Hallo, ini adalah cerita tentang Sasa Sasilia.
Gadis misterius super dingin yang harus memecah teka-teki pembunuhan Ibunya. Kehidupan gemilang yang ia bayangkan setelah lulus SMA ternyata hanya ilusi, ia harus menerima kenyataan pahit saat Ibunya meninggal karena dibunuh.
Luka bertambah perih ketika Ibunya harus merenggut nyawa di hotel miliknya sendiri. Pembunuhan ibunya belum tersingkap karena kurangnya bukti. Banyak keganjalan yang terjadi namun masih tersembunyi.
Mulai dari luka sayatan di leher yang bahkan tak ada pisau di sana. Semua ini, menjadi tanda tanya yang belum terjawab hingga saat ini.
Hal itu mendorong Sasa yang mulai beranjak dewasa. Ego dan dendam membuatnya ingin sekali menangkap si pembunuh yang sudah merenggut kebahagiaannya.
Sejak kecil Sasa hidup berdua dengan Ibunya. Ayahnya meninggal saat Sasa duduk di Taman Kanak-Kanak. Belasan tahun Sasa lalui bersama Ibunya.
Alm. Ayah Sasa merupakan pebisnis yang baru merintis karir di dunia perhotelan. Saat itu, Hotel yang diberi nama Gloubel itu belum memiliki cabang dimanapun, bahkan baru mendapat rating bintang 3.
Selang beberapa tahun, sejak kepergian Ayahnya, Zena (Ibunda Sasa) membangun kembali bisnis itu dengan jalan menjual tanah milik keluarganya. Ada banyak lika-liku yang dilalui hingga akhirnya Zena mampu membangun cabang ke 25 hotel tersebut yang ada di Maluku.
Kembali ke cerita kelam Sasa.
Kehilangan waktu kecil, berbeda sekali dengan kehilangan yang Sasa rasakan saat ini. Itu karena hampir seluruh masa remajanya dihabiskan berdua dengan malaikat baik bernama Zena.
Zena bekerja keras hingga bisa memberikan kehidupan yang super layak bagi putrinya itu. Rumah megah berlapis emas menjadi hunian yang sangat indah bagi mereka berdua.
Dalam hidupnya, Zena hanya memiliki satu saudara kandung yaitu Deina (Tante) yang hidup di Bali. Deina juga diajak bekerja di Hotel Gloubel milik Zena. Deina bekerja sebagai manajer di salah satu cabang hotel tepatnya di Bali.
Zena yang sudah terlalu kaya itu, memilih menyerahkan kuasa satu hotel itu ke Deina adiknya agar dia tidak bekerja di tempat lain lagi. Meski kuasa diberikan, pewaris dari hotel di Bali tetaplah atas nama Sasa Sasilia.
Sasa melewati banyak masa kelam sejak Ibunya meninggal. Hal ini karena ia hanya hidup sendiri dan tidak ingin ikut dengan Deina. Bagi Sasa, sendiri adalah ruang ketenangan tak berujung.
Semua ketenangan ini akhirnya berubah menjadi runtutan puzzles rumit. Ketika dendam dan rasa penasaran mengahantui Sasa. Hal ini membuat Sasa memutuskan untuk masuk kuliah di jurusan IT, bukan untuk bekerja. Tetapi, untuk bisa meretas pembunuh Ibunya.
Sasa berpikir bahwa hanya dengan sistem IT lah ia lebih mudah menemukan pelaku pembunuhan yang belum terungkap itu. Hal ini karena si penguntit yang ada di depan rumahnya adalah seorang pengusaha yang pasti punya sistem IT yang bisa ia hack.
Ia yakin sekali bahwa ibunya tidak sekedar dibunuh, tetapi sudah direncakan. Tidak mungkin keganjalan yang ada hanya sebuah kebetulan saja.
Hidup Sasa penuh dengan drama saat ia memutuskan membalas dendam pada pembunuh itu. Namun, di tengah pembalasan dendam, cinta datang dengan hadirnya Abraham Glanelio. Kakak tingkat yang super baik dan sering memperhatikan Sasa.
Pertemuannya dengan Abraham Glanelio (Bara) yang semula jengkel menjadi lebih dekat saat ia tahu bahwa Bara adalah anak dari sahabat ibunya.
Kedekatan Sasa dengan Bara membuatnya menemukan banyak sekali fakta baru tentang Zena. Bara bahkan mengakui bahwa ia sering sekali memperhatikan dan menjaga Sasa dari jauh.
Hal buruk mulai terjadi saat Sasa bertemu sengan Ghare, panglima gangster di kampusnya. Ia harus berhadapan dengan si pembuat onar.
Ghare yang awalnya kesal dengan kesongongan Sasa, malah kepincut saat tahu keberanian gadis itu. Ia kemudian mulai masuk dalam kehidupan Sasa. Mencoba mencari tahu titik istimewa gadis itu. Sasa yang tahu akal licik Ghare malah memanfaatkan ini semua.
Dikampus, Sasa berteman dengan Larisa dan Zean. Larisa adalah gadis cantik dari jurusan Psikologi. Sedangkan, Zean adalah teman satu jurusan dengannya.
Sasa sangat beruntung bisa mengenal Zean, anak rektor kampus yang super baik. Identitasnya tersembunyi, sehingga tak seorangpun menduga bahwa dia adalah titisan rektor. Zean selalu bisa menempatkan Sasa di titik ter-aman. Terlebih saat ia harus berurusan dengan Ghare.
Hidup Sasa bagaikan berada di pusat kompas. Ia dikelilingi oleh berbagai watak pria yang membawa rahasianya masing-masing. Jika benar seperti kompas, tugas Sasa cuma satu, mengikuti kemana magnet dan angin akan membawanya berputar sesuai arahnya.
Dari sekian banyak runtutan kisah ini, ada banyak sekali plot twis yang tak terbayangkan. Puzzles dalam cerita ini akan dipecahkan oleh setiap tokoh.
Rangkaian kisah ini jauh dari kata mulus, ada banyak rahasia menakjubkan yang akan merusak mereka satu per satu. Bahkan, sesuatu yang tak pernah pembaca duga akan terjadi di sini.
...***...
Sasa berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap hamparan langit yang sangat luas dan cerah. Seseorang nampak berada di belakangnya, mendekat dan ikut berdiri di sebelah Sasa.
"Sampai kapan lo akan nyari tahu pembunuhnya?" tanya pria itu.
Sasa menatap tajam ke arah pria itu. Seolah tak terima dengan ucapannya.
"Sampai kapanpun," jawabnya singkat.
Pria itu mendengus dan mendekat ke arah Sasa.
Ia menempelkan bibirnya di telinga gadis manis itu. Membuat Sasa dapat merasakan hembusan nafasnya dengan jelas.
"Gimana kalo gua pembunuh sebenarnya?" tanyanya dengan raut serius.
Mata Sasa seolah terbelalak. Ia mencoba santai dengan pertanyaan itu dan menyembunyikan rasa kagetnya.
"Jangan pernah bercanda untuk hal yang paling diserius orang lain," ujar Sasa menbalas ucapan pria itu.
"Kalau gua ga bercanda soal ini?" tanya pria itu lagi dengan sorot mata tajam.
Sasa lalu merubah posisi, ia kini mendekat ke arah pria itu, menempelkan bibirnya tepat di telinga pria itu. Lalu, berbisik.
"Silahkan temuin orang yang lo sayang, semuanya." Pria itu lalu menatap Sasa dengan heran.
"Maksud lo?" sembari menjauh dari Sasa.
"Iya, karena besok lo belum tentu bisa liat matahari pagi lagi." Sasa mengalihkan pandangan matanya.
Pria itu menelan ludahnya. Ia mencerna perkataan Sasa. Ia lalu kembali mendekatkan wajahnya ke Sasa.
"Tapi ...." ucapnya lirih.
"Gimana juga kalo salah satu orang yang gua sayang itu adalah lo?!" ujarnya lagi.
Mata Sasa seketika terbelalak akan pernyataan itu. Ia merasakan aliran darahnya menjadi cepat dari biasanya. Sesuatu terjadi, perutnya seperti berkupu-kupu.
Melihat dari alur hidup Sasa, perlu waktu bertahun-tahun agar Sasa bisa meretas sistem pembunuh ibunya, hal ini karena ia juga baru belajar di perkuliahan.
Namun, sulit tidak membuat Sasa berhenti. Ia justru semakin giat ketika berhasil menemukan satu demi satu kepingan puzzles.
Apakah Sasa akan jatuh cinta dan melupakan dendam? Atau malah memilih jalan lain dan memecahkan semua puzzles?
Kehilangan terdalam adalah ketika seseorang tertidur panjang tanpa memberitahukan kapan ia akan bangun lagi. Dan inilah yang kini dirasakan oleh Sasa.
^^^21 April 2016^^^
Pemakaman Umum Syra
"Sasa......"
"Bangun Sa...." lirih seseorang sembari menepuk lembut pipi Sasa.
"Saaa....."
“Sasaaa....”
Perlahan, pelan sekali. Mata yang kini sedikit silau itu mulai terbuka melawan cahaya. Berkedip beberapa kali untuk menghilangkan pudarnya.
"Saa, kamu udah sadar? SASA!!?"
Sasa menoleh ke kiri dan kanan. Melihat keramaian dari sudut pintu yang terbuka. Ia mencoba menegakkan badannya.
"Eh, jangan dulu.... nanti kamu pingsan lagi," ujar tetangga yang ada di situ.
Sasa hanya bisa terdiam. Menatap kosong sembari memegangi kepalanya yang sedikit nyeri.
"Ini, diminum dulu," ujar salah seorang menyodorkan air.
Tanpa kata, Sasa hanya bisa menerima air itu dengan bantuan tangan orang lain.
Ia tidak bisa apa-apa kali ini, kecuali diam.
"Maaf, ini jenazah sudah selesai disholatkan, sebentar lagi mau di antar ke pemakaman." Ujar orang itu memberikan informasi.
Bufff!
Air mata Sasa langsung jatuh tanpa aba-aba. Ia merasakan kembali apa yang terjadi sebelum ia pingsan.
Kematian. Satu kata yang tidak ingin didengar orang terdekat tetapi pasti akan terjadi.
Sasa terdiam, hening dalam keramaian. Sebatang kara. Itu adalah satu kata pasti yang dia sandang saat ini.
Beberapa orang lalu mengangkat jenazah ibunya ke keranda. Deina nampak menghampiri Sasa ke dalam kamar karena baru saja siuman.
"Kamu boleh tidak ikut kalau kurang enak badan," jelas Deina, Tante nya Sasa yang baru selesai ikut menyolatkan Ibunya.
“Biar Tante dan tetangga di sini yang anter Mama kamu,” jelasnya lagi.
Tanpa bicara, Sasa hanya berdiri. Mendorong semua tahanan tangan yang memaksanya duduk.
"Sasa?!!" panggil beberapa orang.
Deina hanya bisa terdiam atas itu semua. Ia memaklumi kalau Sasa pasti syok akan semua ini. Terlebih ini bukan hal pertama baginya.
"Sasaa, Saa!!" ujar Deina sembari mengejar Sasa keluar.
Deina lalu membuka scraf yang ia kenakan, ia memberikannya ke Sasa agar dapat menutupi rambutnya.
"Pakai ini." Deina memakaikan sebuah scraf ke Sasa.
Datar. Datar dan Sangat datar. Wajah Sasa seperti kehilangan ekspresinya sendiri.
“Kamu tunggu di sini dulu,” ujar Deina melangkah ke kamar.
Deina lalu mengambil sebuah scraf baru dan memakainya, selain itu ia juga mengambil satu foto berbingkai untuk ditaruh di atas makam kakaknya.
"Kamu yakin mau ikut? Ada banyak wartawan di luar gerbang," tanya Deina.
Sasa hanya diam. Deina lalu menyerahkan sebuah foto berbingkai ke tangan Sasa.
"Pegang, ini nanti kita taruh di makam Mba Zena."
Deina lalu merangkul Sasa dan berjalan mengiringi keranda jenazah. Bersamaan dengan mereka, ada banyak warga yang ikut.
“Kita ga bisa handle wartawan di luar gerbang, jadi jangan grogi,” tambah Deina berbisik ke telinga Sasa.
Dari setiap sudut gerbang nampak wartawan yang sedang mencuri momen. Karena di depan pagar sudah tertulis 'Harap maklum, Wartawan hanya di luar pagar' sehingga ketika keluar rumah, banyak sekali wartawan yang memotretnya.
Sasa nampak tidak peduli dengan apa yang wartawan itu lakukan, saat ini, yang ia tahu hidupnya seperti diluluh lantahkan keadaan. Kenyamanan menjadi hal nomor dua baginya saat ini.
Ia hanya ingin diam sembari mengikuti langkah setiap orang yang ikut mengantar almarhumah ibunya ke peristirahatan terakhir. Meski rasanya hampa, ia harus tetap berdiri tegap di sini sampai akhir.
***
Lantunan ayat suci al-qur'an sebagai do'a di pemakaman perlahan mulai usai. Satu persatu manusia kembali ke rumahnya masing-masing.
Tidak dengan Sasa, ia masih setia di samping nisan itu. Air mata jatuh di pipinya. Namun, ia tidak terisak. Ia hanya diam tanpa suara.
"Sa...." Deina menundukkan badannya.
"Ikhlasin Mama kamu ya, biar dia tenang... Tante ada di sini," ungkap Deina.
Ucapan Deina serasa bukan apa-apa. Semuanya masih tetap pudar. Kata-kata penguat di kondisi seperti ini ternyata hanya omong kosong.
"Tante tahu posisi kamu pasti berat banget, Tante tahu ini ga mudah," jelas Deina mengelus kepala Sasa.
"Ta––"
"Sasa mau sendiri dulu Tan," ujar Sasa.
Tangan Deina perlahan menjauhi kepala gadis manis itu.
"Tante balik ke rumah dulu." Deina lalu membiarkan Sasa sendiri dan segera pulang.
Bersamaan dengan ini, Deina juga meminta para wartawan yang tersisa untuk membiarkan Sasa sendiri.
"Harap maklum," ujar Deina mengode para wartawan untuk pergi.
"Keadaan sedang berkabung, silahkan tinggalkan dia sendiri," ujar Deina lagi.
Para wartawan yang sedari tadi memotret makam akhirnya terpaksa harus bubar. Mereka terpaksa berhenti mengambil gambar, bahkan sebelum wawancara dimulai.
...----------------...
Sasa melihat keadaan yang sudah sangat sepi, ia lalu meletakkan foto yang sedari tadi ia genggam.
"Cantik," ujar Sasa sembari mengusap foto berbingkai itu.
Sasa lalu menyentuh nisan bertuliskan nama ibunya. Menikmati setiap luka yang mulai menghujam dirinya.
"Ini sangat berat buat Mysa, Mam. Berat sekali," tambahnya.
Sasa lalu kembali menangis dan mulai membungkukkan badannya untuk menenggelamkan kepala di lutut.
"Kenapa harus Mysa yang ngalamin ini, Mamm?"
Sasa masih terisak dan membiarkan setiap air mata jatuh di pipinya.
"Mysa janji akan cari tahu soal kematian Mama," ujar Sasa bersungguh-sungguh.
"Bahkan kalau ini harus ngabisin sisa hidup Mysa, Mysa akan tetap lakuin." Ia lalu menegakkan kepalanya dan mencium nisan itu.
...----------------...
Deina nampak tengah bersalaman dengan beberapa orang yang hadir membantu proses pemakaman Zena. Ia berterima kasih atas bantuan beberapa tetangganya.
"Terima kasih, Bu." Deina tersenyum seraya bersalaman.
"Iya, kami semua pamit ya..." ujar salah seorang tetangga mewakilkan.
"Iyaa, sekali lagi terima kasih," ujar Deina.
Deina lalu bermaksud pergi ke ruang tamu untuk membereskan beberapa gelas yang tersisa karena di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga saat ini.
Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memanggilnya.
"Nona Deina?" ujar orang itu yang tidak lain adalah satpam rumah Sasa.
"Iya, ada apa Diki?" tanya Deina.
"Gini Nona, maaf sebelumnya nanya soal ini, saya tahu ini sedang berkabung, tapi..." jelas Diki.
"Saya perlu kepastian apakah saya akan tetap dipekerjakan di sini?" tanya Diki dengan raut cemas.
"Kalaupun Sasa ikut saya ke Bali, kamu akan tetap kerja di sini, dan kalau bisa carikan satu teman lagi untuk kamu berjaga," ujar Deina.
Mendengar itu, Diki merasa senang karena tidak harus kehilangan pekerjaannya.
"Saudara saya ada yang mau kerja di sini Nona, kalau boleh besok saya suruh dia ke sini," ujar Diki lagi.
"Oke, kamu bisa hubungi saya aja soal gaji dan segala macam keperluan rumah ini," jelas Deina.
"Terima kasih, Nona."
"Sama-sama, saya mau nanya, apa di rumah ini emang ga pernah pakai pembantu?" tanya Deina.
"Pakai Nona, baru 1 bulan lalu berhenti kerja karena menikah dan harus pulang kampung," jelas Diki.
"Tapi, sejak itu Nona Zena belum pernah lagi pakai ART," jelas Diki.
"Oh oke, nanti biar saya yang suruh ART saya ke sini, biar besok bisa langsung kerja," jelas Deina.
"Siap Nona, saya mau jaga di depan dulu," jelas Diki sembari pergi dari hadapan Deina.
***
5 Jam Berlalu....
"Sasa pamit Ma."
Sasa mencium kembali nisan itu lalu berjalan pulang. Ia merasakan ada sesuatu yang benar-benar hilang.
Langkahnya goyah, berjalan gontai di setiap sisiran makam. Tanpa senyuman di wajahnya.
Ia berjalan ke arah rumahnya, melihat suasana sudah mulai sepi. Kursi dan meja. Hanya itu yang ada.
Sasa berjalan ke arah pintu dan menemukan sosok Deina. Deina menatapnya dengan senyuman. Lalu memeluk Sasa dengan sangat erat.
Dalam pelukan itu, air mata Sasa tumpah.
"Ikut Tante ya, ke Bali...." pinta Deina sembari melepas pelukannya.
Mata Sasa nampak kosong. Ia tidak ingin pergi sekarang. Ia ingin di sini.
"Please, ikut ya sayang,..." lirih Deina memeluk Sasa kembali.
Sasa tetap tak menjawab dan membiarkan Deina bicara. Ia lalu memutuskan untuk masuk ke kamar.
"Aku mau istirahat dulu, Tan."
Sasa meninggalkan Deina yang baru saja melepas pelukannya itu. Bagi Sasa, sekarang bukan saat yang tepat untuknya berpikir hal lain selain ibunya.
"Makanan udah Tante siapin di meja," ujar Deina sembari merogoh ponsel di saku celananya.
Sasa nampak terus berjalan menyusuri anak tangga tanpa mengiyakan perkataan Deina.
"Halo, Mbok?" sapa Deina kepada seseorang di seberang sana.
"Besok pagi, nanti langsung ke hotel aja biar saya urus semuanya," jelas Deina.
"Pas udah siap biar saya yang kabarin untuk dateng ke lokasinya," ujar Deina lagi.
Deina lalu menutup telfon dan mulai menatap sekeliling. Rumah sebesar ini, sangat jauh beda dengan rumahnya di Bali.
Matanya seolah dibuat kagum pada usaha kakak kandungnya. Deina yang juga bekerja di salah satu hotel milik kakaknya itu, tentu tak memiliki kekayaan sebanyak ini.
Deina juga memiliki rumah yang besar di Bali, namun belum apa-apa jika dibandingkan dengan hunian Zena.
...----------------...
Sasa diam di kamarnya sembari memandangi foto almarhum ibunya. Rasanya baru kemarin ia bercengkrama dengan wanita ini, namun ia sudah tidak bisa menyentuhnya lagi sekarang.
Sasa mengusap lembut foto ibunya, tanpa sadar ia menjatuhkan kembali air mata.
Kini, hanya foto ini yang bisa mengingatkannya dengan sosok alm. Zena. Foto ini yang bisa memperdalam ingatannya tentang betapa cantik dan mandirinya sosok Zena.
“Mysa ga mau ikut Tante ke Bali, Ma....” lirih Sasa sembari menyeka air mata di pipinya.
“Mysa bisa jaga diri di sini,” ujarnya lagi.
“Trust me!” tambahnya meyakinkan diri.
Sasa lalu kembali terisak dan memeluk foto ibunya. Ia menghabiskan satu hari ini dengan tangisan, jika ditanya bagaimana besok, entahlah. Intinya, ia hanya ingin menangis hari ini.
Entah perlu berapa lama untuk pulih kembali, yang ada di pikirannya hanya kenapa semua terjadi secepat ini. Namun, sejauh apa ia berfikir, keadaan akan tetap sama.
Zena tetap tidak akan kembali.
^^^24 April 2016^^^
Pagi ini, Sasa berdiri di depan kaca tanpa senyum di wajahnya. Luka kemarin nampaknya masih sangat basah. Sasa kemudian memilih satu pita di laci bedaknya, pita berwarna hitam silver. Ia lalu memasang pita itu di rambutnya.
Setelah rapi, Sasa menuruni anak tangga dengan langkah ragu. Ia sesekali menatap ke belakang, menarik nafas dalam agar keputusannya kali ini tidak salah.
Didepannya, sudah ada Deina. Menjinjing tas kecil dan menderek koper untuk dimasukkan ke mobil.
"Ayo sayang." Deina tersenyum ke arah Sasa.
Sasa diam. Ia melangkah ke dekat Deina, namun enggan menyerahkan kopernya.
"Ayo, sini koper kamu..." Deina menarik koper itu.
Tangan Sasa menahan, ia seolah enggan pergi. Matanya menatap Deina dengan penuh arti.
"Hey? kenapa? ayo, sini Tante masukin koper kamu ke mobil." Deina kembali menarik koper itu.
"Aku pengen tetap di sini...." lirihnya tanpa ragu.
"Apa?" tanya Deina lagi.
"Aku ga bisa ikut Tante ke Bali," ungkap Sasa lagi.
Deina menatap Sasa dengan sedikit kesal. Namun, ia paham bahwa di usia yang akan menginjak 16 tahun, Sasa pasti punya kelabilan sikap.
"Kamu yakin?" tanya Deina.
Sasa mengangguk pasti. Di usia yang masih remaja, ia seolah tak goyah dalam mengambil keputusan.
"Bahaya loh, Sa... kalau kamu di sini sendirian, ikut aja ayo!" bujuk Deina.
"Tan, di sini kan ada satpam Diki, satpam Wiro juga baru masuk kemarin," jelas Sasa.
"Cctv juga on semua, aku ga sendirian," ujar Sasa meyakinkan Deina.
"Tapi, Sa. Tante ga bisa biarin kamu di sini sendiri, nanti sekolah kamu gimana?" ujar Deina menyangkal.
"Tante ga usah khawatir, ada jalan kok buat aku urus semuanya dengan rapi." Sasa mencoba meyakinkan Deina bahwa ia akan baik-baik saja jika sendiri di sini.
"Sa... Tante ga yakin lo," rintih Deina menyentuh bahu Sasa. Sasa menatap Deina dengan pasti.
"Kamu beneran yakin?" tanya Deina sekali lagi.
Sasa mengangguk dengan yakin. Ia sedikit tersenyum untuk menghilangkan kecemasan Deina.
"Aku ga bisa tinggalin rumah penuh kenangan Mama gitu aja, Tan," jelas Sasa.
"Rumah ini bisa dirawat, Sa. Walaupun kamu di Bali, ayolah."
"Tan, aku akan aman. Aku akan mantau hotel Mama yang di Jakarta juga, kalau di sini semua lebih gampang," ujar Sasa.
Deina menatap Sasa dengan raut ragu. Ia tidak yakin Sasa akan aman sendiri, lebih tepatnya mentalnya.
"Kamu ga perlu urus bisnis Mama kamu dulu, nanti kalau umur kamu udah cukup dan kamu mau urus, tante akan bantu atur semuanya," jelas Deina.
"Oke Tan, jadi kasih aku waktu untuk belajar ngurus diri aku sendiri sampai aku bisa urus bisnis Mama."
Deina lalu memeluk gadis itu dan menciumnya.
"Jangan pernah sembunyiin hal kecil dari Tante, apapun itu kasih kabar ke Bali," pinta Deina.
"Trust me," ujar Sasa sembari membalas pelukan Deina.
"Jaga diri ya, you're strong women okay?" Deina kembali mencium gadis itu.
"Makasi Tan," ujar Sasa menjauhkan tubuhnya.
Kini, Deina memasuki mobil dan meninggalkan Sasa sendiri dengan koper di tangannya. Sasa melambai ke arah mobil itu, menarik nafas dan mulai berbalik badan.
(Kalkson Mobil)
Baru saja hendak masuk ke rumah, langkahnya dihentikan oleh suara seseorang.
"Misi," ujarnya.
"Iya?" Sasa menatap wanita tua itu dengan raut datar.
"Maaf ndok, Mbok di suruh ke sini untuk bantu-bantu," jelas wanita itu.
"Bantu-bantu untuk?"
(Dering Telfon)
Sasa merogoh ponselnya dan menjawab panggilan itu.
"Gausah bingung, itu namanya Mbok Ira, ART kepercayaan Tante di Bali, dia bakal jagain kamu di Jakarta," jelas Deina.
"Ta––"
"Gausah banyak tapi, biar kamu juga ga kecapekan," jelas Deina lagi.
"Yaudah, Tante lanjut jalan ya," ujar Deina.
Sasa kemudian menutup telfon itu dan melihat ke arah Mbok Ira.
"Masuk Mbok," ujarnya sembari melangkah ke dalam rumah.
"Wahh, ternyata rumahnya Nona Sasa lebih besar ya dari Nona Deina," ujarnya kagum.
Langkah Sasa berhenti. Ia lalu duduk di ruang tamu dan membiarkan kopernya.
"Duduk Mbok," ujarnya.
"Terima kasih, Nona " Jawabnya sembari duduk.
Sasa menarik nafas dalam, ia lalu membenarkan posisi duduknya dan mulai bicara serius.
"Saya sebenarnya ga tau tujuan Mbok di sini untuk apa,"
"Jadi, kalau Mbok ga kerja juga ga masalah sih," ujar Sasa.
"Lah jangan gitu Nona, si Mbok itu biasa bantu-bantu,"
"Saya ngerasa ga perlu di bantu aja Mbok!" ketus Sasa.
Mendengar itu, Mbok Ira mulai berbisik.
"Gusti, ini Nona sangar juga ya, bener kata Nona Deina,"
"Saya bisa denger loh Mbok," sangkal Sasa.
"Yaudah, saya mau ke atas dulu, silahkan kerjain apa yang biasa Mbok kerjain di rumah Tante Deina,"
Sasa lalu melangkah ke lantai atas.
"Baik Nona, terima kasih." Sorak Mbok Ira.
Langkah Sasa terhenti dan mulai melihat ke belakang.
"Gausah panggil Nona Mbok, Paggil Mysa aja.."
Mbok Ira mengangguk ragu.
"Soalnya saya ga pernah diajarin jadi tuan untuk orang yang lebih tua dari saya sama alm. Mama,"
"Siapapun itu!'
"Baik Mysa.."
Sasa lalu kembali melangkah ke kamarnya, meninggalkan koper yang masih berada di bawah.
"Si Nona ternyata baik juga, sopan, kirain cuman sangar doang." Mbok Ira lalu mencoba mengangkat koper itu.
"Eh, ini mau dibawa ke atas atau gimana ya? tanya si Nona dulu deh, eh Mysa..."
Mbok Ira lalu melangkah mengikuti langkah yang tadi dilalui Sasa.
"Non.... Mysaaa..." Sorak Mbok Ira.
"Mysa..."
Sasa yang menyadari itu, segera keluar dari kamarnya. Ia melihat Mbok Ira memanggil namanya di sebelah kamar yang ia huni.
"Mbok, kamar saya sebelah sini," ujar Sasa dengan raut datar.
Mbok Ira tersenyum dan mendekat ke arah Sasa.
"Salah kamar toh, hehe." Mbok Ira melangkah ke kamar Sasa yang berada di sebelahnya.
"Kenapa Mbok?"
"Itu Non, eh Mysa."
"Kopernya mau dibawa ke atas atau di bawah aja ya? soalnya takut salah..."
"Ke atas, Mbok," ujar Sasa.
"Ohh, yasudah... sebentar biar si Mbok bawakan." Mbok Ira segera melangkah ke bawah.
Sasa lalu keluar dari kamarnya.
"Gausah Mbok."
Sasa seketika langsung mendahului langkah Mbok Ira dan bergegas mengambil koper itu.
"Biar Mbok saja Mysa..."
"Saya lebih muda."
Sasa lalu melangkah kembali ke kamarnya. Membiarkan Mbok Ira tercengang dengan ulahnya yang super dingin dan tidak mau merepotkan orang lain.
"Mysaa... Mysaa, kayaknya memang bener kata Nona Deina, super mandiri..."
Mbok Ira cuma bisa geleng kepala dengan ulah Sasa.
***
^^^26 April 2016^^^
Pagi ini, minggu pagi tepatnya, Sasa duduk di balkon rumahnya. Memandang hamparan lagit cerah tak berujung.
Anehnya, dari sekian banyak hamparan warna biru kenapa tidak mampu memberikan matahari di hatinya. Rasanya tetap saja gelap.
(Suara pintu terbuka)
"Mysa.. Permisi,"
"Ini, si Mbok bawain susu coklat,"
"Ganti sama air putih ya Mbok, saya kalo di rumah selalu minum air putih," jelas Sasa.
"Ohh, baik Mysa.."
Mbok Ira keluar mengganti susu coklat itu. Sedangkan Sasa, kembali pada lamunannya.
Flashback
^^^20 April 2016^^^
Bayangan pertengkaran orang tuanya dengan seseorang di balik telfon mulai teringat. Kala itu, Sasa tengah berdiri di samping pintu kamar ibunya yang terbuka.
Dari depan pintu terdengar suara ibunya tengah menelfon dengan seseorang.
"Ga bisa gitu, ini uang dalam jumlah besar loh, tolong profesional!" bentak Zena.
"Ini menyangkut kelangsungan grand opening gloubel yang baru," jelasnya lagi.
"Aku ga mau tau ya, apapun alasannya, uang itu harus ada besok!"
Zena menutup telfon itu dengan nada kesal.
"Dasar! bisanya minjem doang, giliran ditagih, besok terus!" bentak Zena.
Sasa yang sedari tadi di luar pintu lalu masuk ke dalam kamar Ibunya.
(Suara langkah kaki)
Zena menatap ke arah putrinya dengan senyuman.
"Kenapa sayang? ada apa?" tanya Zena memeluk putrinya.
"Ga ada, okay kok!" Sasa melepas pelukan itu.
Ia lalu duduk di pinggir kasur sembari bertanya kepada Zena.
"Mamm, tadi Mysa denger Mama marah-marah, why? Are you okay with your job?"
"Apa? No, i'm not angry, Mama ga marah sayang."
"Don't lie to me, aku tau Mama, kenapa?"
Zena menarik nafas dalam dan mulai mengalihkan topik.
"Gapapa, everything okay, kamu udah makan?"
Sasa nampak heran dengan peralihan topik ini, namun ia tidak ingin memaksa Ibunya berkata sesuatu yang tidak ingin ia katakan.
"Ya." Sasa melangkah keluar dengan Ibunya, sembari bercengkrama singkat.
"Mysa...."
"Mysaa....."
Mbok Ira nampak menunggu Sasa bereaksi dari tadi.
"Mama!" ujar Sasa tersentak.
Ia lalu mendapati sosok Mbok Ira dengan segelas air.
"Ini si Mbok Mysa.. Si Mbok bawain Mysa air putih, biar energinya pulih..." sembari meletakkan air di atas meja kecil.
"Ohh, iya makasi..."
"Sama-sama... si Mbok keluar dulu ya," ujar Mbok Ira.
"Mbok..."
"Iya, kenapa?" sembari memegang gagang pintu.
"Susu coklat tadi jangan lupa diminum, mubadzir kalo dibuang," ujar Sasa.
"Iya Mysa, si Mbok tutup ya pintunya." Mbok Ira pergi setelah menutup pintu itu.
Sasa menarik nafas dalam, ia kemudian kembali pada ingatan masa lalunya beberapa hari lalu, hari dimana Ibunya belum meninggal.
"Gua yakin ini bukan pembunuhan biasa apalagi kecelakaan..." lirih Sasa.
"Gua harus cari tahu dalang di balik ini semua," kata Sasa lagi.
"Pasti ada alasan penting kenapa Mama bisa meninggal di Hotel Gloubel, milik dia sendiri."
Fyi, Ibu Sasa mengelola bisnis di bidang perhotelan. Hotelnya sangat megah dan terkenal dimana-mana, namun sosok Sasa jarang di kenal karena ia tidak pernah ditampilkan di berita oleh Ibunya.
Semacam, privasi.
"Apa pembunuhan Mama ada kaitannya sama orang di balik telfon itu?" tanya Sasa.
Sasa berusaha berfikir keras dengan tatapan yang sangat tajam. Ia harus menyelesaikan semua kepingan puzzles ini.
"Tunggu ya, kalian yang ngebunuh pasti akan gua bunuh balik, tapi..."
"Nanti, saat semuanya udah jelas..."
"Mungkin 1 bulan, 2 bulan..."
"10 bulan..."
"1 tahun, atau bahkan..."
"3 atau 4 tahun ke depan," ucap Sasa dengan senyum tipis di bibirnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!