NovelToon NovelToon

Catatan Air Mata Berdarah

1. Dia kembali.

Samar suara lelaki di balik tirai, mengutarakan maksud kedatangannya kali ini, terdengar di telinga gadis manis bernama Kinanti Aristya. Sekadar silaturahmi, namun berhasil membuat hidup Kinanti kembali jungkir balik.

Tak hanya hidup Kinan jungkir balik, sebab nyatanya, hati Kinan kembali tergores meski hanya sekadar mendengar suara lelaki itu.

Sudah lima tahun berlalu, harusnya hati gadis dua puluh enam tahun itu sudah sembuh dari luka penolakan dari Marvin Bhaskara bertahun lalu. Nyatanya, keadaan hatinya masih tetap sama, berdarah ketika Marvin dengan tegas menolak cinta Kinan kala usianya dua puluh satu tahun.

Kenangan itu, masih membekas hingga saat ini. Rasanya luar biasa sakit, namun berusaha untuk Kinan sembuhkan sendiri, meski nyatanya Kinan tak mampu.

Dan yang lebih mengerikan, Marvin justru menikahi Atika Priyanka, sebelas hari setelah penolakan Marvin pada Kinan. Kinan meradang, sebab Marvin tak jujur dari awal, jika Marvin akan menikah. Lihat, bahkan Kinan seolah sebagai gadis tak punya harga diri disini.

Andai saja waktu bisa diputar, Kinan tak akan nekat nembak lelaki berdarah biru di ruang tamu rumahnya itu. Kisah tentang Marvin dulu, Kinan merasa sudah menutupnya, dan enggan membukanya kembali.

Lima tahun lalu, sikap Marvin seolah memberi harapan pada Kinan, namun setelahnya ... apa yang terjadi? Marvin menghempaskan Kinan dan perasaannya begitu saja. Sampai sekarang, Kinan masih tak puas hati, dengan jawaban Marvin untuk sebuah tanya terakhir dari gadis itu.

Mengapa Marvin tega memberinya harapan, jika akhirnya Marvin menolak dan menghempas perasaan gadis itu?

Kenapa selama ini Kak Marvin selalu memberikan harapan pada Kinan? Bahkan kak Marvin selalu baik pada Kinan, seolah kak Marvin sayang sama Kinan?

Kebaikanku padamu, hanya sebagai kakak terhadap adiknya, Kinan. Tolong mengerti. Sebatas itu saja, tidak lebih.

Cuih.

Bukan itu jawaban lelaki sejati. Mereka tak ada hubungan darah, juga kedekatan mereka hanyalah sebatas tetangga. Adik dari mana? Kinan benar-benar tak mengerti. Jika tak ada hubungan darah, mereka bukan sepasang kakak beradik, bukan?

"Sudah lama nak Marvin nggak ketemu kami. Oh ya, apa kabar Papa dan Mama nak Marvin?" tanya ayah Kinan, Bayu Priadi.

Di sisi kiri Bayu, Cici Lestari, ibu kinan seperti biasa memasang wajah ramah, terlebih pada Marvin yang sejak kecil sering bertandang ke rumahnya, jika orang tua Marvin sedang tugas di luar kota.

"Papa dan Mama baik, Pak Bayu. Mereka juga titip salam. Mumpung saya di pindah tugas di kota ini sama Papa, jadi ya mereka titip salam. Mama dan Papa bilang, mereka akan main kemari kapan-kapan," jawab Marvin tersenyum.

Baik Bayu maupun Cici saling pandang, terlihat sedang ada yang disembunyikan.

"Istrinya mana? Kok nggak diajak?" tanya Cici kemudian, merasa penasaran akan kedatangan Marvin yang hanya seorang diri.

"Atika tidak bisa berhenti dari pekerjaannya secara mendadak, Bu. Jadi ya, terpaksa kami jauh-jauhan dulu. Papa dan Mama juga sudah menjaga Tika disana. Jadi, saya lebih tenang," jawab Marvin.

Seperti tombak yang menembus jantung Kinanti yang berdiri di balik tirai pemisah, antara ruang tamu dan ruang tengah. Sesederhana itu rumah keluarga Bayu. Tak mewah, namun memiliki kehangatan yang bahkan sanggup membuat Marvin terkadang iri.

"Oh gitu. Ya, yang penting kalian tetap saling percaya dan setia," timpal Bayu.

"Oh ya, gimana kabar dek Dimas dan Kinanti?" tanya Marvin tiba-tiba. Sejak tadi, Marvin tidak melihat Kinan dan adiknya sama sekali.

Bayu dan Cici saling pandang, merasa tak nyaman ketika Marvin menyebut nama Kinanti. Bahkan sejak penolakan Marvin lima tahun lalu, Kinan tidak pernah dekat dengan lelaki, seolah menutup pintu hatinya untuk lelaki mana pun.

Meski berkali-kali lipat Bayu mengingatkan, dan berusaha untuk membesarkan hati putrinya, namun tetap saja Kinan tidak bisa move on dari masa lalunya, termasuk Marvin.

"Dimas ada kegiatan basket di kampusnya," Cici menjeda kalimatnya, sebelum ia kembali melanjutkan, "Kinanti ada di dalam. Sepertinya sebentar lagi dia mau berangkat kerja."

Dan Kinanti tidak tahu lagi, bagaimana caranya agar ia tak melewati ruang tamu, sebab tak ingin bertemu dengan Marvin. Bertemu dengan Marvin, sama artinya dengan bunuh diri. Kinan tidak ingin semua berakhir kacau. Lima tahun sudah cukup bagi Kinan, untuk menegaskan putusnya hubungan pertemanan dirinya dengan Marvin.

Andau dulu Marvin tak memberi harapan.

Maka, sebuah ide muncul, Kinanti segera menuju ke pintu belakang, dan menuju ke halaman depan melewati lorong samping rumah untuk mengambil motornya. Mungkin pergi tanpa suara layaknya maling, adalah sesuatu yang tepat.

Sialnya, Ayah memergoki Kinanti yang tengah mendorong sepeda menuju pintu pagar depan. Sungguh naas nasib Kinanti kali ini.

"Kinan, mau kerja kok nggak pamit? Sini sebentar, ada nak Marvin tanyain kamu," suara Bayu, sumpah demi tuhan, Kinan ingin rasanya marah saat itu juga pada Ayah. Harusnya Bayu tahu, dan menjaga perasaan Kinan, bukan justru memanggil Kinan dan menghadapkannya pada lelaki itu. Sejak awal Ayah pun sudah tahu tentang permasalahan Kinan dan Marvin.

Maka, dengan keterpaksaan Kinan berhenti dan masuk dengan wajah setengah marah.

Bukan sengaja bagi seorang Ayah ingin memojokkan hati putrinya. Hanya saja, Bayu ingin dengan begini, Kinan bisa bersikap biasa saja dan tak menunjukkan tentang lukanya dari masa lalu, hingga sekarang ini yang masih membekas.

"Salam dulu sama nak Marvin, Kinan. Jauh-jauh datang untuk silaturahmi, mari disambut dengan baik," ucap Cici.

Ini lagi. Kenapa ibu ikutan Ayah belain ini orang sih? Sebel!!!

Seru Kinanti dalam hati.

Marvin tersenyum manis, seraya mengulurkan tangannya, dan Kinan segera menjabatnya. Hanya sekilas, nyatanya getaran itu masih sama seperti hari ini.

"Kinan, apa kabar?" tanya Marvin seraya mengulas senyum.

"Baik. Maaf, saya harus berangkat kerja," jawab Kinan seraya menatap kedua orang tuanya penuh permohonan.

"Ya sudah, hati-hati di jalan, Kinan. Bapak pesan, nanti sore segera pulang, jangan mampir kemana-mana. Dimas biar tidak sendirian di rumah, Ibu dan Ayah ada acara nanti sore sampai malam," pinta Cici menasihati.

"Iya, Bu. Kinan pamit," jawab Kinan, tanpa sudi menatap sedikitpun ke arah Marvin. Marvin sendiri merasa bersalah pada gadis itu hingga kini.

"Maaf, Kinan memang begitu selama beberapa tahun terakhir. Dia selalu dingin pada orang-orang sekitar yang tak benar-benar mengenalnya. Ayo nak Marvin, silahkan diminum tehnya," ujar Bayu dengan senyum hangat.

"Terima kasih, Pak. Saya mengerti," jawab Marvin. Lelaki itu dilanda gelisah dan perasaan tak nyaman. Ada sebuah rasa penasaran, tentang kehidupan Kinan selepas ia berpisah dengan gadis itu.

Marvin masih ingat betul, bahwa dulu Kinan adalah gadis polos yang selalu baik, terbuka pada semua orang dan selalu ceria.

Apa mungkin perubahan Kinan karena aku?

Bisik hati Marvin.

**

2. Tak mau bicara.

Dulu, Kinanti adalah gadis ceria dengan keramahan level tinggi terhadap orang-orang sekitar di lingkungannya. Namun, semenjak Marvin menolaknya dan justru menikah dengan orang lain, Kinan berubah menjadi pribadi yang pendiam, dan suka menyendiri.

Mungkin jika seseorang yang tidak mendengar kisah Kinanti dan Marvin di masa lalu, mereka akan menilai jika Kinan adalah gadis murahan, yang mengungkap cinta lebih dulu pada lelaki. Kinan tidak lagi peduli, apapun penilaian orang terhadap dirinya. Yang Kinan tahu, dulu sikap Marvin padanya seolah memberi banyak harap untuk mereka bersama.

Sepanjang perjalanan menuju tempat kerjanya, Kinan tak henti-hentinya menggerutu. Tatapan matanya berkaca-kaca, disertai dengan umpatan-umpatan kasar yang lolos dari bibir tipisnya, yang dipoles dengan warna nude.

"Sudah tau Bapak dan ibu itu, kalau aku nggak mau ketemu sama laki-laki itu lagi, kenapa harus dipanggil sih? Suka bener kalau anaknya patah hati bolak-balik nggak berhenti-henti," gumam Kinanti. Gadis itu sungguh kecewa, terhadap orang tuanya yang suka memanggil dirinya seenaknya, tanpa memikirkan perasaan Kinan saat ada Marvin.

Kinanti Aristya, gadis dua puluh enam tahun itu melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang, menuju sebuah supermarket besar tempat dimana ia bekerja. Menjadi Sales Promotion Girl -SPG- sebuah produk kecantikan yang cukup ternama di supermarket, sudah dilakoni Kinan sejak nyaris lima tahun terakhir, tepatnya pasca patah hati akibat penolakan Marvin atas cintanya.

Setelan celana dan atasan Navy, disertai make up natural dan rambut yang disanggul dibelakang kepala, menjadi busana keseharian Kinan di tempat kerja. Tas tangan berwarna merah marun, tak lupa ia letakkan di bagian depan motor, yang berisi beberapa kebutuhan Kinan selama di tempat kerja.

"Sumpah, aku nggak mau kenal sama kamu lagi, Marvin. Dasar laki-laki pengecut!" umpat Kinan untuk yang ke sekian kalinya.

Hingga tak lama kemudian, Kinan tiba di supermarket dan segera memarkir motornya di tempat parkir khusus karyawan. Sembari turun dari motor, Kinan mencoba untuk menghapus air matanya yang sedikit tumpah, dengan menggunakan tissue.

"Kinan, kenapa?" sapa Tiara, teman kerja Kinan sesama SPG, yang bekerja pada sebuah produk kecantikan dengan seragam toska. Selama tinggal di kota ini, satu-satunya orang yang dekat dengan Kinan sebagai teman, hanyalah Tiara. Lainnya, hanya teman biasa sebatas teman kerja saja, tidak lebih.

"Nggak apa-apa, Ti. Lagi menggalau sedikit. Nantilah kalau ada waktu dan di dalam agak sepi, aku ceritain. Tapi nggak sekarang, mau isi absen dulu," jawab Kinan seraya berusaha menampilkan senyum.

"Aneh deh, biasanya kamu langsung nyerocos asal cerita aja," ujar Tiara kemudian.

Kinan lebih memilih diam tak menyahuti. Hanya senyum saja yang Kinan berikan untuk Tiara. Selebihnya, ya sudah lah, Kinan hanya tak mau menjelaskan panjang lebar. Suasana hatinya tak begitu baik saat ini.

Sungguh sial, pertemuan dengan Marvin berhasil membuat pagi Kinan, berantakan hari ini.

**

Dalam perjalanan pulang, rasanya hati Marvin demikian gelisah. Lelaki itu memiliki paras tampan, alis tegas, hidung mancung, rahang kokoh, tatapan mata tajam serta bibir yang sensual. Sayang, tampan wajahnya itu rupanya tak menjamin Marvin terlihat jantan di mata Kinanti. Tubuh tegapnya, tak mampu menjadi sandaran bagi Kinan yang rapuh sebab harapan palsu darinya.

"Bodoh!" umpat Marvin terhadap dirinya sendiri. Lelaki itu lantas menepikan mobilnya, merasa ingin menyegarkan pikiran, sekaligus berbelanja kebutuhan mandi di supermarket.

Tak berpikir dua kali, Marvin segera membelokkan mobilnya menuju supermarket itu. Dan ketika lelaki itu turun dari mobil, netranya tak sengaja menangkap sosok gadis yang pagi tadi begitu dingin padanya.

Hati Marvin berdesir, merasakan sebuah gelenyar dahsyat dalam dadanya.

"Kinan?" gumam Marvin.

Entah sebuah kebetulan, atau memang Tuhan memiliki rencana lain atas pertemuannya dengan Kinan, sebanyak dua kali dalam satu hari. Agaknya, Marvin berpikir dirinya harus meminta maaf pada gadis yang sudah banyak ia lukai itu, tanpa menunda lebih lama lagi.

Langkah lelaki itu tegap menuju ke arah dimana Kinanti berada. Tak hanya itu, Kinan yang menyadari bahwa ada sosok Marvin menghampirinya, segera berbalik dan menghindar, seraya membawa lembaran-lembaran dokumen pekerjaannya, dan beberapa produk yang ia pasarkan.

"Kinan?" panggil Marvin, yang tak dihiraukan sama sekali oleh Kinanti. Gadis itu tetap berbalik pergi, membelakangi Marvin dengan langkah cepat terayun.

Degup jantung Kinan lebih cepat dari biasanya. Hanya sekadar menatap saja, rasanya Kinan sudah tidak tahan sama sekali. Dadanya terasa menghentak liar tak terkendali. Bahkan getarannya, masih saja serupa dengan lima tahun silam.

"Kinan, tunggu," panggil Marvin, ketika keduanya telah tiba di lorong kosmetik paling ujung. Bahkan Marvin tak peduli, ada beberapa pasang mata pengunjung yang memperhatikan keduanya.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya Kinan tersenyum ramah.

Sekuat apapun aku menghindar, tetap saja aku akan dikejar. Ayo main sandiwara sebentar, biar kamu tahu, nggak cuman kamu yang bisa main drama.

Batin Kinanti.

"Saya .... " Marvin tak segera menjawab pertanyaan Kinan, ketika melirik samping kanan dan kiri. Agaknya Lelaki itu sadar, ia menjadi pusat perhatian pengunjung lain.

"Anda mau mencari sesuatu, pak? Mari saya antar jika tidak tahu tempatnya," tawar Kinanti sopan.

"Saya ingin membeli kebutuhan mandi khusus pria," jawab Marvin, berusaha meredam gejolak hatinya yang terasa kian tak terkendali.

"Mari, saya antar. Kebutuhan mandi ada di lorong nomor empat," jawab Kinan, seraya melangkah menuju lorong nomor empat.

"Kinan, saya mau bicara. Ayo bicara sebentar," ajak Marvin dengan lirihnya, di sela-sela langkahnya mengekori Kinanti.

Sontak saja hal itu cukup membuat Kinan menghentikan langkah, dan berbalik menatap Marvin dengan berani. Kilat matanya dingin, mengisyaratkan bahwa ia tak suka dengan apa yang Marvin ucapkan.

"Bicara apa ya, Pak? Maaf, saya sedang bekerja. Saya tidak bisa meladeni pembicara yang nggak bersangkutan dengan pekerjaan," tegas Kinan, seraya menatap tajam Marvin.

Sejenak Marvin terhenyak. Lelaki itu tak menyangka, Kinan akan seberani ini padanya. Bahkan dulu, Kinan yang dulu adalah gadis yang lembah lembut, memiliki ciri khas bicara dengan nada pelan dan mendayu. Tetapi sekarang? Sosok gadis di depan Marvin ini seolah bukan Kinanti, Kinan si pemilik tatapan polos dan sangat lugu.

"Baik, antar saya ke lorong nomor empat. Tetapi nanti selepas pulang kerja, saya tunggu kamu di depan. Kamu pulang sore, bukan?" tanya Marvin lirih.

"Tapi, saya tidak ingin menemui siapapun selepas pulang kerja," tolak kinanti kemudian.

"Beri saya kesempatan untuk bicara, Kinan. Please, nggak lama," pinta Marvin lirih. Tatapan matanya tampak mengiba dan penuh permohonan.

"Aku nggak mau!" tegas Kinan menolak.

"Tapi saya memaksa," Marvin mengunci tatapan Kinan. Sayang, Kinan balas menatapnya dengan penuh keberanian.

"Kamu nggak memiliki hak untuk maksa aku. Mending, pulang dan urus istri kamu," jawab Kinan pelan, namun dengan penuh penekanan.

"Kamu marah karena saya menolak kamu?" tanya Marvin.

"Aku marah karena kamu ngasih harapan, menghempaskan, terus tiba-tiba nikah tanpa kabar dan tanpa ngasih tahu aku kalau kamu udah punya calon istri. Itu artinya, kamu mempermainkan aku!" seru Kinan sebelum berbalik pergi, meninggalkan Marvin yang terpaku di tempatnya.

**

3. Curhatan sahabat.

Toilet khusus karyawan, adalah satu-satunya tempat pelarian Kinan saat ini. Ia ingin menumpahkan tangisnya sebentar saja, untuk melegakan dadanya yang terasa sesak.

Bayangan Marvin yang bersanding diatas pelaminan, tak pernah Kinan lupakan rona bahagianya. Apalah dirinya, bila dibandingkan dengan Atika, istri Marvin yang jauh lebih dewasa, memiliki karier bagus dan tentunya berasal dari kalangan keluarga berada dan terhormat. Mendapati kenyataan itu, gadis yang begitu menggilai Marvin itu menjadi minder.

Tangis gadis itu kembali tumpah di dalam bilik toilet, ketika mengingat Marvin yang tadi memaksanya. Sesungguhnya, Kinan tak mungkin membuka kesempatan untuk sekadar bicara dengan Marvin. Bila sedikit saja Kinan memberi celah Marvin untuk mendekatinya, bicara dengannya, bisa dipastikan perasaan Kinan akan tumbuh semakin subur untuk Marvin.

"Enggak. Susah payah aku membunuh mati cinta ini, kamu mau datang mengacaukan semuanya? Aku nggak mau, aku nggak mau, titik!" seru Kinan di dalam bilik toilet, bermonolog seorang diri. Sengaja Kinan menghidupkan keran air, agar tak ada yang mendengar tangisnya.

Bila menyangkut tentang Marvin, Kinan mendadak lemah.

Hingga tangis Kinan reda, gadis itu lantas bangkit dan keluar dari bilik toilet. Perasannya sedikit membaik setelah ia menumpahkan sakit hatinya melalui tangis.

"Nan, kamu nggak apa-apa?" tanya Tiara, yang memergoki Kinan keluar dari pintu utama toilet, "kenapa kamu nangis di toilet? Tumben banget?" tanya Tiara, memicingkan mata penuh curiga.

"Aku nggak apa-apa, Ti," jawab Kinan berbohong.

"Pembohong kamu. Mana mungkin kamu nggak apa-apa, tapi nangis?" tanya Tiara yang mencecar Kinan seketika.

"Aku ceritain nanti," jawab Kinan seraya melangkah keluar, beriringan dengan Tiara.

"Sekarang udah jam istirahat. Ayo kita ke kantin sebentar. Kita ngobrol dan cari tempat duduk paling pojok biar nggak di dengar orang," ajak Tiara tanpa bisa di bantah.

Kinanti yang dasarnya sudah lelah dan butuh teman untuk berbagi, pada akhirnya memilih pasrah, dan ikut saja kemana Tiara membawanya.

"Kamu mau pesen apa? Bawa bekal makanan nggak?" tanya Tiara, setelah mereka tiba di kantin.

"Bawa bekal, tapi nggak minat makan. Kalau kamu mau, ambil aja di lokerku. Sekarang aku mau pesen minum aja, teh manis hangat kayaknya enak," jawab Kinan dengan suara sengau, khas selesai menangis.

"Ya udah, tunggu bentar, aku pesen buat kamu dulu," ujar Tiara, meninggalkan Kinan di meja paling pojok ruang kantin.

Kinan terdiam, sesekali membalas sapaan dari para karyawan lain yang bekerja di sana. Seragam navy dan ungu yang melekat di badannya, pas sekali membalut tubuh jenjang nan bohay milik Kinan. Beberapa rekan kerja laki-laki Kinan, tak sedikit yang mengajukan diri untuk menjadi kekasih Kinanti. Sayang, tak satupun dari mereka yang di terima oleh Kinanti.

"Nan, ambil ini. Hari ini aku yang traktir kamu. Sebagai gantinya, kamu harus cerita, apa yang bikin kamu nangis sampe segitunya. Lihat deh, wajah kamu bengkak kayak habis di gebukin tau, nggak?" ungkap Tiara, seraya meletakkan kaca tangan, tepat di depan wajah Kinan.

"Biarin lah. Andai aja bakal tau kayak gini, aku nggak bakal berangkat kerja tadi," ungkap Kinan, yang mengiyakan pendapat Tiara.

Gadis yang sudah cukup lama menjomblo itu, menyesap teh hangat yang Tiara bawakan untuknya.

"Jadi, ada masalah kerjaan?" tebak Tiara.

"Bukan," jawab Kinan seraya mengibaskan kedua telapak tangannya di depan Tiara, "ini masalah masa lalu."

"Lah, masa lalu gimana ya? Kok bisa sih?" tanya Tiara penasaran.

Kinan terdiam sejenak, sebelum kemudian akhirnya ia menghembuskan napas panjang seraya berkata, "Lima tahun lalu, aku jatuh cinta pada tetanggaku di rumah lama. Namanya Marvin Bhaskara. Bodohnya, aku nembak dia duluan dan di tolak. Andai aja dia nggak ngasih harapan setinggi langit ke aku, aku mana mungkin mau aja nembak cowok tanpa pikir dua kali?" ungkap Kinan kemudian.

Tiara yang merasa tak percaya, hanya melongo tanpa berkedip. Gadis itu syok dengan cerita yang meluncur dari bibir mungil Kinanti.

"Apa? Jadi, kamu nembak duluan?" tanya Tiara yang bertanya dengan suara lirih. Bisa menjadi bahan gosip si Kinan, jika Tiara berbicara keras dan di dengar seluruh penghuni kantin yang tengah makan siang.

"Ya. Dia memperlakukan aku seperti kekasih, Ti. Bayangin aja, Beberapa hari kemudian, dia nikah sama perempuan dewasa, berkarir bagus dan dari golongan keluarga berdarah biru. Coba deh dari awal dia nggak ngasih harapan, aku nggak bakalan sesakit ini. Mana udah gitu, dia nggak pernah mau ngomong lagi semenjak menikah, ya ninggalin aku gitu aja tanpa penjelasan, sampai akhirnya, Ayah bawa aku ke kota ini agar bisa melupakan Marvin," jelas Kinanti dengan mata yang kembali memerah.

"Sssttt jangan nangis lagi. Udah, redakan dulu emosi kamu, baru lanjutin. Kalau kamu nggak kuat, aku nggak bakalan maksa kamu buat cerita," sahut Tiara, yang tak tega dengan Kinan yang sudah mewek-mewek tak karuan.

"Tadi pagi, dia kembali, berkunjung ke rumah tanpa jelas apa tujuannya. Bapak lagi, pakai panggil-panggil segala, sampe buat aku terpaksa harus ketemu Marvin lagi. Dan kamu tau setelahnya? Entah dia menguntit atau apa, dia kembali nemuin aku pas aku keluar menuju area kosmetik. Dia mau nungguin aku sampe pulang kerja, dan ngajak ngobrol berdua. Maksudnya apa coba?" keluh Kinan.

Biasanya, Kinan akan selalu tersenyum ramah, santun dan banyak bercanda ria. Tetapi hari ini, Kinan selalu murung sejak ia datang ke tempat kerja. Tiara sampai heran, sebab hari ini, Kinan tampak sedih sekali.

"Terus, gimana? Kamu bersedia mengiyakan ajakan dia?" tanya Tiara kemudian.

"Aku nolak dengan tegas. Kamu pikir, aku cewek murahan yang mau aja ngobrol berdua sama suami orang? Ya enggak lah," jawab Kinan, seraya bergidik jijik.

"Bagus," Tiara mengacungi jempol pada kinanti, "Tolak dengan tegas. Dan ingat, kamu harus bisa move on dari lelaki kayak gitu. Banci tau nggak, sih? Oh, atau ... jangan-jangan, si cowok itu yang jadi alasan kamu ngejomblo sampe sekarang? apa beneran gitu?" tanya Tiara kemudian.

Kinan mengangguk, terpaksa jujur pada Tiara. Untuk membohongi Tiara, Kinan seolah tak memiliki tenaga lagi.

"Astaga, Kinan. Bisa-bisanya kamu ini kayak gini? emangnya, secakep apa sih dia, bagi kamu?" tanya Tiara keheranan.

"Kalau ada ketemu lagi sama dia di tempat kerja, nanti aku tunjukin," jawab Kinanti.

"Tampangnya?" tanya Tiara.

"Dia lumayan cakep. Cuman ya, usianya ada sembilan tahun di atasku," jawab Kinan pelan.

Lihat saja, bahkan usia Marvin saja, Kinan masih hapal hingga sekarang.

"Apa? Syok aku. Jadi kamu seleranya om-om?" tanya Tiara yang memelotkan matanya.

"Dia bukan om-om di mataku, Tiara. Tapi dia adalah cinta pertamaku, sampai buat aku jadi susah move on meski lima tahun udah berlalu. Entahlah, aku sendiri nggak tahu, kenapa aku jadi goblok gini dalam mencintai laki-laki," Kinan mendesah parah.

"Mungkin, kamu mencintai dia terlalu dalam, Nan. Cuman kamu ya harus ingat, jangan pernah sesekali mencoba merusak rumah tangga dia, hanya demi cinta kamu ini," Tiara memberi nasihat pada Kinan. Sejak dulu, Tiara memang selalu ada untuk Kinan. Sahabat sejati, pasti mengerti dan tak akan mudah menghakimi.

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!