Hari sudah sore, matahari pun mulai bergelincir dan langit berwarna oranye dengan indahnya.
Waktu nya Cahyana pulang setelah seharian mengajar full time dari pagi hingga sore hari. Pagi hari Cahyana
mengajar anak SMA, sore harinya Cahyana mengajar anak SMP.
Begitulah keseharian Cahyana sebagai guru honorer di sekolah swasta yang
dulu juga menjadi saksi bisu pertemuan Cahyana dengan istrinya.
Singkat cerita di waktu itu..
Cahyana dan istrinya telah lulus dari sekolah yang sama, tempat yang saat ini juga
menjadi ladang mencari nafkah untuk Cahyana. Walau usia mereka terpaut jarak dua tahun dengan Cahyana yang lebih muda,
Saat itu Cahyana dan Dina pun sudah menjalin hubungan pacaran.
Cahyana dan Dina yang sekarang menjadi istri nya pergi ke tempat wisata kolam pemandian air panas di kota XX.
Saat keduanya telah selesai berendam dan bersantai, Cahyana dan Dina memutuskan untuk pulang
namun sebelum itu mereka berdua harus mandi dan berganti pakaian terlebih dahulu.
Cahyana dan Dina berganti pakaian di tempat yang sama dengan Cahyana yang lebih dulu masuk ke ruang ganti
sedangkan Dina menunggu di luar di depan pintu.
Cahyana selesai keluar dari ruang ganti barulah Dina masuk untuk berganti pakaian.
Beberapa saat setelah Dina Masuk dia memanggil Cahyana.
"Aa sini dulu bantu aku". Sengaja Dina melakukan itu, dan Cahyana pun masuk tanpa bertanya terlebih dahulu.
Seorang penjaga pun tidak menegurnya karena mungkin menganggap mereka adalah pasangan suami istri kala itu.
"Bantu aku melepas celana ku, aku ke susahan membukanya". Dengan tangan gemetar menahan gejolak di hati,
Cahyana pun membantu Dina melepaskan celana nya. Namun siapa sangka, Cahyana tidak bisa menahan dan
memang Dina yang menginginkan ini pun tidak menolaknya.
Setelah Cahyana menuntaskan hasrat nya kepada Dina, mereka berdua keluar dari ruang ganti dengan pakaian sudah rapih.
Bagaimana pun nanti aku pasti akan bertanggung jawab kepadamu. Cahyana
Semoga Cahyana tidak curiga jika anak ini nanti lahir. Dina
Sekitar dua bulan dari ke jadian itu, Dina mengatakan kepada Cahyana bahwa dirinya telah hamil.
Cahyana pun tidak curiga karena memang dia telah melakukan itu bersama Dina.
Satu minggu kemudian, di gelarlah pesta pernikahan sedehana. Terlihat ibunya Dina menggandeng anak perempuan.
"Siapa anak yang bersama ibumu?". Ucap Cahyana sambil berbisik pelan di telinga Dina
"It-itu itu adikku A". Dina menjawab dengan gugup, dia tidak menyangka kalau Cahyana akan mempertanyakan anak itu.
"Mamah.... ". Anak itu menghambur ke pelukkan Dina
Cahyana menatap Dina dengan sorot mata tajam.
Dina saling pandang dengan ibunya setelah dia menurun kan anak perempuan itu dari gendongan.
"Ini anak bungsu mamah A, dia memanggil Dina mamah karena Dina kakak tertua".
Ibunya Dina buka suara memecah kecanggungan yang tercipta secara tiba-tiba, sepertinya ibunya Dina menyadari gelagat curiga dari Cahyana.
Cahyana hanya manggut, namun Cahyana melihat dengan ekor matanya kalau anak perempuan itu penatap ibunya Dina dengan alis berkerut
seolah bertanya "memangnya kenapa jika aku memanggil mamah".
Menjelang sore hari pesta pernikahan pun selesai, tamu pun sudah berhenti berdatangan.
pengantin pun sudah tiba di kamarnya nya dan berganti pakaian.
Semalam aku sampai tidak bisa tidur memikirkan anak perempuan itu. Aku yakin pasti ada yang Dina sembunyikan dariku.
Duduk bersandar di atas tempat tidur, Dina juga bersandar pada dada Cahyana sambil sedikit mengelus nya.
"Apa Aa boleh tanya sesuatu?". Cahyana ragu tapi semua harus jelas.
"Boleh, apa yang mau kamu tanyakan A". Jawab Dina.
Semoga jawaban Dina tidak mengecewakanku.
"Janji jawab jujur?".
" I-iya". Memang apa yang ingin kamu tanyakan hingga aku sampai harus janji untuk menjawab jujur.
"Siapa anak perempuan yang datang di bawa oleh ibumu waktu pesta pernikahan?". Pandangan Cahyana lurus.
Dina mendongakkan kepala menatap Cahyana. Cahyana pun kemudian menatap Dina seolah memaksa.
"Maafkan aku, maafkan aku". Dina menghambur memeluk Cahyana.
"Katakan!". Nada suara Cahyana dingin.
"Di-dia dia Afifah anak pertama ku dari pernikahan terdahulu". Dina menunduk menyembunyikan wajahnya,
dia pun takut Cahyana akan marah.
Mata Cahyana terbelalak "Jadi kau?".
"Iya, aku janda anak satu A". Air mata Dina mulai mengalir.
Oohh Tuhaaannnn apa yang garus aku lakukan?
Dina ingin kembali memeluk Cahyana, namun Cahyana menepisnya
dan mulai beranjak dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju jendela.
"Mengapa kamu tidak jujur sejak awal?". Cahyana mulai emosi tapi dia masih bisa mengendalikannya.
"Aku takut kamu meninggalkan aku A,
aku mencintaimu". Dina masih belum berani menatap Cahyana.
"Tapi kamu sudah membohongi aku". Cahyana mulai lepas kendali.
Seandainya kamu jujur sedari awal, mungkin aku akan ihklas menerima. Dan lukanya mungkin juga tidak akan sesakit ini. Cahyana
Aa mohon maafkanlah aku, ntah apa yang akan kamu lakukan jika kamu juga mengetahui bahwa anak yang ku kandung ini bukan anakmu. Dina
Sebenarnya Dina tidak begitu mencintai Cahyana, hanya saja Cahyana yang
terlebih dahulu menyatakan cinta jadi Dina pun menerimanya.
Terlebih Dina pun butuh seorang ayah untuk anak yang di kandungnya, karena lelaki XX itu tidak mau bertanggung jawab
bahkan menyuruh Dina untuk menggugurkan kandungannya.
Ayah Afifah dan juga Ayah dari anak yang di kandung oleh Dina
adalah dua laki-laki yang berbeda.
aku benci situasi yang seperti ini. Andai Dina belum mengandung anakku, dapat ku pastikan bahwa aku akan menceraikannya detik ini juga. Cahyana
Amarah yang membara, tertahan dan tidak dapat di luapkan
menjadikan wajah Cahyana memerah dan tangannya terkepal kuat.
Sedetik kemudian Cahyana melangkah pergi menuju pintu dan
Dina pun mengejarnya.
"Aa mau kemana?". Dina sempat menggenggam tangan Cahyana
namun lagi-lagi Cahyana menepis nya bahkan dengan kasar.
"Kamu diam saja di rumah, biarkan aku menenangkan hati dan fikiran ku". Cahyana berucap tanpa menoleh sedikit pun kepada Dina.
Dina mengangguk lemah, dan Cahyana pun berlalu setelah Dina melepaskan genggamannya.
Kau telah membuatku kecewa di awal pernikahan. Cahyana
Cahyana pun berlalu pergi menuju kolam pemancingan ikan yang
jarak nya tidak terlalu jauh dari rumah setelah dia membawa alat pancing, sehingga bisa di tempuh walau dengan berjalan kaki.
Memancing ikan memang sudah menjadi hobi bagi Cahyana
semenjak dia remaja.
Selain sekedar hobi, memancing ikan pun bisa menjadi peluang menghasilkan uang.
Sampai di kolam pemancingan.
Di sana sudah banyak teman-teman Cahyana yang biasa memancing
"Pengantin baru sudah datang saja ke pemancingan". Ucap salah seorang temannya.
"Memang kau tidak memancing istri mu". Teman nya yang lain sambil menggerakkan
jari tengah dan jari telunjuk saat dia menyebut kata memancing.
Cahyana hanya mengangguk malas menanggapi guyonan kedua temannya itu
yang di sambut dengan tawa meriah dari teman-temannya yang lain.
Tidak lama Cahyana pun pulang, dia tidur di salah satu kamar di rumah orang tuanya.
Sengaja tidak pulang ke rumah, karena Cahyana belum siap untuk menemui Dina.
...****************...
Setelah magrib tiba, Cahyana pergi menuju kolam pemancingan yang tidak begitu jauh dari rumah.
Setelah sebelumnya memastikan kalau ke tiga anak nya sudah tidur barulah Cahyana keluar dari rumah.
Tiba di kolam pemancingan, karena sudah banyak orang, Cahyana duduk di sebuah bangku panjang dan memainkan ponsel nya.
[Assalamu'alaikum, Oriza. Ini pak Cahyana]. Terkirim
Lucu sekali aku memanggil diri ku pak, harusnya tadi kakak saja atau Aa biar lebih akrab.
Lama Cahyana menunggu balasan dari Oriza sambil sesekali menghisap rokoknya,
Huh Ada apa dia? Balas jangan yaa. Oriza
[Wa alaikumsalam, Iya]. Dengan singkatnya dia membalas pesan Cahyana.
Ku pikir Oriza sudah tidur. Cahyana
[Lagi apa?]. Terkirim lagi
Basa-basi dia ini. Oriza
[Lagi membuat agenda susunan acara untuk festival band nanti pak].
Astaga aku sampai lupa akan ada acara hiburan di sekolah yang di sponsori oleh permen KI**. Cahyana
Cahyana tidak berbalas pesan lagi, dia fikir biar Oriza fokus dengan tugas nya.
Cahyana melanjutkan saja aktifitas memancingnya, semakin bersemangat karena ada perlombaan dengan hadiah uang dan tropi.
Seperti biasa jika ada perlombaan berhadiah seperti ini, Cahyana selalu membawa senjata.
Yaitu setetes atau dua tetes essen yang di campurkan ke dalam umpan.
Perlombaan pun berjalan dengan begitu meriah namun santai.
Biasanya kalau perlombaan seperti ini di waktu, kali ini waktu yang
di berikan lumayan panjang sekitar tiga sampai empat jam.
Sesekali ada teriakan dari seseorang yang berhasil mendapat ikan, sesekali juga hening
tidak ada suara dari seorang pun karena fokus menanti ikan yang memakan umpan.
Acara ini berlangsung hingga larut malam, untuk yang berhasil memenangkan pertandingan
mendapatkan uang tunai berserta tropi. Sedangkan yang belum mencapai target hanya bisa membawa ikan yang di dapatnya.
Sedangkan Cahyana membawa ikan ke rumah.
Lumayan untuk lauk besok. Cahyana
***
Cahyana melakukan aktivitas mengajar nya seperti biasa, hari ini Cahyana mengajar
anak-anak STM otomotif, dan yang pasti semua siswanya laki-laki.
"Satu, dua, satu, dua". Bersama anak-anak,
Cahyana melakukan pemanasan dan peregangan terlebih dahulu agar tidak terjadi cedera otot atau kram yang sangat menyakitkan itu.
Tidak lama kegiatan olah raga pun selesai karena sudah memasuki jam istirahat. Cahyana
melihat ke lantai dua tempat kelas Oriza berada, berharap Oriza ada di atas sana melihatnya yang
sedang mengajar, mungkin Cahyana akan lebih bersemangat.
Pemanasan selesai, olah raga inti di mulai yaitu senam lantai, roll depan dan roll belakang.
Cahyana memanggil muridnya satu persatu untuk praktek gerakan tersebut. Di sela kegiatan, Cahyana
melihat seorang wanita yang sedikit banyak dia pun mengenalnya, ya dia Oriza.
Ada apa dia pagi-pagi datang ke ruang guru. Ucap Cahyana dan hanya dia yang mendengarnya.
Tidak lama Oriza pun keluar dari ruang guru dan kembali menuju kelasnya.
Karena penasaran, setelah selesai mengajar Cahyana bertanya kepada salah satu staf yang ada di ruang guru.
"Tadi aku melihat seorang siswi datang kemari, adapakah? Apa ada masalah?". Sedikit khawatir Cahyana bertanya.
"Dia bertanya apakah Bu Elis ada, jika tidak dia meminta tugas". Staf menjelaskan.
"Lalu?". Cahyana masih penasaran.
" Ya aku bilang bu Elis nya ada, dia sedang ke toilet". Imbuhnya.
"Kenapa dia yang kesini? Bukannya itu tugas ketua kelas untuk menanyakan guru yang belum masuk kelas". Cahyana kembali bertanya.
Aneh kok dia yang ke ruang guru, mau-mau nya sih di suruh sama ketua kelas. Cahyana
" Iyaaa... Memang dia ketua kelas nya".
"Oohhh". Cahyana manggut "Apa?". Kaget sendiri Cahyana dengan jawaban staf tersebut.
***
Lagi, malam ini Cahyana sengaja pergi memancing supaya ada kesempatan untuk bisa kontek Oriza Satifa si gadis manis tiada tara.
[Oriza]. Send
Cahyana kirim pesan tentunya setelah dia berada di kursi tunggu kolam pemancingan.
Malam ini Cahyana tidak meracik umpan, karena memang tujuannya datang ke sini bukan untuk memancing.
[Iya].
Singakat banget balasannya. Cahyana
[Sibukkah].
[Tidak].
Aku balas singkat malah di balas satu kata saja. Cahyana
Cahyana memutar otak agar berbalas pesan ini tidak berakhir. Akhirnya Cahyana memutuskan untuk menelpon Oriza.
"Assalamu'alaikum". Sebenarnya Cahyana gugup.
" Wa alaikumsalam". Jawabnya.
"Oh iya, tadi pagi ke ruang guru ada apa?". Cahyana mulai pembicaraan.
Basa-basi lagi nih, sebenarnya ada perlu apa sih?. Oriza
"Itu... menanyakan bu Elis ada atau tidak. Soalnya sudah sepuluh menit belum masuk kelas juga". Mendengar jawabannya Cahyana malah di buat bingung.
"Kan cuman telat sepuluh menit". Halisnya bertaut.
"Yaa... Rugi dong pak. Kita sekolah di sini juga kan bayar".
Kritis sekali pemikirannya ini anak.
"Kalau bisa, seharusnya guru yang telat masuk kelas juga di hukum pak". Tambah Oriza
"Kenapa?". Cahyana di buat bingung.
"Ya karena mengganggu belajar mengajar, jangan hanya murid yang terlambat saja yang di hukum, guru nya juga dong".
Ide yang bagus nih. Cahyana
"Kan cuman sepuluh menit, itu hanya sebentar". Cahyana mencoba menanggapi.
"Sepuluh menit juga waktu pak, jangan sampai berlalu dengan sia-sia". Jelas Oriza
"Jangan panggil pak, ini kan diluar sekolah".
Sejujurnya aku malu berbicara seperti itu, tapi biarlah. Supaya tidak terlalu formalkan yaa. Cahyana
Apa lagi sih guru yang satu ini. Umur juga kan beda sepuluh tahun. Oriza
"Memangnya harus panggil apa?". Mendelik malas tanpa di lihat oleh Cahyana.
"Aa saja tidak apa-apa, hehe". Duaaaarrr,
Bisa-bisanya aku berkata seperti itu. Cahyana
Wahahaha, permintaan macam apa itu. Oriza tertawa tertahan
"Heeeeemmmm...iya".
Hah? Dia menyetujui nya? Apakah ini sebuah lampu hijau? yeay... Cahyana
Hari sudah cukup malam, Cahyana takut mengganggu jam tidur dan
waktu istirahat Oriza akhirnya Cahyana mengakhiri telpon dengan mengucapkan salam.
Sementara itu di tempat Oriza.
Beda usia sepuluh tahun dan dia ingin di panggil Aa? Ada apa dengannya? Apa dia belum menikah?. Oriza
Tapi Oriza masih penasaran, lagi-lagi dia berfikir kalau sepertinya Oriza pernah melihat Cahyana.
Ah aku ingat. Dia kan bapak guru yang waktu itu menerima pendaftaran siswa-siswi baru, hah. Oriza
Saat itu Oriza datang bersama ibunya ke sekolah XX untuk mendaftarkan diri menjadi siswi di tahun ajaran baru.
"Baik Oriza Satifa memilih jurusan pemasaran. Masih ada beberapa kuota lagi di gelombang tiga, dengan kata lain ada
potongan dari biaya pendaftaran yang sudah termasuk dengan biaya pembangunan.
Biaya untuk jurusan di gelombang tiga ini ada potongan harga sebesar dua puluh lima persen.
Jadi biaya yang tadi nya sekian menjadi sekian. Dengan SPP perbulan sekian". Panjang lebar Cahyana menjelaskan
"Apa di sini ada beasiswa?". Oriza bertanya
"Untuk beasiswa tentu ada, yaitu gratis SPP selama satu semester untuk siswa-siswi yang meraih rangking atau peringkat satu di kelasnya". Oriza tersenyum senang,
Semoga aku adalah salah satu peraih beasiswa di sekolah ini.
Dulu pak Cahyana berkumis dan berjenggot, sekarang kumis dan jenggot nya tidak ada. Mungkin itu yang membuat pak Cahyana merasa sepuluh tahun lebih muda, hahahha.
Oriza menertawakan kesimpulan yang di buatnya sendiri.
...****************...
Hah jam berapa ini?
Gegas Oriza merapihkan tempat tidur dan masuk ke kamar mandi.
Tidak biasanya Oriza bangun kesiangan. Dia mandi, berpakaian lalu melaksanakan kewajibannya.
Biasanya dia membantu ibunya dulu untuk beres-beres rumah sementara ibunya menyiapkan sarapan.
Namun kali ini Oriza benar-benar tidak sempat membantu ibunya, bahkan untuk sarapan pun tidak.
"Mah Oriza langsung berangkat yaa".
"Tidak sarapan dulu nak".
"Tidak akan sempat mah, jalan macet kalau sudah jam segini".
"Tunggu mamah buatkan bekal yaa". Orizapun mengangguk.
Begitulah ibunya Oriza. Walau Oriza sudah sarapan di rumah, dia tetap menyiapkan bekal untuk di bawa Oriza.
Apa lagi kali ini Oriza tidak sempat sarapan, dengan cekatan ibunya menyiapkan bekal untuk sarapan Oriza di sekolah.
"Ini bekalnyaa, di makan yaa".
"Terimakasib Mah". Oriza menerima bekal nasi dari ibunya.
"Hati-hati di jalan".
Oriza pun mengangguk dan berlalu setelah sebelumnya mencium punggung tangan ibunya dan mengucapkan salam.
Sampai di pertigaan yang jarak nya sudah tidak terlalu jauh dari sekolah.
Terjadi kemacetan yang lumayan parah.
Bagaimana ini aku bisa terlambat.
Namun Oriza hanya bisa pasrah dan menunggu saja di dalam angkot.
Duduk gelisah hingga sesekali mengecek jam yang pada ponselnya.
*Aku takut gerbang utama keburu di tutup. Apa aku turun saja yaa?
Tuhaaannn tapi inj masih sangat jauh jika di tempuh dengan jalan kaki*.
Sedikit demi sedikit kemacetan pun terurai namun tidak memberi pengaruh banyak.
Beberapa saat kemudian, angkot yang di tumpangi Oriza tinggal beberapa meter lagi tiba di depan gerbang sekolah.
Oriza pun memutuskan untuk turun saja dari angkot tersebut dan
berlari menuju gerbang sekolah setelah sebelum nya dia membayar ongkos kepada pak sopir.
"Pak Tatang tunggu pak, hah hah". Teriak Oriza yang nafasnya tersenggal karena sesak kepada pak satpam yang akan menutup pintu gerbang.
"Loh tumben siang?".
"Di pertigaan macet parah pak".
"Oohhh ayo masuk.
semua anggota rapat sudah berkumpul di ruang OSIS". Ucap pak Tatang yang membukakan pintu gerbnag untuk Oriza.
"Baik pak. Terimakasih banyak ya pak". Pak satpam hanya menangguk.
Oriza pun sedikit berlari menuju ruang OSIS, tiba di depan pintu dia mengatur nafas agar tidak terlalu sesak.
"Assalamu'alaikum". Oriza mengetuk dan membuka pintu.
Dia baru datang? Pantas saja dari tadi aku tidak melihatnya. Cahyana
"Wa alaikumsalam". Jawab yang ada di ruangan serempak.
Ketua OSIS mengangguk dan menyuruh Oriza untuk masuk dan duduk.
"Baiklah karena semua telah hadir, mari kita mulai rapat ini". Cahyana mulai membuka suara.
Oohhh jadi dia pembina OSIS yang baru, heemm.
"Seperti yang kita ketahui yaa besok adalah acara puncak hiburan yang akan di sponsori oleh permen Ki**
maka dari itu, di dalam rapat ini kita akan membentuk kelompok panitia supaya acara berjalan dengan lancar". Panjang lebar Cahyana menjelaskan
"Adapun susunan panitia acara adalah sebagai berikut,
Pembimbing, ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, seksi usaha, seksi publikasi dan dokumentasi,
seksi dekorasi, seksi stan, seksi perlengkapan, seksi keamanan, serta seksi konsumsi".
"Silahkan untuk di isi beberapa panitia". Ujar Cahyana menambahkan
Ricki Firmansyah selaku ketua OSIS menyebutkan beberapa nama yang akan mengisi posisi sebagai panitia.
Lapar begini, aku tidak konsen. Oriza
"Oriza apakah susunan acara sudah selesai di buat?". ketua OSIS bertanya, tapi yang di tanya malah bengong.
Ada apa dengan nyaa? wajahnya pucat begitu?
"Oriza". Sekali lagi sang ketua memanggil.
"Eh iya kak". Sang ketua tersenyum.
"Apakah susunan acara sudah selesai di buat?". Sang ketua mengulangi pertanyaannya.
"Sudah kak". Dengan Inisiatif nya Oriza memberikan buku cacatan kepada ketua.
Tidak berapa lama Oriza berlari menuju kelas, setelah rapat selesai dan di tutup.
Wajahnya pucat begitu tapi dia masih bisa lari menaiki tangga. Cahyana menggeleng.
Kelas nampak lengang rupanya guru hanya memberi tugas mengisi LKS itu pun tidak di kumpulkan.
Syukurlah.
Tiba di kursinya, Oriza langsung membuka bekal nya dan makan dengan lahap.
"Tadi kamu kemana Za". Lani teman sebangkunya bertanya karen tidak biasanya pagi-pagi tidak ada.
"Habis rapat OSIS". Singkat Oriza karena masih lapar.
"Acara permen Ki**?".
"Heem". Oriza masih mengunyah makanannya.
Makanlah dengan nikmat.
Lani menggelengkan kepala dan tidak bertanya lagi, sengaja agar Oriza menikmati sarapannya.
Sesaat setelah Oriza menyelesaikan makan paginya, tiba-tiba ponsel nya bergetar.
Oriza terlihat malas membuka pesannya.
[Kenapa buru-buru ke kelas]. Cahyana
[Lapar belum sarapan]. Oriza
Pantas wajah nya pucat begitu, berarti sedari rapat dia tahan lapar?
[Sudah sarapan?]. Cahyana kembali bertanya
[Alhamdulillah sudah, ini baru selesai]. Oriza
[Syukurlah]. Tidak ada balasan lagi dari Oriza.
Oriza langsung membuka tugas LKS yang di berikan guru.
Enak sekali menjadi guru, bisa memberi tugas tanpa harus cape-cape datang ke sekolah.
Entahlah, Oriza benci sekali keadaan seperti ini. Jika tidak mengerti, dia pun
bingung harus bertanya pada siapa. Rata-rata temanya pelit padahal mereka pun belum tentu bisa.
Oriza bertanya pun bukan bertanya jawaban dari soal atau pun mencoktek nya.
Beda kalo mereka bertanya kepada Oriza.
"Za nomor ini jawaban nya apa?"
Atau
"Za coba aku lihat yang essay".
Tapi kalo Oriza bilang tidak mau, mereka langsung jawab.
"Mentang-mentang Lu rangking di kelas".
Untungnya Oriza mempunyai teman sebangku yang begitu cocok dengannya.
Dia bernama Lani, seorang anak baru pindahan dari sekolah di kota XX.
Masuk ke sekolah yang sama dengan Oriza saat kelas sepuluh semester dua.
Datang ke sini di bawa oleh saudaranya, karena Lani seorang yatim dan ibunya sudah tidak sanggup membiayai sekolahnya.
Saudaranya pun baik sekali, tidak hanya membiayainya sekolah Lani tapi juga
membiayai makan termasuk barang dan keperluan pribadinya. Bahkan Lani sudah di anggap seperti anak sendiri oleh saudaranya itu.
Tidak terasa sudah masuk mata pelajaran ke dua, mata pelajaran yang paling di sukai oleh Oriza.
Yaitu pelajaran matematika, jika sudah tiba waktu ini Oriza pasti sangat bersemangat.
Kerena matematika adalah ilmu yang memberikan jawaban mutlak atau pasti pada hasilnya.
Entah mengapa, sebagian orang bahkan menganggap matematika adalah salah satu pelajaran yang paling sulit.
Sulit atau tidaknya itu semua bergantung dari cara memandanginya. Matematika dianggap sulit jika
mereka pada dasarnya tidak suka berhitung dan lebih condong untuk menghafal. Namun seseorang dapat menjadi suka pada ilmu
Matematika jika dia memiliki niat dan fokus untuk mempelajarinya.
Matematika bukanlah soal angka. Tetapi Matematika adalah ilmu yang harus memerlukan logika serta penalaran yang tinggi dalam proses pembelajarannya maupun penyelesaiannya.
Itulah salah satu alasan mengapa Oriza cocok dengan Lani, karena Lani pun menyukai hitunga-hitungan terutama di dalam mata pelajaran akuntansi.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!