NovelToon NovelToon

I LOVE YOU (I LOVE YOU NOT)

Pertemuan Pertama

Suara muadzin yang mengumandangkan Azan subuh kali ini terdengar sangat merdu dan lantang. Berbeda dari beberapa hari sebelumnya dimana setiap tiba waktu sholat suara azan di perumahan kami sama sekali tak terdengar sejak ada pembatasan volume penggunaan Toa masjid.  Mataku masih terasa berat untuk terbuka setelah sekian hari disibukkan dengan aktifitas kantor yang begitu menguras pikiran. Sungguh nikmat dan nyenyak rasanya tidurku kali ini.Ingin rasanya Aku melanjutkan buaian mimpiku- tapi tentu saja suara Azan sekali lagi

mengingatkan waktuku untuk cepat bangun untuk melaksanakan sholat.

Suara gemericik air yang dihidupkan dari keran kamar mandi  terdengar - sepertinya Ibu terlebih dahulu bangun dan berwudhu.  Aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang ada di ruangan tengah rumah kami untuk segera berwudhu dan menyusul Ibuku untuk sholat berjamaah dengannya. Tak lama berselang kulihat ibu sudah menungguku untuk bersama-sama melaksanakan sholat - ibu menggeser kursi lipat sholatnya yang biasa dipakai setiap kali melaksanakan sholat. Sejak dua tahun ini ibu hanya bisa melaksanakan sholat dengan duduk di kursi yang dulu biasa digunakan Ayahku setiap sholat-di usianya yang menginjak tujuh puluh tahun Ibu masih terlihat sehat dan cantik-namun kemampuannya untuk mengerjakan beberapa gerakan dalam rukun sholat sudah berkurang.

Selesai Sholat Subuh- Ibu melanjutkan dengan membaca beberapa ayat Al quran. Semangatnya untuk mengkhatamkan bacaannya patut  diacungkan jempol. Dalam sebulan ini mungkin sudah tiga atau empat kali ibuku mengkhatamkan bacaan Al qurannya sedangkan Aku sampai seumur ini Aku baru tiga kali khatam  Al Quran.

Saat Ibu masih sibuk dengan kajian Al Quran nya- Aku seperti biasa melakukan rutinitas pagiku menyiapkan cemilan pagi buah-buahan dan jus herbal ibuku.  Semua  pekerjaan rumah tidak lagi dilakukan oleh seorang asisten rumah tangga. Suara mesin juicer terdengar menguasai ruangan dapur –kutuangkan  satu per satu jus buah dan minuman herbal ke dalam botol kaca yang sudah kusiapkan dan dengan  rapi kusimpan minuman-minuman tadi kedalam lemari pendingin yang ada di kamar ibu.

“Bu, jus buahnya sudah siap ya di meja,” ujarku pada Ibu yang masih duduk di kursinya. Ibu hanya mengangguk sambil tetap berfokus pada bacaannya.

Kuletakkan beberapa gelas jus buah di meja kecil yang ada disamping kursi Ibu. Aku lalu mengganti pakaian tidurku dengan pakaian olahraga - rutinitas pagi hariku adalah jogging disekitar  perumahan. Pukul setengah enam pagi hari – saat matahari belum sepenuhnya terlihat sinarnya di langit kota Palembang Aku memulai dengan langkah perlahan keluar dari halaman rumahku. Dinginnya embun pagi masih terasa- langkahku terasa ringan ditemani suara alunan music yang terdengar melalui earphone.

Kemudian langkah kaki yang tadinya perlahan mulai kupercepat seirama dengan ritme music yang terdengar di telingaku. Peluh pun mulai  bercucuran di wajah dan seluruh tubuhku. Sesekali aku menghentikan langkah kakiku saat ada orang yang kebetulan melintas berhadapan menegurku.

"Pagi Di. mama nggak ikut olahraga? tanya seorang lelaki tua yang juga rutin jalan pagi dengan rekan-rekan sebayanya.

"Mama biasanya keluar jam delapan atau sepuluh pagi om. Biar ada matahari dikit katanya" jawabku.

"Oh begitu, lanjut Di."ujar lelaki itu seraya  tersenyum dan memberi aba-aba dengan tangannya untuk membiarkanku melanjutkan  aktifitasku.

Tak terasa sudah kulalui putaran ketiga kukelilingi jalan di komplek perumahanku dan aku memutuskan kembali ke rumah untuk bersiap -siap memulai aktifitasku selanjutnya. Kulihat Ibuku sudah menyiapkan sarapan pagi dengan sepiring telur omlet dan  nasi goreng untuk  sarapan kami.

“Mau dibawakan apa Di untuk bekal makan siang di kantor? tanya Ibu yang masih sibuk menyiapkan piring diatas meja makan kami.

“Ndak usah lah Bu. Hari ini Aku ada rapat di kantor -  biasanya disana sudah disiapkan untuk makan siang.” Jawabku.

“oh begitu.”sahut Ibuku lagi.

“Ibu mau dibelikan apa nanti untuk makan siang? Tanyaku balik pada Ibuku seraya mengistirahatkan tubuhku di kursi ukir tua yang ada di ruangan tengah.

“Ibu gampang. Nanti biar Pak Sidik yang membelikan makan siangnya.” Jawab ibu yang menyusul duduk di kursi ukir dihadapanku.

Pembicaraan pagi hari kami cukup kompleks -mulai dari segala hal yang terjadi di kantorku, cerita tetangga di lingkungan perumahan kami sampai cerita tentang cucu- cucu Ibu yang mulai beranjak remaja. Cukup seru pembicaran kami- apalagi dengan ekspresi tubuh ibuku setiap kali bercerita tentang cucunya dari adik bungsu kami.

“Di- kalau suatu saat kamu menikah lagi. Ibu pengen cucu laki-laki ya,” canda Ibu

Aku tertawa mendengar ucapan Ibu itu. Cucu laki-laki? Ah ada-ada saja Ibu ku ini batinku.

“Aamiin. Smoga aja nanti dapat menantu yang baik ya Bu. Jadi bisa kasih cucu yang lucu untuk Ibu.” Balasku bercanda.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi - sudah waktunya Aku mempersiapkan diri untuk pergi bekerja. Tak perlu memakan waktu yang lama untuk bergegas dan Aku pun sudah siap berangkat dengan mengendarai mobil silver  keluaran daihatsu Tahun 2018. Pak Sidik dengan sigap membukakan gerbang pagar rumah agar aku bisa mengendarai mobilku tanpa harus turun lagi untuk membuka pintu gerbang.

Pagi ini jalanan terlihat sudah mulai padat dengan kendaraan yang lalu lalang. semua orang di waktu yang bersamaan secara serentak memulai aktifitasnya masing-masing. Aku mengendarai mobilku dengan santai seraya

menikmati alunan lagu Madness dari The Muse. Jarak rumahku ke kantor memang tidaklah terlalu jauh-hanya kemacetan dipagi hari perjalanan yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu duapuluh menit kali ini  bisa ditempuh dalam waktu hampir satu jam.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empatpuluh lima menit- dan artinya aku sudah melewati waktu masuk jam kantor. Sesampainya di gerbang halaman kantorku- segera kuparkirkan mobilku dengan rapi berjejer dengan mobil lainnya yang sudah terparkir di kantor. kulihat Herdi salah seorang pegawai di kantor kami dengan sigap membantu membawakan semua dokumen kantor yang kujinjing yang sengaja kubawa pulang tadinya.

"selamat pagi, Bu." sambut Herdi seraya mengambil alih semua bawaan yang ada di tanganku.

"Pagi, Herdi Sehat Di? ujarku kembali.

“Alhamdulilah Bu. Pagi ini terlambat datang bu?

“Iya. Hari ini jalanan begitu macet.” Jawabku sambil berjalan menuju ke lantai atas ke  ruangan kerjaku.

“Selamat Pagi- Bu Dee.” Salam beberapa pegawai yang kebetulan sudah terlebih dahulu datang ke tempat kerja.

“Pagi semua.” Jawabku sambil tersenyum pada mereka.

Aku langsung menuju ruanganku. Masih tersusun rapi beberapa dokumen yang tertumpuk diatas meja kerjaku. Kusimpan tas ransel kecilku di laci meja bagian bawah-dan Herdi meletakkan dokumen yang dibawanya tadi diatas meja kecil disampingku.

Kuhidupkan Personal Computer ruangan dan aku mulai berkutat dengan data dan angka melanjutkan pekerjaanku yang tertunda kemarin sore. Seperti biasa disela-sela aktifitas kerja Aku mengaktifkan chat room facebook milikku berharap ada berita yang iseng dapat kubaca hari ini dari kerabat dan sahabatku saat waktu senggang.

"Ting!

sesaat terdengar suara pesan dalam chat room ku yang dikirim oleh seseorang.

(Hi, Diana)

Entah kenapa seketika hanya sekedar membaca sepenggal kata dari pesan itu sudah membuatku merasa bersemangat.

Sebuah pesan pembuka dari Mahendra-lelaki yang saat ini dekat denganku yang saat ini menetap di negeri kangguru Australia.  Aku bertemu dengannya saat Aku, kakak  perempuanku Triana dan anak lelakinya Rafif berkunjung ke Sydney  untuk mengantarkan Rafif keponakanku yang berencana melanjutkan pendidikannya di kota tersebut.

(Hi, How are you?)  jawabku kemudian

*(I am Fine. Are you at work?)

(yes)

(can I call?)  lanjut pesan masuk itu lagi

(Yes. Offcourse)

tak perlu menunggu lama, berselang kemudian terdengar suara telpon genggamku berbunyi.

""Apa kah-bar Di? terdengar suara dari seberang sana dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

"Aku Baik. kenapa kamu sudah terbangun ?

"Yes. Aku Kang-gen pada kamu." jawab suara itu lagi.

Suara itu adalah suara Mahendra lelaki berdarah Pakistan-Jerman yang kukenal tanpa sengaja beberapa tahun lalu di Kota Sydney- Australia. Mahendra adalah seorang pemuda perantau dari pakistan yang merantau ke Australia dan mengenyam pendidikan doktoral nya di Universitas Sydney Australia.Disela kesibukannya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan  Gigi lelaki itu juga mengelola usaha Jasa Pengiriman antar kota di wilayah New South Wales-Australia.

Saat itu-  Aku,  yuk Triana, serta Rafif  kebingungan di Central Railway Station Sydney yang terletak di ujung selatan Sydney CBD- saat mencari jalur kereta yang menuju wilayah pegunungan Blue Mountain yang berbatasan dengan wilayah Metropolitan Sydney. Kuminta rafif keponakanku untuk bertanya pada petugas Central Station untuk kereta yang menuju Blue Mountain. Aku sengaja meminta  keponakanku itu untuk bertanya pada petugas di sekitar stasiun agar ia memiliki  keberanian ketika harus berhadapan dengan orang asing di Negara orang sekaligus untuk melatih kemampuan bahasa asingnya.

Saat kami menunggu info dari Rafif itulah saat  Aku berpapasan dengan Mahendra. Melihat kami berdua yang tampak kebingungan lelaki itu tanpa sungkan menghampiri kami.

"Asalam'oalaikum, sister. Are you from malaysia? Maybe i can help you? sapa Mahendra waktu itu dengan mengucapkan salam kepada kami. Ucapan salam itu spontan terucap mungkin karena melihat kami berdua yang

berwajah asia dan menggunakan hijab seperti kebanyakan wanita muslimah lainnya.

"Waalaikumsalam. No. We are from Indonesia." jawabku.

Diantara penduduk yang minoritas muslim di Negara orang- tentunya sangat senang bila bertemu dengan sesama saudara muslim di tempat yang asing yang baru pertama kali kami kunjungi.

Keramahan Mahendra pada kami membuat kami merasa nyaman untuk menjadi lebih akrab. Sampai akhirnya Mahendra bersedia mengantar kami ke beberapa tempat yang ingin kami tuju hari itu.

Pertemuan pertama dan dilanjutkan pertemuan- pertemuan hari berikutnya selama di Sydney membuat Aku dan Mahendra semakin dekat- apalagi disetiap waktu luang kerjanya Mahendra menyempatkan diri mampir ke hotel untuk sekedar mengajak minum kopi bersama atau berkeliling kota dengan mobil sedan putihnya.

Rafif keponakanku pun terlihat sangat akrab dengan Mahendra. Percakapan diantara keduanya tak jauh dari pembicaraan tentang rencana Rafif yang ingin melanjutkan pendidikan di Universitas Sydney dimana tempat Mahendra  menempuh pendidikannya.

“Well- you need to force yourself harder to get here.

( Kamu harus berusaha untuk dapat belajar lebih giat untuk masuk disini)” Ujar Mahendra kepada rafif saat itu sambil mengajaknya keliling  lingkungan Universitas Sydney yang bangunan -bangunan kampusnya bergaya  arsitektur kuno.

Lelaki yang berpostur tinggi besar itu terlihat bersemangat mengenalkan setiap bagian dari bangunan Aula besar universitas yang terletak di segi empat utama kampus Camperdown, perpustakaan dan ruangan belajar. Terlihat

didepan bangunan itu hamparan halaman yang hijau dan luas dimana para mahasiswa sibuk dengan bacaannya atau sekedar bercengkrama dengan sesame mahasiswa.Sesekali pandangan Mahendra tertuju ke arahku- dan entah keberapa kalinya pandangan kami bertemu dan membuat kami menjadi salah tingkah.

Tanpa disadari benih-benih cinta diantara kami mulai tumbuh. Entah mengapa dengan lelaki berdarah Pakistan satu ini bisa membuatku merubah pandanganku terhadap laki-laki. Selama ini yang ada dalam otakku tergambar

bahwa lelaki adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk menjadi pembohong,  pengkhianat, dan pemalas. Aku bukannya anti terhadap lelaki-apalagi teman-temanku sejak aku kecil bisa dibilang didominasi kaum lelaki.Mereka

bagiku hanya bisa dijadikan teman tapi tidak menjadi pasangan hidup.

Sepeninggalan suamiku secara mendadak mungkin entah sudah beberapa lelaki yang datang padaku. Dari yang sekedar ingin berkenalan atau kearah yang serius. Tidak ada satupun yang kutanggapi. Entahlah tak ada  sedikitpun terbersit dalam otakku untuk dekat dengan lelaki mana pun apalagi untuk menikah lagi.

Bahkan kedua sahabatku Milda dan Aproita berkali-kali memintaku untuk membuka hati untuk lelaki lain. Mereka sepertinya khawatir  melihatku yang tak henti meratapi nasib. Aku yang memang masih belum punya keinginan membuka diri untuk lelaki lain bersikap dingin dan enggan untuk memulai komunikasi dengan orang lain yang baru saja kukenal.

Pernah suatu kali Mildha sahabatku itu memperkenalkan Aku dengan lelaki yang merupakan teman dari salah seorang keluarganya yang kebetulan tinggal di Kota Serang -Banten. Berawal dari bertukar nomor kontak telepon milik kami dan berlanjut ke perbincangan melalui whatsapp.

(Saya sangat senang berbicara dengan Dik Diana. sepertinya dilihat di foto Dik Diana orangnya keibuan dan penyayang). bunyi pesan yang masuk di  whatsapp ku.

Kali ini  seorang lelaki bernama Darmanto mencoba membuka pembicaraan.

Darmanto adalah salah satu dari beberapa lelaki yang dikenalkan oleh kedua sahabatku itu. Kami memang belum pernah bertatap muka hanya beberapa kali pesan whatsapp saja sudah membuatku bosan dan enggan untuk

meneruskan percakapan basa basi itu.

(Apa adik mau ta'aruf dengan saya?) lanjutnya lagi.

(Maaf Pak. Saya tidak bisa dan sekali lagi Saya minta maaf untuk kita hanya sekedar bersilaturahmi saja. Tidak lebih)

(Kenapa, dik?)

(Saya tidak bisa menyampaikan alasan Saya. Saya mohon pengertian Bapak)

(Saya bersedia menunggu Dik) bunyi tulisan Darmanto seperti mendesakku

Tentu saja Aku sangat tidak berkesan dengan sebuah pemaksaan seperti itu. Lagi-lagi emosiku terpancing. Aku tak ingin ada orang lain yang mendikte hidupku. Entah semuanya berubah dalam diriku. Aku yang sekarang sangat

sensitive dengan kata-kata atau perlakuan dari orang-orang di sekelilingku. Aku yang dulu ramah dan periang sekarang sangat mudah marah dan terpancing emosi. Tanpa berbasa basi lebih jauh lagi langsung saja kublokir kontak Darmanto.   Untuk sekian kalinya Aku bersikap seperti itu. Yang jelas bukan karena saat itu Aku sedang

dalam suasana berduka dengan meninggalnya suamiku- tapi lebih kepada trauma untuk mengenal lelaki lagi.

Namun Setelah hampir Lima tahun aku menutup diriku dari lelaki manapun- saat ini Aku merasakan kembali  perasaan cinta pada seorang lelaki. Dan lelaki itu bernama Mahendra.

Walaupun komunikasi diantara kami hanya pembicaraan-pembicaraan ringan atau candaan menggoda lewat handphone. Tak ada sikap kasarku seperti sebelumnya  aku lakukan pada beberapa lelaki yang mendekatiku. Aku seakan berubah menjadi makhluk manis nan manja bagai remaja yang pertama kali jatuh cinta.

"hello? are you there Di? terdengar suara Mahendra dari seberang  membuyarkan pikiranku yang entah kemana.

(hello?apakah kamu masih disana, Di?)

"Oh. Sorry being ignorance." ujarku sesaat tersadar.

(oh, maaf mengabaikan anda)

"Ap se mil ker khushi huwi, Di" ujarnya lagi dalam bahasa urdu.

(senang bertemu dengan Kamu, Di)

"what?

(apa?)

"hahaha" Terdengar suara Mahendra tertawa pecah diseberang sana.

"Its mean I am happy to meet you here. Aapko urdu ati hai?

(Apakah kamu mengerti bahasa urdu)

Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dengan sigap kuambil tranlator digitalku dan mencari makna dari kata-kata Mahendra tadi. Dulu semasa masih kuliah- Aku sangat mengagumi karakter salah seorang bintang Bollywood - Shahrukh Khan. Walaupun jalan cerita film yang dimainkannya biasa-tapi karakter lucu yang mendominasi peran yang dimainkannya cukup menghibur. Namun tidak terpikir dalam benakku Aku akan mencintai lelaki yang berasal dari negeri kelahiran Shah Rukh Khan itu.

"Do you get  what I mean?

(Apa kau mengerti yang aku katakan?)

"oh ya. sorry I am using translator to understand what you said. " jawabku lagi.

(oh ya. Maaf Saya menggunakan penterjemah untuk paham apa yang kamu ucapkan)

Percakapan kami pun akhirnya semakin lancar ketika Mahendra memutuskan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Aku pun sedikit lega karena telingaku begitu asing dengan apa yang Mahendra ucapkan dalam bahasa

urdu sehingga harus menggunakan bantuan penerjemah digital.

Namun sejak pertemuan pertama lalu- kami belum bisa bertemu lagi. Maklumlah-biaya hubungan jarak jauh antara Indonesia dan  Australia bisa menghabiskan gajiku selama tiga atau empat bulan sebagai pegawai negeri. Sedangkan Mahendra walaupun baginya biaya tidaklah berat namun waktu luangnya sebagai rofesional kesehatan di negara orang sangatlah terbatas. Kerinduan kami selama itu hanya bisa diungkapkan dengan video call whatsapp setiap harinya.

"Di, I have duty in Seoul next month. will you be there too?" tanya Mahendra suatu ketika padaku melalui sambungan telepon.

(Di, aku akan bertugas di Seoul bulan depan. apakah kamu mau ikut?)

"Oh. For how long?"

(oh untuk berapa lama?)

"For a month." jawab Mahendra lagi. " Will you come Di?"

(untuk sebulan)

Membayangkan sebuah pertemuan di negeri para KPOPers dan  rencana pertemuan yang romantis bersama Mahendra seketika membuatku senyum-senyum sendiri.  Aku belum pernah merasa bahagia seperti ini  sebelumnya. Perasaan yang berbeda yang sama sekali tidak kurasakan ketika Aku bertemu pertama kali dengan Edi sebelumnya yang juga kujalani secara jarak jauh. Namun seketika terbersit dalam otakku  tabungan yang semakin menipis dengan pengeluaran yang menjadi beban ku setiap bulan.

"Sorry, Dear. Since I move to this town- I really dont have enough money for Flights and all accommodations”ujarku sedikit kecewa.

 (Maaf.  Sejak Aku pindah ke kota ini- aku tak punya cukup uang untuk  penerbangan dan akomodasinya)"

Ya bila berharap dengan gajiku saat ini yang memulai lagi jabatan dari bawah pada instansi pemerintahan rasanya  untuk mengeluarkan biaya perjalanan ke negeri orang sangatlah tidak mungkin.  Dulu Aku memang masih bisa menyisihkan uang penghasilanku dari pekerjaanku sebagai pegawai pemerintahan  dan juga usaha sampinganku sebagai konsultan teknis di sebuah hotel di Kota Bandung. Tapi sekarang aku hanya mengandalkan gaji pokok yang hanya cukup untuk biaya hidupku selama sebulan.

"I'll pay all your expences" ujar lelaki itu lagi meyakinkanku.

(aku yang akan bayar semua)

Betapa senang aku mendengar jawaban Mahendra tadi. Aku yang memang senang bertualang ke beberapa tempat sedari  Aku masih berstatus single seperti mendapat  harapan lagi untuk menikmati hasrat berpetualangku. Sejak Aku menikah dengan Edi-belum pernah rasanya Aku menikmati wisata ke kota lain selain kota kelahiran suamiku di Cirebon - bahkan untuk pulang ke kampung halamanku sendiri aku tidak dengan mudah mendapatkan ijin darinya. Rasa takutku terhadap suami mengalahkan kerinduanku pada keluargaku. Namun, tak banyak yang bisa aku

lakukan saat itu selain- PASRAH.

Edi  sebenarnya bukan sosok yang aku inginkan menjadi suami. Wajahnya jauh dari penilaian tampan apalagi menarik -kulitnya gelap dan  tubuhnya pun telihat tambun. Tetapi keramahan dan  keahliannya bermain musik secara otodidak membuat orang lain kagum pada sosoknya. Edi yang kukenal dulu adalah lelaki  yang pendiam dan dikenal memiliki tutur bahasa yang lembut . Entah apa yang membuatnya berubah setelah sekian tahun pertemuan kami sejak kelulusan

Saat ini -rasa kehilangan sosok Edi dalam diriku begitu kuacuhkan. Aku tak ingin lagi mengingat sosok itu apalagi mengingat masa lalu yang telah kami lewati bersama. Rasa kecewa- sakit hati-dendam sudah bercampur dan menyatu  dalam hati. Walaupun beberapa kerabat maupun pemuka agama yang kutemui sering kali  mengingatkanku untuk tidak menyimpan rasa benci dan dendam terhadap orang yang telah tiada.

Seberapa besar aku berusaha melupakan sakit hati ini -namun kebencian itu kadang timbul dan menjadi mimpi buruk bagiku. Sampai saat inipun -Aku sama sekali tidak mengerti mengapa Aku bisa memutuskan menikah dengan Edi sebelumnya  dan tetap dalam pernikahan kami selama lebih dari tujuh tahun. Bahkan kerabat dan sahabatku sejak awal menentang pernikahan ini dan  tidak yakin akan keputusanku saat itu.

"Di- sebaiknya kau pertimbangkan lagi keputusanmu." nasihat Bang Agus saudara sepupuku yang kebetulan pernah menjadi teman semasa Edi kuliah dulu. "Dia tidak pantas menjadi suamimu. sifat dan latar belakang keluarganya sangat jauh denganmu."

"Keluarganya gila harta, Di" ujar Bang Rahmanto kakak lelakiku yang nomor dua yang juga saat itu menentang rencana kami. Bahkan Abangku satu ini dengan sengaja pergi ke kota tempat tinggal keluarga Edi untuk mencari tahu siapa dan bagaimana keluarga calon suamiku itu.

Tidak cukup disitu- rekanku yang tingal di Kota Lampung juga ikut mengingatkanku setelah mengetahui desas desus rencana pernikahan dengan Edi.

" Di-  calonmu itu tukang mainin perasaan cewek. Kita temen-temen kasian dengan kamu nantinya. Please Di- batalkan." ujarnya saat itu melalui telpon jarak jauh dengan ku.

Namun semua nasihat ataupun masukan dari orang-orang itu sama sekali tak kuhiraukan. Entah apa yang terjadi dan ada dalam pikiranku. Saat itu Aku sangat merasa yakin dengan keputusanku. Bahkan kedua orang tuaku

yang ikut menentang pun sama sekali tak kutanggapi.

"Waktu adalah satu-satunya hal yang dapat menjawab apakah dia pantas atau tidak menjadi pasangan hidupku." jawabku saat itu.

Cinta bukanlah soal fisik yang sempurna, melainkan hati dan penerimaan seutuhnya. Selalu kata-kata itu yang kujadikan perisai ketika ada penolakan dari kerabat-kerabatku atas hubunganku dengan Edi.

Rencana Tuhan pasti sudah diatur dengan sebaik mungkin untuk perjalanan hidupku. Tidak ada seorangpun yang bisa mengatur bagaimana perasaan orang lain terhadap kita kecuali kita sendiri yang menjalani.

Sebenarnya sudah banyak masalah yang aku alami selama menjalin hubungan dengan Edi sejak kami masih berstatus pacaran . Edi sangat emosional-mudah tersinggung ketika apa yang dia inginkan tak bisa terpenuhi.

Edi sangat mudah tersinggung ketika kami berdiskusi atau ketika Aku menyampaikan pendapatku. Akhirnya semua yang tadinya kuanggap hal biasa malah ditanggapi dengan kata-kata kasar yang kuterima darinya atau lemparan benda apapun yang bisa dia genggam dan lemparkan kearahku. Aku yang biasanya suka membalas semua perlakuan kasar yang ditujukan padaku justru tak punya daya untuk melawan apalagi membalas dengan kata-kata.

Sampai pada akhirnya Aku  menikah dengan Edi dan kedua orangtuaku dengan terpaksa memberi restu- Aku seakan tak lagi memiliki kemampuan untuk menghindar dari pernikahan ini.  Hal paling sulit yang harus Aku jalani selama hidupku bersama Edi.

Aku yang terbiasa dengan segala kemudahan yang kudapat dari orang tua harus benar-benar menyesuaikan diri dengan kondisi Edi yang semua dimulai dari nol. Apa yang dia ucapkan kepada orangtuaku sebelum menikah sangat berbanding terbalik dengan apa yang Aku rasakan dan kudapatkan selama pernikahan.

Edi yang sebelumnya  mengaku pada keluargaku memiliki sebuah hunian sederhana di wilayah Bandung Timur -kenyataannya hanya tinggal di sebuah kamar kecil di sebuah mess pegawai yang disediakan kantor  tempatnya

bekerja. Ruangan dengan ukuran tiga kali tiga meter persegi menjadi kamar tempat kami tinggal.

Beberapa kamar sudah terisi oleh rekan sesama pegawai di tempat Edi bekerja baik yang sudah berkeluarga  ataupun yang masih single. Semua aktifitas sehari-hari kami lakukan di ruangan kecil tersebut. Kami tidak memiliki ruangan pribadi lain selain kamar tidur.

Edi memiliki karakter yang kunilai sangat santai  dalam bekerja dan lebih banyak  menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman -temannya. Teman dilingkungan kerja  Edi pun kunilai memiliki kebiasaan yang sama. Entahlah- dalam pandanganku  lingkungan tempat kerja Edi yang harusnya menanamkan disiplin tinggi pada pegawainya  justru tidak mencerminkan sebuah instansi yang memiliki disiplin tinggi yang patut menjadi contoh.

Ada rasa kecewa dalam diriku atas segala perilaku Edi padaku dan keluargaku. Satu per satu apa yang menjadi keraguan kerabatku akhirnya terbukti.  Edi bukanlah pasangan hidup yang baik untukku. Namun Aku berusaha untuk tetap  bertahan dalam pernikahan ini mengingat janji ku pada Ayahku bahwa apapun kondisi yang kujalani selama pernikahan dengan Edi akan kujalani dengan resiko yang akan kuterima tanpa mengeluh.

Janji yang sebenarnya tidak perlu kupegang teguh

Ujian Pernikahan I

Pagi ini  jadwal kerjaku begitu padat. Hari ini Aku harus memonitor acara pada sebuah pertemuan yang diadakan oleh pemerintah daerah tempatku bekerja yang bekerjasama dengan salah satu kementrian. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi-  Aku yang biasanya setelah menunaikan sholat subuh masih menyempatkan diri untuk sarapan pagi- kali ini Aku harus lewatkan sarapan buatan Mak Tini- pengasuhku sejak Aku masih kanak-kanak. Mak Tini sudah tinggal denganku sejak kedua orangtuaku pindah tugas ke kota lain dan Ibuku memintanya

untuk menemaniku tinggal di rumah kami. Mak Tini adalah adik perempuan Ibuku yang sudah menjanda sejak beberapa tahun lalu. Tentu saja kehadiran mak Tini bukan untuk menjadi asisten rumah tanggaku- karena bagaimanapun dia adalah orang tua yang sepatutnya kuperlakukan dengan baik.

 "Sarapannya Di? ujar Mak Tini padaku dari dapur yang tak jauh dari tempatku berdiri.

"Ga Usah. Mak. lagi buru-buru. " ujarku  seraya naik ke mobilku serta menghidupkan mesinnya.

“Tapi nanti kamu sakit, Di.” Ujarnya lagi setengah memaksa.

“Nanti juga di kantor aku biasa makan di kantin, Mak.” Ujarku dari dalam mobil. Aku menyalakan mesin mobilku dan

sesaat kemudian kuinjak pedal gas mobilku dengan mengambil posisi memundurkan kendaraan yang kunaiki itu.

Tiba-tiba perutku terasa nyeri. Sejak subuh Aku memang merasakan keram dibagian perutku. Entahlah-mungkin Aku yang sedang tidak dalam kondisi fit  atau  karena hatiku yang masih menyimpan amarah semalam pada suamiku hingga membuatku tidak bisa tidur. Setelah pertengkaranku dengan  suamiku pikiranku melalang buana dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi diantara kami.  Pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi disaat kondisiku yang sedang hamil tiga bulan.

Namun bila dipikir-pertengkaran itu sangat wajar terjadi  karena posisi kami yang saling berjauhan dan Edi sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya selaku seorang suami pada istrinya yang sedang hamil. Hal ini juga akibat dipicu dengan adanya pesan whatsapp yang beberapa kali kuterima di handphoneku dari seseorang yang mengaku sebagai kekasih suamiku. Seseorang yang dengan sengaja mengirimkan beberapa foto suamiku dengan seorang wanita muda yang terihat sangat mesra.. Usia pernikahanku belum lagi satu tahun- tapi ini untuk kedua kalinya emosiku diuji untuk sebuah kesetiaan dari seorang suami.

“Lalu siapa perempuan itu” tanyaku pada Edi melalui sambungan telepon.

“Sudahlah. Kau jangan pancing lagi emosiku. Dia bukan siapa-siapa hanya teman.” Jawab Edi dengan suara tinggi dari seberang sana.

“Bukan siapa-siapa katamu? Tapi kenapa harus berpegangan tangan dan duduk berpelukan seperti itu? Tanyaku

lagi dengan suara yang lebih tinggi

“Lalu apa mau Kau? ujarnya dengan kata-kata yang mulai terdengar kasar

“Aku ingin kita pisah. Ini sudah kedua kalinya dirimu seperti ini.”

“Ok kalau itu yang Kau mau.”

Aku terkejut. Ya-Allah terucap juga kata-kata itu dariku. Tapi Aku sebenarnya tidak menginginkan itu terjadi terlebih dengan kondisiku saat ini yang sedang berbadan dua.

“Kamu benar-benar tidak memiliki tanggungjawab sebagai seorang suami. Bahkan selama Aku hamil pun tak sedikitpun kamu datang atau sekedar menanyakan kondisi kehamilanku.” Ujarku seraya menahan amarah.  Aku memang sudah terbiasa mandiri dalam melakukan segala hal- namun kondisi hamil muda seperti ini membuatku emosiku tidak stabil dalam menyikapi segala hal. Tak ada  sedikitpun perhatian dari seseorang yang kunamakan suami. Awalnya aku tidak pernah mempermasalahkan sikap Edi padaku- tapi saat ini Aku merasa suamiku bagai orang lain yang sama sekali tidak memperdulikan kondisiku yang sedang mengandung anaknya sendiri.

“Aku sibuk kerja.” Ujar Edi tanpa rasa bersalah.

“Oh baiklah. Setelah anak ini lahir kita urus perceraian dan ambil anak ini denganmu. Aku tidak menginginkannya.” Ujarku lantang membalas kata-kata Edi.

Astaqfirullahalazim- apa yang barusan kukatakan tadi. Sejenak Aku terdiam dengan kata-kata yang Aku ucapkan

barusan. Segera Aku menyadari perkataanku pada Edi tadi sungguh tak pantas untuk Aku ucapkan disaat seperti ini. Tapi Edi sudah memutuskan sambungan telepon kami.

Tak henti aku menyesali ucapanku yang penuh emosi itu. Ingin rasanya Aku menangis dan berteriak sepuasnya  meluapkan amarah yang memenuhi rongga dadaku. Tapi ini sudah terlalu malam. Tak ada tempatku bercerita-Mak tini tak akan memahami keadaan yang saat ini aku hadapi. Aku merasa begitu sendirian di rumah ini. Aku juga tak memiliki keberanian untuk meluapkan beban hatiku pada keluargaku- karena mereka tak pernah menerima Edi sepenuhnya sebagai bagian dari keluarga kami.

Rasa kantuk dan lelahku seketika hilang karena emosi yang memuncak setelah pembicaraan di telepon tadi. Entah setelah berapa lama Aku bisa memejamkan mataku- setelah berkali-kali ku paksakan memejamkan mata.

Untuk kedua kalinya Aku merasakan keram di perutku. Aku mencoba mengatur napasku seraya duduk di belakang setir. Rasa keram di perutku kembali hilang. Kuhidupkan mesin mobilku kebetulan jalan  menuju tempat pertemuan ku pagi ini cukup lengang dan tak perlu memakan waktu lama di perjalanan - dan Aku sudah tiba di tempat tujuanku lebih cepat dulu daripada anggota panitia lain yang juga turut hadir di tempat itu.

Kulihat baru ada salah seorang pegawai kantorku yang hadir dan menyambutku di depan pintu hotel tempat pertemuan. Aku segera ke ruangan pertemuan-menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan nantinya. Lancar atau tidaknya kegiatan ini tergantung dari kerjasama kami  selaku panitia dan Aku ingin segala sesuatunya berlangsung sesuai rencana.

Selang beberapa jam kemudian- satu per satu peserta sudah mulai berdatangan- kebetulan mereka ditempatkan dalam satu hotel tempat acara diselenggarakan untuk memudahkan mobilisasi peserta maupun panitia.  Kulihat mobil yang bertugas menjemput Narasumber dari kementrian pun sudah tiba- Aku segera menyambut Ibu Deputi dan kami pun menuju ruang tunggu VVIP dimana atasanku sudah menunggu.

Suara pembawa acara sudah terdengar -hiruk pikuk suara peserta yang saling berbincang pun sudah ramai terdengar dari ruangan tempat kami menunggu. Dengan ramah Aku mempersilahkan Ibu deputi untuk memasuki ruangan pertemuan.

Kulihat Atasanku sudah terlebih dulu duduk di samping kursi narasumber. Aku pun mempersilahkan Ibu deputi

untuk duduk berdampingan dengannya.  Namun tiba-tiba Aku kembali merasakan keram di perutku. Kali ini dikuti dengan keringat dingin yang mulai mengucur dari wajah ku. Aku berusaha menenangkan diri- namun rasa sakit ini semakin membuatku gelisah. Tak lama moderator memanggil namaku selaku penanggungjawab acara untuk membuka acara. Aku berusaha berdiri dari dudukku- Namun kali ini kakiku terasa begitu lemah untuk berdiri.

“Sepertinya Bu Diana kurang sehat,”ujar ibu deputi kepadaku. “wajahnya pucat sekali bu.”

“Tidak Bu, mungkin karena Saya kurang tidur semalam.” Ujarku seakan menenangkan diriku sendiri. Lalu Aku meminta ijin pada kedua atasanku itu untuk membuka acara.

Aku berjalan menuju mimbar- namun tubuhku terasa semakin lemah dan pandanganku mulai berkunang.

Tiba-tiba Ibu deputi berdiri dan berjalan menghampiriku.

“Ibu-maaf itu di roknya ada bercak darah. Bukannya ibu sedang hamil? Ujarnya terlihat sedikit panik.

Aku memegangi bagian belakang rok ku. Terlihat olehku tanganku sudah menempel  bercak darah segar.

Pandanganku semakin buram- rasa terkejutku membuat perasaanku semakin tidak menentu.

Gedubrak!!

Aku terjatuh lemas disamping mimbar. Sayup-sayup masih terdengar olehku suara Ibu Deputi memanggil petugas kesehatan yang memang selalu kami siapkan setiap kali kami mengadakan acara semacam  ini.

Entah apa yang terjadi setelahnya- Yang kuingat  sesaat tersadar aku sudah terbaring  di tempat tidur  dalam  sebuah ruangan dengan dibatasi tirai putih yang menutupi sekelilingku. Terlihat samar-samar orang-orang berseragam putih yang sibuk dengan alat medis mereka.

“Diukur tensi dulu dan pasang oksigen ya sus.” Terdengar salah satu dari mereka berbicara. “Apa ada keluarga pasiennya? Karena harus segera ambil tindakan.”  Lanjutnya lagi.

“Saya .” Terdengar olehku suara Tante Mala yang merupakan adik perempuan ibuku disekitar ruangan. Samar-samar Aku lihat tante Mala sesekali memfokuskan pandangannya ke arahku dengan rasa kuatir apalagi melihat kondisiku yang terbaring tak berdaya.

Tante Mala ternyata sudah dihubungi oleh salah satu rekan kantorku saat mereka membawaku ke rumah sakit terdekat dengan mencari tahu kontak keluarga melalui riwayat panggilan dari handphone milikku.

“Apakah suami pasien ada bu. Ada formulir yang harus ditandatangani sebelum tindakan kuretasi untuk membersihkan sisa janin di rahim pasien.” tanya salah satu orang perawat pada tanteku.

“Suami pasien di Bandung Sus. Saya satu-satunya keluarga yang ada di kota ini.”

“Ibu orang tua dari pasien?tanya perawat itu lagi

“Bukan. Saya Tantenya. Orangtua yang bersangkutan sedang berdinas di Bangka. Keponakan Saya tinggal sendirian disini.”

“tapi kami memerlukan persetujuan suami atau orangtua pasien, bu. Sebaiknya Ibu hubungi suami atau orangtua pasien untuk tandatangan formulir  persetujuan  bisa diwakilkan oleh Ibu sebagai keluarga.”

“baik Saya coba hubungi suami dan orangtuanya.” Ujar tanteku kemudian

Tante Mala mengambil handphone miliknya dari dalam tas jinjing yang ia bawa. Tangannya  dengan cepat mencari nomor Edi di daftar kontak pada handphonenya. Terdengar suara sambungan telpon berbunyi- namun tak ada jawaban sama sekali dari Edi. Entah sudah berapa kali  tanteku menghubungi nomor yang sama namun tak ada tanggapan

dari Edi. Wajahnya yang putih mulai berpeluh- ada kekuatiran namun ada juga kekesalan  di wajah itu ketika mendengarku sesekali mengerang kesakitan dari tempat tidur rumah sakit ditambah kekesalannya saat tidak berhasil menghubungi Edi. Walau begitu tetap saja Tante Mala berusaha menghubungi Edi.

“Ya halo.” Terdengar suara Edi dari handphone tanteku. Handphone itu sengaja volumenya dibesarkan oleh tante agar petugas rumah sakit bisa mendengar pembicaraan mereka.

“Edi ini Tante Mala, Diana masuk rumah sakit karena pendarahan. Pihak rumah sakit meminta persetujuan

suami untuk tindakan kuret.” Ujar Tanteku pada Edi dengan suara yang sedikit parau

Edi tak segera menjawab. Entah apa yang dikerjakannya saat itu tapi terdengar seperti sedang berbicara dengan beberapa rekannya.

“Halo, Edi gimana?Ditunggu keputusanmu sekarang.” Suara tanteku mulai meninggi karena menunggu respon

dari Edi.

“Ya- silahkan saja”ujarnya tanpa beban dan terkesan tidak sopan kepada tanteku

“Apa nanti Kamu bisa kesini-kasian istrimu.”tanya tante mala lagi

“Tidak bisa. Saya banyak pekerjaan disini. Saya serahkan pada tante semua urusan dia.”

“Ya Tidak harus hari ini. Besok bisa kan?

“Maaf, Saya tidak bisa.” Jawab Edi lagi.

Wajah Tante mulai memerah seakan menahan emosi dalam dirinya mendapat jawaban dari  suami keponakan yang

dia sayangi seperti itu.  Tante Mala tanpa basa basi langsung menutup pembicaraan mereka. Ia terlihat begitu kesal dengan tanggapan Edi. Entah apa yang dibicarakan dengan perawat  akhirnya Tante Mala menandatangani formulir yang diberikan perawat padanya sebagai  persetujuan untuk pengambilan tindakan kuretasi terhadap diriku.

Tak berapa lama proses kuretasi itu berlangsung- Aku merasa lelah- dan mengantuk. Mungkin efek dari obat bius

yang disuntikkin ke tubuhku mulai bereaksi. Tanpa sadar Aku pun tertidur setelahnya.

Keesokan harinya-kondisiku sudah terlihat lebih baik. Namun Aku masih merasakan  sakit dan kram pada bagian perut dan organ vitalku. Ada rasa tak nyaman disetiap kali aku merubah posisi tidurku namun lebih tidak nyaman berada di ruang kamar rumah sakit sendiri.  Saat itu pintu  kamar ku terbuka- Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dan menyapaku dengan senyum ramahnya.

“Selamat Pagi ibu Diana.Kita cek tensi dan suhu tubuh dulu ya Bu.” Ujarnya seraya mempersiapkan peralatan medisnya dan menaruhnya disisi tempat tidur ku.

“Pagi Suster. Silahkan suster.” Suster Anita melingkarkan kain pengukur tensi ke lenganku- dan memastikan alat tensi tersebut terpasang dengan baik.

“tensinya seratus per delapan puluh ya bu.”ujar suster Anita. “suhu tubuhnya tigapuluh tujuh derajat”

“Alhamdulilah. Tapi apa Saya bisa pulang ke rumah hari ini suster? Tanyaku sudah tak sabar.

“Saya tanyakan ke dokter dulu ya Bu.”

Aku mengiyakan. Suster itu kemudian merapikan peralatannya dan kemudian berpamitan keluar dari kamarku.

Tak berselang lama- suara pintu kamar rawat terdengar kembali dibuka. Kulihat teman karibku Fina dan Tante Mala masuk ke kamar dengan membawa jinjingan mereka masing-masing.

“Assalamualaikum Diana.” Ujar Fina- lalu wanita muda itu mendekatiku seraya mencium pipi kiri dan kananku. “yang sabar ya Di.” Ujarnya lagi

“Iya, makasih ya Fin.”

“Kak Edi nggak kesini Di?”

Aku tidak langsung menjawab. Entah kenapa mendengar nama suamiku itu saat ini bisa dengan mudah terpancing emosiku.

“Sudahlah Fin. Nggak usah bahas-bahas dia lagi.”

“Loh, bagaimanapun Dia harus tau kondisimu Di.”

“Dia sudah tau. Tapi tidak   mau tahu.” Ujarku dengan nada kesal. Kekesalanku itu tidak kutujukan ke Fina tapi pada Edi. Hari ke dua Aku dirawat di rumah sakit tidak ada sekalipun dia berusaha menghubungiku melalui  sambungan  telepon atau sms

“Kok bisa begitu ya kak Edi, Di? Bukannya dia begitu besar cintanya sama kamu kenapa kondisi kamu seperti ini sekarang Dia malah tidak ada”

“Dia tidak pernah tulus mencintai Aku.”

Fina tampak terkejut dengan ucapanku. Wanita muda ini sangat tahu dengan karakterku apalagi saat emosiku mulai dipermainkan. Tak ada lagi yang ingin ia tanyakan- ia hanya menunggu Aku untuk  menceritakan sendiri apa yang kurasakan.

Gadis muda yang berdiri disampingku itu melihatku. Aku yang Ia kenal sebagai seorang gadis yang periang dan tegar terlihat murung dan tak berdaya. Pandanganku terlihat kosong- teringat lagi semua komentar kerabat yang  memang tidak mendukung pernikahanku  dengan Edi. Namun kini tak ada guna semua penyesalan.

Hari Ketiga- Setelah Kejadian keguguran janinku.

Aku menjalani aktifitas ku  seperti biasanya. -Aku sudah kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku di kantor. Aku sangat bersyukur rekan-rekan kerjaku banyak membantu pekerjaanku saat Aku terbaring tak berdaya di rumah sakit.

“Apa Diana sudah benar-benar merasa sehat? Tanya Pak Tamsil- lelaki paruh baya itu adalah atasanku. Beliau memintaku menghadap ketika tahu Aku sudah mulai kembali menjalankan pekerjaanku.

Umumnya memang pemulihan paska kuret dengan pendarahan ringan akan berlangsung selama dua sampai tiga hari. Namun untuk kondisi  saat itu dokter menyarankan  wanita muda ini untuk beristirahat lebih lama.

Pak Tamsil adalah seorang dokter-yang memang memiliki pengetahuan mendalam mengenai kesehatan. Karena kemampuannya itu- dia dipercaya untuk menjabat di satuan kerja yang memang lebih banyak berurusan dengan kesehatan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Lelaki paruh baya ini sangat penuh perhatian padaku- bahkan perlakuannya bagai  seorang  Ayah yang begitu perhatian pada anak perempuannya sendiri. Tak heran- perlakuannya begitu padaku- karena dulunya pak tamsil adalah bawahan Ayahku saat beliau masih berdinas di instansi yang sama dengan Ayah dan lelaki itupun sudah mengenalku sejak Aku berusia remaja.

“Alhamdulilah- Saya sudah lebih baik saat ini Pak.” Jawabku meyakinkannya.

Pak Tamsil tampak mengernyitkan dahinya. Kerutan di wajahnya semakin terlihat dengan wajahnya yang

berkulit putih itu.

“ Diana-anakku. Saya akan lebih kuatir melihat wajahmu yang pucat tapi masih berkerja di tempat ini. Cobalah jangan berkeras bahwa kondisi kamu baik-baik saja,” ujarnya lagi.

“Sungguh- Pak. Saya baik-baik saja.”

Lelaki paruh baya yang ada dihadapanku itu kemudian berdiri dari tempatnya duduk. Lalu dia mendekati

tempat ku duduk.

“Dengarkan Saya Anakku- Ayahmu menitipkan kamu pada Saya. Saya tahu kamu orang yang pekerja keras- tapi

kamu harus juga berpikir soal kesehatanmu. Saya tahu kamu tidak sedang baik-baik saja.”

“Insyallah Saya baik-baik saja Pak.

Pak Tamsil kembali ke tempat duduknya,  “ohya, bagaimana dengan suamimu, Di?Apa dia tidak ingin pindah bekerja disini?

Aku sejenak terdiam."Tidak Pak. Mungkin Saya akan lebih baik mengajukan cerai dari dia.”

Seketika wajah pak Tamsil berubah mendengar jawabanku. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya selain ucapan istiqfar.

“Astaqfirullahalazim"

Dia kembali terdiam sejenak- Mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang sudah terlihat menua dan kemudian kembali berujar padaku,

" Saya tidak tahu permasalahan kalian. Tapi sebaik-baiknya pasangan sebaiknya kalian tidak tinggal berjauhan seperti sekarang. Kalau Suamimu tidak ingin pindah- pikirkanlah  untuk kamu mendekat dan tinggal bersama suamimu, Diana. Sebagai seorang istri, maka Kamu harus membaktikan seluruh hidupmu kepada suami. Sebab setelah menikah, seorang wanita memiliki tugas mulia untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Tugas mulia itu selayaknya dimulai sejak hari pertama pernikahan sampai batas waktu yang dikehendaki oleh Allah. Saat maut memisahkan keduanya di dunia” nasihat Pak Tamzil panjang lebar padaku.

“Saya tahu hal itu Pak. Tapi Saya sudah tidak bisa lagi berdamai dengan segala kebohongan yang suami saya lakukan.”

“Mungkin Bapak terlalu banyak bicara. Tapi Bapak hanya bisa memberimu saran untuk  berkonsultasi dengan orangtuamu tentang hal ini. Karena Yang Bapak tahu sebelum menikah  dulu kamu selalu berusaha meyakinkan orangtuamu bahwa Edi adalah pilihan yang terbaik untukmu. Walau kenyataan saat ini Kamu justru  berpikir sebaliknya- maka kamu juga harus bicarakan dengan orang tuamu,Nak.” Lanjut Pak Tamsil lagi dengan bijaknya.

Aku tak mengiyakan ataupun membantah perkataan itu. Semua orang mengetahui bagaimana perjuanganku

agar aku mendapatkan restu kedua orangtuaku untuk bisa menikah dengan Edi. Tapi semua itu saat ini rasanya tidak layak untuk diperjuangkan apalagi dipertahankan. Semua yang diucapkan dan dijanjikan Edi tidak satupun

dibuktikannya. Perasaan malu pada keluarga maupun kerabat berkecamuk dalam hati. Untuk menutup mukaku dengan kedua telapak tangan saja rasanya tidak akan cukup.

Setelah sekian lama pembicaraanku dengan Pak Tamsil- Aku berpamitan untuk kembali ke ruang kerjaku. Di ruang kerja Aku sama sekali tidak bisa fokus mengerjakan apapun selain melamun dan memikirkan semua ucapan Pak Tamsil tadi. Ada benarnya apa yang beliau ucapkan bahwa perjuangannya dalam membangun rumah  tangga benar-benar terasa jika kita hidup dalam rumah sendiri dibandingkan dengan memilih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Hidup berpisah atau berjauhan dengan pasangan akan menimbulkan rasa curiga dari masing-masing.

Kali ini, lepas empat puluh hari sudah waktu kujalani setelah proses kuretasi janin dalam kandunganku. Namun keinginan ku untuk berpisah dari Edi semakin kuat. Entah setan apa yang merasuki pikiranku- kebencianku pada Edi semakin bertambah dari hari ke hari apalagi sejak kejadian keguguranku Edi sama sekali tidak pernah  mengunjungiku ke Kota ini. Hanya beberapa pesan singkat yang menanyakan kondisiku yang dia kirimkan padaku.

(Sudah baik kau?) bunyi pesannya suatu waktu.

Pesan yang benar-benar singkat dan terkesan basa basi bagiku.

Edi yang dulu diawal kami pacaran selalu lembut dalam perkataannya namun beberapa bulan menjelang kami menikah sifat kasarnya lah yang selalu muncul ketika berbicara atau bertemu denganku.

Hal yang paling kuingat dan membekas dalam hatiku saat Edi mengajakku pertama kali   menemui keluarganya di Kota kelahiranny.di saat Aku yang secara kebetulan mendapatkan tugas dinas di Kota Bandung- mempunyai kesempatan untuk mengunjungi Edi ke tempat kerjanya. Edi menjemputku di penginapan dan menyampaikan keinginannya  untuk mempertemukanku dengan keluarganya.

“Kita naik motor ke cirebonnya, nggak apa-apa kan? Tanyanya masih dengan suara yang lembut padaku.

“Tidak masalah.” ujarku mengiyakan. Yang kuingat saat itu- Edi begitu bersemangatnya memintaku untuk ikut serta menemui keluarganya di kota kelahirannya itu. Aku tak mungkin menolak permintaan itu-walaupun Aku merasa hal itu terlalu cepat mengingat Aku dan Edi baru saja menjadi sepasang kekasih.

Saat itu kami hanya mengendarai roda dua menyusuri sepanjang jalan menuju kota kelahiran Edi. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh- tubuhku merapat ke tubuh Edi karena motor yang dikendarainya sedikit condong kedepan sehingga mempersulit posisi dudukku untuk berjarak dengannya. Perjalanan yang cukup jauh bagiku-tapi Aku  menikmatinya karena hembusan angin yang terasa sejuk langsung menerpa ke wajahku ditambah lagi pemandangan disepanjang perjalanan yang sangat indah dengan hamparan sawah yang menghijau dengan sungai di sisi lain jalan dengan air  yang mengalirnya dengan terus menerus.

Suasana seperti itu tak ayal membuat aku merasakan kantuk yang teramat sangat ditambah lagi terpaan angin kencang yang langsung ke wajahku. Mungkin Edi tahu kondisiku saat itu-  ketika tubuhku mulai oleng ke kiri dengan sigap Edi menarik tanganku melingkari pinggangnya serta  menggenggamnya dengan erat. Aku merasa tersanjung dan senang dengan  perhatiannya itu.

Sampai setibanya kami di kota kelahiran Edi- Aku langsung melepas helem yang menutupi kepalaku- tak tahu lagi raut wajahku seperti apa terlihat. Yang jelas perjalanan ini sungguh membuatku terlihat berantakan dan lelah. Aku turun dari boncengan motor Edi- dan Edi pun memarkirkan motornya di samping halaman rumah orang tuanya.

Dari dalam rumah beberapa orang terlihat keluar menuju teras rumah bermaksud menyambut kehadiran kami berdua. Wanita paruh baya yang bertubuh tambun dengan kerudung panjang menghampiri Edi dan memeluknya.

“Aih, Aak pasti capek habis perjalanan jauh.” Ujarnya pada Edi sesaat melepas pelukannya.

“ Heeh.” Jawab Edi sambil menyambut pelukan wanita itu dengan senyumnya.

“Ini Diana? Ujar wanita itu lagi ketika matanya melihat ke arahku. Senyum yang tadinya hadir saat menyambut Edi seketika menghilang ketika melihatku.

“Ya, Bu. Saya Diana” jawabku singkat  memperkenalkan diri.

Wanita itu tak lagi banyak bertanya- ia mengajak kami berdua untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa anggota keluarga Edi yang tadi berdiri di teras satu- per satu memperkenalkan diri padaku. Sampai satu ketika Aku memberi salam pada lelaki paruh baya yang berpostur tinggi kurus yang ada di hadapanku. Tak ada keramahan yang terlihat di wajah lelaki itu. Matanya tajam seakan menyusuri bagian dari diriku yang berdiri dihadapannya.

“Silahkan masuk.” Ujar lelaki itu kemudian padaku.

Aku mengikuti- Edi kemudian mengarahkanku untuk duduk  di kursi yang bersebelahan dengannya.

“Oh ya. Capek nggak naik motor? Tanya lelaki itu lagi padaku masih dengan pandangan yang kurang bersahabat.

“Lumayan, Pak.”

Lelaki itu tak langsung melanjutkan  pertanyaannya. Kemudian ia berbicara dengan Edi dengan bahasa Cirebon yang sama sekali tidak bisa kupahami artinya. Edi kemudian beranjak dari duduknya- dan berjalan menuju arah ruangan lain dari rumah itu meninggalkan Aku bersama kedua orangtuanya di ruang tamu mereka.

“Kamu pegawai negeri juga? Kembali pertanyaan  Ayah Edi dilontarkan kepadaku.

“Ya, Pak.”

“Orang tuamu kerja apa?

Aku terdiam. Hei, perkenalan macam apa ini batinku. Apa pantas perkenalan pertama kali Aku sudah diserang dengan pertanyaan semacam itu.

“Orang tua saja hanya pegawai biasa seperti saya, pak.” Jawabku walau dengan perasaan yang sedikit kurang nyaman.

“Hemmm.” Lelaki itu terdengar bergumam. Ia tak langsung melanjutkan pertanyaannya- namun perkataannya yang keluar dari mulutnya kemudian adalah hal yang paling menyakitkan yang Aku rasakan selama mengenal orang yang baru saja kukenal.

“kamu tahu, Di. Edi adalah anak lelaki saya yang pertama. Di kampong kami ini- banyak orang tua yang menginginkan Edi untuk menjadi menantu mereka”

Aku terkejut mendengar perkataan Ayah Edi. Tapi Aku berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dimata lelaki

itu.”ya, Pak.”

“Kamu tahu- Edi bahkan diminta untuk berjodoh dengan salah satu anak pejabat tinggi di kota ini. Bahkan kedua orang tuanya bermaksud memberikan rumah dan mobil untuk kami.” Lanjut lelaki itu dengan angkuhnya.

Aku semakin terkejut dengan semua yang kudengar dari mulut lelaki yang duduk dihadapanku itu. Apakah ini sebuah penghinaan atau penolakan dengan kehadiranku ini. Tapi apakah ucapan itu pantas diucapkan oleh tuan rumah kepada tamu yang dating ke rumahnya pertama kali.

“Kamu- Apa yang kamu bisa tawarkan untuk Edi? Lelaki itu balik melemparkan pertanyaan padaku.

“Maksud Bapak? Tanyaku semakin tak mengerti.

“Ya. Semua perempuan yang dekat dengan anak saya pasti membawa sesuatu bila berkunjung kesini. Sedangkan kamu?

Tiba-tiba emosiku memuncak- sungguh Aku tidak menyangka akan menerima penyambutan yang demikian. Apakah dengan kehadiranku disini benar-benar dijadikan kesempatan untuk kedua orang tua itu untuk menghinaku.

“Maaf-Pak. Saya kesini karena permintaan Kak Edi dan maaf jika Saya tidak membawa apapun.” Ujarku masih

berusaha untuk sabar. “lagipula saya kesini hanya untuk berkunjung-bukan untuk diperkenalkan sebagai calon pendamping Kak Edi.”

Tanpa kusadari tiba-tiba Edi datang dari arah ruangan lain dan dengan amarahnya lelaki itu memotong semua

pembicaraan kami.”Apa maksudmu berbicara seperti itu.”

"Jadi Diana ini bukan calon istrimu Edi? tanya Ayah Edi lagi pada anaknya.

"bukan begitu. Maksud Saya.. " aku mencoba memberi penjelasan tapi kemarahan Edi sudah tak mampu tertahankan padaku.

"Sudahlah. Kalau itu yang kamu mau. l" hentak Edi.

Aku sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan. Kedua orang tua Edi tampak tersenyum sinis ke arahku. Entah apa yang da dalam pikran mereka tapi setidaknya Mungkin merek menganggap aku tak pantas menjadi pendamping Edi.

Sungguh suasana perkenalan pertama itu adalah awal pertengkaran demi pertengkaran antara aku dan Edi selanjutnya.

Saat suasana makin terasa tidak nyaman di tempat itu. Edi kemudian memutuskan untuk kembali ke Bandung bersamaku. Tentu saja sesuatu yang sangat kuharapkan keluar dari lingkungan yang tidak nyamanuntuk berlama-lama dan membuat perasaaanku lega.

Namun situasi yang berbeda yang kuterima sepanjang perjalanan pulang kami dari pertemuan keluarga tadi.

Edi dengan sengaja menambah kecepatan kendaraan roda duanya dan hampir membuatku terlempar dari atas motornya.

“Hey! Teriakku dengan panik. “Bisa pelan-pelan Kak!

Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan teriakanku bahkan semakin jadi dia melajukan motornya dengan

lebih kencang.

“Stop! Turunkan Aku disini! Teriakku sekencang mungkin.

Dan Tiba-tiba Edi menarik handle rem motornya sehingga membuatku terkejut dan terdorong kedepan secara mendadak. “Turun kau.” ujarnya dengan kasar padaku. Aku sama sekali tak tahu apa yang ada dalam pikirannya sehingga suasana hatinya berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah ia bertemu dengan keluarganya tadi.

“Ada apa denganmu?Apa Aku ada berbuat salah tadi? Tanyaku tidak mengerti.

“Sudahlah. Dak perlu kau tanya-tanya. Turun kalo kau mau turun.” Ujarnya lagi dengan teriakan yang keras.

Tak perlu berpikir lama-segera aku turun dari motornya. Dan kubiarkan lelaki yang bertubuh cukup gempal itu melaju dengan motornya meninggalkanku di pinggir jalan ini.

Sebenarnya sebelum menikahpun Edi sering menunjukkan mood swing yang bisa berubah- ubah dan justru tanpa Aku tahu penyebabnya. Hal inilah yang membuat hubungan kami beberapa kali putus sambung sebelum menikah. Sejujurnya dengan kondisi Edi seperti itu aku sudah tidak merasa aman dan nyaman bila harus mempertahankan hubungan kami apalagi sampai ke jenjang pernikahan.

Pernah suatu ketika disaat mood Edi sedang baik- Aku mencoba bertanya apa yang bisa  membuatnya tiba-tiba marah padaku.

“Aku tidak suka kau berbicara dengan lelaki lain, terlalu akrab apapun itu. Aku juga tidak suka kau menyembunyikan segala hal dariku.” Jelasnya.

Aku sama sekali tidak memahami ketidaksukaan Edi saat itu apalagi kecemburuannya yang tidak beralasan. Aku bukan tipe wanita yang suka beramah-tamah dengan setiap lelaki apalagi  lelaki yang sama sekali tidak kukenal. Aku bukan tipe orang yang suka dengan kebohongan sehingga Aku menutupi sesuatu hal dari orang  yang kuanggap sebagai pasanganku.

“Aku tidak mengerti maksud Kakak. Aku tidak pernah sok akrab dengan lelaki lain kecuali Aku memang sudah mengenalnya sejak lama dan apa yang kusembunyikan? Ujarku padanya.

“Pokoknya  Aku tidak suka.” Hanya dengan kata itu Aku sudah tidak ingin lagi banyak bertanya padanya.

Tapi entah apa yang membuatku selalu kembali dan menerima Edi lagi dan lagi pada walaupun di dalam hati ini sebenarnya sudah tidak ingin lagi bersamanya. Hal inipun sering kali terjadi saat kami sudah menjadi suami istri.

Aku kembali teringat dengan pesan kedua orang tuaku sebelum pada akhirnya Aku mendapatkan  restu mereka untuk menikah dengan Edi. Restu ini akhirnya kami dapatkan setelah untuk ketiga kalinya kedatangan Edi untuk melamarku ditolak mentah-mentah oleh keluargaku terutama Ayah dan Ibuku.

“Ayah dan Ibu memberikan kamu restu namun ada beberapa syarat yang harus kalian penuhi.” Ujar Ayahku saat itu.

Aku dan Edi mengiyakan apapun persyaratan yang akan disampaikan Ayah pada kami berdua.

“Sebelumnya Saya ingin bertanya pada Edi. Apakah Edi mau menjawab dengan jujur?

“ya, pak.” ujar Edi saat itu dengan terbata-bata.

“Apakah Edi mampu menjaga anak Saya Diana bila saya ijinkan menikah nantinya?

“ya, pak”

"Apakah Edi memiliki tempat tinggal untuk kalian menetap anti setelah menikah?

“Ya pak ada.”

Aku menoleh ke arah Edi. Ada Apa ini? Kenapa dia tidak mengatakan hal yang sejujurnya dihadapan kedua orang tuaku.Yang Aku ketahui Edi belum memiliki rumah sendiri karena selama ini dia hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan  bersama teman-teman sekantornya.

Ayah menoleh ke arahku dengan memberikan  kode satu jari padaku. Aku tahu maksud Ayah yang ingin menunjukkan satu kebohongan yang sudah dibuat oleh Edi.

Edi mungkin tidak menyangka bahwa sebelum kedatangannya untuk melamarku kali ini Aku sudah menceritakan kondisi ekonomi Edi dan keluarganya yang sebenarnya kepada kedua orangtuaku. Namun kali ini Edi membuat kesalahan besar dihadapan orang tuaku.

Ayah mengambil teh hangat yang sudah  disiapkan oleh mama ku di cangkir  kesayangannya. Meminumnya seteguk seakan  ingin memberi jeda atas semua pertanyaan yang akan dilontarkannya kepada kami kali ini.

“Baiklah. Syarat Pertama- Edi harus menyelesaikan pendidikan masternya yang tertunda dulu. Kedua papa dan mama ingin kalian menikah dirayakan di tempat yang sama dengan Kakak-kakak Diana sebelumnya menikah tanpa ada bantuan dari papa dan mama. Ketiga- bila kalian nantinya sudah menikah  Papa dan mama harapkan kalian untuk tetap tinggal dan berkarir di kota ini. Tinggallah di rumah ini karena ini nantinya akan menjadi milik kalian juga.

Ke empat, Jangan pernah berbohong atau Menyakiti fisik dan hati anak Saya. Dan yang keempat ini persyaratan yang terpenting dari syarat-syarat sebelumnya” ucap Ayah dengan tegas

“baik pak. Kami janji akan kami penuhi semua syarat itu.” Jawab Edi tanpa berpikir panjang.

Aku melihat kearah Edi. Aku merasa Edi tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya dan sejujurnya Aku tidak yakin lelaki itu juga akan memenuhi janjinya pada kedua orang tua Ku saat itu.

Ujian Pernikahan II

Memasuki usia pernikahan yang ke empat -seharusnya sebagai pasangan kami merayakan hari pernikahan  dengan bahagia- tapi bagi Aku dan Edi tak bedanya dengan hari-hari biasa yang kami lalui. Tahun ke tahun  pernikahan kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. Aku dan Edi bertahan dalam  ikatan perkawinan ini bukan

karena saling mencintai tapi ada rasa malu dan takut pada orang tuaku yang membuat aku menahan diri untuk berpisah.

 Selama menikah dengan Edi kami menetap dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain dengan bermodal

menjual simpanan emasku yang dulu sengaja kusimpan sebagai tabungan. Terkadang bila sudah waktunya perpanjangan kontrak rumah Aku sengaja menggadaikan perhiasan itu sebagai jaminan untuk mendapatkan biaya kontrak rumah. Edi tak tergerak sedikitpun untuk memikirkan untuk membantu biaya kontrak apalagi untuk membeli sebuah rumah.

Mungkin orang lain akan berpikir secara finansial dengan penghasilan kami berdua sebagai pegawai negeri lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga kami apalagi hanya sekedar membeli sebuah hunian  sederhana. Tapi kenyataannya memang kami tak mampu untuk hal itu. Penghasilan Edi sama sekali tak kuketahui

berapa besaran dan penggunaannya- sedangkan untuk kebutuhan kami sehari-hari bersumber dari penghasilanku.

Qadarullah, beberapa tahun perjalanan kami yang setiap tahun  berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain akhirnya Allah berikan jalan rejeki yang tidak pernah kusangka. Seorang lelaki tua  yang tanpa sengaja ku bantu beberapa bulan lalu saat hampir terjatuh dari eskalator terminal keberangkatan di Bandara Halim Perdana Kusuma  menawarkanku side-job sebagai manager operasional di perusahaannya dengan gaji awal empat kali besaran gajiku sebagai seorang pegawai negeri. Saat itu waktu kerjaku sama dengan waktu bekerja biasanya namun hari sabtu dan minggu Aku mempunyai kewajiban untuk menyampaikan laporan langsung kepada pimpinan perusahaan.

Malam itu, Aku menerima beberapa panggilan tidak terjawab yang terekam di handphone milikku. sebuah nomor tidak dikenal dengan wilayah area jakarta. Ah, siapa ini sama sekali Aku tidak memiliki kenalan atau kerabat dengan nomor asing ini-batinku. Namun,ketika aku akan meletakkan handphoneku- nomor itu sekali lagi membuat panggilan.Rasa penasaranku membuatku menjawab panggilan asing itu,

"Ya, halo selamat malam." sapaku berusaha ramah

"selamat malam Ibu. Ini saya berbicara dengan Ibu Diana?' sapaa dari suara diseberang sana

"Ya betul Saya sendiri."

"Oh baiklah." sejenak suara wanita tadi terjeda."Perkenalkan dulu ibu- Saya Vera - sekertaris pribadi  Bapak Winata dari Perusahaan Sejahtera Sentosa." lanjutnya memperkenalkan diri

"Ya, Ibu. Ada yang bisa Saya bantu,"

"Begini ibu Diana, Saya diminta untuk menghubungi Ibu dan menanyakan apakah Ibu bersedia memenuhi undangan perusahaan bersama beberapa komisaris hari Senin mendatang?

"Undangan?Komisaris? tanyaku sedikit bingung. "maksudnya gimana ya?"

"Maaf Ibu Saya belum bisa menjelaskan lebih jauh. Tapi bila Ibu bersedia hadir-akan kami siapkan akomodasi dan pengganti transportasi Ibu."

"Tapi undangan untuk apa? setidaknya Saya punya gambaran.? tanyaku tambah penasaran. Tak mungkin rasanya

Aku yang bukan orang di dalam perusahaan dan sama sekali belum mengenal seluk beluk perusahaan tiba-tiba harus memenuhi undangan rapat bersama para komisaris perusahaan.

"Begini Ibu. Pimpinan menawarkan Ibu untuk bergabung di perusahaan Kami. untuk lebih jelasnya Bapak Pimpinan

langsung yang akan menjelaskan kepada Ibu saat peretemuan nanti." lanjut Vera

"Saya bicarakan dulu dengan suami Saya ya Bu Vera." jawabku sopan

"Baik Ibu. Kami tunggu informasi dari Ibu secepatnya ya Bu. Selamat malam Bu Diana" lanjut suara wanita itu mengakhiri percakapan di telpon.

Malam hari saat kulihat suamiku sedang bersantai dengan memainkan gitarnya di teras rumah kami. Aku  memberanikan diri untuk menyapa dan meminta waktu luangnya.

" Bisa Aku bertukar pikiran sebentar, Kak?" ujarku

Edi menghentikan permainan gitarnya- lalu matanya melirik ke arahku dengan seikit rasa tak senang.

"Ya. mau ngomong apa Kau?

Aku tidak segera menjawab. Kuambil kursi bambu yang sudah mulai goyah yang ada disamping Edi duduk-dengan tenang Aku duduk dan mengambil posisi berhadapan dengan Edi.

"Aku tahu dan sangat sadar akhir-akhir ini kita sangat membutuhkan uang yang banyak. Pertama untuk membiayai kuliah adik-adikmu dan juga dirimu. Kedua kita tidak selamanya terus tinggal dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain." ujarku membuka pembicaraan.

"Lalu - Maumu apa dan bagaimana?

"Aku ingin mencari pekerjaan sampingan bila Kakak ijinkan." ujarku dengan penuh keyakinan.

Edi memajukan posisi duduknya mendekat kearahku setelah mendengarkan ucapanku tadi. "Hah? Apa Aku tidak

salah dengar? ujarnya dengan sedikit tersenyum mengejek.

"Ya. Aku mendapatkan tawaran pekerjaan lain yang penghasilannya lebih baik."lanjutku.

Seketika tawa Edi pecah seakan tak percaya dan mengejek semua apa yang dia dengarkan dariku tadi.

"Siapa orang bodoh yang menawarimu pekerjaan. hei, jangan terlalu banyak bermimpi kau." ujarnya seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.

"Aku tidak bercanda. Hari Senin ini Aku ditunggu kedatangannya di rapat komisaris perusahaan Sejahtera Sentosa

di Jakarta. Mereka ingin aku bergabung dengan perusahaan mereka." lanjutku lagi seraya menunjukkan bukti percakapan aku dengan Ibu Vera dari pihak perusahaan.

Edi membaca semua percakapanku dengan Vera dari awal sampai akhir. terlihat ekspresi wajahnya yang tadinya tak percaya berubah cerah dengan senyum yang mengembang tipis.

"Ini beneran? ujarnya masih tetap belum percaya.

"Ya. bener." jawabku." Kakak masih ingat Aku pernah cerita Aku tanpa sengaja menolong orang tua di bandara yang saat itu hampir jatuh dari eskalator? tanyaku kembali

"Ya.trus?

"Orang tua itu pemilik perusahaan besar di jakarta. Dan beliau yang menawarkan Aku pekerjaan di perusahaannya."

"Kalau kau bekerja disana bagaimana dengan status pegawaimu? tanyanya mulai sedikit tertarik dengan

kelanjutan rencana ini.

"Aku diijnkan untuk bekerja dari sini. Tapi setiap  waktu libur atau sabtu-minggu. aku harus ikut dengan bos meninjau lokasi perusahaan beliau. Ya, teknisnya sih aku belum tahu detil apa aja pekerjaanku sebenarnya. Mereka baru akan membahas ini senin nanti." lanjutku lagi.

"Ok baikah. Aku setuju saja. Asal banyak uang yang kau hasilkan nanti." ujarnya dengan santai. Edi beranjak dari duduknya- meletakkan gitar yang sedari tadi ada dipangkuannya ke kursi yang ia duduki. Lalu lelaki itu berjalan santai melewati Aku yang masih duduk dihadapannya.

Ada rasa sedih melihat tanggapan Edi seperti itu- tapi selain Aku ingin mendapatkan penghasilan lebih- Aku juga

ingin menyibukkan diri dengan pekerjaan -pekerjaan apa saja asalkan aku tidak memikirkan semua permasalahan dalam rumah tanggaku dengan Edi.

Hari Senin Pagi, Aku dan Edi yang sudah terlebih dahulu menginformasikan ke kantor masing-masing untuk tidak dapat menjalankan tugas kantor seperti biasanya  pada hari senin ini memutuskan untuk pergi ke Jakarta lebih awal. Edi dengan semangatnya membersihkan sepatu kulit yang entah sudah berapa tahun lamanya ia kenakan

untuk dipakai ke pertemuan Kami di Jakarta. Sedangkan Aku sudah sejak semalam menyiapkan pakaian yang akan kami kenakan pagi ini.

"Kak- Jangan terlambat kita perginya. Karena kita ditunggu sebelum Makan Siang disana." ujarku mengingatkan Edi.

"Tenang aja sih. cerewet amat. Aku sudah siap." ujarnya sedikit terburu mengenakan sepatu dan kemudian

merapikan kemejanya.

Edi lalu menghidupkan mesin mobil Jeep kami. Suaranya yang berisik memekakkan telinga sebenarnya manambah

kekuatiranku untuk menempuh perjalanan jauh dari Kota Bandung ke Kota jakarta. Apalagi mobil ini sangat jarang sekali disentuh oleh perawatan mesin mengingat kondisi keuangan kami yang cukup untuk kebutuhan primer kami saja.

"Ayo cepat naik." ujar Edi memintaku untuk segera menaiki mobil.

Aku menuruti permintaan Edi dan mengambil posisi duduk di samping kursi kemudi.

Edi menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. Semakin dia menginjak gas suara mesin mobil semakin terdengar

memecahkan telinga dari knalpot. Entah- apakah orang disekitar jalan yang kami lalui juga merasa terganggu dengan suara itu. tapi Edi seakan tak perduli.

Keringat mulai bercucuran membasahi baju yang kami kenakan. Mesin pendingin mobil sama sekali tak berfungsi sejak kami membeli dari pemilik sebelumnya. Sesekali tanganku mengusap wajahku yang berkeringat dengan tisu. Sesekali pula Aku juga mengusapkan tisu ke wajah Edi yang dipenuhi peluh agar pandangannya tak terganggu saat menyetir.

Alhamdulilah-kekhawatiran kami  akan lalu lintas Kota yang macet dan padat saat itu tak terjadi. Jalan cukup

lengang untuk kami lalui hingga Kami bisa sampai di tempat tujuan Kami lebih cepat dari perkiraan.

Aku dan Edi bergegas menuju lobi hotel disana sudah menunggu Ibu vera dibantu dengan petugas hotel untuk

menyambut kedatanganku.

" Ibu Diana? ujarnya bertanya dengan sopan kepadaku setelah sejenak Ia mengamati sosokku yang tergesa

menghampiri resepsionoist.

"Ya. Saya sendiri? jawabku kemudian. " Dengan Ibu Vera? Aku balik bertanya

"Ya Ibu. Mari Ibu silahkan ikut Saya ke ruang pertemuan."ujarnya lagi. kemudian Vera melirik ke arah Edi yang berdiri di sampingku."Suami Ibu Diana? tanyanya pada Edi.

"Ya Bu. Ini perkenalkan suami saya Edi Siswanto." ujarku memperkenalkannya.

"Maaf, Apa Bapak juga berkenan ikut dalam pertemuan? tanya Vera lagi.

Edi tertegun. Matanya tak berkedip melihat penampilan Vera yang menarik dengan make up yang tebal berbalut pakaian yang cukup ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat sempurna.

"Eh, Anu. Saya biar menunggu di lobi saja." ujar Edi sedikit terbata.

"Oh begitu.Baiklah, Bila bapak ingin menunggu di restoran hotel juga tidak apa. nanti Bill nya bisa di klaim

ke perusahan kami." lanjut Vera lagi.

Edi tersenyum sumringah. Ia hanya menjawab penawaran itu dengan anggukan.

Tak perlu memakan waktu yang lama- Aku dan Vera sudah berada di dalam ruangan yang sangat besar dengan meja  besar ditengah ruangan dan kulihat lelaki tua yang pernah kubantu itu duduk di ujung meja membelakangi jendela yang sangat besar.

"Selamat datang, Diana." ujar lelaki tua itu menyambutku tanpa beranjak dari duduknya.

"Oh, Selamat Siang Pak beni" ujarku sambil berjalan menghampirinya dan menyodorkan tanganku untuk

bersalaman.

Lelaki tua itu menyambut hangat uluran salam tanganku. Wajahnya terlihat lebih cerrah dari pertama kali Aku

melihatnya di bandara waktu itu. saat itu lelaki tua itu terlihat begitu pucat dan lelah.

Tak lama satu persatu anggota komisaris perusahan masuk ke ruangan itu. Pak beni memintaku untuk duduk

didekatnya berdampingan dengan vera yang ada di sisi kanannya.

"Baiklah, semua anggota sudah berkumpul di ruangan ini." ujarnya membuka percakapan dalam pertemuan itu.

"sebelumnya Saya ingin memperkenalkan wanita muda yang duduk di sebelah saya ini."  Pak Beni lalu menunjuk  ke arahku sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas senyuman itu- dengan berusaha untuk lebih sopan Aku

berdiri dari dudukku untuk memperkenalkan diri kepada anggota yang lain.

"Nama beliau Ini Diana Rahma. Diana ini bekerja di pemerintahan sebagai Pegawai Negeri. Dia juga yang  membantu Saya sewaktu Saya hampir jatuh di bandara tempo hari." lanjut pak Beni.

Terlihat anggota  yang lain menganggukkan kepalanya.

"Saya ingin Diana bergabung dengan kita. Tugas dia nanti mendampingi Saya ke lapangan." lanjut Pak beni

memberi penjelasan

Aku tertegun mendengar penjelasan Pak Beni. Loh, bagaimana dengan pekerjaanku bila Aku harus mendampingi Pak Beni bekerja, batinku.

"Ohya, Berhubung Diana ini bekerja sebagai pegawai negeri. jadi Dia hanya mendampingi Saya bekerja di waktu liburnya saja." ujar pak Beni seakan menjawab kegundahan hatiku. "Nanti apa-apa yang harus dilakukan bisa dijelaskan sama Vera ya."

"Baik Pak. Tapi bila diijinkan- Bolehkah Saya untuk memberikan tanggapan atas tawaran baik dari Bapak." ujarku sedikit ragu.

Pak Beni mengernyitkan dahinya- "Apa Diana berkeberatan dengan tawaran Saya?

"Bukan. Bukan begitu Pak. Tapi Saya minim pengalaman bekerja di Perusahaan apalagi sebuah perusahaan besar

seperti milik bapak ini."ujarku menanggapi.

"Saya yakin Diana bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik."

Pembahasan soal bergabungnya Aku ke dalam perusahaan akhirnya diputuskan. Aku pun menerima dengan senang hati tawaran pekerjaan itu- apalagi penghasilan yang ditawarkan sangat menggiurkan. Selanjutnya Pak beni mengijinkan Aku untuk meninggalkan ruangan itu- karena para komisaris akan menyampaikan laporan  perkembangan perusahaan padanya yang bersifat rahasia.

Vera mengarahkanku ke luar ruangan dan mengantarkanku sampai ke restoran hotel yang terletak dilantai satu dimana Edi sudah menungguku.

"Baiklah Bu Diana. Nanti Akan kami informasikan soal kontrak kerja yang akan Ibu tandatangai dan jadwal kerja

Pak Beni untuk Ibu pelajari

"Baik Bu Vera. Saya tunggu informasi lebih lanjut. Terima Kasih atas bantuannya." ujarku lagi

Vera membalas dengan senyumannya lalu wanita muda itu meninggalkan Aku di depan restoran untuk melanjutkan

pekerjaannya.

Aku berjalan memasuki ruangan restoran dan kulihat Edi masih asyik dengan makanan yang berjejer penuh di

mejanya.

Entah apa saja yang dia pesan- tapi Aku tak ingin berkomentar banyak.

"bagaimana pertemuannya? tanyanya sambil mulutnya masih mengunyah makanan.

"Alhamdulilah lancar. Aku akan memulai pekerjaanku Minggu depan." jawabku.

"Oh secepat itu? Bagaimana dengan gajinya?

"Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya."

Edi mengangguk senang. Dengan sigap dia menghabiskan makanan yang ada dihdapannya tanpa menawarkan sedikitpun padaku. Aku yang melihat Edi makan dengan lahapnya rasanya sudah cukup kenyang. Apalagi rasa senang mendapatkan kesempatan bekerja bersama Pak Beni akan memberi harapan peningkatan ekonomi keluarga ku dan Edi kedepannya.

Sejak pertemuan di hotel itu- tentu saja sifat Edi banyak berubah padaku. Edi jauh lebih perhatian padaku- apalagi

sejak Aku memulai pekerjaanku- pundi-pundi keuangan kami semakin meningkat. Kami pun akhirnya memutuskan untuk mengganti mobil jeep tua kami dengan sebuah mobil yang jauh lebih baik walaupun tetap pilihan kami adalah  membeli mobil bekas yang sesuai dengan kemampuan keuangan.

Tak terasa hampir setahun Aku bekerja di perusahaan Pak Beni. Bulan lalu Aku sengaja mengajukan cuti tahunanku dari kantor  karena Pak Beni memintaku untuk mendampinginya ke perusahaan cabangnya di Singapore dan Hongkong selama satu minggu penuh. Aku mulai menikmati pekerjaanku apalagi pekerjaan ini lebih sering melakukan perjalanan ke kantor-kantor cabang Pak Beni yang ada di beberapa kota besar di Indonesia bahkan mancanegara.

Suatu hari- entah apa yang ada di pikiran Pak Beni saat itu lelaki paruh baya itu secara terus terang menyatakan

pandangannya terhadap Edi suamiku.

"Diana, boleh Saya berbicara hal yang sifatnya privacy dengan kamu?

"Oh ya. Bisa Pak."ujarku dengan hormat.

Lelaki itu mengelus dagunya sesekali tangannya mengetuk-etuk meja seakan ada keraguan di dalam dirinya untuk

melanjutkan ucapannya. Kemudian lelaki itu bergumam sesekali.

"Sebenarnya hal ini sudah lama ingin Saya utarakan padamu. Tapi Saya lihat kamu sangat tertekan dalam

pernikahanmu ini- maka itu Saya harus berbicara masalah ini."

Aku semakin dibuat penasaran oleh kata-kata Pak beni itu. Kenapa Pak beni ingin membahas soal pernikahanku dan bagaimana dia tahu kalau Aku memang merasa tertekan dalam pernikahan kami.

" Saya tidak suka melihat suami kamu itu Diana. Banyak hal yang dia tutupi dari Kamu. Kenapa kamu tidak

berpisah darinya. semakin lama Kamu dengan Dia semakin jauh kamu dari Bahagia."

"Maaf Pak. Kenapa Pak Beni bisa berpendapat begitu? tanyaku penasaran. walaupun sebenarnya Aku tidak menolak pernyatan Pak Beni itu.

"Diana, Kamu sudah saya anggap seperti anak Saya. Saya menjalani pernikahan dengan istri Saya sudah puluhan

Tahun. Dalam kepercayaan Saya ada namanya Feng Sui dan Saya melihat hal negatif yang terpancar dari wajah suamimu itu." ujar Pak beni menjelaskan.

Walaupun berkali-kali Aku menolak kebenaran yang diungkapkan Pak Beni. tetap saja semua ucapan yang dia sampaikan itu menjadi beban pikiranku. Apakah Aku harus bertahan dalam pernikahan ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!