''Mas, Bik Siti pamit pulang tadi malam karena anaknya tengah sakit, maaf ya, hari ini enggak ada masakan seperti biasa. Aku cuma bisa menyiapkan roti dan segelas susu untuk kamu,'' istri ku Namira berkata seraya memasang dasi milik ku. Aku tengah bersiap-siap hendak berangkat bekerja.
''Ya tidak apa-apa, Sayang. Seadaanya saja dulu,'' jawabku tanpa protes.
''Tapi Mas tenang saja, nanti siang akan ada seorang pembantu baru yang akan menggantikan posisi Bik Siti, tadi aku sudah menghubungi agensi tempat penyaluran pembantu,'' jelas istriku.
''Baiklah. Terserah kamu saja, Sayang,'' aku mengecup sekilas kening serta pipi tirus istri ku, lalu aku duduk di atas meja, menikmati roti tawar serta segelas susu hangat dengan cepat, aku harus segera berangkat ke kantor, takut nya terlambat.
''Hati-hati dong Mas,'' sapa istri ku, dan aku hanya tersenyum nyengir.
Lalu beberapa menit setelah itu aku pamit pergi ke kantor, aku berpesan agar istri ku menghubungi diriku kalau terjadi apa-apa kepadanya.
Iya, Namira tengah sakit, magh kronis yang di derita membuat dirinya tak dapat bergerak banyak, tak dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta tak dapat melayani aku. Aku tak banyak menuntut darinya karena aku tahu ia tengah sakit, tapi terkadang aku merasa galau juga, saat aku sedang kepengen berhubungan suami istri, tahu-tahu Namira tak dapat melayani aku, alhasil aku hanya bisa menahan bahkan terkadang aku bermain sendiri di kamar mandi menggunakan sabun.
Di usia pernikahan kami yang ke enam tahun, kami belum dikaruniai seorang buah hati, dan masalahnya ada pada Namira, karena dia sakit.
Karena suka menunda-nunda untuk sarapan dan sering makan makanan pedas membuat Namira harus menanggung penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
***
Setibanya aku di perusahaan, para karyawan menunduk hormat melihat kedatangan ku, aku balas dengan sebuah senyum simpul.
Aku adalah seorang CEO di perusahaan ternama yang ada di Jakarta. Kata orang-orang aku memiliki wajah yang teramat tampan, bahkan tidak sedikit wanita yang menggoda diri ku meski mereka sudah tahu kalau aku adalah pria beristri.
Mudah bagi ku kalau aku ingin menduakan Namira, tapi sayangnya saat ini tidak ada satupun wanita yang menarik perhatian ku.
Namira tetap yang paling cantik, itu dulu sebelum ia sakit. Tapi sekarang pun sisa sisa kecantikan nya itu masih terlihat jelas di paras nya. Yang paling menyedihkan sekarang adalah bentuk tubuh nya, kurus kering tinggal tulang.
Aku sudah membawa Namira berobat kemanapun, tapi sampai saat ini belum ada satupun obat yang mampu menyembuhkan nya, memulihkan tubuh nya.
Setelah berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk, tidak terasa waktunya pulang.
Sesampainya aku di rumah, aku langsung saja masuk. Kalau biasanya Namira selalu menyambut kedatangan aku di depan pintu utama dengan senyuman manisnya, berbeda dengan sekarang, semenjak dirinya sakit, ia tak melakukan itu lagi.
Aku berjalan melewati ruang tamu, ruang keluarga, lalu naik ke lantai atas menuju kamar utama, kamar aku dan istriku.
Setibanya aku di dalam kamar, aku melihat Namira berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menutupi setengah anggota tubuhnya.
''Sayang, sudah minum obat?'' tanyaku, aku duduk di pinggir tempat tidur, lalu membelai rambutnya yang terurai.
''Sudah Mas. Tadi di bantu sama Ayu,'' Namira bangkit, ia menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Lalu ia menyalami tanganku dengan takzim.
''Ayu?'' tanya ku.
''Iya, pembantu baru kita.''
''Oh, baguslah kalau pembantu baru kita sudah datang.''
''Iya, Mas. Dia cantik, masih muda pula,''
''Oh ya? Cantikkan mana dibandingkan kamu?''
''Ya cantikkan Ayu lah. Aku mah sudah tidak cantik lagi.''
''Siapa bilang kamu sudah tidak cantik Sayang? Kamu tetap yang paling cantik menurut Mas,'' ucapku, setiap harinya aku memang selalu berusaha untuk membuat istri ku bahagia, agar dirinya mempunyai semangat hidup dan kembali sehat.
Setelah mengobrol sebentar dengan Namira, aku lalu melepaskan pakaian kantoran yang masih membaluti anggota tubuhku, aku mengganti nya dengan kaos oblong serta celana pendek di bawah lutut.
Aku berjalan ke lantai bawah, aku ingin melihat seperti apa wajah pembantu baru kami, pembantu yang kata Namira cantik banget.
Bersambung.
Begitu aku sampai di lantai bawah, aku berjalan kebelakang, karena biasanya seorang pembantu selalu berada di belakang. Mengerjakan pekerjaan rumah yang tiada habisnya, karena itu memang sudah menjadi tugas mereka.
Dan benar saja, saat aku sudah berada di dapur, aku melihat seorang wanita tengah sibuk mengaduk-ngaduk sesuatu di dalam wajan dengan menggunakan spatula. Aroma wangi masakan begitu menguar menusuk indera penciuman, seketika membuat perut ku bergejolak lapar. Tidak hanya itu, di atas meja yang ada di dapur, terlihat beberapa menu hidangan sudah terhidang sempurna di dalam piring kaca.
Ternyata pembantu baru kami ini begitu cekatan, Namira tidak salah mencarikan pembantu pengganti Bik Siti.
Aku belum bisa melihat wajah sang pembantu baru, karena posisinya membelakangi aku.
''Ehm . . .'' aku berdehem, memberi kode kalau aku berada dibelakangnya.
Dan seketika saja, pembantu yang bernama Ayu tersebut menoleh, ia mengecilkan api kompor, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah aku.
Aku menatap wajahnya serta bentuk tubuhnya beberapa saat, ternyata benar apa yang dikatakan oleh Namira, Ayu memanglah sangat ayu parasnya. Matanya bulat dengan iris bewarna hitam pekat, hidupnya mancung kecil, bibirnya tidak tebal dan tidak tipis, tetapi terlihat begitu seksi dengan warna merah muda, rambut nya lurus berwarna hitam pekat, serta . . . Pipi nya putih mulus.
Ia tersenyum melihat kehadiran aku, dan saat itu aku bisa melihat dua lesung di pipinya, dan itu terlihat manis sekali.
''Em, Pak Emran, ya?'' tanya nya. Suaranya terdengar lembut di telinga.
''Iya, kamu Ayu?''
''Iya, Pak.'' Ayu mengangguk kecil.
''Tadi istri saya sudah mengatakan kepada saya tentang siapa kamu. Semoga kamu betah bekerja di rumah ini Ayu,'' ucapku ramah. Lalu aku duduk di kursi yang ada di dapur.
''Insya Allah aku akan betah Pak, dan aku juga akan bekerja dengan baik,'' Jawabnya, ''Em, aku sambung lagi masak nya Pak. Aku lagi masak untuk makan malam,'' sambung nya lagi terlihat sungkan. Aku pun mengiyakan dengan mengangguk kepala.
Ayu mulai melanjutkan lagi pekerjaan nya, dan aku masih duduk, diam-diam memperhatikan nya dari belakang.
Ayu tidak hanya cantik parasnya, tetapi dia juga memiliki bentuk tubuh yang sempurna. Tinggi nya pas, perutnya rata tanpa lemak, serta pinggulnya berisi. Aku bisa menilai seperti itu, karena Ayu memakai pakaian yang cukup terbuka, rok ketat di bawah lutut di padukan dengan atasan kaos bewarna biru muda yang ngepas di tubuh nya.
''Bapak mau dibuatkan teh atau kopi?'' tanya Ayu. Dan seketika aku pura-pura tidak memperhatikan nya.
''Tidak usah. Saya akan mandi dulu,'' ucapku, lalu berdiri.
''Baiklah Pak,'' sahutnya.
Lalu aku berjalan ke lantai atas lagi, aku akan membersihkan tubuh ku, karena sebentar lagi waktu magrib akan tiba.
Setibanya aku di dalam kamar, Namira terlihat masih berbaring di atas tempat tidur, wajah terlihat pucat.
''Bagaimana Mas? Ayu cantik, 'kan?'' tanya Namira.
''Hm cantik Sayang. Semua wanita 'kan cantik,'' jawab ku sekenanya.
''Kamu bisa saja,'' ujarnya lagi.
Aku tak membalas perkataan istri ku lagi, aku masuk ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, aku melepaskan satu persatu pakaian ku, lalu aku berdiri di bawah shower, mengguyur tubuh ku dengan air yang terasa begitu sejuk menyegarkan.
Entah kenapa, tiba-tiba saja bayang-bayang wajah Ayu menari-nari di pikiran ku.
''Ah, apaan aku ini? Kenapa aku malah kepikiran dia,'' gumam ku.
Tapi aku akui sih, Ayu bukan seperti seorang pembantu, dia bak seorang model terkenal. Dia sangat cantik, dan harus aku akui, bahkan kecantikan Namira kalah jauh dibandingkan Ayu.
Bersambung.
Malam hari, aku dan Namira duduk di kursi meja makan, kami akan makan malam bersama. Aku memasukkan nasi ke dalam piring istri ku. Tubuhnya yang terlihat lemas, membuat ku bertindak cepat untuk melayaninya dengan baik.
''Mau lauk apa Sayang?'' tanyaku, karena malam ini pembantu baru kami memasak beberapa macam olahan lauk. Ada udang goreng, ikan panggang, dan ayam balado.
''Ikan panggang saja Mas, sama masukin sayur bening nya juga,'' jawab Namira. Akupun segera memasukkan apa yang ia mau ke dalam piringannya.
Setelah selesai aku memintanya untuk segera makan. Iya, Namira harus makan, karena setelah ini ia harus minum obat. Malam ini wajah Namira terlihat lebih pucat dari biasa, aku tak mau Namira sampai di rawat di rumah sakit, kasihan dia kalau harus merasakan tusukkan jarum infus lagi dan lagi di punggung tangan nya yang kurus.
Ah . . . Entah sampai kapan Namira akan benar-benar sembuh, aku berharap dia akan sembuh seperti dulu.
Aku memasukkan makanan ke dalam piring ku, lalu menyantapnya, em . . . Rasa masakan Ayu tidak kalau jauh dibandingkan rasa masakan Bik Siti. Enak.
Bahkan aku bisa menghabiskan sepiring makan malam dengan cepat.
Setelah selesai makan, aku membimbing Namira berjalan ke lantai atas, kian hari tubuh nya kian lemas.
''Terimakasih Mas,'' ucap Namira begitu kami sampai di dalam kamar.
''Iya, sama-sama Sayang,'' sahutku. Kini Namira sudah duduk di atas kasur. Aku lalu memberikan obat untuk nya. Ia meminum obat tersebut dengan cepat.
Lalu setelah itu ia berbaring di atas tempat tidur, aku menyelimuti setengah tubuh kurusnya dan tidak lama setelah itu, Namira terlihat telah memejamkan mata dengan dengkuran halus yang terdengar pelan. Namira telah masuk ke alam mimpinya. Mungkin karena efek dari obat-obatan yang ia konsumsi, membuat dirinya cepat sekali terlelap. Selalu seperti ini setiap malamnya. Aku sudah terbiasa, malam panjang ku aku habiskan dengan setumpuk pekerjaan. Karena setelah Namira terlelap, aku akan masuk ke dalam ruang kerja, menyibukkan diri supaya tidak sakit kepalaku. Iya, pria normal akan merasakan sakit kepala serta gelisah kalau apa yang diinginkan nya tidak tersalurkan dengan baik. Namira sudah tidak bisa lagi melayani aku, hingga aku harus berusaha sendiri untuk melenyapkan hasrat kelelakian aku yang kian hari kian menyiksa.
Aku berjalan ke lantai bawah, saat sudah tiba di dekat meja makan, aku lihat meja sudah dalam keadaan bersih.
Suara piring yang beradu terdengar dari wastafel, ternyata Ayu tengah mencuci piring.
''Ayu,'' panggilku. Dan ia menoleh.
''Iya, Pak,'' sahutnya cepat.
''Setelah selesai mencuci piring, kamu buatkan segelas kopi untuk saya, ya,'' ucapku.
''Baik Pak,'' balasnya lagi.
''kamu antar kopi itu ke ruang kerja saya yah,'' kataku lagi.
''Iya, iya Pak,'' balasnya.
Setelah itu aku berjalan ke ruang kerja ku. Biasanya setiap malamnya Bik Siti yang tanpa di suruh akan membuatkan langsung kopi untukku dan mengantarkan nya ke ruang kerjaku. Tapi karena Ayu merupakan pembantu baru, jadi ia harus diingatkan terlebih dahulu.
Aku mulai fokus menatap layar leptop yang menyala di hadapan aku, aku memeriksa beberapa laporan yang masuk dari perusahaan.
Tidak lama setelah itu Ayu datang, lalu ia meletakkan segelas kopi di atas meja kerja ku.
''Ini Pak,'' katanya lembut.
''Terimakasih Ayu,'' balasku mengangguk kecil seraya menatap nya.
Tanpa aku sadari ternyata Ayu juga tengah menatap ku. Hingga beberapa saat kami saling memandang lekat, netra kami bertemu. Cantik. Ah, Ayu benar-benar cantik. Aku meneguk saliva melihat dua gundukan kenyal miliknya yang terlihat begitu menantang. Pakaian ketat yang ia pakai membuat dua gundukan kenyal itu tercetak jelas.
''Em, kalau begitu aku keluar dulu, Pak,'' kata Ayu. Entah kenapa aku melihat wajah Ayu yang putih mulus sedikit merona.
''Iya,'' jawabku singkat dan mendadak gugup.
Setelah itu Ayu keluar dari ruangan ku, langkah nya terlihat tergesa.
Setelah Ayu berlalu, bukannya aku kembali melanjutkan pekerjaan aku, tapi entah kenapa pikiran aku malah tertuju kepada Ayu. Aku jadi tak fokus lagi bekerja.
Aku menyeruput kopi hangat buatan Ayu. Em, pas. Rasanya pas di lidah dan di tenggorokan ku.
Lagi-lagi aku memuji Ayu di dalam hati. Ayu, memang dapat diandalkan.
Setelah berkutat dengan layar laptop sekitar dua jam lamanya, akhir nya pekerjaan ku malam ini selesai juga.
Segelas kopi buatan Ayu juga telah tandas.
Aku memutuskan untuk mengantarkan gelas yang telah kosong ke belakang.
Begitu aku sudah sampai di belakang, tak terlihat lagi keberadaan Ayu, mungkin Ayu telah terlelap, mengistirahatkan dirinya karena besok pagi-pagi sekali dia akan kembali sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Eh, tapi tidak. Ayu belum terlelap. Dari kaca transparan pembantas antara dapur dan kolam renang, aku melihat Ayu tengah duduk di pinggir kolam renang.
Akhir nya, aku membawa langkah kaki ku menghampiri Ayu. Sekarang sudah pukul sebelas malam, kenapa Ayu masih belum tidur. Apakah dia lagi butuh seorang teman? Seperti diriku yang tidak bisa aku pungkiri, aku butuh seorang teman untuk mendengar keluh kesah ku selama ini, seorang teman yang bisa mendengar tentang kesibukan aku hari ini.
''Ayu, kenapa kamu belum tidur?'' sapa ku. Ayu terlihat kaget, ia hendak berdiri, namun aku cegah. Aku lalu duduk di samping Ayu. Aku melakukan hal yang sama seperti apa yang Ayu lakukan, memasukkan kaki ke dalam air kolam. Ayu terlihat salah tingkah.
''Aku masih belum ngantuk Pak,'' jawabnya menundukkan kepala.
''Apa kamu tidak merasa capek? Setahu saya, hari ini kamu bekerja dengan baik untuk melayani saya dan istri saya,''
''Tidak Pak. Aku tidak capek,'' balasnya, ''Karena aku melakukan semuanya dengan senang hati,'' sambung nya lagi.
Aku dibuat penasaran, sebenarnya Ayu berasal dari keluarga seperti apa? Apa ia terlahir dari keluarga yang benar-benar sudah perekonomian nya hingga ia harus bekerja keras menjadi seorang pembantu.
Lama kami terdiam, Ayu seperti sungkan untuk memulai obrolan.
Aku menoleh ke samping, pandangan ku menelisik, menatap paras yang begitu sempurna. Mancung hidungnya bisa aku lihat, lentik bulu matanya semakin membuat aku merasa ada desiran aneh di dadaku. Sebelumnya tidak pernah aku merasakan perasaan seperti ini kecuali hanya kepada Namira. Banyak wanita cantik nan seksi di perusahaan ku, tapi tak ada satupun yang mampu membuat aku tergoda.
Ayu berbeda, ia memiliki pesona luar biasa. Meskipun tanpa riasan make up di wajahnya, ia sudah terlihat sempurna.
Ayu menoleh ke arah aku, hembusan nafasnya bisa aku rasa. Karena kini, jarak antara wajahnya dan wajah ku begitu dekat.
Rasanya ingin aku merasakan hangatnya bibir ranum yang ada di hadapan ku. Aku meneguk saliva. Aku sungguh tak tahan lagi.
Tapi beberapa detik setelah itu, Ayu malah berdiri. Lalu ia permisi masuk lebih dulu, ia meninggalkan aku sendiri, aku yang sibuk berperang menahan hasrat yang tiba-tiba begitu membuncah minta disalurkan.
''Argh!'' gumam ku sembari meremas kepalaku yang mendadak semakin sakit.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!