"Tolong saya," rintih seorang pria berlumur darah, sambil memegang kaki seorang gadis.
Gadis itu terkejut dan menjerit. Ia tidak bisa melihat wajah pria yang saat ini sudah mencium lantai.
"Anda siapa?" tanya Aira yang sudah tidak dijawab pria tersebut.
"Mengapa orang ini bisa masuk ke dalam rumah ku, padahal aku hanya keluar sebentar saja." Aira masih memegang kantong plastik yang berisi kopi dan cemilan, yang baru saja di belinya di warung dekat rumah. Dalam posisi seperti ini, ia tidak bisa melihat wajah dari pria tersebut.
"Ya ampun, aku lupa kunci pintu." Aira baru menyadari keteledorannya tadi. Saat akan masuk ke rumahnya, ia sempat melihat beberapa orang laki-laki bertubuh tinggi dan besar. Para lelaki itu, lalu lalang di depannya. Meskipun tidak berkata apa-apa, namun nampak dari gelagatnya, mereka sedang mencari seseorang.
Gadis berwajah cantik itu mulai berpikir, apa yang harus dilakukannya terhadap pria yang saat ini dalam keadaan sekarat. Bila tidak cepat di tolong, pria itu bisa mati karena kehabisan darah. Apapun pertanyaan yang ada di dalam tempurung kepalanya, di tepis untuk sementara waktu,
"Ya ampun aku lupa mengunci pintu." Lagi-lagi ia teledor dan lupa mengunci pintu rumahnya. Bisa saja orang-orang yang sedang mencari si pria datang kerumahnya dan langsung masuk ke dalam rumah. Dengan cepat, ia mencoba untuk melepaskan tangan pria itu dari kakinya. Setelah berhasil melepaskan tangan lelaki itu, ia berlari ke pintu dan mengunci pintu. Ditutupnya semua kain gorden dengan rapat, agar tidak ada celah untuk orang mengintip ke dalam.
Dengan posisi telungkup seperti ini membuat darah akan semakin banyak mengalir dari luka di perutnya. Ia mencoba mendorong tubuh pria itu agar posisinya bisa terlentang. Tubuh pria itu cukup besar, tinggi dan tegap, membuat gadis bertubuh langsing itu kesulitan untuk membalikkan tubuh laki-laki tersebut.
"Akhirnya aku berhasil membalikkan tubuhnya, dia sangat berat." Gadis itu menarik napas panjang.
Aira berlari ke dalam kamar, untuk mengambil perlengkapan medis yang dimilikinya. Tidak butuh waktu lama baginya, untuk mengambil tas yang berisi peralatan medis tersebut.
Sebelum memeriksa luka pasien, Aira melapisi tangannya dengan sarung tangan latex berwarna putih. Dikeluarkannya Stetoskop dari dalam tas dan memeriksa detak jantung pria tersebut. Mendengar detak jantung yang masih stabil, dan nafas yang masih teratur, membuat ia sedikit lega.
Wanita berwajah cantik itu, tampak tenang saat memeriksa kondisi pasiennya. Dibukanya, baju kemeja yang melekat di tubuh pria tersebut. Bukan hanya satu luka di bagian perut saja. Pria itu juga mengalami luka robekan di bagian lengan, kemudian dada serta punggung. Harus diakuinya, bahwa pria itu memiliki stamina dan fisik yang kuat, sehingga masih mampu bertahan di saat kondisi seperti ini.
"Lukanya tidak terlalu dalam sehingga tidak melukai organ dalamnya." Aira memeriksa luka tusukkan di perut pria tersebut. Dibersihkannya luka terlebih dahulu dengan memakai cairan desinfektan. Setelah membersihkan luka, Aira memberi suntikan bius di bagian perut sebelum menjahit sobekan di bagian perut tersebut.
Setelah menjahit bagian perut, Aira kemudian membersihkan bagian luka di dada. Luka yang menganga tersebut kemudian dijahitnya begitu juga dengan luka di bagian lengan tangan dan juga punggung.
Setelah selesai menjahit bagian luka dan memastikan tidak ada lagi darah yang keluar mengalir, Aira menutup bagian jahitan dengan memakai perban.
Aira selalu menyediakan alat-alat medis seperti ini. Guna untuk membantu tetangga yang butuh bantuan. Gadis itu memasukkan jarum infus di tangan pria yang belum diketahui identitasnya tersebut. Setelah memasang infus dan mengantungkan infus dengan besi penyangga, ia kemudian menyuntikkan antibiotik serta obat penghilang rasa nyeri dan beberapa jenis obat lainnya lewat jarum infus.
"Aku harus membuka celana orang ini." Aira memandang celana kain berwarna hitam yang sudah berlumuran darah. Melihat dari penampilannya, pria itu seperti bukan orang biasa.
Karena celana yang dipakai pria itu sudah penuh dengan darah Aira kemudian membukanya dan tanpa menyisakan apapun di tubuh pria itu. Ia menutup tubuh pria itu dengan selimut dan memberikan bantal di belakang kepala namun posisinya masih tetap berada di ruang tamu. Karena ia tidak sanggup untuk memindahkan pria tersebut.
Meskipun tahu apa yang dilakukannya adalah hal yang salah namun Aira ingin mengetahui siapa orang yang saat ini sedang ditolongnya ia mengeluarkan dompet dari saku celana pria tersebut. Matanya terbuka lebar ketika melihat isi dompet pria itu. Didalam dompet begitu banyak lembaran uang Dollar dan uang rupiah. "Isi dompetnya dolar," batin Aira.
Jantungnya berdegup semakin cepat ketika merasakan sesuatu hal yang mungkin lebih mengerikan dari apa yang ditakutinya. Bila orang ditolongnya seperti ini, mungkin orang ini memang bukan orang baik.
Aira melihat identitas dari pria tersebut. Ada banyak kartu di dalam dompet. Kartu penduduk untuk di Indonesia dan satu lagi kartu kewarganegaraan asing. Diperhatikannya wajah pria tersebut, yang diketahui bernama Devlan Alvaro. Dari raut wajah si pria, memang tidak tampak seperti wajah asli Indonesia.
"Jika aku perhatikan wajahnya cukup tampan, tapi kenapa orang-orang tersebut ingin membunuhnya" lirih gadis itu.
"Aku tidak boleh terlibat dalam kasus ini. Bisa saja dia seorang pengedar. Sepertinya di luar juga sudah aman aku akan membawanya ke rumah sakit." Aira memutuskan. Diletakkannya dompet pria tersebut, kedalam saku celana.
Jantungnya berdegup dengan cepat, ketika mendengar suara panggilan telepon di ponsel milik laki-laki itu. Keringat mulai bercucuran di pelipis kening. Ia tidak berani untuk mengangkat sambungan telepon, Bisa saja yang saat ini menghubunginya, musuh yang sedang mencari si pria. Atau si penelepon, berada di depan rumahnya dan mencari keberadaan suara dering telepon. Memikirkan hal ini, membuatnya takut. Dengan cepat ditolaknya panggilan telepon. Niat hati untuk membawa pria itu keluar dari rumahnya, terpaksa di hentikan nya.
***
Berulang kali, Aira menolak panggilan telepon, hingga benda persegi panjang nan pipih itu, berhenti berdering.
Belum hilang rasa terkejut dengan nada dering, kini ia dikejutkan dengan tangan pria yang memegang pergelangan tangannya.
"Siapa kamu? Ini dimana?" Tanya pria itu seraya memegang luka di perutnya. Matanya terbuka lebar dan melihat ke langit-langit plafon gypsum berwarna putih tersebut.
"Saya yang harusnya bertanya. Bukannya kamu yang tiba-tiba berada di rumah saya." Aira memandang pria itu dengan mengerutkan keningnya. Dalam kondisi seperti ini, sudah pasti pria itu tidak berani untuk mengejarnya, karena si lelaki, tidak memakai sehelai benangpun.
"Auw." Rasa sakit di bagian luka saat di gerakkan, membuat pria berwajah tampan itu sedikit meringis.
"Jangan bergerak, luka anda cukup parah." Aira menahan tubuh si lelaki.
"Tidak. Aku harus pergi sekarang, masih banyak yang harus aku selesaikan. Aku tidak punya waktu berlama-lama disini." Devlan berkata setelah kesadarannya sudah kembali. Ia sudah mengingat berbagai macam potongan peristiwa yang dialaminya sampai bisa masuk ke rumah ini. Meskipun merasakan sakit dan perih yang luas biasa namun Devlan tetap mencoba untuk bangkit dari tempat ia berbaring.
Aira hanya diam dan tidak berkata apa-apa. Ia hanya memperhatikan gerak tubuh si pria.
Diperhatikan seperti ini membuat Devlan bingung, namun ia merasa senang saat melihat respon si gadis, yang tidak berniat untuk menahannya lebih lama.
Devlan menurunkan selimut yang saat ini menutup tubuhnya. Matanya terbuka lebar ketika mengetahui bahwa sekarang ia tidak memakai sehelai benangpun, untuk menutupi tubuhnya. Hanya ada perban-perban yang saat ini menutupi bagian luka-luka di bagian tubuhnya. "Apa kau membuka semua pakaianku?" Devlan melihat anggukan kepala dari gadis tersebut.
"Jika anda ingin pergi silahkan, namun anda harus seperti ini, karena pakaian Anda, semuanya sudah tidak bisa lagi dipakai lagi." Aira berkata dengan tenang. Tampak dari raut wajahnya, tidak memiliki kecemasan atau beban apapun.
Devlan memandang gadis itu dengan tatapan tidak percaya. Bila seandainya ada yang bertemu dengan dirinya dalam kondisi luka parah seperti ini, sudah pasti orang itu akan ketakutan. Namun mengapa gadis itu terlihat tenang ketika melihatnya. Ia baru menyadari bahwa luka di tubuhnya sudah diobati. Dilihatnya selang infus yang menempel di punggung tangannya. "Siapa yang melakukan ini, apakah sudah ada yang mengetahui keberadaan aku di sini?" batin Delvan.
"Saya tidak tahu bagaimana ceritanya Anda bisa masuk ke rumah saya, dalam kondisi tubuh banyak luka. Sekarang anda sedang dicari-cari di luar. Sejak tadi saya ingin Anda pergi dari rumah saya, namun karena orang-orang diluar sana sepertinya masih mencari anda dan mengawasi rumah saya, saya harus berdiam diri di sini dan menunggu kapan waktunya saya bisa mengeluarkan anda dari rumah ini," jelas gadis itu tanpa ekspresi.
Devlan diam dengan mulut yang sedikit terbuka saat mendengar penjelasannya si gadis.
*Saya sudah susah payah menolong anda. Namun bila anda tetap ingin pergi dengan kondisi seperti ini, silahkan. Jika anda tidak ingin pergi maka kembalilah berbaring." Aira berkata dengan penuh penekanan.
Laki-laki itu terdiam kemudian berbaring dengan patuh mengikuti ucapan gadis itu.
"Ini pertama kalinya ada orang yang berani memberikan perintah untuk ku," batin laki-laki tersebut menatap gadis itu. "Apa kamu yang sudah menolongku?" tanya si Devlan.
"Apa Anda melihat orang lain selain saya?" Aira tersenyum dengan sangat manis.
Si lelaki menggelengkan kepalanya.
"Siapa nama Anda?" Meskipun sudah mengetahui nama pria itu lewat kartu identitas yang tadi sempat dibaca, namun tetap saja Aira bertanya.
Devlan diam sejenak. "Bimo," jawabnya asal.
Aira menganggukkan kepalanya seakan dirinya percaya dengan apa yang disampaikan oleh pria tersebut. "Ternyata wajah dengan namamu tidak sesuai," ucapnya.
"Apa maksudmu?" tanya Devlan.
"Aku tidak menyangka, namamu Bimo. Aku sempat berpikir namamu James, David, atau Jermy." Aira tertawa kecil.
Devlan hanya diam tanpa menjawab ucapan si gadis. "Siapa nama kamu?"
"Airin," jawab gadis tersebut. Bila si lelaki berdusta, maka ia juga melakukan hal yang sama.
"Aku akan mengantarkan mu ke rumah sakit, bila kondisi di luar, sudah tenang. Entah mengapa, sejak tadi, aku merasakan bahwa mereka sedang memantau rumah ku," Aira berkata sambil memandang pria yang saat ini menatapnya dengan manik berwarna coklat.
"Maafkan aku, karena sudah menyeret kamu ke dalam masalah ini. Bagaimana dengan luka ku?"
***
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Luka tusukan di perut tidak terlalu dalam, sehingga tidak merusak organ dalam. Jadi karena itu aku hanya menjahit saja, untuk menghentikan pendarahan. Begitu juga dengan Luka yang lainnya. Aku juga sudah memberikan antibiotik dan obat menghilangkan rasa nyeri." Aira menjelaskan.
"Kalau begitu, Aku ingin kamu merawat ku di sini. Begitu kondisi ku sudah membaik, aku akan pergi."
Aira diam.
"Aku akan memberikan bayaran yang setimpal untuk mu." Devlan meminta gadis cantik itu untuk bernegosiasi.
"Melihat wajah pria tersebut, Aira tidak tega untuk menolak. Ia kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku mau ke kamar ku, istirahatlah."
"Tunggu, apa kamu akan meninggalkan aku tidur di sini? Tubuhku sakit-sakit bila berbaring tanpa alas seperti ini. Apa tidak ada spring bed yang bisa aku jadikan untuk alas tidur?" Ia berharap bisa berbaring di kasur yang empuk. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit dan perih.
"Ada kamar di sebelahku. Apa kamu bisa berjalan?" Tanya Aira.
"Iya bisa." Devlan menjawab dengan yakin.
"Aku akan membantumu untuk berdiri." Aira berusaha untuk menolong pria bertubuh tinggi dan tegap itu untuk duduk.
"Auw." Devlan meringis menahan rasa sakitnya.
"Pelan-pelan saja, apa terasa sakit sekali." Aira melingkarkan tangannya di belakang punggung lebar milik Devlan. Posisi seperti ini, membuat tubuh mereka menjadi sangat dekat. Namun ia tidak memiliki pilihan lain.
"Iya, tapi kamu tidak perlu cemas, aku sangat kuat." Pria itu tersenyum dengan bibir yang kering dan pucat. Dengan sedikit menahan rasa perih di bagian perut, dada dan lengannya, akhirnya ia bisa duduk dan berangsur-angsur berdiri.
"Tutup tubuh mu, apa kamu tidak punya rasa malu?" Aira berkata dengan kesal. Pria itu berdiri dan melepaskan selimutnya.
"Percuma saja, kamu sudah lihat tadi. Bukankah, kamu juga yang membuat tubuh ku polos tanpa menyisakan apapun. Jadi untuk apa aku malu." Devlan tersenyum tipis.
Wajah Aira memerah menahan rasa marah dan malu. Tidak diduganya, bahwa ternyata si Lelaki pembohong yang baru saja di selamatkannya, tidak punya rasa malu seperti ini. Dalam kondisi sekarang saja, barang pusakanya bisa berdiri dengan sempurna. Hal ini yang membuat Aira semakin kesal. Dari wajah pria itu, tampak jelas bahwa si pria memiliki otak mesum.
Devlan tersenyum saat melihat wajah Aira yang memerah seperti kepiting rebus.
"Dasar mesum, dalam kondisi sekarat seperti ini, bisa-bisanya belalai mu berdiri." Aira mengambil selimut dan melilitkan di tubuh Devlan tanpa melihat areal pribadi si lelaki.
"Auw, tolong pelan sedikit. Kamu menekan luka ku." Pria itu sedikit meringis.
Aira hanya diam tanpa menghiraukan pria tersebut.
Devlan tersenyum tipis ketika Aira melilitkan tubuhnya dengan selimut.
Wajah Devlan tampak menahan sakit ketika ia berdiri dan kemudian berjalan sambil memegang pinggang langsing si gadis. Diperhatikannya wajah cantik Aira dengan tersenyum tipis. "Aku tidak menyangka, ternyata yang menolongku, seorang bidadari," batinnya. Ia masih mempertanyakan, siapakah wanita yang telah menolongnya. Mengingat wanita itu bisa mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh tenaga medis.
Dilihatnya tiang penyanggah infus yang sedang di dorong Aira. "Dia memiliki alat medis yang lengkap." Batinnya.
"Kamu bisa berbaring di sini." Aira membantu Devlan untuk berbaring di spring bed untuk satu orang.
"Terima kasih," jawabnya.
Aira mengangguk-anggukkan kepalanya dan pergi meninggalkan kamar. Tidak lama ia kembali masuk ke dalam kamar yang ditempati Devlan sambil membawakan barang-barang pribadi si pria. "Aku tadi mengeluarkan dompet dan ponsel mu. Karena aku sedang mencuci pakaian mu. Ini barang-barang mu." Aira memberikan barang pribadi milik Devlan.
"Apa kamu membuka dompet ku?" tanyanya.
"Tidak," jawab Aira.
Devlan bernapas lega saat mendengar jawaban si gadis.
"Sejak tadi, ponsel kamu tidak ada henti-hentinya berdering. Aku tidak berani untuk menjawab. Jadi semua panggilan aku tolak," jelas Aira.
"Tidak apa, terima kasih," jawabnya.
"Aku mandi dulu, nanti aku akan memasakkan menu makanan malam untuk mu." Aira menyelamatkan kipas angin. Agar pria itu tidak kepanasan.
Terima kasih, aku mau steak daging dan spaghetti," jawab Devlan.
"Hai, kamu pikir ini restoran." Aira membesarkan matanya. Dengan sangat kesal, ia pergi meninggalkan kamar si pria.
Devan senyum-senyum sendiri, ketika melihat pintu kamarnya yang sudah di tutup rapat. "Aku yakin, dia gadis yang sangat cerdas. Karena bisa melakukan pekerjaan seperti ini." Deval tidak hanya kagum dengan Wajah cantik si gadis, ia juga kagum dengan kecerdasan si gadis.
"Airin." Devlan menyebut nama yang tadi sempat di katakan si gadis.
"Bila dia yang merawat ku, aku tidak keberatan bila harus di sini hingga berbulan-bulan." Senyum mengembang di bibirnya. Wajah cantik Dewi penolongnya, masih teringat jelas di pelupuk matanya.
"Tapi di mana, aku saat ini? Aku lupa bertanya kepadanya." Devlan menyalahkan ponselnya. Dilihatnya panggilan masuk dari nomor orang kepercayaannya. Panggilan itu terjadi sekitar 1 jam yang lalu. Itu artinya saat ia sudah berada di rumah wanita yang menyelamatkannya. Tidak ada pesan yang masuk dari nomor tersebut. Orang kepercayaannya itu, hanya menghubungi berulang-ulang kali.
"Apa dia sudah mengkhianati ku?" Rasa percaya kepada pria itu, sudah memudar. Devlan sudah tidak bisa untuk percaya begitu saja. Setelah ini, pria itu akan di coretnya dari daftar orang kepercayaannya.
"Aku tidak menduga, 5 tahun dia selalu menjadi orang yang paling setia, namun mulai saat ini aku sudah tidak bisa untuk percaya." Devlan tersenyum tipis.
"Jika kalian tidak mencurangi ku, dengan cara kotor, aku pasti tidak akan seperti ini." Rasa sakit dihatinya, jauh lebih menyakitkan dari pada luka di tubuhnya. Setelah apa yang terjadi hari ini, ia tidak akan pernah bisa percaya kepada siapapun.
"Ternyata lokasi ini cukup jauh dari ibu kota. Aku menyesal mempercayai orang itu. Aku tidak menyangka kalau dia ternyata orang suruhan." Devlan melihat di mana posisinya saat ini dari google map. Rasa marah karena dikhianati , nampak jelas di matanya. Namun walau bagaimanapun, ia tetap merasa senang dan bahagia. Bisa berjumpa dengan Airin. Gadis yang memiliki 1000 pesona. Mengingat gadis itu, senyum terbit di bibirnya. Bagaimana mungkin ia bisa senang dan bahagia disaat nyawanya dalam kondisi bahaya seperti ini.
Diperhatikannya setiap sudut kamar yang saat ini ditempatinya. Kamar ini cukup kecil dan hanya ada spring bed untuk 1 orang, lemari pakaian kecil dan kipas angin. Bila diperhatikan, kamar ini seperti tidak ada yang menepatinya. Namun tetap sangat bersih dan rapi.
Pria itu mengusap bagian perutnya yang saat ini menempel perban. Meskipun gadis itu mengatakan sudah memberikannya obat penghilang rasa sakit, namun tetap saja terasa nyeri dan pedih. Mengingat apa yang tadi di alaminya, ia tidak menduga, saat ini masih hidup dan bisa bertemu dengan seorang bidadari.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!