Jarum jam menunjukkan pukul 12.15. Baru 15 menit sejak jam istirahat berakhir. Namun seorang gadis gemuk berkaca mata tebal, sudah tidak kuasa menahan kantuknya. Kurnia Ariella Dewi nama gadis itu. Ia adalah siswi di sebuah SMA swasta di Kota Semarang. Di rumah ia dipanggil Nia, namun di sekolah ia dipanggil Kur. Panggilan itu dicetuskan oleh Nico, teman sekelas yang suka mengusilinya.
Sebenarnya Nia tidak masalah dipanggil Kur, karena itu juga namanya. Yang membuatnya sebal, karena Nico memanggilnya Kur dengan nada seperti memanggil seekor ayam. Sialnya, teman-teman sekelasnya juga ikut memanggilnya Kur-kur atau ayam. Dan akhirnya, di sekolah ia dikenal luas sebagai Kur-kur atau ayam betina.
Jam terasa berjalan begitu lambat. Nia bukannya tidak berusaha untuk tetap terjaga di sepanjang pelajaran fisika ini. Saat jam istirahat tadi, ia sudah memesan bakso dengan cabai yang sangat banyak. Harapannya, matanya akan segar karena kepedasan. Sehingga ia bisa mengikuti pelajaran yang tidak dipahaminya ini.
"Seharusnya tadi malam aku tidak bergadang untuk menyelesaikan novel favoritku," keluh Nia.
Matanya semakin lama semakin terpejam. Lalu ia memelorotkan dagunya sampai ke meja. Dan beberapa detik kemudian, Nia sudah tertidur.
Posisi Nia tidur cukup ideal untuk tidak ketahuan oleh pak Wisnu, guru fisikanya yang sudah berusia setengah abad itu. Bangku tempat Nia duduk, berada di paling ujung belakang. Dan Adit, teman sebangkunya juga lebih sibuk makan cemilan diam-diam daripada memperhatikan Nia. Namun Nico, tidak sengaja melihat gadis itu sedang tertidur di kelas. Senyum usil langsung terpampang di wajahnya yang tampan.
Dengan mengendap-endap, Nico menghampiri Nia. Di tangannya sudah ada spidol. Dan sejurus kemudian, ia mencoret-coret wajah Nia. Sambil menahan tawa, ia mengambil ponselnya dan memfoto hasil karyanya.
Cekrekkk. Nico terkejut karena ponselnya berbunyi cukup keras. Dan ia lebih terkejut lagi, karena pak Wisnu segera menegurnya, "Nico, apa yang kamu lakukan?"
Nico terkejut karena tindakannya diketahui oleh pak Wisnu. Aditpun buru-buru menyembunyikan cemilannya. Namun Nico berusaha untuk tetap tenang dan berkata, "Kurnia tidur di kelas, Pak. Jadi saya mencoba membangunkannya."
Suara Nico yang cukup keras membuat Nia terbangun. Ia menegakkan tubuhnya sambil mengelap air liur yang menetes di tangannya. Melihat kelakuan Nia barusan, seisi kelaspun langsung tertawa.
"Kurnia, maju ke depan kelas sekarang!" perintah pak Wisnu.
Nia segera maju sambil mengusap matanya. Melihat wajahnya yang penuh dengan coretan spidol, teman-teman sekelas pun kembali tertawa terbahak-bahak. Kali ini tawa mereka lebih keras dari sebelumnya. Ditambah dengan celetukan-celetukan dari beberapa orang yang usil.
"Eh si ayam tidur di kelas, soalnya bangun pagi-pagi untuk berkokok sih. Kukuruyuuuukkk."
"Yang berkokok itu ayam jago, dia ayam betina. Jadi tadi dia sedang mengerami telurnya sampai ketiduran. Hahahaha."
Melihat wajah Nia yang penuh dengan coretan spidol, pak Wisnu menyuruh Nia untuk membersihkan mukanya di toilet. Dan Nico dihukum untuk berdiri di depan kelas selama mata pelajaran berlangsung. Sedangkan Adit cukup beruntung, karena pak Wisnu tidak melihatnya makan di kelas, sehingga ia tidak mendapatkan hukuman.
Nia berjalan memasuki toilet. Namun sialnya, di sana ia melihat Gita bersama dua sahabatnya, Rere dan Amy. Nia lebih sebal bila bertemu dengan Gita daripada Nico. Jika Nico selama ini merundungnya sebatas kata-kata atau mencoret-coret mukanya seperti saat ini, Gita lebih parah dari itu! Gita bahkan tega main fisik! Beruntungnya, Gita bukan merupakan teman sekelas Nia. Sehingga sebisa mungkin Nia menghindari pertemuannya dengan Gita.
Mengetahui ada Gita dan teman-temannya di sana, Nia segera membalikkan badannya untuk keluar. Namun Rere dengan cepat menghadang Nia di pintu keluar.
"Wah wah wah, apa yang terjadi dengan muka ayam gemuk satu ini?" kata Gita sambil mendekati Nia. Senyum menyerigai terpampang di wajahnya yang cantik. Gita termasuk salah satu gadis yang cantik dan populer di SMA ini. Namun sayangnya, kelakuannya berbanding terbalik dengan parasnya yang menawan.
Nia menoleh ke arah Gita, namun ia tidak berbicara sepatah katapun. Nia tahu, apabila ia membahas Nico, Gita pasti akan semakin merundungnya. Nia menyadari, alasan Gita merundungnya, sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan Nico.
Nico memang terkenal di antara gadis-gadis di sekolah ini, karena sosoknya yang tampan, kaya, berbadan atletis, dan juga cukup dingin. Namun anehnya, apabila ia bertemu dengan Nia, sifat dingin Nico bisa menghilang dan ia menjadi sangat usil.
"Ulah Nico lagi?" selidik Gita sambil mendekatkan wajahnya ke arah Nia. Ia melihat ada coretan berbentuk kumis, spiral dan juga bentuk hati, yang membuat Gita menjadi panas.
Nia tidak tahu harus berkata apa. Namun tiba-tiba, ia merasakan perutnya menjadi mulas.
Kemudian ia membatin, "Pasti karena cabai di bakso tadi. Kenapa malah bereaksi sekarang?"
"Hei, kamu punya mulut atau tidak?" bentak Amy yang ada di belakang Gita.
Nia tidak menjawab. Tak lama kemudian, ia merasakan perutnya semakin melilit. Ia tidak mau terlalu lama berurusan dengan mereka.
"Tolong beri jalan, aku mau ke toilet," pinta Nia.
Gita dan Amy malah semakin merapatkan tubuhnya, sehingga Nia tidak bisa lewat. Kemudian Nia berbalik, namun Rere juga menghadangnya. Sakit perut yang dirasakan oleh Nia sudah tidak tertahankan lagi. Ia melihat ke arah toilet yang ada di belakang Gita.
"Tolong kalian minggir," pinta Nia sekali lagi.
Namun Gita dan Amy tetap tidak mau memberi Nia jalan. Rasa sakit di perut Nia membuatnya tidak dapat berpikir panjang. Lalu ia sedikit mendorong Gita, agar bisa masuk ke toilet.
Gita terkejut karena Nia berani mendorongnya. Kemudian Gita segera menarik tangan Nia, sebelum ia masuk ke toilet.
"Dasar ayam kampung sialan, beraninya kamu mendorongku!" Lalu Gita menampar wajah Nia.
Nia berusaha melepaskan diri dari Gita. Pikirannya saat ini, hanyalah segera masuk ke toilet, karena perutnya terasa sakit sekali. Namun Amy membantu Gita untuk mengunci tangan Nia dan membawanya masuk ke toilet. Gita mendorong wajah Nia ke kloset duduk di dalam toilet.
"Ini, bersihkan wajahmu di dalam kloset! Wajah jelek sepertimu cocoknya diguyur saja dengan air ******!" seru Gita.
Lalu Gita semakin memasukkan wajah Nia ke dalam kloset dan menekan tombol flush. Nia menjadi gelagapan, karena wajahnya tersiram air kloset.
Sementara itu Rere yang sedari tadi merekam, menyadari ada sesuatu di rok Nia. Lalu ia memberi tahu kedua temannya itu. Ternyata Nia sudah tidak mampu menahan rasa mulasnya, sehingga ia buang air besar di celana.
"HAHAHAHAHAHA." Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak melihat apa yang terjadi pada Nia.
"Ayam betina ini begitu takut ya, sampai buang air di celana. Hahaha," kata Amy.
"Ayo-ayo, kita segera dokumentasikan!" seru Gita seraya mengambil ponselnya untuk memfoto Nia.
"Aku sudah dari tadi merekamnya lewat video," pamer Rere bangga.
Gita berkata, "Benarkah? Segera kirimkan videonya ke aku!"
"Aku juga mau, kirimkan ke aku juga!" Amy juga tidak mau ketinggalan.
Setelah merasa puas, mereka bertigapun meninggalkan Nia seorang diri di kamar mandi. Nia hanya bisa menangis dan meratapi dirinya. Ia merasa benci sekali berada di sini. Ia bertekat, selepas dari SMA, ia akan pindah ke kota lain. Ia ingin berkuliah di universitas yang tidak ada teman-teman SMAnya. Ia juga akan mengganti identitasnya.
Nia tidak sudi lagi dipanggil Kurnia. Nama itu sebenarnya memiliki makna yang indah. Namun ia tidak ingin orang-orang di kehidupannya yang baru, memanggilnya dengan nama itu. Selain pernah diejek karena itu, pergantian nama juga membuat orang lebih sulit melacak identitas sebelumnya. Ia memilih untuk dipanggil dengan nama Ella.
Sudah empat tahun Nia berkuliah di Surabaya. Dan selama itu pula, ia memperkenalkan dirinya sebagai Ella. Ia juga melakukan diet ketat supaya bisa langsing, mengganti kacamatanya dengan softlens, dan melakukan berbagai perawatan tubuh sehingga tampak lebih cantik.
Hidup yang ia dambakan sudah terwujud. Tidak ada yang mengenalinya sebagai Kurnia. Tidak ada yang merundungnya. Semua berjalan sesuai keinginannya.
Namun hidup yang damai dan seakan tidak ada masalah itu harus berakhir, ketika ia lulus kuliah dan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sudah berbulan-bulan ia belum mendapatkan pekerjaan. Sudah belasan hingga puluhan lamaran pekerjaan yang ia daftar, namun belum ada satupun perusahaan yang menerimanya. Entah gagal pada tahap wawancara, maupun pada tahap psikotest. Bahkan ia juga pernah langsung gagal pada tahap seleksi berkas.
Drrt ... drrt ... ponsel Ella bergetar. Ada panggilan telepon dari mamanya. Saat ini, pertanyaan tentang pekerjaan, adalah hal yang paling menakutkan baginya.
"Halo Nia, apakah kamu sudah mendapat pekerjaan?"
"Ma- masih belum, Ma."
"Masih belum sampai sekarang? Kamu sudah empat bulan menganggur di Surabaya. Kenapa kamu tidak segera kembali saja ke Semarang untuk membantu mama?"
"Nia masih mencoba mencari, Ma."
"Mama harus bersabar padamu sampai berapa lama lagi Nia? Apa sebenarnya maumu? Sudah empat bulan tidak melakukan apa-apa, dan hanya mengandalkan uang dari orang tua saja. Mama sudah susah payah membiayai kuliahmu di Surabaya! Kamu sudah besar, sudah lulus kuliah, jangan semakin menambah beban pikiran mama!"
"Ma- maafkan Nia, Ma. Nia berjanji akan segera mendapatkan pekerjaan."
"Kamu sudah berjanji seperti itu sejak empat bulan yang lalu! Bulan ini adalah bulan terakhir mama mengirimkan uang untukmu! Segera pulang ke Semarang, atau kamu akan menjadi gelandangan di Surabaya!"
Begitu mamanya menutup telepon, Ella langsung duduk dengan lunglai di kasur. Perasaannya menjadi campur aduk. Ia mengerti mengapa mamanya marah.
Awalnya mama Ella bisa menerima penolakan anaknya itu untuk kembali ke Semarang. Ia berpikir, Ella akan mendapatkan pengalaman dari bekerja di kota lain. Namun saat Ella tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, ia mendesak Ella untuk segera pulang.
Mungkin Ella tampak egois untuk tetap bertahan di Surabaya. Namun pengalaman masa lalu masih membuatnya trauma untuk kembali. Apalagi ia juga menemukan info, kalau Gita berkuliah dan bekerja di Semarang. Sedangkan Nico memang berkuliah di Australia, namun papa Nico memiliki perusahaan di Semarang. Jadi bukan tidak mungkin, kalau Nicopun akan kembali ke Semarang.
Dan di saat Ella merasa terpuruk, tiba-tiba ada telepon dari Vita, sahabatnya. "Halo Nia, bagaimana kabarmu?"
"Halo Vit, kabarku ... baik-baik saja."
"Kamu benar baik-baik saja? Kamu kenapa? Apakah kamu habis menangis?"
Vita adalah teman Ella sejak kecil. Mereka selalu bersekolah di tempat yang sama semenjak SD sampai SMA. Walaupun tidak selalu berada di kelas yang sama, mereka tetap kompak satu sama lain. Vita juga paham, seperti apa temannya itu. Ia tahu, meskipun Ella berkata bahwa ia baik-baik saja, kondisi Ella pasti ada yang tidak beres.
"Apakah ada yang ingin kamu ceritakan kepadaku?" tanya Vita.
Kemudian Ella menangis dan berkata, "Mama marah kepadaku, karena sampai sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan."
"Aku merasa tidak berguna dan merasa sangat bersalah. Aku bingung, apakah aku harus kembali ke Semarang, ataukah tetap bertahan di Surabaya?" lanjutnya sambil menyeka air matanya.
Vita menghibur Ella dan berusaha menyemangatinya. "Bagaimana dengan perusahaan makanan yang kamu daftar sebelumnya? Apakah sudah ada panggilan?"
Ella menghembuskan nafas panjang dan berujar, "Sepertinya aku tidak diterima, Vit. Masih belum ada kabar sejak terakhir kali aku psikotest di sana. Semisal aku lulus, masih akan ada panggilan untuk wawancara. Dan aku belum pernah sekalipun berhasil di tahap itu.
"Jangan putus asa begitu Nia. Ini baru tiga hari sejak terakhir kamu psikotest. Kamu harus percaya, kalau kamu akan mendapat pekerjaan."
"Aku takut akan kecewa seperti sebelumnya."
"Hei Nia, kenapa kamu pesimis sekali? Dengar ya, daripada kamu terus berpikir dengan kata-kata mamamu, lebih baik kamu berlatih untuk wawancara dari sekarang! Bangun keoptimisanmu, supaya kamu bisa lulus tahapan wawancara, karena kamu percaya diri."
Mendengar kata-kata dari Vita, Ella kembali bersemangat. Ia selalu merasa lebih baik saat bercerita dengan sahabatnya itu.
Ella dan Vita adalah dua sahabat yang memiliki karakter berbeda. Namun mereka sama-sama mengalami perundungan saat SMA. Tubuh mereka sama-sama gemuk, yang membuatnya menjadi sasaran perundungan. Namun berbeda dengan Ella yang menjadi malu, Vita tetap percaya diri walaupun dipanggil dengan berbagai macam julukan yang tidak pantas.
Kemudian Ella menanyakan kabar sahabatnya itu. Sebelumnya Vita sempat bercerita, bahwa ia sedang menjalani koas kedokteran. Dan sekarang ia ditempatkan di salah satu rumah sakit swasta di Semarang. Vita bercerita dengan penuh semangat, karena hari ini ia bertemu dengan seorang dokter muda yang tampan.
"Apakah kamu tahu? Setelah melihat wajah dokter tampan itu, aku langsung refleks melihat jari tangannya. Dan syukurlah, tidak ada cincin yang melingkar di jari manisnya. Artinya, aku masih ada kesempatan. Hihihi."
Ella ikut tertawa dan menggoda Vita, "Hei, belum menikah itu bukan berarti ia belum mempunyai kekasih. Bisa saja ia melepas cincinnya selama di rumah sakit, supaya tidak hilang."
Vita pura-pura kesal dan berkata, "Aduh Nia, kenapa kamu selalu saja pesimis?"
Lalu ia melanjutkan kata-katanya dengan penuh semangat, "Baiklah, aku akan mencari tahu informasi lebih lanjut tentang dokter jaga itu."
Nia tertawa mendengar kata-kata dari Vita. Ia sangat senang berbincang-bincang dengannya. Berbicara dengan Vita dapat menularkan semangat untuk tetap optimis. Kesedihan Ellapun lenyap, dan dia menjadi bersemangat untuk menjalani kehidupannya.
Dua hari kemudian, Ella mendapatkan panggilan wawancara di perusahaan makanan tersebut. Proses wawancara berjalan dengan lancar. Ella akhirnya diterima untuk bekerja sebagai staf HRD di sana. Ella senang, karena akhirnya ia mendapatkan pekerjaan. Iapun segera menelepon mamanya.
"Halo Ma, Nia sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan makanan."
"Oh ya? Selamat ya Nia, mama ikut senang," kata Mama Nia di seberang sana.
Kemudian mama Nia menanyakan hal yang tidak ia sangka, "Berapa gaji yang kamu dapatkan di sana?"
DEG .... Ella terdiam sesaat. Karena begitu inginnya ia mendapatkan pekerjaan, maka ia tidak meminta gaji tinggi. Berapapun gaji yang akan diberikan, ia menerimanya. Ella tidak mungkin berkata dengan jujur, bahwa ia mendapatkan gaji sedikit di bawah UMR. Bisa jadi, mamanya akan memaksanya kembali ke Semarang.
"Gajinya lumayan kok, Ma. Lebih tinggi dari UMR. Bahkan lebih untuk kebutuhan bulanan Nia di Surabaya," ucap Ella.
"Baguslah Nia kalau begitu. Kapan kamu mulai bekerja?"
"Mulai minggu depan, Ma."
"Baiklah. Selamat bekerja ya, Nak."
"Iya, Ma. Terima kasih."
Nia menutup teleponnya dengan hati yang berat. Ia telah berbohong dengan mamanya. Kemudian Nia menghitung-hitung, dengan gaji yang didapatkannya, mustahil untuk dia dapat bertahan dengan fasilitas seperti sekarang ini.
Iapun berencana untuk pindah ke kos yang lebih murah dan dekat dengan kantornya, untuk menghemat biaya akomodasi. Selain itu dia akan berhemat, belajar memasak, dan hanya akan makan sehari dua kali saja. Ella terpaksa melakukannya, agar uangnya bisa cukup untuk bertahan hidup di Surabaya.
Ella sudah bekerja selama dua hari di Good Luck Food, sebuah perusahaan penyedap makanan seperti saos, kecap, dan sambal. Produk dari perusahaan ini biasanya didistribusikan ke restoran-restoran atau hotel-hotel berbintang di Surabaya. Pabrik tempat produksi berada di dalam sebuah kompleks sentra industri di Surabaya. Namun kantor divisi lainnya, termasuk divisi HRD berada di dalam salah satu gedung perkantoran.
Ella memang baru sebentar bekerja. Namun ia dapat melihat, bahwa tekanan pekerjaan di perusahaan ini begitu tinggi. Karyawan yang ada, dituntut untuk bekerja dengan cepat dan tepat. Namun Ella tidak ingin menyerah. Ini adalah satu-satunya perusahaan yang mau menerimanya. Ia harus mampu beradaptasi dengan pekerjaan barunya.
Pagi ini Ella berangkat bekerja seperti sebelumnya. Saat ia berjalan hendak menuju lift, ia melihat pintu lift yang menuju ke lantai atas hampir menutup.
"Tunggu sebentar!" serunya.
Ella langsung berlari ke arah lift sebelum pintu lift itu benar-benar tertutup. Ia tidak ingin menunggu lift berikutnya. Di waktu-waktu mendekati jam masuk kerja seperti sekarang ini, lift pasti sangat sibuk. Sebagai karyawan baru, Ella tidak ingin datang terlambat karena menunggu lift terlalu lama. Kantornya berada di lantai 15, yang merupakan lantai tertinggi di gedung ini. Apabila menggunakan eskalatorpun juga akan memakan waktu yang cukup lama.
Ella beruntung, karena sebelum pintu lift tertutup, ada yang seseorang menekan tombol di lift agar pintu tetap terbuka. Secepat kilat Ella segera masuk ke dalamnya dan tidak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah menekan tombol lift itu.
Lift penuh sesak dengan dengan orang-orang yang hendak bekerja. Beberapa waktu kemudian, lift mulai terasa longgar karena sudah banyak orang yang keluar. Dan kini, hanya tersisa dirinya dengan seorang pria saja di dalam lift.
Ella melihat tombol yang ada di dalam lift. Hanya tinggal lantai 15 saja yang akan dituju. Ella lalu menoleh ke arah pria yang ada di belakangnya, dan wajah seseorang yang cukup ia kenal berdiri di hadapannya. Jantung Ella langsung berhenti berdetak ketika melihat wajah pria itu mirip sekali dengan Nico! Ella segera membalik badannya untuk memunggungi pria itu.
Pikiran Ella berkecamuk. Apakah pria itu memang Nico, ataukah orang lain yang sekedar mirip dengannya? Apakah pria itu akan menuju kantornya, atau tempat lain? Ella mengingat-ingat dan sadar, bahwa kantornya adalah satu-satunya perusahaan yang ada di lantai 15.
Di dalam satu lantai gedung perkantoran ini, terkadang berisi sekitar tiga sampai tujuh perusahaan. Tergantung dengan besar kecilnya ruangan yang dipakai. Namun khusus lantai teratas gedung ini, hanya diisi oleh satu perusahaan, yaitu perusahaan Good Luck Food saja.
Begitu mereka telah sampai dan pintu lift terbuka, Ella berjalan dengan cepat agar segera bisa masuk ke kantornya. Ia segera menuju mesin absensi dan meletakkan jarinya disana untuk menunjukkan kehadirannya. Masih tersisa dua menit sebelum pukul 08.00. Ella bersyukur ia tidak terlambat.
Kemudian ia melihat bahwa pria yang mirip Nico itu tidak turut melakukan absensi. Ella merasa lega, ia berpikir pria ini mungkin hanya tamu perusahaan yang kebetulan datang saja. Namun dugaan Ella sepertinya salah. Ketika ia semakin memasuki ruangan, semua karyawan tampak memberi hormat dan menyapa pria itu.
"Selamat pagi, Pak Nico."
DEG! Jantung Ella terasa mau copot. Ternyata pria itu benar Nico, dan sekarang ia berada di tempat yang sama dengannya!
"Ella, beri salam pada Pak Nico," kata seorang wanita berambut pendek sebahu, seraya menarik Ella ke samping agar Nico bisa lewat. Wanita itu bernama Rina, manager HRD Ella.
"Selamat pagi, Pak Nico," kata Rina.
"Se ... selamat pagi, Pak Nico," kata Ella terbata-bata.
Setelah itu Nico berjalan terus ke depan dan masuk ke sebuah ruangan. Setelah memastikan Nico sudah menutup pintu ruangannya, Rina menjelaskan kepada Ella, "Itu adalah pak Nico. Dia adalah anak dari pak Alec, pemilik perusahaan ini."
"APAAA?? Anak dari pemilik perusahaan ini?" batin Ella. "Jadi sekarang ini aku sedang bekerja di perusahaan milik Nico?" Mulut Ella sampai menganga karena terkejut.
Rina segera menepuk bahu Ella. "Ayo segera duduk ke tempatmu. Sudah saatnya untuk bekerja."
Kemudian Ella berjalan menuju ruangan HRD. Sedangkan Rina berjalan menuju ke ruangan Nico. Rina mengetuk pintu ruangan Nico, dan segera masuk ke sana setelah pintu dibukakan.
Ella tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya hanya mengarah ke Nico. Jantungnyapun juga terus berdebar kencang. Dan sayup-sayup, ia mendengar pembicaraan dari beberapa karyawan di bagian marketing tentang Nico. Ruangan HRD memang bersebelahan dengan ruangan marketing. Dan meja kerja Ella berada di dekat tembok, sehingga pembicaraan di bagian marketing terkadang bisa ia dengar.
"Kalian tahu, kabarnya pak Nico ini yang akan menggantikan pak Budi sebagai CEO."
"Ah masa iya? Kulihat pak Nico masih sangat muda. Apa ia bisa untuk memimpin karyawan-karyawan di sini yang berusia lebih tua darinya?"
"Ya bisa-bisa sajalah, dia kan anaknya pak Alec."
"Jangan-jangan, dulu pak Budi itu sengaja dikeluarkan agar bisa digantikan oleh pak Nico."
"Kamu jangan bicara sembarangan. Tidak mungkinlah sengaja dikeluarkan. Memang bukti-buktinya banyak kok, kalau pak Budi melakukan korupsi. Lihat saja, arloji mewahnya, mobil mewahnya, rumah mewahnya. Masa dengan gajinya itu, dia bisa membeli semuanya dalam waktu yang relatif singkat?"
"Benar juga ya. Tapi perusahaan cukup baik juga, karena hanya mengeluarkan pak Budi bulan lalu. Tidak sampai membawa beliau ke ranah pidana."
"Soalnya pak Budi dimiskinkan oleh perusahaan. Rumah, mobil dan barang-barang mewahnya diambil untuk mengganti kerugian."
"Eh, menurut info yang pernah kudengar, pak Nico ini hebat dan cerdas. Dia dulu berkuliah di Australia hanya dalam jangka waktu tiga tahun. Sudah begitu, ia juga mengambil double degree dan lulus dengan predikat summa cumlaude."
"Oh ya? Wah luar biasa sekali ya pak Nico ini."
"Pak Nico juga sudah sejak SMA diajak oleh pak Alec untuk membantunya bekerja. Dan dulu saat masih kuliah, setiap libur semester, pak Nico juga selalu membantu ayahnya bekerja. Setahun terakhir ini pak Nico juga sering bolak-balik Semarang-Surabaya untuk membantu mengurus perusahaan. Kurasa keputusan pak Alec itu tidak salah."
Pembicaraan para karyawan itu mendadak terhenti, karena pintu di ruangan Nico terbuka. Rina keluar bersama dengan Nico. Lalu wanita itu mengumumkan ke semua karyawan di sana, kalau per hari ini, Nico yang akan menjadi CEO di perusahaan Good Luck Food Surabaya.
Kemudian semua karyawan bergantian maju untuk bersalaman dengan Nico. Ella masih berdiri mematung, sampai akhinya ia didorong oleh Indah, temannya sesama HRD.
"Ayo Ella, segera maju untuk berjabat tangan dengan pak Nico."
Ella terpaksa maju untuk menyalami Nico. Tangan Ella menjadi dingin sekali karena tegang, dan ditambah suhu AC di ruangan ini memang cukup dingin.
Nico tertegun ketika bersalaman dengan Ella. Tangan gadis itu terasa sedingin es. Kemudian ia memandang Ella yang langsung menundukkan kepalanya.
Melihat hal itu, Rina segera memperkenalkan Ella kepada Nico. "Ini Ella, Pak Nico. Ia karyawan baru di tempat ini. Memang ia baru tiga hari bekerja di sini, tetapi anaknya rajin dan kinerjanya cukup bagus."
Nico menganggukkan kepalanya. Lalu ia bergantian menyalami yang lain. Ella merasa lega karena Nico tampaknya tidak mengenalinya.
---o0o---
Malam harinya ketika Ella sampai di kos, ia menelepon Vita untuk bercerita tentang kejadian hari ini.
"Apakah kamu tahu? Ternyata CEO perusahanku adalah Nico! Oh tidak, baru tiga hari bekerja, aku sudah bertemu lagi dengan Nico!"
Lalu Ella melanjutkan, "Dan kabar buruknya, aku juga tidak punya pilihan untuk pindah dari perusahaan ini. Aku sudah bercerita pada ibuku kalau mendapat pekerjaan di tempat ini, berbohong kalau aku mendapatkan gaji yang tinggi, dan perusahaan ini adalah satu-satunya yang mau menerimaku."
Vita menyuruh Ella untuk bersabar. Lalu katanya, "Memang kenapa kalau CEOnya Nico? Sifat orang kan bisa saja berubah seiring berjalannya waktu. Nico juga pasti sudah bertambah dewasa."
"Tapi aku tetap tidak bisa melupakan semua perundungan yang kudapatkan karena Nico!"
Vita menghela nafas dan berkata, "Nia begini, kamu sudah lebih dari empat tahun tidak bertemu dengan Nico. Sekarang kamu juga sudah banyak berubah. Kamu sudah lebih langsing, sudah semakin cantik, sudah tidak memakai kacamata lagi. Belum tentu juga Nico mengenalimu. Aku saja yang sahabat dekatmu terkejut dengan perubahanmu yang cukup drastis."
"Tapi Vita, tekanan di perusahaan ini juga cukup tinggi. Dan belum lagi CEOnya adalah Nico. Kamu tahu sendiri, kan seberapa perfeksionisnya seorang Nico itu? Sekarang aku tahu kenapa perusahaan ini mau menerimaku. Ternyata turn over di perusahaan ini cukup tinggi, sehingga mereka selalu mencari karyawan baru," keluh Ella.
Vita berujar, "Nia, tekanan kerja dan turn over tinggi, seharusnya kamu lihat sebagai kesempatan dalam bekerja. Apabila semakin banyak yang tidak sanggup, maka peluangmu untuk naik tingkat malah lebih terbuka apabila kamu bisa bertahan. Kamu harus yakin dengan dirimu."
Ella tersenyum mendengar motivasi dari Vita. Sahabatnya itu memang selalu bisa memberinya semangat. Lalu ia teringat tentang dokter muda yang Vita pernah ceritakan.
"Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Apakah kamu sudah mendapatkan info tentang dokter muda itu?"
"Ah iya, tentang dokter muda itu!" Vita tampak bersemangat saat Ella membahasnya.
Kemudian ia melanjutkan, "Aku sudah mencari info tentang dokter muda itu. Namanya adalah dokter Bima. Dia sudah dua tahun lulus menjadi seorang dokter, dan sekarang menjadi dokter jaga di RS tempatku bekerja. Dan informasi yang paling penting adalah, dia ternyata masih single, belum memiliki pacar. Hehehe."
Ellapun ikut tertawa mendengar tawa dari Vita. "Lalu apakah kamu sudah berkenalan dengannya?" tanyanya.
"Oh tentu saja sudah. Vita gitu. Hahaha. Aku bahkan mencoba untuk bisa semakin dekat dengannya. Aku sering bertanya-tanya tentang materi koasku kepadanya."
"Wah, kamu memang luar biasa Vita," puji Ella.
Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak. Kemudian kedua sahabat itu melanjutkan mengobrol tentang banyak hal, sampai larut malam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!