Aku berpikir untuk keluar dari tempat ini, semuanya sudah tidak waras.
Ketika aku pertama kali masuk ke rumah itu aku melihat begitu banyak lukisan wajah yang mirip dengan ku. Perlahan aku mengingat tentang gadis yang aku lihat di danau sebelum akhirnya aku membuka mata di tempat ini.
Ketika aku sedang berusaha mencari jalan keluar aku secara tidak sengaja menemukan ruangan rahasia, di dalam ruangan itu hanya terdapat satu buah kasur dan meja belajar yang diatasnya ada sebuah buku tulis yang kelihatan sudah tua dan usang.
Aku pun penasaran dan mulai membaca buku tua itu. Lama aku membaca akhirnya aku mengetahui bahwa gadis yang aku lihat di danau itu bernama Senja De Ari yang merupakan putri Duke Ari dengan permaisuri Mawar.
Putri sah di kediaman ini, dan pantas saja begitu banyak dendam padanya. Aku pun sadar bahwa sekarang aku sedang bertukar posisi dengan dirinya.
"Tapi bagaimana bisa?"
Ini terlalu rumit untuk dijelaskan, apakah takdir sedang bergurau denganku ataukah takdir ingin aku membalaskan dendamnya.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang di inginkan oleh sang takdir, tapi jika sudah seperti ini maka aku akan menjalaninya. Mungkin..., mungkin saja dengan aku mengetahui kebenarannya, aku dapat kembali pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!