Saat Alexa tersadar, dia melihat sekeliling ruangan. Merasa sedikit bingung di manakah dia berada saat ini, melihat kedua tangan dan kakinya terikat kuat di atas ranjang empuk dengan sprei berwarna putih, dengan langit atap berwarna gold, di ruangan itu dia terlihat sendiri, sepertinya berada pada sebuah hotel.
Mencoba mengingat kembali akan terakhir dia berada. Dalam ingatan Alexa, terakhir kali dia menghadiri pesta ulang tahun Dania Wirasti, teman kampusnya dulu yang mengadakan perayaan pesta ulang tahun yang ke 23 tahun.
Setelah seorang pelayan memberikan minuman untuk Alexa, saat itu juga dia merasa pusing dan sudah tidak sadar kembali. Dan tahu-tahu sekarang dia sudah berada di kamar hotel.
Alexa mengerjapkan netranya berulang kali, kali ini dia memang tidak bermimpi. Sebenarnya siapa yang melakukan semua ini padanya.
Alexa berusaha kuat meronta dan ingin melepaskan ikatan pada pergelangan kedua tangan dan kakinya. Namun ikatan itu sangat kuat. Dan percuma saja tidak ada hasilnya.
"Apa saat ini aku sedang diculik? Apa motif mereka menculik aku? apa mereka ingin meminta uang tebusan? ah dasar bodoh! buat apa aku di culik dan di ikat di ranjang seperti ini? astaga, apa mereka telah merenggut mahkotaku?" mulut Alexa berbicara kesana kemari tanpa ada jawaban yang jelas.
Merasa sakit diarea sensitifnya, Alexa merintih, semakin ia sering menggerakkan kakinya, maka area itu semakin terasa sakit luar biasa.
Bola mata mengedar ke seluruh sudut ruang, dan menelisik ke kain sprei berwarna putih, mata Alexa terbelalak, karena ada bercak darah disana.
Tidak akan mungkin jika itu bekas warna merah dari sesuatu yang tumpah disana, dia yakin itu bercak darah yang mengering.
Pikirannya sudah mulai penuh, dengan berbagai pertanyaan yang mencuat satu persatu. Berjejer dan butuh jawaban.
Ia mulai mencoba mengingat apa saja yang terjadi tadi malam. Tapi sayangnya, tidak satupun ingatan itu muncul dalam pikiran.
Tidak lama kemudian, bola mata Alexa penuh dengan air mata. Yang ujung-ujungnya bergulir juga lewat pelipis.
Isakan yang ia tahan terdengar juga meski lirih, tak mungkin ia tidak menangis jika masalah besar yang menimpanya itu, ia bisa diam seperti tidak terjadi apapun.
Ini adalah perihal tentang masa depan seorang wanita, tentang kehormatan yang tiba-tiba terenggut begitu saja, oleh pria yang tidak ia ketahui siapa?
Bagaimana ia menjaga kesucian itu, dan kini, sudah tiada harapan lagi untuk ia melanjutkan hidupnya, bagaimana bisa ini semua terjadi tanpa sepengetahuannya?
Ia memutar tubuhnya kesana kemari, tidak ada hasil untuk ia melepaskan diri dari ikatan ini. “Siapapun tolong aku! Lepas! Lepas!"
Alexa lelah harus menggerakkan tubuhnya dengan kuat, tidak ada juga yang mendengarkan teriakannya. Akhirnya ia harus bisa bersabar menunggu siapapun yang nantinya datang ke kamar hotel itu.
Berjam-jam ia menunggu, perutnya sudah mulai bersuara, melihat jam dinding dengan jarum jam menunjukan pukul 10. 00 pagi. “Aku sangat lapar!"
Karena terlalu lama ia menunggu hingga tak sadar kedua bola matanya kembali ia terkantuk.
Syurrr!!
Guyuran air dari sebuah gelas membasahi wajah Alexa, hingga wanita itu gelagapan, tanpa sadar beberapa mililiter air masuk ke rongga hidung dan mulutnya. Ia tersedak, dan merasakan sakit Karena air menyumbat lubang hidungnya, sampai ia kesusahan bernafas.
Kedua mata yang basah oleh air tidak dapat ia sekanya, Karena tangan masih terhalang ikatan tali. Hanya mampu mengerjap untuk menyeka air , mem-perminim air yang menghalangi pengelihatannya.
Wanita itu ingin melihat dengan jelas, siapa yang berbuat semua ini padanya. Alexa melihat sosok pria berdiri di samping ranjang. Dengan postur tubuh tinggi, memakai penutup kepala.
Pyar!
Suara gelas yang ia banting, dan pecah begitu saja kelantai, setelah air itu mengguyur wajahnya. ”Siapa kamu?" Alexa gemetaran mendengar pecahan gelas yang terdengar menggema di seluruh ruangan.
Pria itu tidak bersuara, hanya terlihat dua bola mata tajam yang menatapnya lekat. Alexa yakin tatapan itu, adalah arti dari sebuah kebencian. Tanpa mulutnya bersuara.
"Lepaskan aku! Apa yang sudah kau perbuat padaku! Apa salahku padamu sampai kau tega berbuat seperti ini padaku! Katakan!" tanya Alexa dengan berteriak, hanya mulutnya saja yang bisa mewakilkan perasaannya.
Plak!
Tidak mulutnya yang menjawab, namun sebuah tamparan keras melesat ke pipinya, hingga ia melemparkan muka kesamping saking kerasnya.
Seperti menyeringai dia berkata dengan menunjuk. "Kau! Adalah wanita munafik! Tidak pantas bahagia! Apa lagi hidup!"
Pria bertutup topeng hitam itu bicara dengan menggertakkan gigi-giginya, Alexa tidak gentar, ia bisa mengoloknya selagi ia bisa bersuara keras.
"Pria breng_sek! Tidak punya rasa kasihan sedikit pun! Apa yang kau maksud jika aku tidak pantas bahagia? Memang siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu berbuat ini padaku?"
"Ah!"
Lelaki bertopeng menjambak rambut Alexa hingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, menahan sakit.
Wajahnya mengarah mendekati wajah Alexa yang menegang. "Kamu gak pantas bicara keras padaku! Apalagi membentak! Kau akan menyesal jika mengetahui siapa aku sebenarnya!"
"Lepas! Lepas! Lepaskan aku! Kumohon!" Alexa meronta-ronta dan berteriak agar bisa lepas dari ikatan yang menyakitkan tangan dan kakinya itu.
Lagi pria itu tidak bersuara. "Apa salahku, jawablah, kenapa kau tega berbuat ini padaku, bahkan kau telah merenggut mahkotaku disaat aku akan melangsungkan pernikahan. Sungguh kau pria yang kejam! Hiks hiks hiks."
Alexa tidak mampu bersuara lagi, ia seperti pria bisu yang tidak mau menunjukkan jawaban atas perlakuan ini terhadapnya.
Ia melepaskan jambakan rambutnya, dan mendaratkan pantatnya di kursi yang tersedia di samping ranjang Alexa. "Kau adalah wanita perebut kekasih orang, kau perebut kebahagiaan orang!"
"Ku mohon, aku tidak mengerti apa maksudmu, kebahagiaan siapa yang kau maksud!" tanya dia dengan terisak-isak.
Pria bertubuh tinggi itu berdiri, dan mulai berbicara lagi. "Aku ingin kau gagalkan rencana pernikahanmu dengan Sean!" ucapnya tiba-tiba.
Seketika pikiran Alexa berputar, akan rencana pernikahannya dengan Sean, apakah ada hubungan pria itu dengan ini?
Ia menunjukan video samar-samar, Lexa menyorot melihat wajah wanita itu adalah dirinya bersama pria yang sama tidak mengenakan pakaian dengan penutup kepala serta wajahnya. Kelakuan bej_ad yang di lakukan semalam, dengan ganasnya ia perlakukan Alexa bak binatang, selagi ia tak sadarkan diri .
Dengan tubuh polos tanpa kain yang menghalangi. Benar-benar pria itu telah merenggut kesuciannya yang ia jaga untuk Sean.
"Breng_sek! Kamu pria breng_sek!" umpatnya sambil meremas sprei dengan kuat.
"Haha, kamu mau batalkan sekarang, atau aku yang batalkan? Pilihan ada di tanganmu!" Ia tersenyum menyeringai. Tanpa melepas topengnya.
"Bedebah! Aku akan laporkan kau ke kantor polisi! Dengan tuduhan penculikan, penganiyaan dan pelecehan! Kamu akan di hukum dengan pasal berlapis!" Ucapnya dengan emosi.
Alexa hanya bisa menangis dan menjerit saja di kamar hotel itu, tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Sungguh masa depannya kali ini tidak ada artinya lagi.
Dalam pikirannya apa yang harus ia katakan pada Sean, atas apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Jika ia berkata jujur, Apakah ia akan percaya. Tapi tentunya dia sudah tidak akan mau menampung wanita kotor sepertinya. Apalagi melanjutkan pernikahan yang hanya menghitung hari saja.
Tubuh Alexa lemas, seakan tidak ada gairah hidup, dia tidak mampu menggerakkan tubuhnya seperti tadi, pria itu tidak mengasihi nya. Berapa kali pun ia meminta untuk melepaskan ikatan itu, tetap saja dia diam dan enggan bertindak.
Suaranya sudah serak, kerongkongannya terasa kering. Pria biadab itu tidak memberinya minum apalagi makan. Sungguh ia sekarang berada di dalam perangkap buaya.
Air mata yang bergulir, membasahi bola mata dan pipi dari tadi kini sudah mulai mengering sendiri, tanpa ia menyeka ataupun membersihkannya.
Alexa memperhatikan pria yang duduk santai bersandar di kursi putar miliknya, dengan menyulutkan batang rokok dan membuat asap penuh di seluruh sisi ruang kamar. Malah Ia membuat permainannya sendiri dengan benda berasap itu.
Sorot matanya melihat ke arah Alexa yang terbaring lemas di atas ranjang. "Kenapa kamu lihat aku seperti itu?" tanya dia, berapa kali ia mendengarkan suara perut Alexa berbunyi kesekian kali.
Meski dia kejam, tapi merasa kasihan juga melihatnya. Bagaimana melakukannya dari tragadi malam sampai hari ini bagai budak jelata. Tanpa bicara ia berdiri dan keluar dari kamar itu, berapa menit kemudian dia kembali lagi dengan sebuah kantong plastik hitam. Mengeluarkan isinya yang ternyata beberapa bungkus roti, diletakkan di atas ranjang. Pria tersebut membantu membuka dan mengambilnya satu lembar, ia suapi Alexa.
"Makan! Buka mulutmu! Jangan buat aku mengurungkan niat baikku!" Titah nya dengan menyadarkan satu keping roti ke mulut Alexa.
Alexa bingung dan ragu, tapi ia masih memperdulikan dirinya. Daripada menahan lapar. Dengan terpaksa dan masih terdengar isaknya, Ia membuka mulut dan menerima suapan roti dari tangannya.
Terlihat pria itu melebarkan sudut bibirnya, ia tertawa melihat Alexa. "Meski dalam tangis pun, kamu masih ingat makan. Hahah!"
Alexa tidak bersuara, ia hanya bisa mengunyah dan makan dalam posisi tidur miring. Biar saja, asal perutnya terisi.
Meski batinnya menjerit, bagaimana ia bisa melanjutkan sisa hidupnya dalam keadaan ini. Lagi, pria itu menyuapinya hingga beberapa lembar roti sudah di telan Alexa. Dan wanita itu sudah menggeleng. 'Ia melakukan perbuatan bejadnya padaku, kalau untuk apa dia mengasihani aku seperti ini?'
"Sebenarnya aku tidak pernah melakukan perbuatan ini, tapi aku butuh uang untuk bertahan, dan ada beberapa masalah yang harus ku hadapi dengan mengorbankan kan dirinya. Jadi aku terpaksa melakukannya, maaf ya!" tegasnya ringan, entah ucapan itu sangat di benci Alexa.
Kembali setelah perutnya terisi, ia bisa bergerak luwes kesana kemari, "Dasar breng_sek! Apa kau tidak berpikir, akan masa depanku kelak? Siapa yang akan mau menikahi wanita kotor seperti ku ini, mudah sekali kau mengucapakan kata itu? Hiks hiks hiks," ucap Alexa dengan menangis kembali.
"Haha, sudahlah. Kamu tidak perlu sedih-sedih. Semua kan sudah terjadi. Toh tidak akan bisa terulang, kan?" Dengan menaikkan kedua kakinya, bersila di atas ranjang Alexa.
Alexa lagi, memberontak. "Dasar pria gila! Gak punya otak!"
Suaranya makin histeris, dan volume tangisannya pun makin dikuatkan. Membuat laki-laki itu menurunkan kedua kakinya dan berdiri. "Tahu gini aku tidak kasih kamu makan! Abis makan malah suaranya makin menggelegar!"
Lexa sebenarnya ketar ketir, ia pikir laki-laki itu akan menamparnya karena banyak bicara. Ternyata dugaannya salah, ia hanya berdiri dan segera meninggalkannya sendiri.
"Woy pria aneh! Lepaskan aku! Aku ingin pulang!" Teriaknya, hanya ia sendiri yang mendengar, sudah tidak terlihat lagi pria dengan penutup kepala itu.
Diluar hotel ternyata ia menerima panggilan dari wanita yang menyuruhnya. ["Halo, apa kerja kamu telah sukses?"] tanya wanita yang menjadi sahabat Lexa itu.
["Halo, aku sudah kerjakan! Mana bayaranku! Kau belum juga mentransfer nya,"] pertanyaan itu membuat Dania ingin menunjukkan emosinya.
["Uang uang dan uang terus yang kau tanyakan! Padahal kerjaan kamu pun belum beres semua!" ] Bentaknya.
["Setidaknya kau memberikan DP untuk hasil awalnya, aku sudah menodainya, dan saat ini ia masih menangis darah di atas ranjang!"] ungkap pria bertopeng dengan nama panggilan Aston itu.
["Tidak! Aku akan memberikan seluruh bayaranmu jika semua pekerjaan yang aku perintahkan kau kerjakan semua tanpa minus!"] Ancamnya.
["Baiklah, setelah ini Lexa akan aku lepas. Dan dia akan bicara pada Sean untuk mengakhiri hubungannya dengan pria itu dan membatalkan rencana pernikahan mereka. "] Jawabnya dengan santai.
["Oke! Aku akan tunggu informasi selanjutnya darimu!"] Dania menutup panggilannya dengan cepat.
Sementara Aston dengan tipekal pria yang cuek, menarik penutup kepalanya lalu membuangnya ke ranjang lain, di kamar hotel yang tidak jauh dari kamar dimana Lexa disekap.
Ia membuang pakaiannya dan menggantikan baju yang baru di ambilnya dari lemari pakaian. "Maafkan aku ya Alexa, ini hanya soal waktu saja, jika saatnya tiba aku akan menceritakan semuanya padamu. Aku harus jadi orang lain demi menutupi identitasku!"
Seorang pria dengan setelan jas kekinian ala-ala new anak muda jaman now, berwarna cream, dengan aksesoris seperti kacamata, sepatu, dan jam tangan serasi warna.
Berjalan seperti pada fashion show di koridor hotel, saat ia keluar, banyak pendatang yang akan menginap di hotel itu melihatnya dengan seksama, tak jarang hampir banyak yang tidak berkedip melihat pria itu melintasi mereka.
Membawa kunci mobil dan ia putar-putar di jari telunjuknya. Siulan sampai terdengar di telinganya. "Dasar tua-tua keladi!" Oloknya ketika melihat yang bersiul hanya kaum emak.
Sementara Alexa, ia berjuang keras agar tali itu bisa lepas dari ikatan tangan dan kakinya. Sampai akhirnya, terlepas juga ikatan yang melingkar di kedua tangannya. "Akhirnya, aku bisa melepaskan tali ini, aku harus segera membuka ikatan kakiku, sebelum pria tadi datang."
Alexa berhasil melepaskan ikatan keduanya. "Yes, berhasil!" Ungkapnya dengan gembira.
Ia buru-buru turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar hotel, ia berusaha berlari sekuat tenaga meninggalkan hotel ini.
Saat ini ia tidak mempercayai siapapun di sana, karena ia masih takut pria bertopeng tadi mengikutinya. Meskipun ia sedikit merasa jika lelaki tersebut baik.
Brug!
Saat ia berlari, tak sengaja menabrakkan tubuhnya pada seorang pria tampan yang mengenakan setelan jas berwarna cream. Ia ingin menghindar namun pria itu menarik lengannya.
"Lepaskan, aku harus pergi!" ucapnya, berusaha lepas dari tarikan pria itu.
Lexa tidak berani memandangnya, ia hanya takut semua pria yang ia temui adalah pria tadi. Yang menyekapnya.
"Bisa lepaskan aku, ku mohon!" pinta Lexa. Wanita itu berusaha keras menarik lengannya, tapi pria tidak melepaskannya.
"Aku harus pergi dari sini, aku mohon. Aku harus segera pergi, atau tidak nyawaku akan melayang!" Ucapnya.
Entah mengapa pria itu tidak bicara sepatah katapun, Lexa melihatnya dengan seksama, dari sorot matanya ia seperti mengenalnya. Tapi siapa ia masih enggan berpikir.
"Ikutlah bersama ku!" Ajaknya dengan menarik tangan Lexa, wanita itu mengikutinya. Sampai pada sebuah mobil mereka masuki.
"Aku akan mengantarmu!" lagi, ucapnya. Hati Alexa tidak gelisah kembali, setidaknya ia bisa memintanya untuk mengantarkan pulang dengan selamat.
Saat di dalam mobil, pria itu tidak banyak bicara. Alexa memperhatikan struktur wajahnya. 'Kenapa orang ini mirip dengan pria yang menyekap-ku? Apa itu dia?' pikirnya, masih bertanya dalam hati.
Ia menoleh, dan bertanya pada Lexa, "Apa yang kau lihat? Kamu tenang saja, aku bukan pria jahat, kamu kamu kemana ? Aku akan mengantarmu!"
Dia mendengar suara itu dengan seksama, dan benar, semuanya sama, dari suara postur wajah hampir mirip dengan pria tadi.
Alexa sedikit bergidik, tubuhnya ia himpitkan ke pintu, membuat lelaki itu merasa aneh. "Apa yang kau lakukan? Sudah ku bilang aku akan mengantarkan kamu, kelihatannya kau sedang tidka baik. Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Sudah, kau jangan berbohong! Kau pikir aku bodoh apa dengan penyamaran mu itu? Hah? Bukannya kamu pria yang telah menodai ku? Kamu menyekap-ku tanpa belas kasihan!" tuduhnya.
Dia menunjukkan nama dadanya yang berada lekat dengan dada di kemeja. 'Marco R.' Lexa mengeja dal hati setelah mengeja nama itu.
Wanita ini menggeleng tidak percaya. "Aku tidak percaya! Kamu adalah pria yang sama ! Kamu yang merenggut mahkotaku! Kau jahat!" Lexa mendorong tubuh Marco hingga ia kehilangan keseimbangannya.
Mobilnya berjalan tidak stabil, hingga pada akhirnya ia harus menabrakkan saja mobil itu ke bahu jalan.
Bug!
"Aduh sakit!" Lexa menekan kening yang baru terbentur kaca mobil depan. Sedikit luka dan mengeluarkan darah.
Pria yang bernama Marco melihatnya dengan iba, ia terlihat sibuk entri sesuatu, di baik box-nya yang tersimpan di bawah kemudi.
'Dia sibuk nyari apa sih?' gumam Lexa, memperhatikan Marco. Setelah menemukan barang yang di cari, ia ambil dan membukanya, sebuah kotak yang berisi obat-obatan. Ia ambil plester dan obt pengering luka.
"Sini jidatmu!" suruhnya dengan mendorong kepalanya maju kearah Marco. Lexa nurut saja meski sedikit takut.
Luka itu dibersihkan dengan alkohol, lalu di beri obat pengering, dan selanjutnya di plester. Lexa tertegun dan gemetar melihatnya. Padahal ia tidak pernah se-nerfes ini dekat cowok.
'Saat aku bersama Sean, aku tidak pernah merasakan hal demikian. Ada apa dengan ku?' tanya Lexa pada dirinya sendiri.
"Udah selesai! Kenapa kamu? Masih gak percaya? Padaku? Memangnya siapa yang kamu maksud? Apa kamu habis lari dari seseorang penjahat?" tanya Marco serius.
Lexa berpikir, tidak mungkin jika Marco ini adalah pria tadi. Karena dia lebih baik dari si brengsek perebut kesuciannya itu.
Lexa diam dan tidak berani berkata-kata lagi, air matanya mengalir begitu saja melewati celah
Pipi.
Marco membantu menyeka air mata wanita ini. "Sudah jangan cengeng, aku akan antar kamu pulang!"
Tidak menunggu Lexa menjawab, mobil Marco kembali berjalan. Alexa masih sesenggukan memikirkan apa yang akan tejadi pada dunia nya setelah ini.
"Turunkan aku di tikungan jalan itu!" Ucapnya kemudian setelah berlama-lama hening.
Mobil yang tidak mahal dan tidak terlalu murah itu menepi. "Benar mau turun disini ?"
Lexa menganggukkan kepala, ia turun di bantu Marco membuka pintu mobilnya. Ia turun, dan mengucapkan terimakasih.
Entah pandangannya kenapa pandangannya berubah putih, matanya berkunang-kunang, tubuhnya melemas, seketika ia terpejam dan tidak ingat apapun lagi.
Beberapa waktu berlalu, Lexa sadar dari pingsannya. Melihat sekelilingnya, dari seluruh sudut ruangan, ia baru ingat jika ia berada dia dalam kamarnya. "Astaga. Siapa yang membawa aku kemari?" Ia segera bangun dari tidurnya. Melihat Marco, pria yang mengantarkannya tadi.
Lexa terkejut, ternyata pria itu belum pergi juga darinya. "Kenapa kau bisa disini? Bukannya tadi aku hanya minta kau mengantar aku sampai depan komplek saja?"
Marco mendengus kesal, nafasnya panjang. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan kamu dalam keadaan mu yang seperti ini? Terpaksa aku mengajak tetaggamu membantu membawamu masuk kerumah. Dan membantu menyadarkan kamu, sebelum itu baru saja mereka pulang, dan menyuruhku menjagamu."
Lexa tidak tahu harus berbuat apa untuk membalas kebaikan nya, ia menganggap pria itu berbeda dengan pria yang sebelumnya menyekapnya. Namun ia tidak 100% percaya sepenuhnya.
"Terimakasih!" ucapnya masih dalam nada sengau.
Marco tertawa geli. "Kalau kau gak ikhlas, gak usah bicara, sepertinya kamu sudah membaik, ini aku belikan nasi bungkus buat pengganjal perutmu!" Dengan menyodorkan satu bungkus nasi dalam kertas minyak padanya. Lexa mengangguk.
Lagi pria itu memberikan kartu nama padanya. "Kalau kamu butuh aku, kamu bisa hubungi aku di nomer telepon itu, atau bisa datang ke alamat rumahku!"
Lexa berpikir, kenapa aku butuh dia? rasanya tidak perlu. Tapi namanya wanita, pasti akan sangat terbantu jika ada seorang pria yang menjaganya. Apa lagi, ia akan memutuskan hubungan sepihak dengan Sean.
Marco pergi setelah berpamitan, dan Lexa dirumah itu sendiri. Dia hanya tinggal sendiri setelah lepas dari rumah panti. Ia memutuskan untuk hidup mandiri, dan berjuang mencari kehidupannya.
Benda pipih yang berada di dalam tas berdering, buru-buru ia melihat dan mengangkatnya. "Sean?" ucapnya lirih setelah membaca kontak pemanggil.
Lexa bingung, apa dia harus mengangkat panggilan tersebut? tapi, karena ras rindunya ia akan mengangkat panggilan darinya..
[" Halo Sean?" ] sapanya mula-mula.
[ "Halo Sayang, apa yang terjadi padamu? Kenapa dua hari ini kamu tidak dapat dihubungi? Bahkan rumahmu kosong, sebenarnya kamu kemana?
Jangan kamu buat aku gelisah karena kamu tidak ada kabar, aku kira kau bakal lari dari pernikahan kita," ] ucap Sean, dari nada suaranya dia amat mencemaskan calon istrinya tersebut.
Tidak ada suara sahutan dari Lexa, apa yang harus ia katakan pada Sean. Sebaiknya ia harus bertemu dengan pria itu sekarang juga, untuk membicarakan perihal pembatalan pernikahan nya ini.
[ "Sean, aku ingin bertemu denganmu sekarang!" ] pintanya.
[ "Baiklah, aku akan menjemputmu! Kita pergi ke tempat biasanya ya?" ] jawabnya dari seberang telepon.
Setelah tiga puluh menit lamanya, terdengar motor Sean berhenti di depan rumahnya. Lexa bersiap untuk keluar, dan menyiapkan hati dan pikirannya untuk mengatakan pernyataan yang amat berat ini.
"Sayang, kamu tampak pucat? Kamu sakit?" Ucapnya dengan mencium pipi kekasihnya itu.
Lexa menghindarinya, ia terlihat menjauhi Sean, secara perlahan. "Yuk Sean, kita berangkat!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!