“Dia harus kita bunuh, Ayah. Jika dia mempertahankan janin itu keluarga kita akan semakin malu ketika semua warga tahu Nina hamil.” Bara, adik dari Nina tampak membakar amarah sang ayah malam itu.
Semua keluarga tengah berkumpul di ruang tengah yang besar. Di sana pula isak tangis dari sang ibu terdengar pilu. Ia tidak akan bisa melihat anaknya di lenyapkan begitu saja. Nina di kamar pun juga menangis memeluk perutnya yang masih rata.
Pernikahan kilat yang bahkan ia sendiri tidak menginginkan itu semua justru menjadi salahnya juga.
“Apa aku salah melayani suamiku? Apa aku salah menyerahkan tubuhnya pada pria yang sudah keluargaku pilih? Bahkan aku ingin sekali menolak itu. Tapi apa dayaku sebagai seorang istri?” Nina menangis marah pada keadaan. Ia berdiri di depan cermin berbicara dengan wajahnya sendiri.
Nina sama sekali tidak ingin ini semua terjadi, tapi mengapa ketika keadaan berbalik dari perkiraan, justru ia sendiri yang di salahkan.
Di luar tengah merapatkan dirinya. Di sini Nina justru berpikir untuk mencari celah agar bisa kabur.
Hingga tak bisa lagi bertahan di kamar itu. Ia memilih untuk menghantam kaca jendela kamarnya yang sudah di paku dari luar. Nia meloncat keluar dan berlari malam itu. Tak perduli dengan kegelapan malam yang sangat pekat.
“Nina,”
Suara semua orang kaget mendengar pecahan kaca itu.
Dan mereka tahu dari mana asal suara pecahan tersebut. Saat itu juga semua anggota keluarga berlari menuju kamar dan membuka kunci dari luar.
“Kurang ajar!” umpat Faris sang ayah yang marah bukan main mendapati sang anak sudah tak ada di kamarnya.
Segera tanpa berkata apa pun lagi Bara, Faris, dan juga Reno berlari ke arah yang sama dengan tujuan Nina.
Mereka bertiga bahkan membawa masing-masing benda tajam yang panjang.
Melihat itu Riana terduduk di lantai kamarnya menangis. Ia memegang dadanya yang sesak berusaha menguatkan diri untuk bisa berdiri kembali.
“Nina…tidak Nina tidak boleh kalian lenyapkan.” ia teriak memohon namun tak ada artinya sebab ketiga pria itu sudah berlari seolah tengah memburu binatang di hutan lepas.
“Nina!” Teriakan menggema di hutan malam itu.
Nina terus berlari memegangi perutnya. Ia tak ingin terjadi sesuatu dengan janinnya.
“Tuhan, tolong aku.” ia menangis ketakutan. Tak perduli dengan darah yang menyebar di tubuhnya akibat goresan kaca jendela yang pecah.
“Itu dia!” Gaun kuning milik Nina terlihat jelas hingga ketiga pria itu berlari semakin kencang.
Nina di kejar hingga di lempar parang panjang oleh mereka.
“Aw!!!” Nina berteriak nyaring kala merasakan sayatan di lengannya.
Darah kembali menetes dengan banyak. Namun, Nina terus berlari tanpa mau menoleh ke belakang. Jarak mereka memang cukup jauh. Hingga akhirnya terdengar suara tembakan dan itu membuat ketiga pria tersebut terhenti dari aksi mengejar. Mereka menduga itu adalah polisi.
Nina terus saja berlari dan memasuki area perkemahan anggota yang tengah melakukan rapat tengah malam itu.
“Siapa itu?” Salah satunya berteriak kala mendengar langkah kaki yang sangat cepat.
Dan belum mereka sempat mencari, Nina sudah meloncat di depan mereka dengan kesadaran yang tiba-tiba saja hilang.
Gadis dengan tubuh berlumuran darah tidak sadarkan diri saat ini. Di sekelilingnya nampak wajah-wajah yang di coret dengan garis hitam-hitam. Seragam loreng tengah melekat di tubuh mereka. Nina tak lagi di kejar oleh keluarganya.
"Wanita ini harus kita penjarakan! Dia pasti mata-mata." salah satu pria yang ternyata dari sekelompok tentara nampak agresif melihat Nina yang tidak sadarkan diri. Semua belum ada yang berani memegang tubuhnya takut jika ternyata ini hanya sebuah pancingan untuk mereka.
"Apa yang kalian lihat? Dia butuh pertolongan." Seorang pemimpin dalam kelompok itu yang bernama Kevin segera mendekat. Tangannya mendarat pada kening Nina. Denyut nadi pun ia periksa dan ternyata Nina hanya pingsan. Segera Kevin membawanya masuk ke dalam helikopter yang jaraknya beberapa meter dari tempat mereka saat ini berkumpul.
Sesuai dengan kesepakatan jika mereka akan kembali ke kota malam ini juga usai rapat. Selama perjalanan tak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara saat Kevin memberi perintah untuk membantunya merawat Nina. Beberapa luka mereka bersihkan dengan cekatan dan memberinya obat.
"Nina dimana Ayah?" ketika tiba di rumah justru Riana menghampiri sang suami yang nampak sulit mengatur napasnya.
Ketiga pria yang berniat menghabisi nyawa Nina justru kembali tanpa membawa jejak wanita itu. Semua orang yang ada di rumah itu tak ada yang berani bersuara melihat kemarahan dari Faris.
"Dia sudah kami habisi di jurang desa sebelah." ujar Bara adik dari Nina.
Mendengar itu Riana menangis histeris. Terlebih ia melihat bercak darah di parang sang suami yang ia pikir itu adalah darah sang anak ketika di habisi nyawanya. Riana menggeleng tak percaya, air matanya bercucuran kian derasnya saat ini.
"Anakku...tidak. Kalian jahat!" Ia berteriak memukul dada sang suami.
"Hentikan, Riana!" Suara menggema dari Faris membuat Riana berlari ke kamarnya. Ia menangisi kepergian sang anak yang bahkan ia tidak tahu dimana keberadaannya saat ini.
Di ruang tengah Faris dan sang anak serta Reno sang kakak nampak bebincang-bincang.
"Apa yang kita katakan pada warga, Faris? Nina pasti akan di tanya mereka kemana perginya. Sedangkan di usia pernikahan mereka yang masih baru belum waktunya untuk meninggalkan desa ini." tanya Reno pada Faris.
Sebab memang benar adanya. Peraturan di desa mereka jika menikah dengan seorang yang memiliki derajat tinggi di desa itu tentu tidak semudah itu membawa gadis keluar begitu saja dalam waktu yang cepat. Devan, suami Nina harus melewati beberapa upacara untuk pelepasan Nina ke kota. Bahkan beberapa syarat harus bisa Devan lewati dengan ujian.
Namun, semua telah usai dengan pria itu kabur membawa banyak perhiasan yang Faris berikan di acara pernikahan mereka. Mengira Devan benar sosok pria yang kaya dari kota membuat mereka sangat yakin, bahkan Devan melakukan acara pernikahan dengan mewah di desa itu yah meski di hitung itu hanya acara sederhana bagi orang kota seperti Devan.
Sayangnya, keluarga Nina sangat haus akan kehormatan. Dengan mudahnya ia menjodohkan Nina pada pria kota yang ia tidak tahu asal usulnya.
"Aku pun tidak tahu harus menjawab apa, Kak. Akan ku pikirkan itu saat ini." Dengan tubuh lelahnya Faris melangkah memasuki kamarnya.
Wajah seram itu sungguh membuat Riana sangat muak. Ia benar-benar tak suka melihat wajah sang suami saat ini. Desa tempat mereka tinggal saat ini memanglah sangat jauh dari perkotaan. Dan itu membuat mereka sedikit tertinggal tentang perkembangan zaman yang semakin mengerikkan. Dimana pernikahan bukanlah suatu hal yang serius bagi sebagian orang.
Riana memilih keluar dari kamar meninggalkan sang suami dan tidur di kamar Nina. Ia begitu sedih kehilangan sang anak. Satu-satunya anak gadis yang sangat ia sayangi justru harus berakhir dengan sia-sia. Bahkan Nina begitu banyak di idamkan oleh pemuda di desa itu.
***
Satu persatuu pria dengan penampilan siap bertempur meloncat dari helikopter kala benda berkipas itu mendarat sempurna di helipad di salah satu markas mereka. Satu mobil ambulance menyambut mereka atas perintah Kevin sang pemimpin. Pria itu menggendong Nina hingga meletakkan wanita itu di ambulans.
Mereka menuju rumah sakit khusus tentara. Di perjalan Nina merasa tubuhnya bergerak seolah dalam perjalanan. Samar matanya terbuka begitu berat. Rasa pusing menyerangnya kala darah di tubuhnya begitu banyak terbuang.
"Siapa dia?" tanya Nina dalam hati yang tak kuasa untuk bersuara sebab terlalu lemas. Hanya pandangan mata yang kecil melihat wajah tampan dengan coretan di wajahnya. Sungguh Nina merasa berada di dunia mimpi. Sebab dalam ingatannya ia sudah meloncat setinggi mungkin namun sebuah benda panjang untuk kedua kalinya laju terlempar ke arah tubuhnya.
Yah, parang itu adalah milik sang adik yang ingin sekali mencabut nyawa sang kakak. Di saat itu pula Nina tidak sadarkan diri. Itulah sebabnya ia mengira jika dirinya tidak selamat dan saat ini sedang berada di surga.
Nina yang baru saja sadar dari pingsan segera membuka matanya perlahan meski rasa pusing jelas ia rasakan saat ini. Nina melihat sekeliling tak ada orang sama sekali yang menjaganya. Sejenak ia mengingat wajah pria yang tidak begitu jelas hanya pandangan mata tajam yang begitu ia ingat. Pelan namun pasti ia melepaskan selang infus di tangannya dan memilih untuk keluar dari ruangan itu. Nina ingin pergi entah kemana. Bahkan saat ini posisinya pun ia tidak tahu.
Samar-samar indera pendengarnya menangkap suara orang tengah berceramah. Dan betapa kaget ketika ia baru sadar jika dirinya saat ini tengah berada di wilayah pasukan loreng yang bertugas mengamankan negara. Nina membungkam mulutnya tak menyangka, di depannya begitu banyak orang yang sedang berbaris rapi tengah apel pagi. Dengan tubuh yang masih lemas, Nina berusaha berpikir untuk mencari jalan keluar. Sebab belum pernah berada di tempat itu ia pun kesulitan untuk mencari jalan keluar.
Melihat sikap tegas mereka semua entah mengapa Nina merasa ketakutan. Ia terlalu takut dengan pra yang bertubuh tegap dan suara lantang seperti sang ayah dan keluarganya. Ingatan tentang nyawanya yang hampir saja lenyap, Nina sangat was-was. Ia begitu takut jika sampai ada yang mengancam nyawanya lagi atau bahkan janinnya.
"Aku harus segera pergi dari sini." Ia melihat sekeliling, hanya ada jaket yang terletak di tempat tidurnya barusan. Nina pun menunduk melihat pakaian di tubuhnya yang berlumur darah dan juga robek. Yah, dengan jaket itu ia bisa menutupi semua luka yang di tubuhnya.
Mengendap-endap ia pun ketakutan jika sampai tertangkap. Beberapa kali ia berpapasan dengan beberapa petugas kebersihan. Namun, Nina bersikap seolah biasa saja. Ia pun kini sudah berada di gerbang depan yang memang tak jauh dari tempatnya berada. Nina melangkah secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Tak sulit memang keluar dari sana sebab ia di letakkan di tempat rumah sakit tentara. Bukan di bagian dalam yang berisi orang-orang penting yang akan di jaga dengan ketat.
"Dimana wanita itu?" seorang tentara yang baru saja masuk ke ruang rawat tampak mencari keberadaan wanita yang ia bawa tadi malam. Di tangannya ia menenteng sebuah makanan yang baru saja ia beli.
Mata tajamnya melirik ke beberapa sudut ruangan namun tak juga mendapati keberadaan wanita itu. Nina sudah pergi dari sana. Ia pun acuh dan berpikir jika semuanya sudah baik-baik saja. Ia menuju ruang kerjanya dan menikmati sarapan yang sudah ia beli barusan. Sama sekali tak ada perasaan cemas pada wanita yang ia pun tidak mengenalnya.
Berbeda halnya dengan Nina yang kini berada di pinggir jalan. Ia berusaha menenangkan diri dengan duduk istirahat sebab kepalanya terasa sangat pusing. Pagi itu jalanan begitu padat di mana para pekerja akan sangat banyak mengisi jalanan untuk menuju ke kantor. Nina mengerjapkan matanya beberapa kali namun rasa pusing itu semakin terasa.
"Bagaimana ini? Aku harus pergi kemana? Uang pun aku tidak punya." Nina berpikir sembari matanya menatap tubuh yang tak memiliki harta benda yang bisa ia jual itu. Nina bingung, hingga pandangan matanya tertuju pada seorang anak kecil yang menggunakan kantongan untuk mengemis. Hanya cara itu yang bisa Nina lakukan saat ini untuk mengisi perutnya.
Ia pun mencari tempat yang bisa ia pakai meminta. Nina mulai berjalan dengan satu kantong plastik kotor serta kain yang sudah ia basuh di selokan. Berharap niat baiknya bisa mendapatkan uang untuk makan. Nina berdiri di lampu merah ia mengelap setiap kaca mobil orang-orang yang berhenti. Satu persatu memberinya uang koin meski pun kecil Nina bersyukur masih memiliki harapan untuk mendapatkan uang.
Tak jarang pula ia mendapat cacian sebab orang itu tidak ingin di kotori mobilnya dengan lap yang Nina bawa. Sedih tentu saja rasanya sangat menyedihkan namun bagaimana lagi cara ia mendapatkan uang. Ini pertama kali Nina keluar dari rumah dan ke kota seorang diri. Jika biasa ia hanya berada di rumah saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!