"Jangan lupa, kau menyebut diri mu sebagai elit Serikat Sihir Amerika, Francis."
"Berhenti sok, Francis. Aku melihat sendiri ujian masuk itu."
"Keponakan ku berhasil mendapatkan nilai tertinggi."
"Bagaimana dengan anak-anak yang kau banggakan itu, Francis?"
Pria tinggi berambut coklat itu berdehem keras berusaha menghentikan obrolan teman-temannya yang sama sekali tidak menunjukkan sinyal untuk diam.
Francis bersandar sambil menyilangkan kakinya, berusaha tenang meskipun amarah dalam dirinya meluap sudah siap ia kirim. Kekuatannya cukup untuk memporak porandakan seisi ruangan dengan sihirnya.
Suasana berangsur senyap perlahan. Semua mata tertuju pada Francis penuh dengan tatapan ingin tahu dan mendesak.
"Jadi, bagaimana?"
"Sut, diam dan dengarkan saja. Lagipula, mustahil anak-anak Francis Bancroft gagal dalam ujian masuk."
Francis memberikan sorot mata tajam pada kedua temannya yang masih mengoceh. Mereka berdua buru-buru memberikan permintaan maaf lalu menutup mulutnya rapat-rapat sambil menghindari kontak mata dengan Francis.
Hening.
"Mereka berhasil, kan?" setelah diam cukup lama, salah satu pria bertanya keras-keras.
"Mana mungkin mereka gagal. Kemarin saja, Francis dan Lindsey sampai repot-repot datang ke akademi."
"Yang benar, Francis? Kau sengaja bertemu dengan Kepala Akademi?" salah seorang anggota menyeru pura-pura terkejut dengan nada yang penuh sindiran.
"Eh? Kita sedang membicarakan Francis Bancroft, lho." sahut anggota lainnya. "Dia mendidik anak-anaknya dengan serius, tidak mungkin kau menggunakan cara kotor seperti itu, kan, Francis?"
Ruangan kembali hening. Kali ini semua yang mereka pertanyakan bak sudah terjawab begitu saja dengan sikap yang ditunjukan oleh Francis di sini. Sebagian dari mereka susah payah menyembunyikan tawanya dengan jawaban yang sangat tidak terduga ini. Meskipun begitu, kebanyakan memang masih menunggu Francis untuk membuka mulutnya. Berharap, pria itu dapat menjelaskan dan menjawab semua teka-teki ini.
"Lupakan saja. Toh hasil ini tak akan mempengaruhi kedudukan Francis di Serikat. Mari kita lanjutkan rapat kita soal Penjara Sihir." salah seorang lelaki berjanggut menaikan suaranya dengan tegas sedikit memberikan peringatan bagi semua anggota untuk segera fokus pada pekerjaan alih-alih mengurusi masalah rumah tangga orang lain.
"Kau benar, Albert. Mungkin sekarang Francis masih menutup-nutupinya sampai kedua anaknya ada di peringkat pertama akademi dalam evaluasi tahunan."
Kini hampir semua dari para anggota malah ikut mengangguk. Apa yang diucapkan oleh salah satu anggota memang masuk akal. Francis adalah elit Serikat Sihir Amerika dan semua orang tahu hobinya adalah membanggakan anak kembarnya yaitu Mathias dan Alison Bancroft yang tentunya sebagai tambahan poin bagi Francis menguatkan posisinya di Serikat. Jadi, rasanya tidak mungkin Francis Bancroft hanya diam tanpa memamerkan prestasi anak-anaknya di Serikat. Pasti masih ada maksud lainnya dan itu biasanya adalah hasil dari evaluasi tahunan akademi yang akan disaksikan dan dimonitoring langsung oleh Serikat Sihir Amerika. Jika kedua anaknya bisa bersaing dan mendapatkan nilai tertinggi, tentu saja Francis akan keluar dan membanggakan semua prestasinya dan kembali dengan slogan keturunan Bancroft adalah penyihir elit dan disegani.
Akhirnya, ******* keluar dari mulut Francis. Pria itu menunduk tanpa sadar berharap bisa menyembunyikan wajahnya dari sana atau mungkin bisa memakai bakat sihir istrinya untuk pergi dari tempat ini.
Tapi, dia tetap harus membuka fakta dibalik semua desas-desus para anggota lainnya. Bagaimana pun juga, dia adalah anggota elit Serikat Sihir Amerika, tidak boleh ada kebohongan. Francis akhirnya membuka mulut.
"Mereka berdua gagal."
**
“Kabur?” aku memekik pada saudara kembarku yang sekarang berdiri di mulut pintu kamar sambil menyumbat kedua telinganya dengan telunjuk takut kalau-kalau aku bisa membuat dirinya tuli. Sialan. Padahal, kan, aku juga berhati-hati agar tidak membangunkan seisi rumah.
Aku melihat Mathias sengit. “Kau gila.”
Mathias mengangkat bahunya, dia tersenyum bangga. “Kau juga tahu kalau ini ide bagus. Lagipula, kau juga tidak akan tahu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu untuk membunuh kita besok pagi.”
Aku memeluk bantal persegi kecil berwarna oranye di pangkuan ku. “Mereka tidak akan membunuh kita.”
Aku mendengar Mathias tertawa sinis. Saudara ku itu mengusap rambut pendek kecoklatannya sambil berjalan mondar-mandir melewati aku yang tengah duduk di kasur. “Kau tidak mengerti, Alison. Kau dan aku telah mengecewakan mereka, hanya tinggal menghitung jam sampai kita berdua benar-benar dikirim ke Norwegia.”
Perut ku seketika terasa seperti baru saja dililit paksa. Norwegia, tempat dimana keluarga besar ku membuang dan menelantarkan anak-anak atau anggota keluarga lain yang telah mencoreng nama baik keluarga besar Bancroft. Dari yang aku dengar dari sepupu ku, mereka akan menjadi pesuruh, menerima siksaan kalau tidak bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik, dan mungkin juga benar-benar ditelantarkan, tidak akan ada yang peduli kalaupun kau tertimbun longsor salju.
“Nah, sekarang kau baru berpikir.” Sindir Mathias. “Ikuti saja apa kata ku. Berkemas malam ini dan kita pergi dini hari.”
Hati ku ingin mendengarkan Mathias, tapi otak ku menolak. “Ibu dan Ayah tidak akan membunuh kita dan juga tidak akan mengirim kita ke Norwegia.”
“Berhenti, Alison.” Bungkam Mathias. Mata hazelnya berapi-api ketika dia memanggil nama ku.
“Kauyang harus berhenti.”
“Kitaberdua gagal masuk ke Akademi Sihir Lixorth, kau lihat sendiri bagaimana reaksi Ibu dan Ayah tadi pagi, kan? Mereka siap memanggang kita.”
Perut ku kembali bergejolak. Ya, tentu saja aku ingat semua itu. Bagaimana ekspresi yang ditunjukan oleh Ayah dan Ibu ku ketika mereka membuka sepucuk surat resmi mengenai hasil ujian masuk ku dengan Mathias di akademi paling bergengsi di Amerika. Ayah tidak mau menatap ku dan Mathias dan Ibu langsung mengambil langkah meninggalkan kami seakan kami hanya seorang tamu yang datang ke rumah disaat yang tidak pas.
“Cukup. Aku akan pergi.” Mathias mengumumkan hasil pemikirannya jelas-jelas.
Untuk sepersekian detik, aku menatap saudara ku terperanjat. Mathias keras kepala dan cuek. Jika dia menginginkan sesuatu, siapapun dan apapun itu tidak akan bisa membuat dia berhenti. Dia lebih baik meninggalkan aku dari pada harus memohon agar aku ikut dalam pelariannya.
“Kau tidak serius.”
“Alison, aku tanya kau sekali lagi. Kau akan ikut aku atau tidak?”
Aku menggigit bibir bawah ku, tidak memiliki keberanian untuk balas menatap Mathias.
“Ikut atau tidak?”
Ayah dan Ibu tidak mungkin membunuh ku dan Mathias, kan? Bagaimanapun juga kami adalah anak kandung mereka. Meskipun memang kami adalah seorang Bancroft yang pertama gagal ujian masuk akademi bergengsi tersebut.
Mathias sepertinya tidak mau lagi mendengarkan ku karena setelah itu dia menarik napasnya panjang lalu berbalik keluar dari kamar ku. Tubuh ku menegang tiba-tiba dan tanpa sadar aku melompat turun dari kasur dan mengejar Mathias.
“Tunggu.”
Saudara ku berhenti kala aku menarik tangan kanannya. Dia tidak berbalik untuk melihat ku sama sekali. “Kalau kau berharap aku berubah pikiran, kau salah. Aku tetap akan pergi.”
“Aku ikut.”
“Apa?” akhirnya Mathias berbalik dan melihat langsung ke mata ku, berusaha mencari sekilas keraguan. Tapi, kali ini aku yakin. Setidaknya aku tidak mati di Norwegia.
"Aku ikut.” Aku mengulangnya sekali lagi, kali ini lebih percaya diri.
Kerutan di dahi Mathias mulai mengurai. Aku tahu dia lega akhirnya aku memilih jalan bodoh dari dia. “Oke, berkemas sekarang.”
Baiklah, berkemas tidak mudah. Selain aku harus memikirkan apa saja yang mungkin bisa menolongku dalam pelarian entah kemana ini aku juga harus memastikan kalau semua yang akan aku bawa muat dalam tas.
Tidak.
Bagaimana melakukannya?
Dan lagi, aku sebenarnya ragu kemana kami akan pergi. Mathias memang menyinggung soal keberadaan Paman Billy di San Diego, tapi itu jaraknya beratus-ratus kilometer dari Colorado.
Sambil membiarkan otak ku bekerja, tubuhku secara otomatis bergerak mengambil beberapa lapis pakaian, alat-alat mandi, pekakas yang mungkin dibutuhkan seperti pisau lipat dan gunting. Tak lupa aku juga turut mengikut sertakan tabungan ku. Sudah dipastikan, kami butuh uang.
Sekali lagi, otak ku mengajakku untuk kembali berdiskusi tentang Ayah dan Ibu. Aku tahu Mathias benar, kami telah mengecewakan keduanya. Apa kata Serikat Sihir Amerika soal anak-anak Francis dan Lindsey Bancroft yang gagal dalam ujian masuk akademi sihir terbaik di Amerika?
Oh, tidak.
Mereka memang akan membunuh kami.
“Kau yakin Paman Billy bisa membantu?” tanya Alison dari kursi belajar, melihatku cemas. Sekarang pukul 2 pagi dan kami sama-sama tidak bisa tidur. Alison bahkan sudah menghabiskan satu jam di kamar ku, terus menerus bertanya soal rencana ku kabur. Aku lebih menyukai fleksibilitas sebenarnya, lagipula semua bisa terjadi di
perjalanan nanti. Tapi, saudara ku itu tidak bisa diyakinkan hanya dengan jawaban seadanya.
Aku berbaring menatap langit kamar dan mengangguk meskipun Alison tidak bisa melihat gerakan ku. “Dia benci Serikat Sihir, dia juga benci bagaimana Ayah dan Ibu mendidik kita, jadi jawabannya, ya, dia akan membantu.”
“Kita tidak pernah bertemu dengannya selama sepuluh tahun.”
Itu memang benar. “Dia tetap akan menerima kita.”
“Dia pasti membenci kita, Mathias. Ayah membakar rumah lamanya di Seattle.”
“Kau tahu istilah musuh dari musuhku adalah teman ku?” kata ku pada akhirnya. “Dia akan membantu. Berhenti khawatir.”
Entah karena ucapan ku atau apa, tapi Alison akhirnya tutup mulut. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya. Aku melirik saudaraku, tanpa perlu bertanya aku tahu kalau dia pasti sedang memikirkan seribu satu kemungkinan yang akan terjadi di perjalanan menuju San Diego kelak.
Aku mengabaikannya. Lebih baik tidak berpikir macam-macam jika tidak ingin rencana mu tidak berjalan. Terkadang, terlalu banyak berpikir membuat mu takut akan hal yang akan terjadi padahal tidak terjadi.
Setelah berdiam diri dengan pikiran masing-masing, Alison kembali membuka mulut. Suaranya serak, “Kenapa kau gagal ujian?”
Aku mendelik mendengar itu. Meskipun kami berdua gagal, tapi sampai hari ini pun kami tidak berani untuk bertanya soal hal ini. Aku tidak tahu kenapa Alison memilih topik ini, padahal aku lebih senang jika dia banyak bicara untuk mematahkan rencana-rencana aneh yang aku buat.
“Kau bisa memburu kelinci-kelinci itu dengan mudah. Aku tahu sihir mu kuat.” Ujar Alison yang membuat ku merenung. Sekarang, Alison mengalihkan seluruh pandangannya pada ku. “Kau sengaja melakukannya?”
“Dan kenapa kau tidak bisa mengalahkan Lenna Roberts? Kau bisa mempermalukan gadis itu ketika masih berumur sepuluh tahun.” Aku membalas perkataan Alison, hampir sama dengan apa yang dia lontarkan kepadaku.
Ujian masuk Akademi Sihir Lixorth terdiri dari dua bagian. Setelah ujian tulis dasar mengenai jenis-jenis sihir beberapa teori yang membosankan, ujian praktik dilakukan. Terdapat tiga sesi dalam ujian praktik, yaitu menembak, memburu, dan bertarung. Aku memang gagal di sesi memburu kelinci dan Alison gagal di ujian pamungkas. Disinilah kami sekarang, bersiap menerima hukuman dari kedua orang tua kami.
Alison tampak marah ketika aku menyinggung soal perkelahian kecil dirinya dengan Lenna. Dia menggeram, “Kau tidak perlu membahas masalah itu."
“Tapi, itu kenyataan. Kau mengguyurnya dengan sihir air mu sampai dia lari terbirit-birit.”
Saudaraku memekik pelan, “Itu karena dia merobek buku novel kesukaan ku!”
“Lalu, apa bedanya dengan sekarang? Kau jelas
tahu kalau ini adalah ujian masuk akademi.”
Alison semakin jengkel mendengar perkataanku. Dia melempar kotak jam tangan ku dari meja belajar berharap bisa mendarat di dahi ku. Tapi, gagal. Kotak itu membentur dinding lalu jatuh ke kasur. “Dua kelinci? Yang benar saja, Yara saja bisa menangkap sepuluh!”
Aku terkekeh pelan mendengar debat payah Alison yang kini mulai terpancing oleh ejekan ku. Yara Jordyn adalah sepupu kami dan semua keluarga besar ku pun tahu betapa bodohnya dia. Dalam peringkat kepintaran di keluarga besar ku, Yara selalu berada di peringkat paling akhir. Bahkan Bibi Jane sudah pasrah kalau Yara tidak lulus ujian masuk dan harus pergi ke Norwegia. Sekarang, Alison membandingkan aku dengan Yara? Aku, sih, tidak masalah. Aku tidak terlalu peduli soal menang dan kalah.
“Kenapa kau malah mematung waktu ujian berburu dimulai?” lanjut Alison belum mau menyerah. “Dan lagi, kau hanya mendapatkan dua kelinci kurus kerontang. Memalukan.”
Aku bangkit lalu duduk menghadap Alison. Alis ku naik, “Sudah selesai?”
“Belum.”
Aku melirik jam dinding, memilih untuk mengabaikan debat kecil ini. “Ayo, waktunya pergi.”
“Tunggu, kau belum menjawab pertanyaan ku.”
Aku mengambil jaket abu-abu dan memakainya, “Kau sudah selesai berkemas, kan?”
“Mathias,”
“Kalau kau tidak mendengarkan ku, aku benar-benar akan meninggalkan mu.”
Akhirnya, Alison mendesah kesal. Dia mungkin akan marah pada ku selama perjalanan nanti, tapi aku tidak peduli. Kita berdua harus lepas dari rumah ini terlebih dahulu. Alison mencibir ketika dia melewati ku dan berjalan ke kamarnya.
Setelah beberapa menit aku menunggu, Alison keluar dari kamarnya menggendong tas ransel yang ukurannya dua kali lipat dari ransel ku. Aku tidak mengerti kenapa dia berpikir harus memasukan semua hal. Aku hanya mengangguk pelan dan mendahului dirinya untuk turun.
"Kau tahu cara melepaskan diri dari mantra pertahanan rumah, kan?” bisik Alison ketika kami sampai di dapur.
Aku mengangguk. Ayah memberikan mantra pertahanan di rumah kami, sebagai upaya pencegahan jikalau ada yang menyerang. Terutama anggota Serikat. Tidak sedikit anggota yang dikucilkan Serikat mendendam pada Ayah atau Ibu yang berakibat dengan pertarungan. Tapi, sebenarnya mantra pertahanan rumah tidak begitu sulit untuk dipecahkan. Setidaknya, dengan sihir ku.
“Anak-anak?” suara berat menggema di lorong. Aku otomatis berhenti, begitu pula dengan Alison yang tengah memasukkan beberapa makanan. Kami mematung. Jantung ku berdegup kencang dan aku susah payah menahan napas ku.
Langkah kaki mendekat. Tanpa menengok pun aku tahu siapa yang datang. Aku melirik Alison. Inilah saatnya. Sepertinya, Alison juga mengerti dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran ku. Dia mengangguk lalu dengan sangat berhati-hati dia menutup resleting ranselnya.
“Kalau kabur adalah rencana hebat kalian, hentikan sekarang juga.” Bungkam Ayah. Jantung ku hampir jatuh mendengar ancaman itu. Ini adalah kali pertama Ayah berbicara pada kami setelah menerima surat putusan Akademi Lixorth.
“Berhenti atau aku harus memaksa kalian.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!