"Makasih, ya, Ze. Tante suka banget sama hasil make up kamu." Miranda memuji sang make up artist yang tidak lain ialah keponakannya sendiri. Wanita kisaran usia pertengahan 50-an itu seakan tak ada bosan memandangi wajahnya yang tampak dua puluh tahun lebih muda.
"Sama-sama, Tante. Hasilnya bagus juga karena kulit wajah Tante yang sangat terawat." Zevanna balas memuji.
Ini sudah kesekian kalinya gadis itu merias wajah orang dan belum ada satu pun yang protes dengan hasil make up-nya. Jika begini terus Zevanna makin percaya diri untuk membuka jasa make up menggunakan namanya sendiri.
"Ya, sudah. Tante mau lihat Vania dulu, ya."
"Iya, Tante."
Wanita dalam balutan gaun brokat berwarna pastel itu lantas keluar, meninggalkan Zevanna yang kini sedang merapikan alat-alat make up. Tiga puluh menit kemudian, pintu kamar hotel kembali dibuka. Priscilla—kakak sepupu sekaligus atasannya—masuk sambil menenteng gaun dan menghampiri Zevanna yang baru saja merebahkan tubuh di sofa.
"By the way, tadi gue lihat eyeshadow-nya Tante Miranda kurang nge-blend. Lain kali lebih diperhatiin lagi, ya," ucap Priscilla selalu to the point jika sudah menyangkut pekerjaan.
Kening Zevanna berkerut samar. Rasa-rasanya ia sudah memperhatikan setiap detailnya. Dia juga selalu mengingat masukan-masukan yang selama ini diberikan Priscilla. Namun, entah mengapa selalu ada saja kurangnya.
Malas berpikir panjang, Zevanna pun mengambil notebook bergambar unicorn untuk mencatat. Memang lebih mudah kalau mengetik di ponsel, tapi bagi Zevanna, sesuatu akan gampang diingat jika ia pernah menulisnya di buku.
"Kalau udah selesai langsung siap-siap. Gue udah kasih tahu Bobby suruh ke sini buat bantu nata rambut kita. Tuh, dress-nya." Priscilla menunjuk gaun yang ia bawa menggunakan dagu, sementara tangannya meraih kopi yang memang disediakan keluarga pengantin untuk dia, Zevanna, dan juga Bobby—hair stylist sekaligus teman semasa kuliah Priscilla.
"Kak Priss ...." Zevanna merengek. Ia melempar notebook serta pulpennya ke meja secara sembarangan. "Gue absen, ya, di pemberkatannya Kak Vania. Capek. Nanti pas resepsi gue nongol, kok. Janji." Tangan kanannya membentuk tanda victory.
"Jangan gitu. Gue juga capek, tapi emang lo mau kalau pas nikah nanti ada saudara yang nggak dateng cuma gara-gara capek?"
Wajah Zevanna makin ditekuk. Dengan ogah-ogahan akhirnya dia bangkit berdiri, mengambil gaunnya, dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Sempat terpikir olehnya untuk tidur di dalam sana, tapi mengingat ada Bobby yang bisa mendobrak pintu kapan saja membuat Zevanna mengurungkan niatnya.
Bobby sudah berada di kamar dan sedang mengeriting rambut Priscilla saat Zevanna keluar dari kamar mandi. Kontan gadis itu mendekat, menarik kursi, dan duduk di sebelah Priscilla.
"Eits! Sabar napa, Ze. Prissy bentar lagi selesai, kok," seru Bobby melihat Zevanna mengambil catokan rambut miliknya.
"Gue abis dari salon kemaren. Jadi, cukup catok aja udah beres." Zevanna tak ambil pusing. Dia langsung menyatok rambut hitam panjangnya yang berkilau, sedangkan Bobby hanya mengedikkan bahu tak acuh.
Di tengah prosesi pemberkatan pernikahan yang nantinya langsung dilanjutkan dengan resepsi, Zevanna terkantuk-kantuk. Maklum saja, dia memang kurang tidur sebab semalam baru berpesta pora di acara ulang tahun Astrid, sahabatnya, dan baru sampai rumah pukul lima pagi dalam kondisi setengah mabuk. Selang beberapa jam, Priscilla sudah menggedor-gedor pintu kamarnya karena mereka harus segera menuju hotel di mana ia berada sekarang.
Zevanna langsung pergi mencari minum begitu resepsi dimulai. Matanya sudah sangat merah. Dia butuh teman yang bisa diajak mengobrol demi menjaga kesadarannya. Namun sialnya, di tengah keramaian pesta yang mengusung tema fairy tale itu, tidak ada seorang pun yang dikenalnya, kecuali Priscilla yang sudah pergi entah ke mana mengingat kenalannya bejibun. Sementara Bobby sudah pasti sedang berfoto-foto dengan fans-nya. Ya, selain berprofesi sebagai hair stylist, Bobby yang memiliki banyak pengikut di Instagram juga merupakan seorang selebgram.
Perhatian Zevanna yang sejak tadi tertuju pada minuman dengan kadar alkohol rendah di tangannya langsung teralihkan kala mendengar sebuah lagu yang cukup membekas dalam ingatannya karena pernah dinyanyikan seseorang yang seakan menjadi penghuni tetap di hatinya. Sontak ia mengangkat wajah dan mendapati Albert—sang mempelai pria—kini mulai melantunkan lagu untuk Vania. Zevanna melengos. Yeah, jelas bukan laki-laki itu. "Nggak mungkin juga dia ada di sini," batinnya meringis pedih.
"Dor!"
Zevanna menjengit kaget mendapatkan tepukan di bahu. Memutar arah duduknya, ia bersungut-sungut melihat Priscilla justru tertawa cekikikan. "Duh, nggak asik banget, sih!"
"Lo, tuh, yang nggak asik. Di pesta bukannya senang-senang malah ngalamun. Mikirin apa, sih?"
"Mikirrr … ada, deh. Kepo banget, sih!" Zevanna menjulurkan lidah. Untuk urusan asmara dia memang tidak gampang terbuka pada orang lain, termasuk ibunya.
Omong-omong soal ibunya, sejak tadi Zevanna tidak melihat wanita yang terkadang sibuknya mengalahkan pejabat negara.
"Kak, lihat Mama nggak?"
"Nggak, tuh. Udah kayak anak kecil aja nyariin emaknya di tempat beginian." Priscilla meledek. "Eh, dipanggil, tuh, buat foto," tunjuknya ke panggung yang sudah dipenuhi keluarga besar mereka.
Kedua gadis itu segera bangkit berdiri dan berjalan menuju singgasana pengantin yang didominasi warna putih.
"Selamat, ya, Kak. Happily ever after." Zevanna memeluk, kemudian bercipika-cipiki dengan Vania.
"Thanks, Ze. Semoga cepet nyusul, ya."
"Kak Prissy duluan, deh. Kan dia lebih senior." Zevanna melirik perempuan yang ada di belakangnya. "Gue nggak mau durhaka. Ntar malah dikutuk jadi kuas make up lagi."
Tawa renyah seketika membahana. Dari dulu Zevanna memang paling pintar kalau disuruh menjawab.
"Kebagusan kalau jadi kuas. Gue kutuk lo jadi plester komedo aja." Priscilla tak mau kalah.
"Kak Prissy!" Zevanna merajuk. Yang mana membuat yang lain justru makin tertawa kencang.
Begitu sesi foto selesai, Zevanna yang sudah tak kuat lagi berada di tempat itu berinisiatif pergi ke kamar hotel yang tadi siang ia gunakan untuk merias Tante Miranda. Namun, sebuah kesialan justru menimpanya. Seorang anak kecil yang berlari-larian tak sengaja menabraknya dan menumpahkan minuman di gaunnya. Zevanna ingin marah, tapi menyadari yang melakukannya anak kecil ditambah wajah bocah itu yang sontak ketakutan membuatnya mengurungkan niat.
"Lain kali hati-hati, ya, Dek." Zevanna menghela napas panjang, mencoba bersabar.
"I-iya. Maaf, ya, Kak."
Zevanna mengangguk dan membiarkan anak itu menemui orang tuanya. Setelahnya, ******* pelan terdengar saat melihat noda bekas minuman barusan. Jika tidak segera dibersihkan pasti tidak bisa hilang. Karena itu, Zevanna dengan cepat pergi menaiki lift, menuju kamar hotelnya. Masa bodoh orang-orang masih belum pulang. Lagi pula, dia punya alasan berarti jika nanti Priscilla atau keluarganya yang lain berkomentar tidak sedap.
Pintu lift terbuka begitu sampai di lantai yang dituju. Zevanna baru berjalan beberapa langkah tatkala matanya menangkap sepasang pria dan wanita berbeda generasi tengah berangkulan, hendak masuk ke salah satu kamar hotel di lantai tersebut. Kakinya mendadak lemas, sedangkan matanya terasa memanas karena air mata telah membayang di pelupuk mata.
"Mama ... Jayden ...."
Tak ada lagi bunyi spatula bergesekan dengan wajan, asap yang mengepul, dan aroma lezat yang membuat orang sontak menelan ludah kala menciumnya. Halcyon benar-benar sudah berakhir saat Jayden memutuskan untuk melepas lampu neon bertuliskan nama restoran milik keluarganya. Menyisakan kenangan yang begitu menyesakkan dada. Dia yang kini duduk di salah satu kursi dan ditemani keremangan cahaya lampu memandang sendu sekeliling. Dulu di jam-jam seperti ini, tempat ini sedang ramai-ramainya. Namun sekarang, ia bahkan bisa mendengar detak jarum jam yang terpasang di dinding.
Semua karena pandemi COVID-19. Jayden membencinya. Gara-gara virus corona pula dia harus kehilangan ibunya dan tidak lama setelah itu ayahnya pergi entah ke mana. Jayden tahu pria itu terpukul setelah kehilangan istri tercintanya. Namun, tidakkah pria itu berpikir bahwa masih ada anak-anaknya yang membutuhkan dia?
Jayden terhenyak dari lamunan tatkala iPhone-nya berbunyi. Sebuah pesan dari Joanne, adiknya, terpampang di layar.
[Ko, uang semesteran udah ada?]
Tanpa pikir panjang lelaki bermata sipit itu mengetikkan balasan. Jayden sudah menjual mobil ayahnya. Hanya itu satu-satunya cara agar adiknya tidak perlu mengajukan cuti kuliah sehingga nanti bisa lulus tepat waktu. Lagi pula, mobil itu sudah waktunya membayar pajak. Jadi, daripada menambah pengeluaran, lebih baik ia jual saja.
Beranjak dari kursinya, Jayden membuka lemari pendingin yang isinya hanya tersisa air minum. Diambilnya salah satu botol, lalu ia minum beberapa teguk untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
Kembali ponsel Jayden berbunyi saat ia baru keluar dari tempat itu. Kali ini bukan sebuah pesan atau panggilan, melainkan sebuah pengingat satu tahun ia menjalin hubungan dengan seorang gadis yang telah ia patahkan hatinya.
"Zevanna ...." Jayden menggumamkan nama itu dalam hati. Seharusnya malam ini dia sedang menghabiskan malam romantis bersama kekasihnya. Namun, kenyataannya lain. Jayden kini hanya bisa tersenyum miris. Merasa pedih setiap kali mengingat malam itu. Malam di mana ia mengakhiri hubungannya dengan Zevanna secara sepihak.
"Aku nggak mau putus, Jay."
Terlihat mata indah itu berkaca-kaca. Jayden ingin sekali merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan mengatakan bahwa dia juga tidak ingin itu terjadi. Namun, keadaan memaksanya. Hidup laki-laki itu kini telah berbeda. Jayden tidak punya waktu lagi untuk bersenang-senang. Dia harus bekerja keras agar bisa membiayai hidupnya dan juga adiknya.
Di tengah dinginnya udara malam ini, Jayden melajukan motornya. Jalanan yang ramai, sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang sepi. Setelah hampir dua puluh menit berkendara, Jayden membelokkan motornya ke sebuah gedung apartemen. Ya, semenjak orang tuanya tidak ada dan adiknya juga kuliah di luar kota, dia memang jarang pulang ke rumah.
Begitu tiba di lantai yang menjadi tujuannya, Jayden masuk setelah menekan pass code. Layaknya apartemen sendiri, ia begitu leluasa di tempat itu.
Jayden baru saja mendaratkan bokongnya di kursi bar dapur ketika mendengar suara orang muntah-muntah. Segera ia menuju sumber suara dan mendapati wajah temannya sudah sangat pucat.
"Kenapa lo?"
Thomas mengibaskan tangannya, meminta Jayden yang berdiri di ambang pintu agar menyingkir. Baru setelah ia duduk bersandar di ranjang, Thomas berkata, "Kebeneran banget lo dateng. Asam lambung gue naik. Lo beliin obat sama makanan, dong. Kalo bisa makanan semacam bubur gitu biar cepet makannya."
"Lo nggak bisa, ya, minta tolongnya nggak pake yang ngerepotin banget?"
"Berisik lo kayak cewek! Gih, pergi. Keburu gue mati, nih."
"Mati aja, si." Jayden tertawa jahat sebelum kemudian berlalu dari kamar Thomas.
Tak butuh waktu lama, lelaki itu sudah kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi obat dan juga sate. "Nih, makan!" Ia menaruh kedua bungkusan itu ke depan Thomas yang sudah pindah ke depan TV.
"Bukain, kek. Nggak liat lemes gini?"
Decak kesal keluar dari mulut Jayden. Thomas kalau sudah sakit manjanya memang mengalahkan perempuan. "Kasian banget ntar yang jadi istri lo. Punya suami manja, nggak ada gunanya!"
"Lhah, 'kan adek lo yang bakal jadi bini gue."
"Najis!" ujar Jayden, kemudian pergi mengambil piring. Dia dan Thomas memang dekat karena sudah berteman sejak SMA, dan saat pertama kali Thomas bermain ke rumahnya, laki-laki itu bilang kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat Joanne.
Entah serius atau tidak, Jayden tidak terlalu memikirkannya. Walaupun sejauh ini dia juga tidak pernah melihat Thomas dekat dengan perempuan lain, selain adiknya. Dibandingkan dirinya, Thomas pula yang lebih sering mengantar jemput Joanne dari kos ke rumah dan sebaliknya. Mungkin Jayden memang harus berterima kasih pada temannya itu, tapi kalau caranya dengan memberikan restu, Jayden pikir-pikir dulu.
"Lo kalo nggak kuat ngunyah satenya biar gue aja. Lo lontongnya."
"Nggak ada gizinya, dong! Lagian lo pikir gue kakek-kakek sampe makan sate aja nggak kuat." Thomas bersungut-sungut. Ia ambil separuh porsi sate itu, sementara sisanya ia biarkan di meja dengan maksud agar Jayden yang menghabiskannya.
Jayden malas menanggapi lagi. Selagi menunggu Thomas selesai makan, dia meraih stick PlayStation yang berada tidak jauh darinya.
Berkali-kali Jayden kalah karena konsentrasinya memang tidak ada pada layar di depannya. Pikiran lelaki itu melanglang buana, mencari solusi kira-kira pekerjaan apa yang bisa dilakukan agar finansialnya sedikit lebih baik setelah berbulan-bulan hanya mengandalkan uang tabungan ditambah sekarang uang hasil menjual mobil.
"Lo kenapa lagi, Jay?" tanya Thomas setelah menghabiskan sate yang rasanya tidak karu-karuan karena lidahnya yang pahit. "Masalah uang semesteran Joanne? Sebagai calon suami yang baik, gue mau, kok, bayarin."
Jayden kontan melirikkan ekor matanya. "Udah gue bayar, kok."
"Bener?"
"Hmm ... gue jual mobil bokap."
"WHAT?!" Saking terkejutnya Thomas sampai bangkit berdiri.
Jayden menatap curiga melihat tingkah Thomas yang kelewat aktif. "Lo beneran sakit nggak, sih?"
"Iyalah!" Thomas tak terima. Senakal-nakalnya Thomas, dia tidak pernah beralasan sakit entah saat sekolah atau kegiatan lainnya. Takut kualat. "By the way, Jay. Gue 'kan sakit. Lo mau nggak gantiin gue jadi fotografer di nikahannya orang?"
Ya, salah satu hal yang membuat Jayden sangat akrab dengan Thomas adalah karena mereka memiliki hobi yang sama. Bedanya, sampai sekarang Jayden masih terus menjadikan fotografi sebagai hobi, sedangkan Thomas menjadikannya sumber penghasilan.
"Emang boleh main gantiin gitu aja?"
"Bolehlah, daripada gue maksa berangkat terus hasilnya malah jelek 'kan berabe."
"Kapan emangnya?"
"Besok malem di ballroom Hotel Diamond. Nanti gue hubungin Indra buat konfirmasi kalo lo mau."
"Oke, deh."
"Good." Thomas mengangguk, lalu meminum obatnya. "Gue tidur dulu, yah. Itu sate lo abisin aja nggak apa-apa."
"Emang mau gue makan. Kan gue yang beli, kampret!" Jayden melempar stick PlayStation Thomas, kemudian menyambar sate di piring dan memakannya.
Setelah kemarin mendapat arahan cukup mendetail dari Thomas dan beberapa jam yang lalu ia juga mengikuti briefing singkat dari Indra, Jayden bersama rekan-rekannya langsung menempatkan diri di posisi masing-masing. Berada di sebelah kanan panggung, ratusan foto seketika memenuhi memori kamera dalam genggamannya begitu acara pemberkatan Vania dan Albert berlangsung.
Jayden tersenyum cukup puas melihat hasil jepretannya. Meskipun fotografi hanya hobi, tapi jangan salah, Jayden pernah memenangkan juara satu lomba fotografi se-provinsi DKI Jakarta. Jadi, saat Thomas mengusulkan dirinya untuk menggantikan laki-laki itu, Indra sama sekali tidak meragukannya. Lelaki berkacamata itu bahkan menawari Jayden agar bergabung dengan vendor fotografi miliknya. Namun, sebagai orang yang bisa dibilang cukup perfeksionis dan teroganisir, Jayden tidak bisa mengambil keputusan secara langsung.
"Jay, makan dulu."
Terdengar Indra memanggilnya saat prosesi pemberkatan selesai. Jayden segera mematikan kamera dan menuju backstage. Sembari menyantap makanan yang diberikan, Indra kembali memberikan arahan untuk acara resepsi yang akan dimulai dua puluh menit lagi.
Jika tadi saat pemberkatan Jayden berada di bagian depan, nanti saat acara resepsi, Jayden ditugaskan untuk memotret pengantin saat mulai memasuki ballroom hotel.
Karena waktu sudah semakin menghimpit, mereka dengan gegas memasuki tempat diadakannya resepsi. Jayden langsung mengarahkan kameranya begitu pengantin mulai berjalan di lorong, menuju singgasananya. Lelaki itu tidak se-hectic tadi karena pekerjaannya terbilang lebih ringan.
Jayden sudah berpindah ke bagian depan panggung dan siap mengarahkan lensa kameranya kembali. Namun, napasnya seketika tertahan mendengar sang mempelai pria menyayikan lagu "Thinking Out Loud" milik Ed Sheeran yang ditujukan kepada sang mempelai wanita. Lagu yang sama yang juga pernah ia nyanyikan untuk seseorang yang namanya begitu mudah tercetus di hatinya.
"Aku nggak tahu kamu bisa nyanyi. Sering-sering, dong, kayak gini. Aku suka dengernya."
Waktu itu malam Minggu, Jayden yang mendatangi apartemen Zevanna dan berniat mengajak gadis itu pergi berkencan justru dikejutkan dengan mendapati sang pemilik sedang terbaring tak berdaya di balik selimut.
"Kamu sakit?"
Zevanna mengangguk pelan, lalu membuka matanya perlahan.
"Udah makan?" tanya Jayden sambil menempelkan telapak tangannya ke dahi Zevanna.
Gadis itu menggeleng. "Haus," katanya seraya mendudukkan tubuhnya.
Jayden dengan sigap meraih botol air mineral yang selalu tersedia di nakas, kemudian memberikannya pada Zevanna. "Aku masakin, ya. Mau makan apa?"
"Pesen aja. Nggak ada apa-apa di kulkas."
Embusan napas kasar terdengar. Jayden ingin menceramahi, tapi sudah tahu ujung-ujungnya akan ke mana. Zevanna selalu memiliki seribu alasan yang entah mengapa selalu membuatnya tidak bisa berkutik. Seperti contohnya, untuk apa gadis itu menyewa apartemen sebesar ini dengan peralatan yang lengkap, tapi untuk sekadar menyetok bahan makanan di kulkas saja malas. Bukankah lebih hemat jika Zevanna menyewa kos-kosan biasa?
Karena tidak ingin sendirian di kamar, akhirnya Zevanna mengekori Jayden yang sekarang duduk di ruang tamu.
Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya makanan yang dipesan pun datang. Dengan cekatan Jayden menyiapkan semuanya, termasuk air minum dan juga obat penurun panas.
"Maaf, ya ... gagal, deh, kencannya," ujar Zevanna sebelum menyendokan suapan pertamanya.
"It's okay. Kesehatan kamu lebih penting dari apa pun." Jayden mengelus puncak kepala Zevanna dan tersenyum.
Hangat, nyaman, dan menenangkan. Itulah yang dirasakan Zevanna saat bersama Jayden. Lelaki itu benar-benar melengkapi segala kekurangan yang ada di dalam dirinya.
"Sepi banget ...." Zevanna kembali berujar setelah selesai makan.
"Mau nonton film?"
Zevanna menggeleng. "Kepalaku agak pusing."
Jayden memutar otak, memikirkan hal yang sekiranya asyik dilakukan meski di dalam rumah. Cukup lama hingga akhirnya dia mengingat gitar milik Thomas dititipkan di mobilnya. "Mau dengerin aku nyanyi sambil main gitar?"
"Emang bisa?"
Jayden tak menjawab. Ia langsung keluar dari apartemen Zevanna dan kembali sambil menenteng gitar. Menit berikutnya, petikan gitar perlahan mulai terdengar.
Tatapan kagum Zevanna layangkan. Bibirnya mengukir senyum mendengar suara merdu laki-laki yang baru sebulan ia pacari. Perlahan binar matanya meredup karena efek obat yang baru saja ia minum.
Jayden tersenyum mengingatnya dan baru sepenuhnya tersadar dari lamunan kala seorang anak kecil tidak sengaja menabraknya. Tanpa meminta maaf, bocah itu pergi begitu saja. Jayden membuang napas. Lega karena kameranya tidak jatuh.
Drrtt ... drrtttt ....
Getaran ponsel di saku celana mengalihkan perhatian Jayden. Ia menggeser ikon warna hijau melihat nama Thomas terpampang di layar usai izin kepada salah satu rekannya untuk mengangkat telepon di luar. Bukan tanpa alasan Jayden sampai meninggalkan sejenak tanggung jawabnya, Thomas tidak pernah menelepon jika tidak benar-benar penting.
"Halo, Jay." Suara di seberang sana sudah mendahului.
Jayden tidak mendengar dengan jelas karena suasana di ballroom begitu bising sehingga dia memutuskan keluar. "Kenapa, Thom?"
"Gue kecelakaan sama Joanne."
"APA?!" Raut khawatir kontan menghiasi wajah oriental lelaki itu.
"Lo nggak usah cemas. Gue sama Joanne nggak apa-apa cuma kayaknya kita nginep semalam soalnya masih shock juga."
"Lo di rumah sakit mana? Gue jemput sekarang."
"Besok pagi aja, Bro. Lo juga masih kerja, kan? Lo tenang aja gue pasti jagain Joanne, kok. Udah, ya. Bye." Thomas memutuskan sambungan karena kepalanya sedikit pusing.
Helaan napas panjang terdengar. Ada-ada saja musibah yang menimpanya. Entah langsung lewat dirinya atau pun adiknya. "Kuat, Jay, kuat," batin Jayden menguatkan diri.
Dia yang hendak kembali ke ballroom mendadak menghentikan langkah lantaran mendengar teriakan wanita yang seketika menyita perhatiannya.
"Jahat kamu, Yan! Bajingan!" teriak Melisa dengan berurai air mata.
"Cukup, Mel! Kamu nggak perlu teriak-teriak kayak gitu. Malu-maluin." Adrian mulai murka dengan sikap mantan istrinya.
"Nggak! Biar aja seisi dunia tahu kalau kamu emang pria berengsek. Dan kamu!" Melisa menunjuk wanita di sebelah sang pria sambil menatapnya jijik. "Dasar wanita penggoda. Murahan!" Ia maju beberapa langkah dan mendorong bahu Lily.
"Melisa!!!" Adrian melayangkan tatapan sengit. "Jaga sikap kamu! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Lily dan bayi kami aku tidak akan mau lagi bertemu denganmu. Ingat itu!"
"Tapi, Yan! Kenapa?" Melisa melunak. Dia meraih lengan Adrian dengan derai air mata yang semakin deras, sedangkan Adrian yang sudah telanjur kesal merasa risih dengan perbuatan Melisa.
"Lepas!" Pria itu mengibaskan lengannya kuat sampai-sampai Melisa terhuyung ke belakang, kemudian jatuh.
"Om, nggak usah kasar gitu, dong, sama perempuan!" Suara Jayden menginterupsi. Lelaki berkemeja putih itu langsung membantu Melisa berdiri begitu sampai di tempat pertengkaran terjadi.
"Diem kamu! Nggak usah ikut campur urusan orang tua!"
"Saya nggak ikut campur. Saya cuma nggak suka ada laki-laki bertindak kasar pada perempuan."
"Terserah apa katamu." Adrian mencoba tak peduli. Pandangannya sudah jatuh ke arah Lily. "Ayo, Sayang, kita tinggalkan tempat ini." Dirangkulnya bahu sang istri, lalu ia tinggalkan begitu saja Jayden serta Melisa.
Begitu Adrian dan Lily lenyap dari pandangannya, Jayden bertanya pada Melisa, "Tante, gimana keadaannya?"
"Tante nggak apa-apa. Makasih, ya."
Jayden mengangguk. Dia membiarkan Melisa pergi, tapi baru selangkah wanita itu berjalan, badannya kembali oleng entah karena efek jatuh tadi atau akibat minuman beralkohol yang sempat ia minum sebelumnya. Sejak bercerai dari Adrian, Melisa yang sebelumnya tak pernah menyentuh minuman semacam itu memang sekarang jadi kecanduan.
"Tante rumahnya di mana? Biar aku anterin aja."
Melisa mendesis merasakan kepalanya sedikit berputar. "Tante belum mau pulang. Bisa minta tolong antar Tante ke salah satu kamar di hotel ini nggak?"
"Bisa, Tante."
"Kamu baik banget. Sekali lagi makasih, ya."
"Sama-sama, Tan." Jayden lantas membantu Melisa menuju kamar hotel yang dimaksud dengan memapahnya karena setelah dilihat lebih jelas pergelangan kaki Melisa sedikit memar akibat high heels yang dipakai wanita itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!