Sebuah kaki menginjak pundak teman sekelasnya sendiri. Ketua geng sombong itu adalah Kramiy Naulin. Sanifa Bryhada melakukan perlawanan, dengan mencoba berdiri kembali. Setelah dari tadi didorong, dan diperlakukan bukan manusia. Kramiy menjambak jilbabnya, lalu dilawan oleh Sanifa.
"Hei, anak dari orang rendahan! Kamu kalau mau melawan berkaca lebih dulu. Cuma anak dari tukang ojek online, sungguh bukan orang terpandang." bentak Kramiy.
"Lantas, kamu berbuat seperti ini agar tampak hebat? Justru, kamu mengeroyok orang lain tanpa sebab, memperlihatkan betapa rendahnya akhlak." jawab Sanifa, dengan lantang.
"Dia berani melawan, ringkus saja." ujar Kramiy.
"Nah, bagus juga." jawab Berlin.
Sanifa tahu dia akan kalah, karena seorang diri. Dia juga tidak bisa beladiri, dan satu-satunya cara berlari. Zarin memegangi tangan kanan Sanifa, dan Berlin memegangi tangan kirinya. Kramiy mencoret wajah Sanifa dengan spidol, dan tertawa kuat bersama teman-temannya.
"Hahah... Hahah...."
Sanifa melakukan perlawanan, namun kalah dari mereka. Sanifa dilepaskan setelah puas dicoret-coret, bajunya tampak kotor diinjak sepatu. Sanifa hendak berlari, lalu punggungnya ditendang.
Di ruang BK, ketiga orang menunduk. Mereka memasang raut wajah memelas, menyembunyikan tindak zalim.
"Sanifa mengadu, katanya kalian melakukan bully. Bahkan tidak segan melakukan kekerasan fisik." ujar ibu Fraza.
"Yaelah Bu, masalah sepele doang dia sampai mengadu. Kami cuma bercanda kok, dia saja yang tersinggung." jawab Kramiy.
"Biasa, tidak asyik diajak berteman. Tidak bisa bergaul dengan baik." timpal Zarin.
"Kalian harus tetap minta maaf." ucap ibu Fraza.
"Iya Bu." jawab ketiganya, dengan kesal.
"Aku minta maaf." ujar Kramiy tidak tulus.
Sanifa memilih diam, lalu menoleh ke arah ibu Fraza. Berharap dirinya diberikan keadilan, atas perbuatan Kramiy yang seenaknya.
"Bu, aku ingin orangtua mereka dipanggil. Kalau hanya seperti ini, mereka bisa berbuat ulah." Sanifa tidak menghiraukan tatapan tajam dari mereka.
"Jangan berlebihan, permintaan maaf lebih dari cukup." jawab ibu Fraza.
Pulang sekolah Sanifa menangis di tengah hujan, sepanjang perjalanan menatap rintikan langit menyapu debu jalanan. Betapa sakitnya ketika perasaan emosional yang diremehkan. Padahal Sanifa sangat tersiksa, ingin rasanya meraung-raung.
Kramiy menurunkan kaca mobilnya. "Hai anak cupu, kampungan, lagi jalan kaki iya hahah...."
Sanifa menoleh ke arahnya, dan diam seribu bahasa. Zarin dan Berlin tersenyum mengejek, ke arah orang yang terlihat menyedihkan itu. Mobil sengaja menabrak genangan air, sampai baju Sanifa terpercik. Sangat kotor dan basah kuyup,
Sanifa bertambah sedih, karena tidak ada dukungan dari keluarga. Ayahnya jarang pulang, lebih sering mengunjungi istri muda. Ibunya terlalu acuh dan tidak mau tahu, apa yang menjadi kesulitannya. Padahal dia sudah bercerita dirinya di-bully, namun disuruh sabar dan sabar.
Keesokan harinya, ibu Fraza melihat Kramiy masuk ruang BK. Dia tidak segan memberikan uang, supaya ibu Fraza membelanya. Rantang berisi nasi goreng telah disiapkan, untuk mencari perhatiannya.
"Bu, ini uang terima kasih, tidak ada maksud lain. Ibu tenang saja!" ujar Kramiy.
"Ibu terima, terima kasih." Ibu Fraza memasang raut wajah sumringah.
"Bukan bermaksud menyogok, hanya meminta tolong rahasiakan perbuatan kami dari kepala sekolah."
"Tenang saja, Ibu tidak ingin dipecat. Di depan Sanifa, Ibu tidak ingin terlalu terang-terangan. Nanti, kalau dia mengadu bagaimana."
"Kita lebih kuat beramai, sedangkan dia seorang diri. Ibu tenang saja, aku bisa memberikan lebih banyak uang." Kramiy berniat licik, dengan harta yang diperolehnya.
"Baiklah, atur saja yang terbaik menurutmu." jawab ibu Fraza.
Keesokan harinya, meja Sanifa ada bungkus plastik berwarna putih. Di dalamnya terdapat serbuk, dengan jumlah tidak sedikit. Sanifa mengangkatnya ke atas udara, lalu memperhatikan dengan seksama.
"Ini apa, kok bisa ada di mejaku?" Sanifa bertanya-tanya pada diri sendiri.
Kramiy melihat ke arah Sanifa. "Wow... ada yang terlibat narkoba nih. Dia pecandu, kita pukul saja."
"Dasar manusia rendahan!" Zarin menyudutkannya.
"Hentikan tuduhan kalian! Aku tahu, pasti kalian yang meletakkan barang ini." Sanifa mendorong Kramiy, karena sangat emosi.
"Kamu sudah gila iya, tiba-tiba menyerang ku." Kramiy mendorongnya, hingga membentur meja.
Sanifa melawan, karena mereka sudah zalim. Teman-teman sekelas yang lain malah menjadikan tontonan. Mereka mengira Sanifa gila, mengamuk karena pengaruh narkoba.
Plak!
Sanifa menamparnya, lalu Zarin dan Berlin melempar meja hingga mengenai kepala Sanifa. Kepalanya terasa sakit, semua justru menertawakannya. Kramiy menarik dasi Sanifa hingga putus.
"Kamu itu tidak pantas sekolah, lebih baik tidak berada di sini. Kamu itu berbeda tahu tidak, perempuan rendahan!"
"Huu... pengguna narkoba!" Zarin menyorakinya.
Teman-teman yang lain ikut-ikutan, melemparkan kertas ke kepala Sanifa. Hal tersebut membuat Sanifa frustasi, dia histeris sampai menjambak rambut Kramiy. Sanifa mendapatkan balasan dari orang yang diserangnya.
"Hei, perempuan gila! Lebih baik masuk rumah sakit jiwa, daripada sekolah dengan tidak waras." Berlin mendorongnya hingga jatuh.
"Iya, tukang pecandu narkoba ikut belajar, seperti ini deh jadinya." timpal Zarin.
"Apa katamu? Ucapkan sekali lagi, sampai mulutmu itu aku paksa untuk tutup." jawab Sanifa, dengan nada tinggi.
"Kamu cuma pecandu narkoba yang gila." Berlin mengulangi ucapannya, dengan tersenyum mengejek.
Plak!
Plak!
Sanifa menampar pipi sekaligus bibirnya, bersamaan dengan guru yang masuk kelas. Zarin dan Berlin pura-pura sedih, dan merasa ketakutan dengan Sanifa.
Zarin mendekati ibu Melan. "Bu, Sanifa sudah gila. Dia kebanyakan mengonsumsi obat-obatan terlarang." Memasang raut wajah sedih.
"Tidak Bu, itu semua fitnah." Sanifa semakin meninggi suaranya, histeris karena di-bully.
"Benar begitu Bu, dia 'kan pecandu yang tidak mau mengaku." jawab Berlin.
"Sudah, sudah, semuanya duduk. Biar Ibu selidiki hal ini." Ibu Melan mengambil sebungkus plastik, yang ada di meja.
Sanifa sedang makan di kantin, lalu piringnya ditaburi kulit kuaci. Tukang bully tertawa-tawa, sambil melempar wajahnya dengan sampah busuk.
"Kenapa kalian selalu mencari masalah denganku, apa kalian tidak diajari adab menghargai orang lain."
"Kamu memang pantas dilempar sampah, karena kamu memang sampah."
Beberapa laki-laki datang, sambil merangkul pundak teman-teman terdekatnya. Mereka mendekat ke arah Berlin dan Zarin, lalu mengusap lembut kepala keduanya. Sungguh jijik dengan perangai mereka, yang tidak bisa memanusiakan manusia lain.
"Kenapa? Kamu iri lihat kami punya teman laki-laki?" tanya Berlin.
"Tidak, aku malah senang tidak akrab dengan laki-laki. Jadi, kamu tidak perlu bangga." jawab Sanifa.
Kramiy mengambil mangkuk di meja, lalu menumpahkan kuah pada baju Sanifa. Kramiy tertawa terbahak-bahak, dan Sanifa mendekat ke arah Kramiy sambil berpangku tangan.
"Kamu merasa bangga, melakukan perbuatan hina seperti ini? Kamu mengeroyok orang lain, yang bahkan tidak pernah mengusik hidupmu." ucap Sanifa.
"Oow... jangan marah-marah dong! Nanti satu sekolahan tahu, kalau kamu telah gila karena narkoba. Kasian sekali nasib orangtua, yang punya anak tidak berguna seperti kamu." Kramiy melihat dengan tatapan merendahkan, dengan kata menghina.
Kramiy menyiram minyak sayur di lantai. Berlin dan Zarin lari terbirit-birit, segera bersembunyi sebelum ketahuan. Sanifa berjalan dengan santai, lalu tidak sengaja terpeleset.
"Hahah... kasian sekali kamu Sanifa." Berlin tertawa dengan lantang.
Sanifa berdiri dengan cepat. "Selalu saja cari masalah."
"Memang sengaja." ucap Zarin.
"Oh gitu." jawab Sanifa.
Beberapa orang menghampiri Zomprang, lalu tersenyum mengejek ke arahnya. Berita yang heboh di grup sekolah, membuat mereka semakin menjadi-jadi.
"Kamu itu tidak tahu diri, masih berani muncul kerja di sini. Anakmu di sekolah pecandu narkoba 'kan?"
"Anakku jarang keluar rumah, tidak mungkin dia terlibat perbuatan tersebut." jawab Zomprang.
"Justru jarang keluar rumah, anakmu bisa saja berbuat hal buruk di luaran." ujar Axel.
"Mana buktinya, perlihatkan padaku." Zomprang menganggap mereka omong kosong.
Mereka berdua memperlihatkan layar ponselnya, yang berisi berita video Sanifa mengamuk. Diunggah oleh salah satu siswi, yang sekelas dengannya.
"Puas lu? Makanya, jangan belagu muka tembok." ujar Axel.
"Kurangi cari perhatian bos, hingga dapat bonus yang besar." timpal Eqi.
"Aku bekerja dengan usahaku, bukan menjadi penjilat. Kalian tidak perlu repot-repot menyebar berita putriku, karena aku bisa mendidik dengan caraku sendiri." jawab Zomprang, dengan tegas.
Sanifa berbicara dengan kucing kesayangannya di sekolah, lalu mengelus dengan lembut bulunya.
"Kucing, mengapa kamu berdiam diri di sana." Sanifa melihat ke arah hewan berbulu tersebut.
"Eh, ada yang sedang bicara sama kucing." ujar Berlin.
"Dia 'kan binatang, makanya tidak punya teman manusia." Kramiy mencaci maki.
Sanifa menoleh ke arah mereka dengan sinis. "Bahkan, seekor kucing jauh lebih baik darimu." Menjawab tegas.
"Kamu sudah pintar bicara iya, aku tidak sabar untuk memperlihatkan hadiah untukmu." jawab Kramiy.
Sanifa langsung pergi begitu saja, tidak ingin basa-basi lagi.
Pulang sekolah Sanifa pulang sendirian, waktu pun sudah larut malam. Sanifa mempercepat langkahnya, karena merasa tidak nyaman. Preman itu mendekat, lalu merampas tasnya secara paksa.
"Minta tas aku!" teriak Sanifa.
Bugh!
Sanifa ditendang kakinya, dan juga ditendang punggungnya dari belakang. Sanifa jatuh tersungkur, sampai mengeluarkan darah.
"Kamu lebih baik berhenti sekolah atau pindah saja." Salah satu laki-laki bertatto membuka tasnya, lalu menumpahkan buku-buku pelajaran.
Sanifa menangis histeris, tatkala bukunya diinjak-injak. "Jangan injak buku aku, mereka tidak bersalah. Aku ingin belajar, jangan rusak penaku."
"Aku tidak peduli, yang paling terpenting puas." jawab laki-laki tersebut.
Sanifa merampas paksa bukunya, hingga dia didorong. Kepala Sanifa ditendang, bahkan lebih parahnya ditinju. Tidak segan merekam kejadian tersebut, untuk mengirim pada Kramiy. Mereka meninju hidung juga, hingga Sanifa terkapar.
"Ayo pergi, dia sudah tidak berdaya." ucapnya, pada teman-teman satu kelompok.
"Iya ketua, daripada ada yang memergoki." jawab orang di sebelahnya.
Tidak lama kemudian, ada seorang laki-laki jalan. Dia sedang berjalan bersama ibu kandungnya, baru pulang dari masjid.
"Astaghfirullah, itu ada manusia tergeletak." ujar Xaiza.
"Ya Allah, ayo bantu dia." jawab Cemara.
Cemara menepuk-nepuk pipi Sanifa, namun tidak juga sadar dari pingsannya. Xaiza membawa Sanifa ke rumah sakit. Suster menyeret ranjang pasien, sampai ke dalam ruangan.
"Siapa perempuan tersebut, tidak ada identitasnya." ujar Xaiza.
"Aku tadi sempat menemukan kartu pelajar miliknya. Sepertinya, ada yang sengaja mencelakai anak remaja tersebut." jawabnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!