NovelToon NovelToon

Terserah Tuhan Saja

Awal Kisah Dimulai

Suara klakson motor itu membuyarkan mimpi Nadira. Matanya seakan dioleskan lem karena lengket dan rasanya tak ingin dibuka. Nyawa belum juga terkumpul, tapi ada suara bising yang membuat mata terpaksa dibuka. Nadira merasa mimpinya hancur karena kebisingan tersebut.

"Sial! Ganggu tidurku saja! Suara siapa sih itu? Berisik banget." Nadira duduk sejenak karena mengidap penyakit anemia membuat dirinya tidak bisa langsung berdiri. Bisa-bisa terjatuh bila dipaksa berdiri.

Tidak lama kemudian, ponselnya berdering. Ada nomor tidak dikenal yang mengirimkan pesan.

Nadira mengangkat alisnya sambil berpikir, "Ini nomor siapa, ya?" Lalu tanpa pikir panjang, Nadira langsung membuka pesan tersebut.

"Keluar, dong! Aku sudah dari tadi tunggu kamu di sini," pinta seseorang tanpa nama.

"Lah, emang situ siapa? Perasaan hari ini gua kagak ada janji sama siapa pun, deh!" Nadira mengingat-ingat karena terkadang dia lupa ada janji atau hal lainnya. "Apa gua kemarin-kemarin menjanjikan pertemuan dengan seseorang atau memang orangnya yang datang tidak perlu diundang, ya?" Nadira mengerutkan dahi.

Belum sempat dibalas, laki-laki itu mengirimkan pesan kembali. Seakan ada di dekat Nadira, dia bisa tahu kalau perempuan berkulit putih yang setiap kali pergi, tidak pernah lupa membawa botol minuman ini sedang berpikir keras tentang sosok misterius yang mengirim pesan tersebut.

"Tidak perlu bingung begitu, Neng. Sudah, keluar saja dulu. Nanti juga kamu akan tahu, siapa yang datang," ucap sosok misterius yang kini masih setia menanti Nadira membukakan pintu rumahnya.

"Nah, loh! Kok dia bisa tahu? Mampus dah gua!" Nadira panik. Lalu berusaha untuk tenang. "Oke! Mandi dulu, lalu keluar menemuinya."

Dari gaya bahasanya, Nadira bisa memastikan kalau sosok misterius yang mengirim pesan tanpa nama itu adalah seorang laki-laki. Nadira pun bergegas ke kamar mandi. Lalu setelah selesai, dia langsung memakai pakaiannya. Ketika sedang memakai jilbab, ponselnya berdering kembali.

"Iss! Kagak sabaran amat dah, nih cowok!" gerutu Nadira sambil merapikan jilbabnya. Walau belum jelas siapa yang sedari tadi mengganggunya dengan mengirim pesan, Nadira benar-benar yakin kalau orang itu memang kenal dengannya. Apalagi bisa tahu nomor dan tempat tinggalnya.

Langit tiba-tiba mendung, hujan turun mengguyur tubuh laki-laki yang sedari tadi menunggu di depan gerbang. Niat untuk mengajak Nadira makan romantis di luar, malah cuacanya tidak bersahabat. Semilir angin berembus begitu kencang. Tubuh laki-laki berjaket cokelat yang berdiri di samping motor kesayangannya itu mulai menggigil. Nadira keluar dengan membawa dua payung, satu dipakai agar hujan tak mengenai tubuhnya dan satunya dipegang untuk diberikan ke laki-laki misterius itu.

"Kamu, kan ...?" Nadira sepertinya ingat dengan laki-laki yang ada di hadapannya.

Melihat tubuh laki-laki bermata hitam kecoklatan itu gemetar, Nadira sengaja memotong kalimat tanya yang ingin dilontarkan. Tanpa basa-basi lagi, Nadira langsung menyodorkan payung. Lalu, laki-laki itu diajak masuk. Motor dibiarkan parkir di luar karena khawatir yang punya motor malah sakit karena terlalu lama diguyur hujan. Mereka pun masuk dan duduk di kursi luar. Hujan pun mulai reda.

"Kamu tunggu sini dulu," pinta Nadira.

...***...

Beberapa menit kemudian, Nadira membawa handuk, pakaian, dan air hangat.

"Nih, diminum dulu biar hangat. Terus ganti dulu bajumu. Kebetulan aku punya kakak laki-laki, jadi bisa dipinjamkan. Soalnya bajumu basah kuyup gitu. Lagian, kenapa kagak langsung masuk aja, sih?" Nadira terus berbicara, sehingga tidak ada jeda untuk laki-laki itu memberi jawaban kenapa dia tidak langsung masuk. Malah rela menunggu di luar rumah dari kepanasan sampai kedinginan.

"Ya sudah, deh! Ganti baju dulu di sana. Ayo ikut aku!" Nadira mengantarkan laki-laki bernama Ammar itu ke tempat mengganti baju yang ada di dekat kolam renang rumahnya.

Ammar hanya mengangguk. Tangannya masih memeluk tubuh yang gigil. Ammar memerhatikan dari sudut ke sudut rumah Nadira. Rumah minimalis tetapi terlihat mewah.

“Ayo ... ngeliatin apaan, sih!? Mau maling, ya?” tanya Nadira dengan nada sedikit kesal dan curiga dengan Ammar.

Ammar malah menggoda Nadira.

"Iya, mau maling hati kamu," ujar Ammar, tersenyum. Sejenak melupakan tubuhnya yang masih menggigil. Ammar mengikuti langkah Nadira dari belakang. Sungguh perempuan salihah dengan pakaian terbaiknya.

Nadira sempat tersenyum, lalu ....

“Apaan, sih! Sudah sampai, nih. Ganti bajunya, gih!” Nadira meninggalkan Ammar dan masuk rumah.

...***...

Saat Ammar keluar dari ruang ganti pakaian, bukan Nadira yang dilihat, melainkan seorang laki-laki bertubuh kekar sedang berenang. Ammar terkejut ketika laki-laki itu memanggilnya. Ada rasa takut dan pikiran jadi ke mana-mana.

"Hei, sini!" Panggil laki-laki berotot itu sambil menyudahi renangnya. Dia naik dan mengambil handuk.

Tubuh Ammar gemetar dan jantungnya berdetak cepat, seakan baru saja melakukan lomba lari.

Yang tinggal di rumah ini hanya Nadira dan kakaknya saja, sebab kedua orang tua mereka berada di luar kota karena ada urusan bisnis. Nadira adalah anak yang penyayang, penyabar, dan pemberani. Saking sabarnya, meskipun beberapa orang menyakiti, tetap saja tidak mengubah sifatnya untuk baik kepada semua orang. Nadira merangkul siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Laki-laki berotot yang memanggil Ammar itu adalah kakak semata wayang Nadira. Kenapa semata wayang? Karena anak kedua orang tuanya hanya ada dua, yaitu dia dan kakaknya saja; Haikal.

Saat Ammar hampir sampai, Haikal meminta laki-laki pertama yang mendatangi adiknya di rumah mereka untuk duduk.

"Sini, dukuk!" pinta Haikal sambil melambaikan tangannya.

Ammar pun duduk.

Tidak lama kemudian, Nadira datang membawa makanan dan minuman untuk Haikal dan Ammar. Tubuh kekar Haikal membuat Ammar sedikit tegang, apalagi tatapan kakaknya Nadira ini seakan ingin mengajaknya duel di ring tinju.

"Santai aja kali, Bro! Gak usah tegang gitu mukanya." Haikal terkekeh.

Entah mengapa, mulut Ammar mendadak terkunci. Bingung mau ngomong apa. Antara takut dengan kehilangan kata-kata, bercampur aduk.

Ammar berusaha rileks. Dia mengembuskan napas pelan-pelan.

"Hmm, e-enggak, Bang. Soalnya tadi habis kehujanan, jadinya masih gemetar badannya." Ammar mengambil kesempatan, menjadikan hujan sebagai alasan ketegangannya.

Nadira tersenyum simpul. Gadis penyuka tanaman itu menyadari ketegangan yang dihadapi Ammar. Dia pun memecah ketegangan yang terjadi.

"Ammar! Kamu ke sini mau ngasih tahu tugas kampus kemarin, ya?" Nadira memberikan kode lewat matanya kepada Ammar.

Ammar yang tegang menjadi bingung dengan pertanyaan Nadira. Dalam hatinya berkata, "Perasaan gua ke sini niatnya mau ngajak Nadira jalan, deh. Pengin makan romantis di salah satu restoran, tapi ...." Belum selesai bercakap dengan diri sendiri, suara Haikal lagi-lagi mengagetkannya.

"Yaelah, malah ngelamun nih anak!" ujar Haikal.

"Enggak ngelamun kok, Bang. Tiba-tiba keingat kakak saya yang sedang kuliah di London." Duh, Ammar bisa saja ngelesnya, padahal kan dia hampir tidak pernah ingin mengingat-ingat kakaknya di karenakan mereka terlahir dari rahim yang sama tetapi berbeda ayah.

"Ya sudah, diminum dulu airnya, Mar. Terus kuenya dicicipi. Aku mau ke dalam dulu, soalnya lagi masak untuk makan siang." Nadira sengaja membiarkan Ammar bersama kakaknya, seakan ingin menguji mental teman laki-lakinya itu.

"Oh, iya. Terima kasih, Nad," jawab Ammar, tersenyum.

Nadira membalikkan badan dan masuk rumah. Sementara Ammar dan Haikal duduk di teras kolam renang sambil menikmati minuman serta makanan yang ada di hadapan mereka.

"Ngomong-ngomong, kamu suka ya, sama adik saya?" tanya Haikal, mengintrogasi.

Ammar menjadi salah tingkah ketika mendengar pertanyaan tersebut.

"Aku mah tahu diri, Bang kalau mau suka sama Nadira," ujar Ammar yang berusaha rileks.

"Lah, memangnya kenapa? Sikapmu ini menunjukkan kalau kamu memang memiliki perasaan khusus dengan adik saya." Semakin Ammar menyembunyikan perasaannya, semakin Haikal menggoda Ammar.

"Nadira juga tidak mungkin menyukaiku." Kepala Ammar tertunduk. Nyalinya mendadak ciut. Padahal dari rumah, dia sudah menyiapkan mental untuk menyatakan perasaannya. Namun, setelah melihat kejadian hari ini, Nadira yang seakan menghindar dan ada rasa takut dengan Haikal, dia menjadi pesimis untuk mendapatkan cinta Nadira.

Terkadang, cinta datang di saat tak terduga. Seperti yang dirasakan Ammar, dia saja tidak tahu mengapa sejak awal bertemu dengan Nadira, perasaan suka itu muncul dengan sendirinya. Ammar ingin mengenal Nadira lebih dekat. Namun, ternyata dalam hatinya itu memiliki rasa takut dengan penolakan.

Sorot mata Haikal sangat tajam. Hal ini membuat Ammar semakin mengurungkan niatnya sebelum ke rumah Nadira.

"Kalau kamu mencintai adikku, lebih baik jangan dulu berpikiran untuk menjadi seseorang yang penting dalam hidupnya. Untuk sekarang, adikku biarkan fokus dengan kuliahnya dulu. Kamu mengerti kan, maksudku?" pinta Haikal, memperingati Ammar.

Melihat tingkah laku Haikal dan mendengar permintaan kakaknya Nadira, membuat Ammar menganalisa kalau ada sesuatu hal yang mendasar kenapa Haikal bersikap seperti itu. Kemudian Ammar berpamitan dan pulang tanpa menunaikan niatnya.

...****...

Menganalisa Kejadian Lalu

Malam hari adalah waktu di mana seseorang seharusnya merehatkan diri dari segala aktivitas, termasuk otak yang sudah lelah seharian berpikir. Namun, berbeda dengan Ammar, dia masih saja berbincang dengan pikiran dan hatinya untuk menganalisa kejadian siang tadi, ketika di rumah Nadira. Entah mengapa, tiba-tiba saja jemari Ammar berselancar di media sosial dan mencari tahu kronologi kehidupan Nadira. Semangatnya yang ciut tadi siang, berusaha dipatahkan setelah berkompromi dengan pikiran dan hatinya.

Benar saja, Nadira pernah mengalami patah hati yang cukup dalam, sehingga membuatnya kritis dan akhirnya dilarikan di rumah sakit. Setelah dianalisa lebih dalam lagi, wajar saja jika sifat Nadira sedikit cuek dan sangat hati-hati dalam bergaul, khususnya dengan lawan jenis. Ditambah, Haikal yang tidak akan pernah lagi membiarkan adik semata wayangnya mengalami patah hati kembali seperti dua tahun yang lalu.

Kilas balik tentang kisah Nadira dua tahun yang lalu, saat di mana dia masih berusia 19 tahun, kesibukannya dalam mengenyam pendidikan, membuat dia tidak pernah memikirkan tentang kisah asmara. Nadira hanya memikirkan tentang impiannya yang harus digapai, serta tentang kesuksesan yang harus diberikan untuk orang tua. Hanya itu saja! Namun, entah mengapa ada sosok laki-laki yang berhasil meyakinkan hatinya, bahwa menjalin asmara dengan lawan jenis akan membuatnya semakin semangat belajar.

Hingga akhirnya, hati Nadira pun luluh. Nadira menjalin hubungan spesial dengan laki-laki itu. Nama laki-laki yang berhasil meluluhkan hati Nadira adalah Jerry Agustian. Laki-laki yang kerap disapa Jerry adalah salah satu mahasiswa di Universitas Kehidupan. Iya! Kampus yang sama dengan Nadira. Hanya saja, Nadira masih semester tiga, sedangkan Jerry sudah semester lima.

Tiga bulan sudah Nadira dan Jerry berpacaran, semua masih terlihat baik-baik saja. Jika saja terjadi pertengkaran, maka itu hal yang wajar.

Setelah berhasil meluluhkan hati Nadira, Jerry pun dekat dengan keluarga Nadira, termasuk Haikal yang bukan hanya kakak bagi Nadira, tapi juga teman dan pelindung. Jika ada yang membuat adiknya menangis, maka Haikallah orang pertama yang akan menghajar si pelaku. Haikal diberi tanggung jawab penuh oleh kedua orang tuanya untuk menjaga adik kesayangannya itu di karenakan kedua orang tua Haikal dan Nadira sering keluar kota.

...***...

Suatu hari, saat Jerry ingin mengajak Nadira untuk pergi berkencan, Haikal tidak henti-hentinya memberikan wejangan kepada Jerry agar tidak pernah sekalipun melukai hati Nadira. Jerry memahami hal itu. Semua terjadi seperti yang diharapkan Haikal, khususnya Nadira. Gadis yang baru pertama kali jatuh cinta ini merasa bahwa Jerry adalah cinta pertama dan terakhirnya. Apa pun yang diinginkan Nadira, selalu dipenuhi oleh Jerry. Bahkan hal-hal kecil sekalipun, seperti meminta Jerry untuk membawakan makanan di jam-jam tak biasa yaitu tengah malam pun, Jerry lakukan demi Nadira. Itu pun masih beruntung karena makanan yang diminta Nadira masih ada yang jual pada jam 12 malam.

Nadira merasa kalau Jerry benar-benar mencintainya. Beruntung rasanya bisa menjadi kekasih Jerry, pikirnya. Namun ketika hubungan Nadira dan Jerry memasuki bulan ke lima, ada yang berubah dari sikap Jerry. Seakan ada yang ditutupi. Nadira berusaha mengabaikan firasatnya. Pikiran yang terlalu overthinking terhadap sesuatu pun mencoba dihilangkan.

Benar saja! Nadira mendapati kalau Jerry berhubungan dengan perempuan lain. Hal tersebut terungkap ketika Nadira membuka akun media sosialnya, ada komentar mesra antara Jerry dengan perempuan lain. Jiwa detektif Nadira keluar, dia langsung mencari tahu siapa perempuan yang berusaha merayu kekasihnya itu. Ternyata perempuan itu adalah mahasiswa dari kampus lain.

Hingga akhirnya, Nadira merasa dia telah dikhianati. Hatinya benar-benar hancur. Sudah jarang mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Lalu kakaknya yang sudah semakin sibuk karena memberikan tanggung jawab kepada Jerry untuk menjaganya, malah mendapati sebuah pengkhianatan yang luar biasa.

Keesokan harinya, Nadira berusaha berbicara baik-baik kepada Jerry.

"Apakah kamu masih mencintaiku?" Mata Nadira sembab karena menangis semalaman.

Jerry mengerutkan dahi. "Kenapa kamu bertanya soal ini?"

"Tolong ...! Jawab saja pertanyaanku," pinta Nadira dengan suara lirih.

Jerry yang menyadari kalau Nadira habis menangis, langsung memeluk perempuan yang ada dihadapannya itu. Pelukan itu masih sama. Nadira masih merasakan kenyamanan saat dipelukan Jerry. Namun pikiran Nadira masih dipenuhi dengan pertanyaan tentang perempuan yang lancang mengumbar kemesraan dengan kekasihnya. Nadira pun sempat melihat ada foto mesra antara Jerry dengan perempuan itu. Untuk mengusir rasa penasarannya, Nadira langsung to the point, bertanya prihal hubungannya dengan perempuan tersebut dengan menunjukkan sebuah foto, yang mana foto itu, Jerry merangkul dan mencium pipi perempuan yang diketahui namanya adalah Farah.

"Kamu memiliki hubungan apa dengan Farah?" tanya Nadira dengan emosi yang ditahan.

Jerry terkejut, mengapa bisa Nadira sampai mendapatkan fotonya bersama Farah yang dipotret sebelum dia bersama Nadira. Wajah Jerry mendadak pucat, tetapi berusaha rileks agar Nadira tidak berpikiran negatif lebih jauh.

"Kamu dapat foto ini dari mana?" tanya Jerry, mencari tahu.

"Tidak penting, aku dapat foto ini dari mana. Jawab saja pertanyaanku!"

"Emm ..., itu ...." Jerry kehilangan kata-kata. Bingung mau menjelaskan bagaimana.

"Kenapa? Tinggal jawab saja, Jerry." Mata Nadira mulai berkaca-kaca. Dia berusaha menyeka air matanya agar tidak keluar.

Jerry mencoba mencari alasan yang logis untuk menenangkan hati Nadira. Jerry menjelaskan bahwa perempuan bersamanya itu adalah sahabatnya. Foto dibidik, jauh sebelum Jerry dan Nadira berpacaran. Nadira berusaha mempercayai Jerry dan menganggap bahwa komentar yang dilihat tempo hari, hanyalah sebatas persahabatan saja.

...***...

Beberapa hari kemudian, Ammar kembali ke rumah Nadira. Dia tidak peduli dengan ucapannya Haikal minggu lalu, yang dia tahu, perasaannya terhadap Nadira tidak bisa dipendam lagi.

Ammar memencet bel yang ada di dekat pagar rumah Nadira, tetapi tidak ada yang membukakan pintu. Ammar pun memencet bel ke tiga kali dan masih saja tidak ada yang keluar.

“Mungkin mereka sedang keluar,” pikir Ammar.

Saat Ammar hendak pulang, ada mobil yang menghalangi jalannya. Ternyata Haikal dan Nadira baru saja pulang. Haikal membuka kaca mobilnya.

“Ammar! Bisa minta tolong untuk membukakan pintu pagarnya?” pinta Haikal sambil memberikan kunci.

“Siap, Bang!” jawab Ammar dengan sigap.

Ammar pun langsung membukakan pinta pagar dan Haikal memarkirkan mobilnya.

Setelah itu, Nadira keluar dari mobil, disusul oleh Haikal.

“Assalamualaikum, Bang! Assalamualaikum, Nad!” sapa Ammar.

“Waalaikumsalam!” jawab kakak-beradik itu.

“Bang! Bolehkah aku bicara sebentar?” pinta Ammar, penuh harap.

“Yah, gimana, ya …,” jawab Haikal sambil melirik adiknya.

Nadira memberi kode kepada kakaknya bahwa dia sangat lelah dan ingin beristirahat.

“Tidak boleh ya, Bang? Ya sudah, deh! Aku pulang saja,” ujar Ammar, menunduk. Tubuhnya lemas karena kedua kalinya dia akan gagal mengungkapkan perasaannya pada Nadira.

Haikal merasa kasihan dengan Ammar. Lalu mengajak Ammar masuk dan meminta Nadira untuk menyiapkan minuman. Nadira mengangguk. Mereka bertiga pun masuk.

...***...

“Kamu tunggu di sini sebentar, ya! Kami mau ganti pakaian dulu,” ujar Haikal.

Ammar mengangguk. “Iya, Bang! Silakan!”

Entah apa yang diobrolkan Haikal dan Nadira di dalam, saat Ammar diminta menunggu di ruang tamu. Yang pasti, kakak-beradik ini membicarakan hal yang serius.

Tiga menit kemudian, Haikal menghampiri Ammar di ruang tamu. Sedangkan Nadira masih menyiapkan minuman di dapur.

Haikal berdehem dan langsung duduk. “Mau ngomongin soal apa, Mar? Sepertinya penting banget,” tanya Haikal dengan tatapan penasaran.

“Jadi begini, Bang. Sebenarnya tempo hari, niatku datang ke rumah ini adalah ingin mengatakan kalau aku mencintai Nadira sejak awal melihatnya di kampus. Meski kutahu, Nadira itu sangat dingin dengan laki-laki dan sedikit menghindar,” ujar Ammar.

“Maksudnya, ingin menjadikan Nadira pacarmu? Begitu kah?” Alis Haikal naik.

“Tidak, Bang. Maksudku bukan begitu.”

Pernyataan dan jawaban Ammar masih saja bertele-tele. Hal tersebut yang membuat Haikal jadi kesal.

“Terus maksudmu, ingin membuat adikku baper, lalu kamu tinggalkan begitu saja? Hah!” Haikal mulai emosi. Nada bicaranya menjadi tinggi.

Kemudian, Nadira datang dengan dua gelas berisi air berwarna kuning.

“Ini ada apa, ya? Kenapa muka kalian tegang sekali?”

“Tidak apa-apa, Dik. Kamu istirahat dulu, gih. Katanya tadi mau beristirahat,” ujar Haikal.

“Nadira kalau lagi lelah, istirahat saja,” ujar Ammar.

“Iya, Nad. Betul sekali! Istirahat sana.”

Nadira heran sambil menggerutu. “Mereka berdua ini kenapa, sih? Seperti ada yang disembunyikan dariku.”

“Nadira …!” tegur Haikal.

“Siap, Kak!” ujar Nadira dengan tangan hormat. Lalu berbisik di telinga kakaknya, “Kak! Ingat, loh! Jangan marah-marah. Tahan emosinya, ya! Kan kakakku ini galak banget kalau ada laki-laki yang ngapelin adiknya.” Nadira tertawa. Lalu, pergi tapi dia mengumpat di balik dinding.

Haikal menggelengkan kepala dan tersenyum. Kemudian pandangannya kembali tertuju ke Ammar.

“Iya! Tadi sudah sampai mana percakapan kita?” tanya Haikal. “Duh, jadi lupa, kan!” Haikal menepuk dahinya.

“Intinya, aku ingin menikahi Nadira.”

Haikal yang sedang minum, jadi menyemburkan minumannya ke wajah Ammar. Dia terkejut atas pengakuan Ammar.

“Oopss! Maaf! Aku tidak sengaja,” ujar Haikal.

Bukan hanya Haikal, Nadira yang berdiri di balik tembok pun tidak sengaja memecahkan vas bunga kesayangannya karena terkejut. Haikal dan Ammar menyadari kalau pembicaraan mereka terdengar oleh Nadira, langsung menghampiri.

“Nad! Apa yang kamu dengar barusan itu benar.”

Nadira terdiam dan mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat hubungannya dengan Jerry harus kandas tanpa kata.

...***...

“Nadira! Kali ini aku ingin jujur sama kamu. Perempuan yang kamu lihat di foto itu adalah tunanganku. Kami dijodohkan, tetapi aku sama sekali tidak mencintai perempuan itu.” Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, Jerry mengakui fakta yang selama ini ditutupi.

Nadira tidak percaya kalau Jerry bisa tega membohonginya. Padahal Nadira sangat mempercayai Jerry sepenuhnya.

“Nad! Maaf, ya! Aku tidak bermaksud menyembunyikan kebenaran ini. Aku hanya butuh waktu untuk membuatmu memahami keadaanku.” Jerry menyatukan kedua tangannya. Nadira terdiam dan tak terasa, cairan bening mengalir di pipinya.

Nadira mengembuskan napas pendek. Lalu berkata, “Aku tidak apa-apa.”

“Nadira! Setelah dibicarakan lagi, ternyata memang tidak ada kecocokan di antara kami. Hingga kami memutuskan untuk mengakhiri ikatan pertunangan itu dan berhasil meyakinkan kedua orang tua kami.” Jerry terus meyakinkan Nadira.

“Aku tidak tahu harus berkata apa, Jer! Logikaku mengatakan kalau hubungan kita ini salah. Kamu masih berstatus tunangan orang lain, tapi kekeh ingin menjadi kekasihku.” Nadira menelan ludah dan berusaha untuk menahan emosi yang ingin meluap. Pikirannya benar-benar kacau. Dia sangat kecewa dengan Jerry.

“Iya, Nad! Aku tahu, ini salah. Kumohon, beri kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Melihat ketulusan Jerry, Nadira memberi kesempatan kedua tapi Nadira minta hubungan mereka diperjelas. Namun pengakuan Jerry lebih menyakitkan dari beberapa menit yang lalu. Ternyata Jerry adalah seorang non-muslim yang beragama Kristen. Hati Nadira seperti ditusuk oleh pisau berkarat. Pedih dan mematikan. Nadira tidak mengatakan apa pun dan meninggalkan Jerry. Ternyata LDR paling menyakitkan adalah cinta beda agama dan Nadira baru menyadari ini setelah enam tahun berhubungan dengan Jerry.

“Jika akhirnya akan seperti ini, maka takkan kubiarkan kamu masuk menjadi tokoh penting dalam kisah hidupku.” Nadira menuliskan kalimat terakhir untuk Jerry di buku diarinya.

...****...

Janji Ammar untuk Nadira

Haikal mengguncang tubuh Nadira hingga adiknya tersadar dari lamunan.

"Ah, iya! Gimana?" tanya Nadira dengan wajah bimbang.

"Ammar berniat menikahimu, Nad." Haikal mengulangi ucapan Ammar.

"Tapi, Kak ...." Belum sempat melanjutkan ucapannya, Ammar langsung memotong.

"Aku akan menjadikanmu perempuan yang paling beruntung setelah bersamaku, Nad. Aku sedikit tahu tentang masa lalumu dan memahami kekhawatiranmu. Apalagi sikap kakakmu sudah membuktikan bahwa dia takut kamu terluka kembali. Aku seorang muslim. Insya Allah, akan bertanggung jawab sebagai mana tugas seorang suami. Untuk itu, will you marry me?”

Mulut Nadira mendadak terkunci, entah apa yang harus diucapkan. Dia belum mengenal Ammar dengan baik. Hanya tahu bahwa Ammar sering ikut pengajian rutin yang diadakan oleh Unit Kerja Mahasiswa Islam (UKMI) di kampusnya beberapa tahun lalu sebelum Ammar lulus kuliah dan melanjutkan S2 di Kairo. Agenda rutin yang dilakukan seminggu sekali itu, mempertemukan Ammar dengan Nadira. Meskipun tidak pernah mengobrol berdua, tetapi Ammar sesekali memerhatikan Nadira yang kerap kali mengikuti lomba baca puisi Islami.

"Nad! Are you oke?" tanya Ammar. "Tadinya aku ingin mengajak kamu keluar untuk membicarakan ini, tapi kupikir lagi, khawatir akan ada fitnah jika kita jalan berdua saja, itu sebabnya aku langsung membicarakannya pada kakakmu," lanjutnya.

"Mungkin Nadira butuh waktu untuk menjawabnya, karena ini masalah masa depan dia, Mar," ujar Haikal yang memahami perasaan adiknya. "Lebih baik kamu sekarang pulang dulu. Tolong berikan Nadira waktu, ya!" pinta Haikal.

Ammar menyetujui permintaan Haikal. Dia pulang membawa harapan terbaik yang akan menjadi keputusan Nadira, menerima atau menolaknya.

"Baik, Bang. Hari juga sudah semakin sore, saya pamit pulang dan Nadira juga sepertinya butuh istirahat. Assalamualaikum."

Melihat langit senja saat di perjalanan, kerap kali seseorang terbawa perasaan dan merenungi lika-liku perjalanan hidup. Seperti yang dilakukan oleh Ammar, senja sudah menjadi teman cerita dalam perjalanan hidupnya. Ada harapan dan penantian yang dititipkan pada senja hari ini sebelum pergi ke peraduan.

***

Di kamarnya, Nadira terlihat gelisah. Ada banyak hal yang dikhawatirkan. Satu sisi, Nadira mengakui kalau selama mengenal laki-laki keturunan Arab itu, belum pernah melihat sisi negatif yang tampak. Suara Ammar yang merdu saat melantunkan ayat suci alquran, menjadi bahan pertimbangan Nadira untuk menerimanya. Namun, di sisi lain, dia takut patah hati lagi. Jangan sampai kejadian lalu terulang lagi dalam hidupnya.

Tidak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya. Hati dan pikiran Nadira masih berdiskusi tentang masa depannya, dia sampai mengabaikan orang yang mengetuk pintu. Sampai pintu kamar terbuka, Nadira masih saja mendiskusikan soal lamaran Ammar pada dirinya sendiri.

Hingga akhirnya, suara perempuan mengagetkannya.

"Nadira, sayang!" panggil seseorang.

Nadira masih belum sadar kalau yang memanggilnya itu memang benar-benar mamanya.

"Tuh, kan! Jadi halu gini, mama kan masih di luar kota. Masa ada suara mama di kamar ini." Nadira menepuk jidadnya.

"Nadira enggak kangen sama mama, kah?" Suara itu terdengar kembali, Nadira mengenali suara yang khas itu dan membalikkan badan.

"Mama! Ini benaran Mama?" Nadira bertanya seakan tidak percaya bahwa mamanya yang berminggu-minggu bahkan berbulan selalu sibuk di luar kota bersama papanya. Dia masih berdiri di tempat diskusi dengan pikiran dan hatinya sambil menatap bidadari Surga di hadapannya.

"Kenapa malah diam aja? Mamanya enggak dipeluk, nih?" tanya mama Nadira sambil merentangkan tangannya.

Saat sadar bahwa itu benar mamanya, Nadira langsung lari, menghampiri Fenny (nama mamanya Nadira).

"Mama kenapa enggak telepon aku kalau mau pulang? Kan bisa kami jemput," tanya Nadira sambil memeluk erat tubuh mamanya.

"Kalau mama kasih tahu kalian, bukan surprise, dong! Kan mama datang untuk menyambut calon mantu mama."

Kecupan kasih sayang sang mama mendarat di kening Nadira. Namun, Nadira mendadak melepaskan pelukannya.

"Kak Haikal pasti udah kasih tahu soal Ammar ke Mama, ya?" tanya Nadira. Mulutnya maju, kesal dengan kebawelan kakaknya.

"Iya, Sayang. Emangnya mama enggak boleh tahu, ya? Kan anak mama mau melepas masa lajangnya, masa mama enggak dikasih kabar. Hmm!" Fenny mendekap kedua tangannya dan membalikkan badan. "Ya sudah, mama pergi lagi aja. Sekalian ke luar negeri dan pulangnya beberapa tahun kemudian, deh!" Fenny berpura-pura ngambek dengan anak gadisnya.

"Iih, Mama kok jahat, sih, mau tinggalin aku lagi. Enggak gitu maksudku." Nadira memeluk mamanya dari belakang.

"Mama tahu, saat ini kamu sedang dilema, kan? Mama meskipun jarang pulang, selalu mendapat laporan dari kakakmu," ujar Fenny, membalikkan badannya dan membelai rambut anak perempuan semata wayangnya itu.

"Iya, Ma. Kan mama tahu, aku pernah gagal dalam sebuah hubungan. Tidak ingin gagal lagi, ketika pernikahan sudah di ujung mata." Mata Nadira berbinar, berusaha menyeka air matanya agar tidak tumpah.

Percakapan antara ibu dan anak semakin serius, tetapi Fenny menghentikannya karena dia tahu, kalau diteruskan, luka lama yang sudah di kubur anaknya akan memborok lagi.

"Sekarang kita keluar dulu, temui papamu. Nanti kita bicarakan lagi, ya," saran Fenny dan menenangkan hati Nadira.

"Oh iya, aku sampai lupa menanyakan papa. Maaf, Ma. Papa di mana?" tanya Nadira dengan mimik muka yang membuat mamanya tertawa.

"Ekspresi wajahmu ini seperti badut tahu, enggak. Lucu kalau sudah panik." Fenny tertawa kecil.

"Iih, kok disama-samakan dengan badut sih, Ma! Kan aku bukan badut!" gerutu Nadira.

"Iya! Iya ...! Mama bercanda, kok. Ya sudah, yuk ke bawah, kita temui papamu."

Mereka pun berjalan menuju ke ruang tamu. Dari atas, sudah terlihat sosok dua laki-laki kesayangan Nadira.

"Papa ...!" panggil Nadira.

Kedua laki-laki yang sedang asyik mengobrol pun mendongakkan kepalanya, melihat gadis mungil dengan balutan jilbab dan baju pink, turun dari tangga.

"Pelan-pelan, Sayang, jalannya," ujar Fenny, memperingatkan.

"Iya, Ma. Iya ...!" jawab Nadira. Pandangan Nadira tak henti melihat papanya.

Tiba-tiba, semua panik dan teriak.

"Nadira ...!"

Dengan cekatan, Sultan lari dan menangkap Nadira.

"Kamu enggak apa-apa, Sayang?" Sultan (papanya Nadira) memeluk erat dan mencium-cium Nadira.

Begitu juga dengan Fenny.

"Kan tadi mama sudah ingatkan. Nadira jalannya pelan-pelan saja. Kamu buat jantung mama mau copot, deh!"

"Iya, Ma, Pa, maafin Nadira, ya!" Nadira mengatup kedua tangannya.

"Iya, Ma. Kebiasaan Nadira memang begini. Kerjaan di kantorku sudah banyak, tetapi tiap hari, ada saja yang menambah kerjaanku karena ulah Nadira." Lapor Haikal, memecahkan ketegangan pada malam itu.

"Haikal ...!" Fenny menjewer telinga Haikal.

"Aw! Ampun, Ma. Aku bercanda, kok. Mama mah kaku, seperti kanebo kering."

"Haikal, mau papa tambahin, jewerannya? Sebelah kirinya masih kosong, tuh!"

Nadira tertawa sampai mengeluarkan air mata. Suasana tegang di rumah keluarga Sultan Aji Permata menjadi riuh dengan canda tawa yang diciptakan Haikal.

Di balik senyum dan tawanya, Nadira berkata dalam hati, "Selama ada kalian, aku tidak perlu merasa khawatir. Semoga kebersamaan ini tidak cepat berlalu. Jangan pernah tinggalkan aku lagi, Pa, Ma."

...****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!