NovelToon NovelToon

Seluas Samudera

Episode 1 Pasien Menyebalkan

Biar ada gambaran jalan ceritanya, yuk kita kenalan dulu sama para tokohnya...

Pemeran Utama Pria : Krisanto alias Kris (Kapten pasukan khusus Angkatan Laut, dan pacar pertama Dewi).

Pemeran Utama Wanita : Dewi Abarwati alias Dewi (Perawat gemuk, dan anak dari Komandan Kris).

Pemeran Kedua Wanita : Rena (Teman dekat Dewi di rumah sakit, dan diam-diam suka dengan Kris).

Pemeran Pendukung :

Laras (Teman dekat Dewi di rumah sakit).

Teguh (Teman dekat Dewi di rumah sakit).

Dokter Ajeng (Teman dekat Dewi di rumah sakit, dan merupakan dokter ortopedi).

Ibu Dewi.

Ayah Dewi (Sekaligus merupakan Komandan Kris yang berpangkat Kolonel).

Mamak Kris.

Bapak Kris.

Dena (Adik Kris yang pertama).

Ria (Adik Kris yang bontot).

Bagas (Asisten Kris yang berpangkat Sersan).

Letda Jono (Seorang anggota dadakan saat perang).

Reza (Si Gembong Penculikan).

Dewo (Sahabat Kris, dan dari kepolisian yang berpangkat AKP).

Gendhis (Istri Dewo).

Tasya (Mantan kekasih Kris).

Rizal (Teman kecil Kris).

Adi (Teman kecil Kris).

Kia (Teman kecil Kris.)

Pemeran Figuran :

Burung Beo (Peliharaan ayah Dewi).

Tetangga Dewi di rumah.

Orang tua Dewo.

Orang tua Gendis.

Keluarga kedua mempelai Dewo dan Gendhis.

Tamu pernikahan Dewo dan Gendhis.

Panitia pernikahan Dewo dan Gendhis.

Tamu pernikahan anak Bu Sulis.

Anak Bu Sulis dan suaminya.

Anak Dokter Ajeng.

Tamu acara wisuda anak Dokter Ajeng.

Ibu Rena.

Adik Rena.

Bu Sulis, kepala rumah sakit.

Kepala ruangan rumah sakit.

Seorang dokter umum rumah sakit.

Kepala HRD rumah sakit.

Satpam rumah sakit.

Pasien Nenek tua.

Pasien pengidap demam berdarah.

Penjaga IGD.

Pasien-Pasien di rumah sakit.

Perawat-perawat di rumah sakit.

Dokter-dokter di rumah sakit.

Penjaga toko baju di mall.

Penjaga toko make up di mall.

Penjaga toko pernak-pernik di mall.

Penjaga bioskop.

SPG perabotan di mall.

Orang-orang usil di mall.

Pria-pria mengamati Dewi di mall.

Tukang gorengan di depan mini market.

Tetangga Kris di Medan.

Para penjual dagangan di Medan.

Dua orang tentara dari markas lain (Yang menjadi panitia untuk acara gabungan di Medan).

Petinggi-petinggi tentara (Di acara latihan gabungan tentara antar bangsa di Medan).

Tentara-tentara asing.

Petugas bandara dan pesawat (Untuk Jakarta-Medan dan Jakarta-Surabaya).

Pelayan resto Jakarta.

Pelayan resto Surabaya.

Pelayan resto Medan.

Petugas hotel Surabaya.

Dokter Sasongko, ketua relawan medis.

Para relawan medis.

Pasukan khusus Angkatan Laut.

Anggota-anggota TNI AL.

Anggota-anggota gembong penjahat.

Awak media.

2 bule asing (Yang menjadi bagian korban penculikan).

Panitia pernikahan Kris dan Dewi

Teman sejawat dan adik letingan Kris (Yang membantu pernikahan Kris dan Dewi).

Penempatan Lokasi :

Jakarta

Medan

Surabaya

Kepulauan Seribu

PERHATIAN !

Novel yang kubuat ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita. Itu hanya kebetulan semata. Tidak ada unsur kesengajaan.

Prakata Dari Penulis :

Novel ini kubuat, karena waktu itu aku berpikir andai film Indonesia ada mengangkat tema seperti ini. Tapi juga berkat novel ini, aku jadi membuat novel-novel lain yang seperti ini. Cerita asmara tentara dibalut peperangan. Habisnya seru, Gengs...

Sesuai dengan deskripsi, sekali lagi kuberi tahu ya. Siapkanlah hati kalian seperti judul novel ini. Karena kalian pertama membaca akan tertawa, tapi selanjutnya mood kalian akan terjun bebas. Intinya, kalian harus memiliki kesabaran ekstra untuk membaca novel ini. Jadi jika kalian tidak siap, sebaiknya mundur.

Ayo, kita mulai........💃

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Namaku Dewi Abarwati seorang perawat di rumah sakit swasta yang memiliki kulit putih, perawakan sedikit gemuk, dengan rambut hitam dan pendek. Tiga bulan lalu aku menjalin hubungan asmara dengan seorang tentara Angkatan Laut bernama Krisanto. Hubungan kami terjalin selama 2 bulan lebih. Terlalu singkat ya? Itulah yang terjadi. Pertama kali aku mengenalnya, ketika dia menjadi pasien di rumah sakit tempat dimana aku bekerja....

Cerita 3 bulan lalu

“Ayo, lekas semua bersiap turunin!” teriak seorang dokter, saat sudah melihat mobil ambulance meluncur ke arah pintu IGD.

Para perawat yang mendapat tugas segera berjalan ke area laju naik-turun penumpang. Langsung mengambil posisi terbagi dua. Di sisi kiri dan kanan, pas di pintu belakang mobil. Biar langsung bertindak ketika mobil tiba.

“Cepat! Bawa ke ruang operasi!” 

Mereka segera mendorong ranjang ke sana. Ambulance pun meluncur pergi setelah menunaikan tugasnya. Pasien itu terkapar lemah tak berdaya dengan kondisi sudah diambang antara hidup dan mati. Timah panas menghujam area jantung. Darah berceceran disekitaran dada. Wajahnya benar-benar pucat, sepucat-pucatnya. Tubuhnya pun sudah mulai membiru.

Saat itu kebetulan aku sedang ada keperluan ke ruang IGD. Hingga jadi melihat hal itu.

Dokter langsung melakukan tindakan seusai ranjang masuk ke ruang operasi. Peluru itu harus segera dikeluarkan. Jika nggak, nyawa pasien itu terancam! Untunglah, kesigapan para orang yang berkompeten di dalam membuat nyawa orang itu tertolong. Untungnya juga, timah itu nggak tepat mengenai jantung. Sedikit melebar berapa inci ke samping. Itu selanjutnya berita yang kudengar.

Pasien itu kini berada dalam masa perawatan. Aku bertugas di ruang rawat inap. Setelah di operasi, dia masuk ke dalam daftar pasienku. Secara berkala aku memeriksa kondisinya. Dia masih berbaring lemah. Infus, tabung, regulator oksigen, dan lain sebagainya menemani sekitar ranjangnya.

2 hari lewat, pria itu siuman. Ketika itu aku sedang menyuntikkan obat di selang infus, nggak menyadari dia telah membuka matanya. Ketika pria itu melihatku, pertama kali yang diucapkannya...

“Sus, Apa saya sudah sembuh?”

Aku menoleh, dan terpana. “Oh! Mas sudah sadar. Belum Mas.”

“Ah, tidak, tidak. Saya rasa sudah." Orang itu melepas selang infus, serta masker penutup mulut yang membantunya bernafas.

Aku terbelalak, secara mendadak jadi menghentikan aktivitasku. Lekas kuletakkan suntikanku di atas nakas.

“Hei, apa yang Anda lakukan?”

“Tentu saja pergi dari sini." Lelaki itu bangkit, lekas berjalan.

Gila! Apa-apaan ini! Buru-buru aku menggapai tangannya. Terjadi tarik-menarik antara kami. Biar dia lemah, aku kalah. Padahal aku gemuk, entah dapat tenaga dari mana dia. Aku terpelanting ke lantai, pria itu menoleh.

“Makanya, jangan menahan saya!”

Aku bangun. “Anda itu belum pulih sepenuhnya.”

Akhirnya terjadi adu mulut diantara kami.

“Saya yang punya tubuh. Saya lebih tahu kondisi saya."

“Saya perawat Anda. Justru, saya yang lebih tahu kondisi Anda.”

Pria itu mencibir. “Cih! Lantas kenapa? Bukan berarti Anda perawat saya, bisa seenaknya menguasai tubuh saya, 'kan?”

Pria itu kembali melengos pergi. Aku kembali terbelalak, dan segera kembali menarik tangannya. Kali ini aku mengeluarkan tenaga ekstra besar karena dikit lagi dia akan melangkah keluar. Tetap saja usahaku sia-sia. Biar dia sakit, rupanya tenaga pria tetap saja diatas wanita. Aku pantang menyerah, lekas aku melangkah lebih dulu dari padanya. Mendorong pintu ruangan, menguncinya rapat-rapat.

Orang itu melotot. “Apa-apaan ini?”

“Patuhlah! Kalau Anda ingin keluar dari ruangan ini. Sembuhkanlah dulu tubuh Anda.”

“Hei, jangan macam-macam! Memang Anda siapa melarang saya?”

“Tentu, perawat Anda.”

“Saya harus balik ke markas. Ini penting!”

“Seberapa penting dengan tubuh Anda?”

“Sudah! Jangan banyak bicara! Cepat buka!”

“Memang kenapa Anda harus balik ke markas?”

“Bukan urusan Anda!”

“Apa tentang perang kemarin? Perang itu sudah usai,” tebakku.

Sudah terjadi perang di Samudera Indonesia. Berita itu tersebar luas seantero negeri ini. Baik lewat media cetak maupun elektronik. Dia pasti memikirkan hal itu. Aku tahu, tentu kami memiliki data semua pasien. Pria itu salah satu tentara yang terlibat. Namun sejatinya hal perang, aku tahu dari ayahku.

Orang itu terpana. “Sudah?”

“Iya, sudah diberitakan di semua media.”

“Tidak, tidak. Saya tetap harus balik ke markas!”

Lelaki itu tetap pada pendiriannya. Aku nggak mengerti, setanggung jawab itukah dia dengan pekerjaannya sampai nggak memikirkan kondisi tubuhnya? Lagi pula, perang sudah usai apa lagi yang mau diurusnya? Lagian, posisinya memang begitu penting sampai harus butuh kehadirannya? Dengan kondisinya sekarang, kuyakin, pihaknya pasti mengerti.

“Tidak! Apapun alasan Anda, dan urusan Anda, selama kondisi Anda belum sembuh total, saya tidak mengijinkan Anda!” tegasku.

“Anda ini bukan dokter, hanya perawat! Bukan Anda yang buat keputusan!”

“Keputusan dokter juga sama. Kalau tidak, tidak mungkin saya melarang Anda. Lagi pula, tanpa keputusan dokter, bukankah Anda bilang tidak ada yang bisa menguasai tubuh Anda?”

Lelaki itu menggerutu aku pintar memutar balik kata. Namun dikiranya aku kalah. Rupanya orang itu baru sadar, kalau ucapannya yang kuulang tadi, bakal jadi boomerang untukku. Humph! Dia belum tahu saja aku sudah menyiapkan kata untuk responnya nanti.

“Bagus! Anda cepat paham. Karena itu, lekas, bukakan saya pintu.”

“Maaf, namun perkataan Anda tidak berlaku di sini."

Aku menyunggingkan senyuman tipis, menaruh kunci kamar itu di kantong seragamku. Nggak mungkin kan dia merabaku?

Pria itu mengepal kedua tangannya geram atas ulahku. Kemudian berdecih sambil lalu. Aku puas dia nggak bisa perbuat apa-apa. Aku menang dia kalah.

Selanjutnya, aku meninggalkannya dengan tetap mengunci ruangan itu. Pergi menemui dokter untuk melaporkan kejadian kami. Dokter yang menangani sakitnya, senang dia sudah siuman, menyuruhku jangan menguncinya. Buka saja, Beliau nanti akan minta bantuan security untuk membantuku memantaunya. Meski dokter bilang begitu, aku tak ingin gegabah.

Usai menemui dokter, aku mengembalikan kunci disaat orang itu benar-benar terlelap. Membuka pintu kamarnya secara pelan-pelan jangan sampai terdengarnya. Tapi sebelumnya, kupastikan dulu diam-diam bolak-balik mengintip di luar jendela sebelum kulakukan itu.

Habisnya, siapa yang bisa jamin dia tidak lolos? Dia kan tentara, tentu punya strategi. Bisa saja kan, dia mengelabuiku pura-pura tidur. Lalu keluar tanpa sepengetahuanku dan security dengan segala akalnya. Karena itu, jangan sampai dia tahu kunci itu telah kukembalikan.

Episode 2 Dasar Perawat Gemuk

“Saya sudah baik-baik saja, bisakah saya pulang?”

Itu, dan itu, terus yang diucapkannya tiap kami bertemu. Saat ini aku lagi berada di depan hidungnya. Biasa, melakukan rutinitasku mengurusinya. Aku nggak menghiraukan, bosan! Lagian, kenapa dia minta padaku? Kenapa nggak ke dokter? Dia kan tahu aku nggak punya wewenang tersebut, aneh!

Aku memeriksa denyut nadinya, dan mencatatnya di kertas laporan. Dia bangun dari ranjang menatapku tajam.

“Hei, Anda punya kuping nggak?”

Aku bergerak mengambil obat, dan peralatan yang menunjang kebutuhanku untuk mengobatinya. Di rak obat beroda yang kubawa, yang kuparkir di sebelah ranjangnya. Aku duduk di sampingnya. Mendorong tubuhnya secara perlahan biar dia berbaring. Biar aku mudah mengerjai lukanya. Secara hati-hati aku membuka perban di depanku. Jarak wajah kami sangat dekat. Pandangannya tetap tidak berubah penuh kilatan amarah.

“Hei, Anda tuli ya?!”

".........."

"Hei, Anda dengar tidak?"

Karena aku terus diam saja, akhirnya dia hanya melototinku saja. Setelah selesai dengan apa yang kukerjai. Aku baru buka suara.

“Luka Anda sudah mulai mengering. Tapi biar bagaimanapun kondisi Anda belum pulih. Istirahatlah...,” ucapku tenang.

Segera aku bangkit dari ranjang, membereskan bekas kain kasa yang habis kubongkar di dadanya untuk mengganti yang baru, dan beberapa obat, juga peralatan lain yang telah kupakai. Semua masuk ke rak. Pria itu buang nafas kasar setelah aku merapihkan semua itu dan berlalu.

Kenapa dia keki begitu? Karena telah beberapa kali dia melakukan percobaan kabur, tapi ternyata tak mudah menghadapiku. Karena aku melakukan pelbagai cara untuk menahannya. Apa lagi terakhir, aku mengancamnya akan berhenti kerja dari tempat ini karena aku sudah gagal mengurus pasienku sampai sembuh hehe... Biarin saja dia mikir apa. Pria dengan predikat tentara tentu punya beribu cara. Aku juga harus punya taktik, meski ideku lebay.

Habis, bayangankan saja! Terakhir dia mau kabur dengan membongkar sperai, sarung bantal dan guling. Sperai itu dirobeknya panjang-panjang, diikatnya semua bersamaan bantal dan guling. Alhasil, ujung ikatan kain yang dibuatnya diikatnya ke jendela. Sisanya, di lemparnya menjuntai ke bawah. Kamar inapnya berada di lantai 3. Untunglah pas kejadian itu bertepatan aku datang. Kalau tidak, dia sudah berhasil lolos.

Sepanjang pagi dan siang ini dia tampak baik. Tiap aku periksa dan beri obat, selalu bilang 'terima kasih'. Mungkin otaknya sudah jernih, atau gara-gara memikirkan ancamanku yang lebay itu. Sorenya, dia bilang ingin duduk di taman. Katanya, bosan kelamaan di kamar. Memang, gara-gara keributan yang terjadi diantara kami. Aku hanya datang merawatnya. Selebihnya, aku mengawasinya, tidak pernah sekalipun mengajaknya jalan-jalan keluar kamar.

Sambil mendorong tiang infus, aku menuntutnya. Sesampai di sana, aku membantunya duduk di bangku taman, aku menyusul duduk di sebelahnya. Tiang infus kuparkirkan diantara kami. Dia melihat-lihat pemandangan. Aku curi-curi mata melihatnya. Senang dia seperti ini, seperti kucing penurut.

Saat aku sedang menemaninya, dari kejauhan rekanku memanggilku, mengatakan dokter sedang mencariku. Setelahnya, rekanku pergi. Yang mencariku itu merupakan dokter ortopedi yang menangani sakit pria di sebelahku ini. Aku bingung mau pergi, bagaimana nanti dia balik ke kamar?

“Pergilah...,” katanya. Tentu, dia turut mendengar.

“Anda bisa?”

Dia tersenyum. “Hanya mendorong tiang infus saja, masa saya nggak bisa?”

Ya! Masa nggak bisa?! Ah, aku terlalu khawatir. Akhirnya kuputuskan pergi. Rupanya sikap penurutnya itu hanya akal-akalannya saja, biar dia bisa kembali kabur ketika aku lengah. Aku memang sejak kejadian terakhir itu semakin super ekstra memantaunya. Aku terkesiap, ketika seorang security menggedor pintu datang memberi laporan, dimana aku dan dokter sedang berbicara di dalam.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk!” teriak dokter untuk orang berada di luar.

“Lapor Dok! Pasien itu kabur lagi!” Seorang pria berkisar usia 40 tahun, berdiri di pintu dengan raut wajah panik.

Ya... itu, itu... Siapa lagi kalau bukan dia satu-satunya pasien yang selalu bikin susah seisi rumah sakit. Karena bukan hanya aku, dokter, juga security. Semua yang bekerja di rumah sakit ini, jika ada waktu senggang pasti pada sibuk membantu mencarinya.

“Apa?!” kaget dokter berdiri, begitu pula aku.

Kami berdua panik berhambur keluar. Security bilang dia sudah berada di luar area rumah sakit. Dokter menyarankan kami berpencar. Aku segera mengambil langkah sendiri memasuki pemukiman penduduk. Rumah sakit tempat kerjaku berdampingan dengan rumah penduduk.

Aku berlari ke sana-sini disemua gang tapi sosoknya tidak kutemukan. Aku sudah tak perduli lagi hak sepatuku yang patah, hingga luka di telapak kakiku. Akibat lari tak hati-hati, dan tergesa-gesa. Kakiku jadi terkena serpihan beling.

Aku yakin dia masih sekitaran sini. Nggak mungkin dia pergi jauh. Karena dia tidak punya uang sepeserpun. Ya, kecuali, kalau dia mencuri motor ya... Ya! Pasti dia lihai mengutak-atik motor nggak berkunci. Tak perlu diragukan lagi itu jika kita bicara latar belakangnya.

Aku melihatnya, dia sedang menyeberang jalan. Aku berlari cepat, diiringi berteriak sekeras-kerasnya buat menghentikan langkahnya.

Mobil berdecit.

Ciiiiiit...

Dia menoleh, terkejut aku berada di tengah-tengah jalan. Dikelilingi mobil yang salah satu hampir menabrakku. Dia memutar haluan langkahnya menghampiri aku.

“Apa Anda sudah gila?!” kesalnya.

“Ya, saya sudah gila!” rutukku.

Semua mobil memainkan klakson menandakan agar kami segera pergi dari sana. Kami pun pindah lokasi menepi di pinggir jalan. Namun baru saja langkah kami berhenti, dia lanjut mengumpat.

“Apa susahnya Anda melepas saya? Apa untungnya saya dibawah terus perawatan Anda? Kenapa saya harus sembuh total baru bisa pergi?! Lihatlah... Saya sudah sembuh! Dan baik-baik saja! Sembuh total seperti apa yang Anda maksud?! Jadi, tunggu apa lagi...?!”

“Menurut Anda, menurut kami tidak.”

“Apanya yang tidak?”

“Anda hanya orang awam nggak tahu apa-apa tentang medis. Memang tampak didepan baik tapi tidak didalam.”

“Cih! Mau didepan kek, didalam kek, bagi saya sudah sembuh!”

“Itu bagi Anda, bagi kami tidak.”

“Cih! Dasar perawat keras kepala!”

“Terserah Anda mau ngatain saya apa, sekarang kembalilah..."

Dia makin geram. “Dasar perawat gemuk!”

Hah?! Apa? Gemuk?! Kupingku nggak salah dengar, 'kan? Tidak, tidak. Sumpah! Dia ngatain aku begitu. Baru kali ini aku dengar. Ada sih pasien yang mulutnya tajam namun nggak pernah menyerang ke fisik. Memang aku terlalu displin, tapi kan itu sudah kewajibanku. Lagi pula, untuk saat ini, itu semua karena ulahnya.

Lagian juga, kurasa nggak ada satupun pasien di Dunia ini bicara kasar dengan perawatnya. Mau itu perawatnya bawel, gak ada senyum, angkuh, maupun modelan kayak aku. Tapi ini, ckckck... Sulit dipercaya! Apa lagi yang bicara begini seorang tentara...?? Wow... banget, 'kan?

Apa dia sudah diubun-ubun ya, karena tak pernah berhasil kabur dari aku jadi perkataannya lolos begitu saja? Apa lagi dia seorang tentara mungkin harga dirinya serasa diinjak-injak selalu kalah dari aku. Kalau alasan itu, aku dapat memaklumi. Terlihat sih dia berbicara dengan raut muka luar biasa emosi.

“Ya, saya perawat gemuk! Perawat keras kepala! Perawat yang waktunya tidak ada habis-habisnya memantau Anda. Mengamati Anda, menjaga Anda, biar Anda tidak kabur dari rumah sakit! Puas?... Sekarang, baliklah. Jika Anda nggak ingin dengar saya menjerit sekeras-kerasnya mengatakan ke semua orang bahwa Anda pasien gila yang kabur dari rumah sakit! Lalu meminta bantuan orang-orang untuk menggiring Anda ke rumah sakit, maka patuhlah!”

Seketika dia melotot. Siapa yang bakal nggak percaya kalau aku bilang begitu? Aku memakai seragam suster, tentu saja dia memakai seragam pasien. Bola matanya saat ini seperti ingin keluar dari tempatnya. Merah, meraaah sekali... Tanpa bicara dia langsung balik badan berjalan pergi. Aku mengikutinya di belakang. Hehe... Kalah lagi, 'kan?

Episode 3 Minta Maaf

Sejak kejadian tempo hari itu Kris jadi sering melamun. Dia gak habis pikir wanita itu punya beribu cara menahannya. Memang tugasnya, merawat pasien sampai sembuh. Tapi kan masalahnya, sisa penyembuhan bisa dilakukan rawat jalan.

Seharusnya wanita itu peka, kenapa dia terus meminta pulang. Dia begitu, agar wanita itu membantunya bicara ke dokter. Kalau dia yang bicara, mana dokter mau dengar. Posisinya kan pasien.

Memang juga salahnya, diawal bilang ingin balik ke markas. Mungkin yang dipikirkan wanita itu gara-gara omongannya yang itu. Dan, yah... Dari situ hubungan mereka jadi tidak baik. Dari situ juga jadi sering ribut. Jadi, bagaimana wanita itu bisa berpikir apa yang diharapkannya?

Padahal apa yang diucapkannya. Tak mungkin dia menelantarkan tubuhnya. Tentu, dia nggak sebodoh Itu. Usai memastikan urusannya di markas selesai, dia langsung balik pulang istirahat.

Sebenarnya bukan itu yang teramat dipikirkannya. Dia melihat wanita itu kemarin terseok-seok mengikutinya di belakang. Dia tidak buta, saat wanita itu berdiri ditengah jalan, mereka menepi kemudian. Telapak kaki wanita itu sepertinya terluka karena dilihatnya kesusahan berjalan.

Apa wanita itu mencarinya tanpa memikirkan luka yang dideritanya? Sebegitu keraskah wanita itu mencarinya? Sebegitu tanggung jawabnyakah wanita itu ke dirinya hingga tak memikirkan rasa sakit di kakinya? Astaga... Wanita itu bikin dia tak enak saja!

Disaat Kris sedang melamun, sosok yang dilamunkannya masuk ke kamar. Kris yang lagi rebahan curi-curi mata mengamati di bawah tubuh orang yang sedang berjalan menghampirinya. Wanita itu masih kesusahan berjalan.

Dewi meletakkan bawaannya di atas nakas. Kris mengamati tag nama yang menempel di depan matanya. Dewi Abarwati.

Kemudian Dewi duduk di samping ranjang, membuka pelan-pelan kancing kemeja di depannya.

“Saya tidak mengganti perban Anda lagi, luka Anda sudah kering. Saya hanya membersihkan saja. Kata dokter, besok Anda sudah pulang."

Mendengar kata pulang tentu Kris senang.

“Baguslah!”

Dewi tersenyum. “Ya, bagus. Perang diantara kita kan jadi usai.”

Ini maksudnya menyindir? Atau apa? Tapi Kris tidak menghiraukan, dia lebih tertarik hal lain.

Wajah wanita ini lumayan, tidak jelek. Dan hebatnya, tidak ada satu pun jerawat yang bertengger di mukanya. Bening... Bersih... Pipinya pun chubby dan keranum-ranuman. Menggemaskan!

Saat Dewi melepaskan perban di dada lelaki itu. Kris tersentak kecil akibat tersenyum kecil sendiri.

Jika situasi normal, andai Dewi bukan perawat, mungkin bakal berdebar dihadapi dada semenarik itu. Dada pria itu bidang dengan otot-otot keras yang menawan terukir indah.

“Ini terakhir saya merawat Anda. Saya nggak ke sini lagi karena Anda nggak perlu lagi perawatan dari saya. Anda hanya istirahat menunggu esok. Usai ini, saya akan melepas selang infus Anda.“

Nggak lama Dewi berdiri. Kris kembali curi-curi pandang. Namun dalam pandangannya, dadanya diselimuti debaran. Akibat dengar saya nggak ke sini lagi. Dan deguban itu makin terasa kencang, ketika wanita itu telah selesai apa yang dikerjainya, menundukkan kepala sebelum melangkah keluar.

“Maaf, kalau selama masa perawatan saya, saya bersikap berlebihan. Itu semata-mata saya lakukan demi kebaikan Anda. Sekali lagi, saya minta maaf.”

Tidak ada yang salah dengan wanita ini. Wanita ini hanya menunaikan tugasnya. Kenapa harus minta maaf? Justru! Dialah yang salah.

Malamnya, Kris sulit memejamkan mata. Ucapan itu entah mengapa membuatnya kini jadi enggan pergi.

Dewi Abarwati... Dewi Abarwati... 

Ya! Wanita itu sudah membuatnya gelisah bolak-balik memiringkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Sulit sekali tidur! Resah membayangkan esok. Adakah wanita itu nanti pagi? Apa dia masih bisa lihat wajah itu lagi? Kalau tidak, kakinya pasti bakal berat melangkah. Ada yang ingin dikatakannya sebelum pergi dari sini.

Keesokan hari, dokter menemui Kris didampingi perawat. Bukanlah perawat yang biasa merawatnya. Dokter berbicara tentang kondisi fisik terakhirnya. Kris mendengar, tapi bola matanya mencari-cari. Padahal disitu jelas-jelas yang berdiri di samping ranjangnya hanya 1 dokter dan 1 perawat lain. Ya! Mungkin Kris masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Wanita itu tidak ada? Kemana? Apa wanita itu telah berganti tugas tepat di hari kepulangannya? Sebab itulah kemarin wanita itu berbicara begitu? Ya, memang itu yang dipikirkannya. Makanya, semalam dia resah. Salahnya, harusnya kemarin dia menahan wanita itu dulu sebelum melangkah keluar dari kamar.

Setelah dokter dan perawat pergi, Kris menukar pakaian pasien ke seragam tentaranya. Seragam tentara yang sudah lusuh akibat perang kemarin, juga akibat terkona noda darah di dadanya. Yang telah dicuci oleh pihak rumah sakit untuk di pakainya pulang. Ya! Tentu Kris hanya bawa baju di badan.

Sesudahnya, Kris keluar dari kamar. Di luar, dia melambat-lambatkan langkahnya. Kalau bisa, dia berharap lusa baru sampai di depan pintu gerbang rumah sakit. Namun itu kan nggak mungkin, selambat-lambatnya dia berjalan tetap saja tinggal berapa langkah lagi mencapai tujuan. Dia mulai gelisah dari tadi sudah mengamati sepanjang jalan dia melangkah. Sosok yang dicarinya tidak ada.

Dia harus ketemu wanita itu, pokoknya harus! Kalau gak, dia akan kesulitan nanti ke depannya. Tapi sepertinya asanya kandas! Tinggal beberapa langkah lagi dia tiba diujung pintu keluar...

“Selamat jalan... Selalu jaga kesehatan ya.”

Karena sangat mengenali suara itu, secepat kilat Kris menoleh. Wanita itu berdiri di belakangnya dengan mengembangkan senyuman lebar.

Gila! Setelah apa yang diperbuatnya, masih bisa tersenyum? Ya! wanita ini pun kemarin tampak sopan. Wanita ini sepertinya wanita baik-baik.

“Boleh saya bicara denganmu?”

Dewi mendelik. Hmm...? Mu? Mendengar itu tentu aku bingung. Kenapa pria ini jadi bicara nggak formal? Apa dia merasa terharu atas sikapku? Ah, padahal aku hanya berusaha bersikap sopan saja sejatinya sih masih keki. Tapi apapun itu semua telah berakhir, gak guna juga diperpanjang, toh dia sudah sembuh, dan sudah mau pulang.

Aku mendekat. “Ya?”

“Maaf, atas kekurangan ajaran mulutku tempo hari. Kata itu meluncur begitu saja. Demi Tuhan! Aku nggak ada maksud menyakiti hatimu. Aku tahu, kamu hanya menjalani tugasmu. Tapi karena aku terdesak, dan kamu selalu menahanku, jadi tanpa sadar aku berbicara kasar. Ucapanku sungguh tercela. Sangat tidak pantas. Sekali lagi, aku minta maaf.”

Aku? Kenapa pria ini jadi semakin tidak formal? Ok! Aku tidak ke inti itu. Apa tadi? Dia bilang minta maaf? Ya! Kumaafkan. Orang jika telah mengakui dan berani berkata maaf tentu kumaafkan. Berarti dugaanku, benar.

“Tidak apa-apa. Saya mengerti,” jawabku dengan nada tetap formal.

“Terima kasih.”

Mata pria ini menyusuri bawah badanku, mengamati telapak kakiku yang di bungkus perban, setelah itu kembali menatapku.

“Apa telapak kakimu masih sakit?”

“Ah, sudah mendingan.”

“Aku juga minta maaf untuk luka yang kamu derita. Kuharap telapak kakimu cepat sembuh.”

“Ya, baiklah. Terima kasih.”

Pria ini tersenyum lalu pamit. Tapi sepanjang dia belum lepas dari pandanganku, sikapnya aneh! Selalu bolik-balik menoleh ke arahku dengan rona pipi merah jambu. Lah! Kenapa tuh dia?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!