Di dalam pesawat seorang gadis duduk dengan gelisah, pasalnya dia baru saja mendapatkan kabar jika ibunya sakit keras. Jantung dan hipertensi nya kambuh. Gadis itu panik sejak kapan ibunya memiliki penyakit karena selama ini tidak pernah sekalipun dia mendengar ibunya mengeluhkan penyakitnya itu dan dia selalu melihat ibunya baik-baik saja.
Gadis cantik itu bernama Mutiara Bimantara, namun dia tidak mau menggunakan nama belakangnya.
Mutiara adalah seorang wanita cantik, mungil dan saat ini sedang coba membuka usaha sebuah butik kecil yang ada di luar negeri, dia juga pandai mendesain baju. Kesibukannya membuat gadis itu harus bolak balik keluar negeri bahkan dia lebih sering menetap di Paris.
Mutiara gadis yang rajin dan pekerja keras, dia tidak hentinya belajar dan terus belajar berharap suatu hari nanti dirinya akan menjadi seorang desainer terkenal.
Dan malam ini dia terbang dari Paris ke Indonesia demi ibunya.
Mutiara tidak memiliki saudara kandung, dia anak semata wayang Liora dan Agus Bimantara.
Sepanjang perjalanan Mutia tidak berhenti berdoa, memohon agar Allah segera menyembuhkan penyakit ibunya. karena dia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain ibunya, ayahnya pergi entah kemana, dia sendiri tidak tau dan tidak pernah bertanya kepada ibunya.
Akhir nya dia tiba di tanah air. Pesawat mendarat dengan selamat, gadis itu turun dan Mutia setengah berlari keluar bandara.
Seorang gadis cantik sudah menunggunya, Devi adalah sepupu sekaligus orang kepercayaan ibunya.
Gadis itu melambaikan tangan dan Mutia segera berjalan kearahnya "Kenapa Lo nggak bilang kalau nyokap gue punya penyakit jantung?' kalimat berisi omelan yang diucapkan Mutia pertama kali pada sepupunya itu.
"Maaf kak, tapi bude nggak ngijinin aku untuk ngasih tau kakak,''
"Lantas lo ngikut begitu aja, dasar bodoh!" maki Mutia kesal,
"Maafin aku kak, tapi aku bisa apa? bude ngancam aku?" ucapnya lagi
"Bodoh, lihat akibat kebodohan mu, Mama dalam bahaya." ucap Mutia lagi sambil terus berjalan keluar bandara diikutinya oleh Devi dan seorang supir yang membawakan tasnya.
Mereka segera masuk ke dalam mobil. Sopir membawa mereka menuju rumah sakit, tak henti sepanjang perjalanan Mutia memarahi Devi, gadis itu hanya diam, sesekali menjawab dan meminta maaf.
"Mama..." Mutia memeluk tubuh ibunya yang masih terbaring dengan peralatan medis lengkap di tubuhnya.
Mutia menangis melihat tubuh ibunya yang tergeletak tak berdaya. Wanita pekerja keras dan selalu tampil sempurna itu kini terbaring tak berdaya di depannya.
"Ma...ini muti.. Ma, Mutia pulang." ucap gadis itu.
Perlahan mata itu terbuka, sayu dan nampak sangat lemah. Tapi sudah mampu membuat gadis itu tersenyum.
"Mama.." ucap Mutia dengan wajah berbinar, gadis itu menyeka air matanya dengan kasar.
Mutia bahagia ibunya membuka mata, itu artinya ibunya melihatnya.
"Tia..." panggil liora dengan suara lirih.
"Shuuuut, Mutia disini Ma, Mutia akan jaga Mama, Mama istirahat ya, biar cepat sembuh." ucap gadis itu tak lupa menghadiahi banyak ciuman di wajah ibunya.
Mutia sangat merindukan liora. "Tia..." lagi ibunya memanggil namanya. Kali ini terselip senyum tipis.
"Tia disini Ma, Mama istirahat saja." ucapnya lagi dengan senyum lebar.
Liora patuh, wanita itu kembali menutup matanya dan sepertinya dia tertidur.
"Sejak kapan Mama seperti ini?" tanyanya masih dengan nada dingin pada Devi.
"Tadi pagi kak, tiba-tiba bude jatuh sambil memegangi dadanya, dan langsung kami bawa kesini ."
Tak lagi bertanya, Mutia diam dan terus menatap wajah ibunya.
Mutia memilih duduk disebelah liora, dia terus mengusap wajah lembut itu, Mutia bisa melihat dengan jelas, wajah cantik ibunya yang mulai keriput dan pucat.
Tanpa sadar gadis itu ikut terlelap.
*
*
Pagi menjelang di tandai dengan suara burung-burung yang bernyanyi merdu.
Mutia terbangun dari tidurnya, dia bisa merasakan usapan hangat di kepalanya, gadis itu bangun dan mengangkat kepalanya diiringi senyum sumringah.
"Mama.." ucapnya penuh semangat.
"Tia, kapan kamu sampai nak?" tanya liora dengan wajah sedih
"Tadi malam Ma, Mama mau apa? biar Tia belikan, atau Mama mau Tia masakin apa?" lagi gadis itu coba tersemyum lebar.
Liora menggeleng, "Mama nggak mau itu, Mama cuma mau satu hal nak, kamu menikah." ucap liora
Tubuh Mutia seketika membeku, gadis itu terdiam beberapa saat sebelum akhir kembali bicara, "Aku pasti menikah Ma, tapi bukan sekarang." sahutnya lembut berharap ibunya mengerti.
Ini bukanlah pertama kalinya liora mempertanyakan hal itu dan seperti biasa, dia punya seribu alasan untuk membantahnya.
"Lalu kapan? usia kamu sudah nggak muda lagi Tia,"
"Ma, kita bahas ini nanti ya, sekarang kita fokus pada kesembuhan Mama." sahutnya.
Liora menggeleng, "Mama tidak bisa menunggu lama, usia Mama tidak akan lama lagi."
"Mama bicara apa sih, udah mendingan Mama istirahat aja." Mutia coba bernegosiasi
"Tia," panggil ibunya dengan nada serius, tangan lemah itu menggenggam tangan putrinya.
"Mama tau nak usia Mama tidak lama lagi, dan Mama hanya punya satu permintaan nak, kamu menikah."
Duar!!!?
Bagai tersambar petir mutiara mendengar nya.
"Menikah, " ulangnya pelan.
"Iya dan Mama sudah memilihkan pasangan untukmu, namanya-"
"Stop Ma, aku tidak mau menikah." ucapnya tetap ngeyel dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Mama sudah memilihkan pria yang tepat untuk mu. Dan-"
setelah itu liora kembali memejamkan matanya.
Ma...mama....ma..." gadis itu berteriak, Devi dengan segera memanggil dokter.
"Silahkan tunggu diluar," ucap dokter padanya.
Mutia duduk termenung, lima menit kemudian dokter keluar dan bicara dengan Mutia.
"Untuk sementara biarkan pasien istirahat dan jangan buat dia berpikir keras,"
"Baik dok," sahut Mutia
"Kak, sebaiknya kakak pulang dulu atau kakak mau aku belikan makanan? kakak pasti lapar." ucap Devi
",Tidak, aku ingin menunggu Mama,"
"kak, bude Enggak apa-apa, gimana kalau kakak pulang aja dulu, nanti kembali lagi. Kakak juga butuh istirahat, biar aku yang jagain bude."
Mutia menyerah, dia berjalan keluar dan masuk ke dalam lift. Turun kelantai bawah, saat pintu terbuka karena terburu-buru seseorang tak sengaja menabraknya hingga mengotori pakaiannya. Gaunnya terkena tumpahan kopi.
"Maaf!" ucap pria itu berusaha mengelap tumpahan kopi di gaun Mutia
"Minggir, jangan menyentuh ku, " Mutia menolak
"Sekali lagi maaf,"
"Dasar bodoh," maki Mutia dan terdengar oleh pria tampan disamping nya itu, pria itu tersinggung.
"Hai kau memaki ku? bukankah aku sudah minta maaf?"
Mutia melirik dengan tatapan sinis, 'Apa maaf mu bisa mengembalikan gaunku? apa kau tau harga gaun ini?' ucapnya ketus dan melebarkan matanya.
Mutia tertawa sinis, "Aku yakin kau pasti tidak tau, sudahlah percuma bicara dengan mu," ucapnya lalu berjalan keluar.
"Gadis sombong," ucap pria itu.
**
Pria muda yang tak sengaja menumpahkan kopi ke gaun mahal Mutia itu bernama Emir. Dia juga baru saja kembali ke Indonesia.
Neneknya sakit dan memintanya segera pulang, Pria itu tergopoh-gopoh kembali ke Indonesia tapi apa yang di temukan, neneknya ternyata berbohong dan beliau justru ingin menjodohkannya dengan cucu Sahabatnya.
Emir marah dan kabur dari rumah, dan dia kesini untuk menemui kakaknya yang merupakan seorang dokter.
Sialnya baru saja dia sampai, dia sudah bertemu dengan gadis sombong dan angkuh bernama Mutia itu.
"Sombong sekali, awas saja akan ku beli kesombongannya itu suatu hari nanti." omel Emir.
"Pagi kak," Emir menyapa dokter Melia, kakaknya dan membawa dua cup coffee yang baru.
"Emir," ucap Melia bersorak kegirangan, sudah lama dia tidak bertemu dengan adiknya yang nakal ini.
Kini pria itu terlihat tampan dan gagah dihadapannya.
"Apa kabar kak?" Emir memeluk Melia
"Baik, kamu sendiri?" tanya Meila balik
"Seperti yang kakak lihat, aku baik."
"Apa kau sudah bertemu dengan nenek?"
"Sudah, aku benci wanita tua itu, dia membohongi ku, dia hanya ingin menjodohkan ku dengan cucu sahabat nya,"
"Dia yang kau maksud itu nenek kita Emir,"
"Iya aku tau kak, tapi aku masih sangat kesal, aku terpaksa pulang hanya karena masalah ini. Kenapa juga nenek harus berbohong padaku,"
Melia menatap tajam adiknya, "Ini bukan masalah sepele dan kamu juga sudah bukan akan kecil lagi, kamu tau yang seharusnya kamu lakukan. Perjodohan ini harus tetap terjadi dan kamu harus menikah dengan gadis itu, demi keluarga kita."
"Kenapa harus aku kak?"
"Karena kamu laki-laki, kan nggak mungkin kakak yang nikah, karena cucunya temen nenek itu perempuan." ucap Melia tertawa.
"Apa aku tidak punya pilihan lain?"
"Tidak, jika kau ingin keluarga kita utuh, atau kau ingin melepaskan semua harta waris itu dan memberikannya kepada paman Ben?" tanya Melia lagi
"Berhentilah bermain-main, saatnya kamu pulang dan mengurus semuanya, nenek sudah tua, hanya kamu yang dia harapkan." ucap Melia lagi
"Tapi aku punya pacar kak?"
"Putuskan!" tegas Meila
"Mana bisa semudah itu!"
"Emir.." Melia mengingatkan,
"Iya," sahut pria itu berbalik, dia ingin pergi, ternyata salah menemui kakaknya bukannya mendapat dukungan malah dia dinasehati.
"Ingat sore nanti jam tiga, jangan kabur." ucap Melia lagi.
***
Jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh delapan menit.
"Tia..." terdengar suara ibunya memanggil.
"Ya Ma," sahut gadis itu mendekat.
"Hari ini calon suami mu akan datang, kamu bersiaplah,"
Mutia menarik napas dalam, "Ma, Mutia akan menikah seperti keinginan Mama, tapi setelah mama sembuh. Mutia janji Ma," ucap gadis itu
Liora menggeleng lemah, "Tidak nak, Mama mau di operasi setelah Mama melihatmu nikah,"
"Tapi Ma"
Tante Susan memegang pundak Mutia, "Biar Tante bantu bersiap." ucapnya.
Liora tersenyum, Susan membawa Mutia menjauh dan bicara berdua.
"Mutia ini gaun pengantin mu," wanita itu memberikan gaun pengantin berwarna biru muda,
"Gaun pengantin? bukankah ini masih pertemuan pertama?" tanya Mutia
"Sayang, kamu dengar sendiri kan apa kata dokter tadi, ibumu harus segera di operasi, jika tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk lagi. Dan kamu tau sendiri, kemungkinan berhasil itu fifty fifty."
Mutia terdiam, Susan melanjutkan ucapannya, "Permintaannya sederhana Tia, kamu menikah itu saja, apa itu sulit?"
"Tapi Tan, aku..." gadis itu tak melanjutkan ucapannya, memilih diam dan menghela napas.
"Ibumu takut dia tidak akan selamat, dan kau sendirian." ucap Susan akhirnya diiringi Isak tangis.
"Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri, aku tidak butuh seorang laki-laki,"
"Terserah padamu, jika kau mencintai ibumu pakai ini, jika tidak..." Susan beranjak pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
*
Dilain tempat Emir terpaksa mengikuti apa yang diucapkan neneknya.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah calon istrinya. Emir tidak peduli kemana mereka pergi bahkan dia tidak ingin tau siapa nama gadis itu, seperti apa orangnya dan wajahnya.
Mobil terus berjalan dan berbelok ke rumah sakit, Emir sedikit terkejut, "Kenapa kesini nek?" tanyanya
"Mereka ada disini, begitu juga dengan Melia." sahut nenek
"Cih, jangan-jangan dia wanita tua yang sudah mau meninggal, baguslah jadi aku tidak perlu repot lagi." ucap Emir didalam hatinya.
"Sudah buruan turun!" ucap nenek begitu mobil mereka berhenti di parkiran.
Nenek berjalan masuk diikuti oleh Emir, Mila dan dua orang bodyguard nya.
Mereka masuk ke dalam, langsung menuju lift dan menekan tombol teratas, menuju ruang VVIP.
Pintu lift terbuka, mereka melangkah menuju ruangan yang terletak paling ujung.
Milla membuka pintu, dan di dalamnya sudah ada beberapa oranglain, yang menyambut mereka.
"Selamat sore," sapa nenek Hamidah
"Sore," Susan menyambut kedatangan nenek, sedangkan liora masih terbaring di atas ranjang.
"Bagaimana keadaan mu Lio?" tanya nenek
"Sudah lebih baik Tante." sahutnya
"Oh ya ini cucuku, Emir." ucapnya memperkenalkan Emir pada calon mertuanya.
Emir tersenyum simpul pada wanita itu, bisa dia lihat jika wanita itu lemah dan terbaring tak berdaya.
"Devi panggilkan Mutia." ucap Susan pada puteri nya.
Devi memanggil Mutia yang ada di balkon kamar, gadis itu sudah mengenakan kebaya yang diberikan oleh Susan. Dia berjalan keluar bersama dengan Devi, semua mata tertuju padanya, cantik itulah kesan pertama yang terlihat.
"Mutia ini cucuku Emir, dan Emir ini Mutia,"
Mutia mencium tangan wanita itu, bagaimanapun dia masih mengingat ajaran ibunya yang harus sopan terhadap orangtua.
"Cantik sekali calon cucu menantu ku?" ucap nenek Hamidah.
Emir membalikkan badannya dan kedua mata mereka bertemunya,
"Kau!!!" ucap keduanya bersamaan
"Kau!!!" ucap keduanya bersamaan.
Emir tersenyum tipis dan terlihat meremehkan Mutia.
"Apa ini gadis yang ingin jodohkan dengan ku?" tanya Emir dengan tatapan remeh pada Mutia, dia bahkan terus menatap naik-turun menilai penampilan gadis itu.
Mutia menatap jengah, dia seakan tengah di kuliti oleh pria itu.
"Lumayanlah, tapi sifatnya enggak banget, dari wajahnya aja kelihatan banget matre dan juga jutek," bisiknya hanya dalam hati.
Dipandang seperti itu oleh Emir Mutia menatap jengah, "apa dia pikir aku setuju dengan perjodohan ini? aku juga tidak mau menikah dengan lelaki modelan seperti itu, pasti dia anak mamie yang manja." batin Mutia menolak
"Aku tidak setuju Nek? aku sudah punya pacar, lagipula apa nggak ada cewek lain?" lanjut Emir membantah sekaligus memohon kepada sang nenek.
Mutia membulatkan matanya, "dia bilang apa? nggak mau?aku pun tak sudi menikah dengannya, enak saja, dia pikir aku ini perempuan apa? cih..." omel Mutia tak terima namun hanya di dalam hati.
Emir tersenyum sinis, membuat gadis itu semakin merasa geram,
"Hei kamu pikir siapa dirimu, aku juga tidak bilang setuju, asal kamu tau aku juga tidak mau menikah dengan kanebo kering seperti mu."
"Apa kamu bilang?" Wajah Emir juga memerah karena marah, ''enak aja kamu bilang aku kanebo kering, dasar papan cucian,"
Mutia hendak membantah namun tangannya ditahan oleh ibunya.
"Sudah stop!" nenek Hamidah setengah berteriak. Menghentikan perdebatan yang tidak berarti ini.
"Apapun yang kalian ributkan, itu tidak akan mengubah keputusan nenek dan juga ibumu, Mutia, kalian berdua harus tetap menikah setuju atau tidak." tegas nenek Hamidah
"Tidak bisa begitu nek?" bantah Emir
Mutia menatap ibunya dengan wajah memelas,
"Ma.. aku akan menuruti keinginan Mama, aku akan menikah dengan siapapun kecuali dia Ma." ucap Mutia menunjuk wajah Emir
Liora menggeleng, Nenek hamidah melirik keduanya yang saling membuang muka, "tidak bisa kalian harus tetap menikah, sekarang juga." ucapnya.
"Tapi nek.."
"Tidak ada tapi-tapian, kau harus ikut perintah nenek."
"Nenek yakin dengan gadis ini, dia ini.."
"Emir, kamu dan dia sudah di jodohkan sejak kecil, tidak ada alasan lagi,"
"Nek!!!"
"Itu dia, penghulunya sudah datang." ucap nenek melihat kearah pintu, tampak dua orang berjalan beriringan, salah satu diantara nya menggunakan kopiah, mungkin itulah yang di sebut penghulu.
"Penghulu? sekarang?" tanya Mutia membulatkan mata. Melirik ibunya menuntut penjelasan.
"Mutia..."lagi suara liora terdengar memanggil namanya. Gadis itu menoleh.
"Mama..."
"Kenapa harus sekarang Ma?"
"Waktu Mama enggak banyak nak, cuma satu keinginan terakhir Mama melihatmu menikah," ucapnya lirih
"Tapi Ma.."
"Ini keinginan terakhir Mama,"
Mutia menitikkan air mata mendengar keinginan ibunya itu,
Sementara nenek Hamidah sedang bicara dengan Emir.
"Dengar, aku tidak main-main dengan ancaman ku. Sekarang terserah padamu, kamu putuskan saat ini juga, menikah dengannya lalu urus perusahaan atau aku akan mencoret namamu dari daftar kartu keluarga dan kau tidak akan pernah lagi mendapatkan apapun dariku. Apa kamu suka menyerahkan semua peninggalan Papamu pada Pamanmu? ancam nek Hamidah
'Sialan wanita tua ini mengancam ku, dia sengaja menggunakan perusahaan untuk membuat ku bertekuk lutut. Baiklah kali ini aku mengalah, tapi hanya kali ini, dan aku pastikan gadis itu sendiri yang akan pergi, karena aku akan menciptakan neraka untuk nya." batin Emir.
"Bagaimana?" tanya nenek karena Emir tak kunjung memberikan jawaban.
"Baiklah aku setuju,'' jawab Emir.
"Tia," panggil Liora
"Aku setuju, asal Mama janji Mama akan operasi dan sembuh,"
Liora tersenyum, "Mana janji nak," ucapnya lagi.
Di sinilah Mereka sekarang, duduk bersebelahan di kursi yang ada di ruangan itu, di depannya telah duduk seorang penghulu yang berhadapan langsung dengan Emir.
Emir terlihat tampan dan berwibawa. Pria itu menggunakan batik senada dengan calon istrinya, yang memang telah di siapkan nenek sebelum nya.
Sedikitpun Emir tidak melirik pada gadis yang sedang duduk menunduk di sebelahnya, tatapannya fokus pada penghulu yang berada di depannya yang mulai acara dan memulai proses ijab qobul.
Tak hanya nenek Hamidah dan juga Melia ada beberapa orang lagi yang menjadi saksi, yaitu Devi, Tante Susan dan dua orang bodyguard sang nenek.
Melia tersenyum bahagia melihat sang adik yang akan segera melepas masa lajangnya sebagai seorang kakak dia juga merasa khawatir karena Emir terkenal suka gonta-ganti pacar, Melia mendengar adiknya tidak pernah memiliki hubungan serius dengan seorang gadis.
Meski kemarin Emir mengatakan bahwa dia memiliki seorang kekasih tapi Melia tidak percaya, karena yang dia tahu adiknya tidak pernah serius berhubungan.
"Bagaimana bisa kita mulai tanya Pak penghulu, apakah kedua pengantin sudah siap?"
"Siap." jawab Emir mantap
Penghulu memulai acara hingga tibalah saat ijab qobul, terdengar dengan lantang suara Emir menghalalkan Mutia Bimantara menjadi istrinya dengan sekali tarikan nafas, dan terdengar sahutan sah daripada para saksi dan undangan.
Mutia memejamkan matanya menahan gejolak rasa yang ada di dalam dada. Hari ini statusnya telah berubah dari seorang lajang menjadi seorang istri.
Seorang istri dari seseorang yang bahkan belum dia kenal sama sekali.
Seperti apa orangnya, Bagaimana sifatnya, Apa pekerjaannya, dan yang paling penting adalah bagaimana karakternya.
Pak penghulu memintanya untuk mencium tangan Emir untuk yang pertama kalinya.
Dengan malas gadis itu mengangkat tangan itu dan mendekatkannya ke hidungnya lalu menciumnya.
Emir juga diperintahkan untuk mencium kening istrinya. Keduanya membeku beberapa saat, Namun Emir adalah lelaki dewasa, mudah baginya menguasai keadaan. Dia maju untuk mencium kening Mutia, namun gadis itu bergerak menunduk hingga akhirnya dia hanya bisa mencium pucuk kepalanya saja.
Selepas kepergian nenek Hamidah Melia mendekati Mutia.
"Hai, kita belum kenalan ya, kenalkan namaku Meliani, Aku adalah kakak dari Emir dan berarti aku juga sudah menjadi kakakmu. Jadi jangan sungkan untuk bicara atau bertanya padaku," ucapnya tersenyum lebar
"Aku mutiara kak," ucap gadis itu yang juga tersenyum ramah kepada Melia.
"Kamu cantik sama seperti namamu," puji Melia
Terima kasih, kakak juga Cantik."
Melia melirik Liora yang terbaring, dia tersemyum ramah.
"Tante pa kabar? sudah lebih baik?" tanya gadis itu pada liora
"Alhamdulillah Tante sudah merasa mendingan,"
"Alhamdulillah, sebaiknya mulai sekarang persiapkan diri tante untuk operasi besok,"
"Besok?" tanya Mutia kaget.
Melia mengangguk, "Bisa kita bicara sebentar," ucapnya pada Mutia, gadis itu mengangguk setuju dan ikut berjalan keluar bersama dengan Melia.
Emir yang melihat kepergian kakaknya juga berniat untuk keluar dari ruangan itu.
"Eh, saya per..permisi dulu Tan," ucap Emir
"Nak Emir!" panggil liora
Langkah Emir terhenti, dia kembali berbalik menatap Liora, "Ya Tante," sahut pria itu pun mendekat.
"Tante tahu kamu terpaksa menerima pernikahan ini, Dan Kamu tidak menyukai mutiara.
Tapi satu hal yang Tante minta nak, Tante mohon apapun kesalahannya jangan pernah menyakitinya, dia sangat rapuh."
Emir diam, 'Bagaimana mungkin, aku justru berniat untuk menceraikannya nanti setelah aku mendapatkan semua warisan itu," batin Emir.
Liora menarik napas dalam, Melihat tubuh lemah Liora Emir merasa tidak tega, dia yang sejak kecil tidak memiliki seorang ibu merasa iba pada wanita yang terbaring lemah di depannya itu.
"Baik Tante, tante fokus aja pada penyembuhan tante."
"Terimakasih,'" ucap Liora tersenyum
*
*
"Maaf jika sebelumnya aku tidak memberitahu mu jika aku adalah kakaknya Emir."
"Eh tidak masalah dok,"
"Kok masih panggil dok, kakak dong,"
"Eh iya, dok eh kak." sahutnya
"Aku cuma berpesan jaga baik-baik ibumu, dan ingat jangan memberikan kabar yang membuatnya kaget apalagi syok, karena itu akan membahayakan nyawanya, apa kau mengerti."
"Mengerti dok,"
"Oh ya, kau pasti bingung bagaimana aku bisa tau, aku adalah salah dokter yang akan serta ikut dalam operasi jantung ibumu, berdoalah semoga ibumu segera sembuh."
"Terima kasih dok,"
Dokter Melia melangkah pergi, dan Mutia berdiri diam di tempatnya, bingung mau melakukan apa.
Semua hal yang baru dia alami membuat nya syok, dalam sekejap statusnya berubah.
Gadis itu masih ingat betul kemarin dia masih seorang gadis yang datang untuk menemui ibunya yang sedang sakit.
Mutia teringat obrolannya dengan dokter jantung kemaren malam.
"Kenapa dengan Mama saya dok?"
"Terjadi kebocoran jantung dan jalan satu-satunya untuk menyembuhkan ibumu adalah dengan operasi pemasangan ring atau cincin,"
"Apakah dengan Operasi ibu saya bisa sembuh?"
"Saya tidak berani menjamin, kita hanya berusaha dan saya katakan dengan jelas, kemungkinannya sangat kecil jadi kalian harus mempersiapkan diri dengan semua kemungkinannya yang terburuk.
"Apakah ibu saya mengetahui nya?"
"Saya rasa Iya, pasien sudah lama tau soal penyakitnya ini "
"Saya harap mbak bisa menerimanya, tetap ingat sekecil apapun kemungkinan itu jika Allah sudah berkehendak pasti bisa, yakinlah."
"Iya dok," sahut Mutia menyeka air matanya.
"Kapan ibu saya harus di operasi?"
"Sesegera mungkin,"
"Bagaimana dengan biayanya?"
"Sudah ada yang membayarnya, kamu tinggal mempersiapkan diri saja."
",Sudah di bayar? siapa yang membayarnya?"
"Silahkan tanya pada bagian administrasi,"
"Baik dok. Terima kasih."
"Satu lagi setelah ibumu sembuh nanti, dia tidak boleh mendengar berita yang mengejutkan. Mau itu berita yang membahagiakan ataupun berita yang menyedihkan. Sekali saja ibu mendapatkan berita yang membuat dia syok maka nyawanya tidak akan tertolong, paham"
"Iya dok,"
**
"Hei kita perlu bicara," ucap Emir membuyarkan lamunan Luna
"Katakan, aku tidak punya waktu,''
"Tidak disini, aku tunggu di alamat ini," Emir memberikan sebuah kartu nama, Mutia melihatnya alamat sebuah kafe
"Aku tidak bisa meninggalkan ibuku?" ucapnya lagi
"Aku tunggu jam lima, jangan membuatku menunggu," sahut Emir tak menanggapi ucapan istrinya, dia pun melenggang pergi.
"Menyebalkan," ketus Mutia menghentakkan kakinya dan berbalik masuk ke ruang perawatan ibunya.
Ada yang tau nggak, Emir mau bilang apa? jangan lupa komen ya ..
"Aku tunggu jam lima, jangan membuatku menunggu," sahut Emir tak menanggapi ucapan istrinya, dia pun melenggang pergi.
"Menyebalkan," ketus Mutia menghentakkan kakinya dan berbalik masuk ke ruang perawatan ibunya.
Seperti inikah pria yang kini berstatus suaminya, bagaimana bisa ibunya memilih pria jenis itu untuk menjadi suaminya, jangankan hidup bersama dengannya, baru bertemu saja sudah membuatnya sakit kepala,
Mutiara masuk kedalam ruangan? masih dengan pakaian yang sama, dia menggenggam tangan lembut ibunya, "Ma.. Mama harus sembuh, Aku sudah mengabulkan keinginan Mama, itu artinya Mama harus menepati janji Mama padaku." bisiknya lirih
"Sayang," Susan memegang bahu Mutia, gadis itu bergeming, masih menatap wajah damai sang bunda.
"Percayalah mbak liora pasti akan sehat," hiburnya
Mutia berbalik dan memeluk tantenya itu, "Beneran kan Tan? Tante nggak bohongin aku kan?"? tanyanya penuh harap disertai isakan.
"Enggak sayang, kita doakan saja yang terbaik untuk ibumu." tegas Susan mengusap lembut kepala Mutia.
Padahal di dalam hatinya, Susan juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan Tia.
"Tante nggak lagi bohongin aku kan?"
"Enggak sayang, percaya sama Tante," jawabnya. Susan masih setia mengusap-ngusap rambut Tia, mencoba memberikan semangat untuk gadis itu.
Mutia pergi mengurus administrasi dan menyiapkan segala berkas yang dibutuhkan untuk operasi ibunya, dan alangkah terkejutnya gadis itu melihat jumlah uang yang tertera jelas disana. Jumlahnya cukup fantastis, senilai dua kali harga butik kecilnya.
''Siapa orang yang telah membantu keluarganya ku? Apa ini kesepakatan pernikahan yang dilakukan oleh mama?" tanyanya dalam hati.
*
*
Saat ini Mutia dalam perjalanan menuju tempat dimana dia bertemu janji dengan suaminya Emir.
Suami? Kata yang cukup aneh di telinga sang gadis manis yang belum pernah berpacaran itu.
Gadis itu hanya menggunakan jeans panjang dan kaos oblong. Berjalan santai di parkiran kafe, lalu masuk kedalam.
"Sore mbak, Sudah booking tempat sebelumnya?" tanya resepsionis dengan ramah.
"Tidak, saya ada janjinya temu dengan seseorang."
"Maaf boleh saya tau dengan siapa dan nama mbak siapa?"
"Mutiara," sahutnya cepat.
"Mbak Mutiara, oh mbak sudah di tunggu di ruang tiga VVIP, sebentar ya mbak." ucap resepsionis masih dengan senyum lebar
Seseorang datang dan mengantarkan mutiara kelantai bawah, mereka harus menggunakan lift kesana, entah berapa lantai Mutiara sendiri tidak tau, yang pasti pelayan membuka pintu dan dia masuk kedalam. Di sana sudah berdiri seorang pria membelakanginya.
Pelayan pergi tentu saja setelah Mutiara mengucapakan terimakasih.
"kau sudah membuang waktuku lima menit," ucap pria itu
Mutia melihat jam di tangannya, memang benar dia telat lima menit, tapi itu kan terjadi karena dia bertanya dengan resepsionis tadi.
"Katakan ada apa?" tanya Mutia
Harusnya aku yang tanya seperti itu padamu, "Apa yang nenekku berikan hingga kau mau menerima perjodohan ini,"
"Maksud mu" tanya Mutia mengerutkan keningnya.
"Cih, jangan sok polos dan bersifat bodoh dihadapan ku, aku tau kalian sudah merencanakan ini semua kan?" ucapnya dengan nada ketus
"Siapa maksudmu? aku tidak paham dan aku belum pernah bertemu dengan nenek sebelumnya, apa kamu pikir aku setuju? No!!! aku melakukan ini hanya karena Mama."
"Dan nenek membayar mu bukan?"
Mutiara menatap bingung, dia tidak paham, dengan apa yang dikatakan oleh pria didepan nya itu, bayaran? bayaran apa?"
"Aku tidak tau, jangan asal tuduh,"
"Sudahlah lupakan, ingat ini hanya pernikahan diatas kertas,"
"Aku tau, dan aku tidak akan jatuh cinta padamu,"
"Baguslah, jika kau sadar diri, karena aku tidak juga akan pernah jatuh cinta padamu, satu lagi aku tegaskan aku sudah miliki seorang kekasih."
"Lalu kenapa kau tidak menolak saja." bentak Mutia
"Karena nenek mengancam ku,"
"Apa, kau meminta ku kesini hanya untuk mendengarkan cerita mu ini, menyedihkan." ejek Mutia
"Tidak, aku hanya ingin kau tau, bahwa aku tidak menginginkan pernikahan ini dan aku-"
"Ok, aku tau, aku tidak boleh jatuh cinta padamu, dan berharap lebih bukan begitu?" potong Mutia yang muak mendengar ocehan pria itu.
"Baguslah kalau kau tau posisimu."
"Cih, kukira ada masalah penting apa! dengar ya tuan sok keren, sok ganteng. AKu tegaskan, aku tidak menyukai mu dan aku tidak akan pernah tertarik apalagi jatuh cinta padamu, karena kau bukan tipeku."
"Sial, apa dia bilang aku bukan tipenya, aku yang tampan ini bukan tipenya, sombong sekali gadis ini, selama ini semua gadis bertekuk lutut padaku dan dia..'
"Apa cuma itu yang ingin mau bicarakan?" tanya Mutia lagi dengan gata pongah
"Aku sudah punya pacar!"
"Aku tidak peduli," sahut Mutia dengan lantang.
"Aku akan menceraikan mu setelah semua harta warisan itu menjadi milikku, "
"Aku tidak perduli," sahut Mutia
"Sudah? hanya itu?" tanya gadis itu lagi, yang coba bersikap kuat.
"Kau harus ikut denganku dan tinggal bersama ku, Karena aku tidak mau tinggal di rumah mu, dan rahasia kita terbongkar."
"Terserah? sudah?"
"Baguslah, kalau kau sudah paham, " sahut Emir
"Tapi aku punya syarat,"
"Katakan!"
"Jangan menyentuhku?"
"Tentu saja, body rata begitu aku juga tidak berselera." ejek Emir
"Baguslah, aku jadi merasa aman." sahut Mutia
"Satu lagi,"
Emir menoleh, Mutia melanjutkan ucapannya, "Bersikap baiklah di depan Mama, aku mau Mama sembuh "
"Ok, Deal." sahut Emir tersenyum lebar.
Mereka tidak menyadarinya jika ada seseorang yang tengah menguping pembicaraan mereka, orang itu sudah membuntuti Mutia sejak dari rumah sakit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!