NovelToon NovelToon

Dear, My'Hawa

DEAR MY'HAWA

Dear my'Hawa,

Gimana kabarmu sekarang, setelah 5 tahun tak bertemu?

Seorang pemuda tersenyum lebar diatas kursi penumpang salah satu pesawat komersil rute Mesir-Jakarta dengan membawa tiket lain di tangannya.

...MUKADIMAH Tour...

...Haji dan Umroh...

Ia tak hentinya membuka lembaran brosur yang menampakkan Ka'bah, dan tempat yang sangat ingin ia datangi dengan sang pujaan hati Jabal Rahmah....

Jakunnya naik turun demi menelan saliva, "perjalanan masih lama," ia memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur saja. Hingga kenangan 6 tahun yang lalu kembali menjadi bunga tidurnya, sekali lagi Tuhannya mengingatkan ia pada kejadian itu, saat pertama perjuangannya dimulai....

🌟 6 TAHUN YANG LALU

"Ai..Ai...! Buruan sini!" gadis berjilbab putih dengan ciri khas seragam putih abu SMA negri 156 ini terpaksa mempercepat langkahnya mengikuti tarikan teman sebangkunya, Retno. Sampai ia tak memiliki waktu untuk sekedar melirik langkahnya sendiri.

"Apa sih Ret?"

Mata bola pingpongnya membulat sempurna saat menemukan seorang pemuda, sesama siswa disana yang tengah berdiri di atas tembok pembatas lantai 2 gedung sekolahnya seraya berbicara lantang dengan pengeras suara yang ia pinjam dari ruangan OSIS. Tembok pembatas itu bahkan memiliki retakan di beberapa bagiannya meski terlihat masih kokoh.

"Aisya! ! Aisya Nurul Huda, XI MIPA! Aku Ernest Pradiawan dengan ini mau bilang suka sama kamu Ai! Kamu mau terima aku jadi pacar kamu kan?!"

Seketika wajahnya memerah, rona di pipinya tak perlu lagi ditambahi oleh blush on agar terlihat seperti abis ditonjok, karena kini si chubby itu terlihat begitu merah padam. Ia menunduk malu karena saat ini semua mata malah tersorot padanya, sampe tukang kebon sekolah saja dibikin bengong oleh kelakuan cowok bernama Ernest itu. Bukan karena so sweet atau jiwa mudanya kembali berkobar, namun pengen gebukin tuh anak, kalo sampe kepeleset auto pindah alam, dasar bocah! Ngga mikir emak bapak di rumah, kalo sampe dia mati konyol cuma karena gaya-gayaan cinta mon yet, biar dikata mirip pujangga dan don juan.

"Bo doh! Konyol," gumam Aisya.

Ernest menyunggingkan senyuman miringnya melihat gadis yang sejak tadi ia gaungkan namanya sudah datang dan melihatnya yang bak arjuna tak bersayap dan berdodot diatas sini.

Tapi moment arjuna wiwaha itu harus digagalkan oleh wali kelas Ernest, "aduhhh siah! *Turun maneh teh Ernest! Hayang labuh, auto pindah alam maneh*!" bu Windi datang membawa penggaris kayu dan mengacung-acungkannya pada Ernest. Dengan omelan khas ibu-ibu guru cerewet dan sepaket bibir merah yang sampe mo nyonk-mo nyonk ia memarahi Ernest dari ujung lorong hingga hampir menghampiri Ernest, membubarkan teman-teman Ernest yang berjaga melindungi sang pujangga cinta kalo-kalo nanti ia terjatuh. Ernest tidak bo doh, begitu saja melakukan hal ekstrem tanpa plan B dan perlindungan.

"Apa atuh bu? Yang penting saya ngga ganggu jam sekolah, kan belum masuk. Saya kaya gini biar Aisya tau saya suka sama dia, suka banget malah!"

"Bo do ih!" Retno dan beberapa teman-teman sekolahnya yang menonton moment absurd ini tertawa karena Ernest masih bicara dengan toa. Ernest memang dikenal sebagai siswa tampan, pintar tapi kelemahannya adalah ia makhluk konyol.

"Kamu teh apa-apaan, Ernest?! Udah ngga sayang nyawa?! So so'an mau keren, padahal mah engga! Engga keren sama sekali, tuh! Si Aisya'nya juga malah malu, ilfeel liat kamu kaya gini! Turunn!" tunjuk bu Windi ke arah Aisya yang sudah menunduk dalam di bawah sana dengan tatapan nyalang dari para penghuni sekolah.

"Udah turun! Turun! Kamu teh pinter sampe bisa masuk tim OSN, club sains, tapi mendadak turun image pinter kamu kalo kaya gini! Sini ibu bantu!" tawar bu Windi.

Namun sayang niat baik tak selalu berjalan mulus, karena sejujurnya saat bu Windi tak sengaja melongokkan kepalanya ke arah bawah, mendadak ia tremor dan merasakan pusing, lututnya tiba-tiba lemas tak berdaya karena ketinggian.

"Aduh!"

Bu Windi mencari sesuatu untuknya berpegangan, "aduh Ernest, ini teh meni ngeri geningan!"

"Eh...eh bu!"

Srottt!

Haa?!

Mata mereka membulat sempurna termasuk Aisya,

"Bu," Ernest langsung menarik celananya yang melorot karena cengkraman bu Windi yang begitu kuat di celananya.

"Ha-ha-ha!"

Witwiiii!

"Ernest seksiiihhhh!"

"Bo xer tengkorak brooo!"

"Astagfirullahaladzim," Aisya buru-buru memalingkan wajahnya dan bergegas pergi dari sana menuju kelasnya.

Ernest melihat kepergian gadis cantik berjilbab putih itu, "Ai! Ai! Yahhh, ibu sih gagal keren ah!" Ia melompat kembali ke arah koridor lantai 2 itu dengan bu Windi yang berpegangan pada tembok. Ernest membetulkan celananya.

"Aduh maaf, maaf! Ibu ngga sengaja!"

"Ah, ibu. Malah malu-maluin Ernest bu. Sekarang Aisya malah ilfeel jadinya, tapi ibu ngga apa-apa kan?"

"Cok! Pegangin nih bu Windi. Gue mau nyusul bidadari gue dulu!" teriaknya pada sang teman.

Coki yang masih tertawa dengan moment ambyar tadi mengangguk, "siap bos!"

Ernest memang pemuda yang tak memiliki rasa malu sepertinya... plus tak pantang menyerah, ia berlari menuruni tangga menuju lantai satu, lalu tergerak mengikuti kata hati dan pikiran menyusuri koridor menuju kelas XI MIPA 1 dimana Aisya berada.

"Cirrrenggggg! Witwiww, Ernest laki banget ih, tengkorak, seksihhh bulu-bulunya Nest bikin pengen jambak!" genit teman-teman perempuannya. Selain tadi yang sudah disebutkan.. Ernest termasuk anak yang circle pertemanannya luas disini, berkawan baik dengan siapa saja dan mungkin memiliki penggemar rahasia juga maupun yang terang-terangan.

Ia berlari tak peduli dengan pujian atau cibiran teman-temannya. Yang ia kejar hanya gadis cantik berpipi merona itu, gadis pendiam nan jutek, satu-satunya gadis yang tak mau didekati olehnya di club sains dan tim OSN.

"Aisya!"

Semua penghuni kelas MIPA 1 langsung berpaling padanya, definisi mengalihkan duniaku dalam 10 detik.

"Eh Nest, gimana celana aman?!" kelakar Aji.

"Aman bro," Ernest memberikan jempolnya.

Gadis itu tak pernah menatapnya lebih dari 5 detik, mata Ernest sedikit menyipit menandakan ia menarik senyuman, semakin gemas dibuatnya.

"Hay Aisya..." senyumnya nyengir bak kuda yang abis gosok gigi.

Tatapan risih dan tak suka dilemparkan Aisya, "konyol!" desisnya.

Ernest menarik kursi yang nganggur disana dengan posisi membungkuk hingga membuat sesuatu yang tergantung di lehernya keluar menjutai bergerak pelan dari kanan ke kiri, sesuatu berkilau pemberian grandpa di hari raya kemarin, katanya sebagai juru selamat untuk Ernest, kemanapun ia pergi, kemanapun hatinya berlabuh akan senantiasa diberikan kedamaian....

.

.

Noted:

\*Maneh : kamu

\*Hayang labuh : mau jatuh

.

.

.

Assalamu'alaikum, salam semuanya! Awalnya mau kasih kejutan, tapi berhubung ada beberapa pencerahan dari luar karena pintu rumahku kubuka selebar dunia 😂 akhirnya karya semi religi demi menyambut ramadhan versiku kutayangkan juga.

Ada beberapa masukan untuk genrenya entah itu genre pesantren dsb, tapi akhirnya aku menjatuhkan pilihan hatiku pada genre teen semi religi, karena sejujurnya hampir kebanyakan penulis menulis karya dengan genre pesantren jadi bosen😅 pesantren mendadak penuh sama anak bandel aku cuma kesian sama pak kyai'nya.

Aku sadar menulis novel itu harus banyak referensi dan ilmu yang kuat apalagi menyangkut keyakinan, biar ngga kontroversi. Aku tidak mau banyak menggurui dan mengambil tema dengan konflik dan alur yang berat sampe bikin otak berceceran karena ngga kuat nopang beban pembelajaran, ditambah aku hanya penulis yang tidak memiliki banyak ilmu, masih jauh dari kata soleha dan berilmu. Disini kita have fun aja sesuai porsinya guys😉

Mana suaranya yang menyukai karya teen versinya aku???!!! Kuyyy ikuttt di rombongan Ernest sama Aisya menyelami keromantisan keyakinan Aisya juga dunia remaja mereka, jangan sampe nyesel ketinggalan karena ini novel versi pendek.

Happy reading all ❤❤

.

.

.

.

.

BAGAI DUA KUTUB

Kembali, Aisya menolak Ernest untuk kedua kalinya. Pemuda itu keluar dari MIPA 1, tidak dengan lesu, lemas atau dengan hati yang dipenuhi dengan setan bersemayam yang senantiasa menghasutnya untuk sekedar mabuk apalagi bungee jumping ke neraka, TIDAK! Ia bukan pemuda selemah syah wattt aki-aki rempo. 1, 2 kali Aisya menolaknya maka masih ada kesempatan di lain hari lagi sampai Aisya menerima rasa sukanya, pemaksa? Memang! Ernest dilahirkan dari da rah keluarga petarung, tangguh! Pebisnis ulung tanah sebrang. Anggap saja ditolak itu kesuksesan yang tertunda!

"Cieee, Bli Ernest tak akan nyerah Ai...ngga akan pernah, kita tau sama tau dia itu seperti apa orangnya," imbuh Komang Ayu, teman satu kelas Aisya sekaligus satu permainan.

"Nah, bener tuh Ayu!" angguk Retno setuju, "eh, tapi kenapa disebut bli, emangnya kamu kelahiran berapa? Kita kan seangkatan sama Ernest?" tanya Retno.

"Kalo ngga salah Gus itu setahun lebih tua dibanding tiang...tiang taun ini 16 tahun, kau pun 17 kan Ret?" Ayu balik bertanya.

"Beda setaun lah!" cebik Retno.

"Tetap saja gek lebih tua dari tiang,"

"Enggak!" kekeh Retno.

Aisya tak menghiraukan perdebatan kedua temannya yang mempermasalahkan siapa yang lebih tua, karena yang jelas tak akan lebih tua dari eninnya di rumah. Eninnya adalah saksi hidup sejarah kelam pemberontakan sekelompok partai palu dan arriit, harusnya sih eninnya itu dimasukkin museum lubang buaya juga.

"Aduhh, udah deh ya! Adek sama kaka ngga usah pada berantem masalah tua, yang jelas monumen Tegalega lebih tua ketimbang kamu berdua," lerai Aisya.

"Iya mama," tawa Ayu dan Retno, sontak saja bibir si manis ini tersungging nyinyir.

"Mama...mama mia, mama suka?!" sengak Aisya.

"Mama Dedeh...eh mama Aisya deh! Curhat dong mama," cibir Retno.

Aisya meloloskan nafas beratnya, inginnya ia meminta Ayu dan Retno untuk berbalik arah, kalau bisa memilih ia akan mengambil jalan berputar menuju kantin ketimbang harus melintasi jalan sekarang karena sudah jelas pemuda itu ada disana bersama gerombolan meerkatnya. Tapi itu tak mungkin, toh jarak mereka hanya tinggal 5 langkah saja, jangan sampai pemuda itu kepedean menganggap Aisya malu dengannya, tidak! Hidungnya bisa kembang kempis kaya dompet akhir bulan karena kepedean.

"Suut! Suut! Nest...Aisya," Coki menyenggol lengan Ernest kelewat berlebihan, mendadak semua yang ada disana bernama Ernest karena disadari atau tidak bukan hanya Ernest yang menengok melainkan ke 7 teman lainnya. Ini mah judulnya Ernest and 7 dwarf karena senantiasa ikut Ernest kemanapun kaya kurcacinya snow white, sampe nengok aja barengan.

"Ekhem!" Ernest langsung beranjak bangkit dari duduknya, meregangkan otot-otot yang terasa kaku karena kelamaan duduk dempet-dempetan.

"Sikat Nest!"

"Sekalian pake sabun colek biar bersih," ujar Duta yang langsung dihadiahi toyoran dari lainnya, "maksudnya sikat tempelin sampe kelas, kawal sampe halal!" teriak Coki di depan wajah Duta. Rupanya pemuda ini mengartikan sikat secara harfiah.

"Sutt, Ai..." cubit Retno di lengan Aisya membuat Aisya menepis tangan Retno perlahan, "tau."

"Aiiii---mau jajan ya?" tanya nya dengan nada manja-manja pengen nyambit pake clu rit.

"Iya. Kalo gitu kamu minggir. Kamu ngalangin jalan aku," wajahnya judes, galak! Mirip kak Ros.

"Ah masa?! Aku temenin ya, mau kutemenin sampe ke kantin atau sampe pelaminan? Aku traktir ya..." kekehnya membuat riuh ramai itu tercipta macam lagi nyorakin ayam jago aduan. Retno bahkan sudah menggigit ujung seragam Ayu saking gemasnya dengan Ernest, udah ganteng, pinter gombal aduhhh hati neng udah melambai ke kamera, a! Ngga kuat meleleh...

"Ck, apa sih!" Ayu yang sadar menjauhkan lengannya dari Retno.

"Gemes aku!"

Tapi rupanya keriuhan dan kegemasan teman-temannya tak membuat Aisya lantas tersentuh, wajahnya tetap saja judes, "minggir..." desis si cantik di balik kerudung putih ini.

"Ai...please! Sekali aja ini," mohonnya dengan mata sejelek kodok, berair persis genangan di depan sekolah. Bisa-bisanya pemuda macam Ernest berlaku bak pengemis di depan Aisya, apa sebegitunya ia menyukai? Ataukah hanya sekedar penasaran karena Aisya definisi gadis tak terjamah oleh siapapun termasuk petualang sepertinya.

Aisya berpikir, ada baiknya ia menerima tawaran Ernest kali ini...bukan karena ia luluh atau tak punya uang untuk jajan, namun ia berpikir jika permintaan ini ia penuhi maka Ernest tak akan mengganggunya lagi.

"Tapi setelah ini kamu jangan pernah ganggu aku lagi, deal?"

Ernest menyeringai, "deal..."

Sontak sorak sorai terjadi di belakang sana saat Ernest memberikan kode jempolnya ke arah teman-temannya itu, bahkan Coki dan Duta sudah menari-nari mirip suporter bola dan biduan dangdut.

"Nest, kita dijajanin ngga?" tanya Retno dengan tanpa malu, membuat Aisya membeliak sebesar biji salak dan mencubit Retno.

"Boleh! Buat temen-temennya Aisya silahkan..." jawabnya semanis madu.

Niat awal hanya membeli snack ekstrudat dan minuman isotonik saja ujungnya jadi memborong hampir semua jajanan yang di kantin, lama-lama pegawai kantin sekolah bisa kaya kalo yang jajan tiap hari kaya Ernest.

Aisya sampai menganga dibuatnya, sementara teman-teman sekelasnya pesta ciki dan permen sampe teler. Ernest yang terbaekkk!

Setelah mengantarkan Aisya ke kelasnya Ernest kembali ke kelas, meskipun gadis itu mepet-mepet pada Komang Ayu dan Retno saat berjalan, Ernest hargai itu menurut orang muslim itu namanya bukan mahrom atau apalah itu ia tak mengerti yang jelas lelaki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau muhrimnya dilarang bersentuhan, atau mungkin ia memiliki wajah-wajah penjahat? Makanya Aisya tak mau dekat-dekat.

Sepulang nanti ia akan bertemu kembali dengan si cantik galak itu di club sains dan tim OSN. Cukup terkejut, memang Tuhan seperti sedang mengakurkan keduanya apakah mereka sengaja dipertemukan? Ernest kini cekikikan sendiri di kelas mirip orang sableng jika mengingat itu dan wajah gadis berkerudung putih.

"Nest, tangkap!" teriak Coki tanpa aba-aba melempar bola basket. Untung saja ia memiliki refleks bagus, hingga bola berat itu ditangkapnya tepat sebelum mengenai hidung bangirnya.

"Main satu babak lah, biar keringetan!" ajaknya bersama teman-teman lain.

Ernest tersenyum, "oke! Kita gegerkan sekolah dengan kehisterisan ciwi-ciwi!" ia kembali beranjak seraya membuka terlebih dahulu seragam putihnya.

Ia kesana kemari dengan lincahnya membuat rambutnya bergerak, kalungnya ikut keluar dari kaos memberikan kesan jika ia seseorang yang patuh akan keyakinan dan Tuhannya.

"Ernestnya gue," senyum Caroline di pinggir lapangan, gadis dengan porsi cantik yang berbeda ini selalu menjadi pengagum setia Ernest, bahkan sejak kecil sejak mereka sering bersama-sama pergi ke gereja dengan keluarga masing-masing.

"Lo ngga takut saingan sama Aisya anak MIPA 1, Lin?" tanya Celia. Caroline tersenyum geli menatap Celia, "please deh Cel...mereka ngga akan pernah bisa barengan, Aisya dan Ernest berbeda. Lagian om sama tante juga ngga akan kasih restu, jarak mereka itu jauh! Mereka bak kutub, ngga akan pernah bisa nyatu...anggap aja Ernest lagi main-main sekarang, nyari penghiburan karena bosen," jawab Caroline.

"Ayo Nest semangat!" teriak Caroline seraya melompat-lompat kegirangan menyemangati Ernest.

.

.

.

.

Noted :

\* Bli : panggilan laki-laki, biasanya untuk orang yang lebih tua.

\*Tiang : saya

\*Gus : panggilan remaja laki-laki

\*Gek : (Gek, geg, jegeg) artinya cantik, bisa untuk panggilan remaja perempuan Bali.

SOSOK RELIGIUS

Bel yang berbunyi membuat suasana gedung sekolah ini menjadi riuh, para siswa yang seketika membludak keluar kelas macam kawanan ikan sarden menuju arus pulang di gerbang sekolah, keramaian menambah panas cuaca yang sudah terlanjur terik.

"Semangat Ai! Kita dukung 1000 persen!" Ayu dan Retno memeluk Aisya dengan tas yang sudah digendong di belakang. Di tahun kedua mereka bersekolah, si gadis berjilbab ini konsisten menancapkan namanya di dalam daftar siswa yang berpotensi sebagai wakil sekolah dalam ajang OSN (olimpiade sains nasional) atau sekarang disebut KSN (kompetisi sains nasional) antar SMA, meskipun di tahun sebelumnya ia gugur di tingkat kota.

"Aku bakalan selipin nama kamu tiap aku do'a sembah sama Sang Hyang Widi," ujar Ayu, perbedaan keyakinan antara Komang Ayu dan Aisya--Retno tak menjadikan ketiganya saling ejek atau membully, namun ketiganya justru bersahabat saling menghormati satu sama lain.

"Aamiin, makasih sayangkuhhh!" Aisya menarik senyuman lebarnya.

"Coba kalo bilang itu ke Ernest, Ai...pasti sekolah geger lagi!" tawa Retno sukses membuat Aisya meredupkan senyumannya dan mencebik.

Retno tertawa melihat perubahan Aisya, "ngga mungkin lah Ret...jarak mereka tuh jauh, tembok kerajaan mereka juga beda!" tukas Ayu.

"Semoga tahun ini ngga gagal lagi masuk OSN-P ya Ai, jadi nanti punya channel ke universitas favorit, dapet berbagai hadiah juga, biar aku kecipratan!" lanjut Ayu tertawa.

"Aamiin!" diamini oleh Aisya dan Retno.

"Tapi kayanya punya saingan berat lagi Ai, ku denger-denger Ernest tuh pinter juga, apalagi awalnya dia tuh masuk kategori Fisika, tapi ternyata dapet pesaing tangguh sampe akhirnya diturunin ke Astronomi..."

"Sebenernya kalo melihat sikap sama tingkah konyolnya, tiang tak percaya kalo gus itu pintar, tapi melihat fakta kalo nama gus masuk sejak tahun lalu tiang dipaksa percaya," ujar Ayu mengangguk-angguk meyakini ucapannya.

"Percaya sih, dia kan anaknya orang berpengaruh," jawab Retno menghakimi.

"Hey, don't judge book from the cover sistahhh, ngga semua orang jenius penampilannya harus ber'akuarium," balas Aisya tertawa renyah.

"Asikk, dibela nih!"

"Ha-ha-ha!" keduanya ikut tertawa.

"Si Aisya ni, jarang ngomong tapi sekalinya ngomong langsung bikin semaput! Akuarium dikira ikan," imbuh Retno tertawa. Ketiganya berpisah di dekat perempatan lorong, sementara kedua sahabatnya ini langsung pulang mengingat jemputan sudah menunggu, Aisya memilih masuk terlebih dahulu ke dalam masjid sekolah, saat ia melirikkan matanya ke arah jam berwarna pink di pergelangan tangannya.

Ernest sudah berada di aula bersama anak-anak yang berada di dalam tim OSN, masih belum pasti karena mereka belum melewati babak seleksi tingkat sekolah.

Ernest celingukan mencari sosok pintar lainnya diantara anak-anak pintar yang terjaring pihak sekolah, namun ia belum menemukannya memasuki ruangan ini.

"Sudah hadir semua?" tanya pak Wage menghitung jumlah siswa didik yang sudah mendapatkan panggilan dari wali kelasnya masing-masing.

"Pak, Aisya XI MIPA 1 belum hadir..." Ernest menginterupsi.

"Aisya tadi ijin melaksanakan ibadah dzuhur dulu pak," sahut Gibran diangguki Nistia.

Ernest mengakui jika Aisya adalah sosok gadis religius dan itu penting, entah keyakinan apapun yang dianut, berbeda dengan dirinya yang memang bukan seorang hamba religius. Sebenarnya keyakinannya pun memiliki aturan waktu ibadah yang cukup intens meskipun tak pernah mewajibkan, terlebih Ernest adalah pemuda kritis dan realistis, terkadang ia pun ragu dengan keyakinannya sendiri, seumur hidup....selama memiliki keyakinan yang berasal dari orangtuanya bahkan buyut-buyutnya, ia tak pernah melihat seperti apa Tuhan yang memberikan hidup? Apakah Sang Kuasa itu ada? Yang sering ia lakukan adalah memberikan pujian, melaksanakan semua perintah yang tertuang di al kitab, pergi ke rumah ibadah dan mengadukan seluruh masalah hidup pada sang Tuhan yang menurutnya berwujud. Namun Aisya? Ia bersujud pada siapa? Macam apa Sang Maha Esa yang Aisya yakini?

"Assalamu'alaikum...maaf telat pak, bu.." suara lembut itu bak oase di tengah gurun, menyejukkan.

Senyuman Ernest mengembang persis kerupuk kena minyak panas saat sosok bidadari itu hadir, entah pesona atau pelet apa yang Aisya pakai hingga membuat seorang Ernest dengan jiwa petualang dan seluruh gejolak remajanya tak bisa berpaling dari Aisya.

Hay gadis, coba sebutkan apakah nama dirimu di sebuah toko? Maka aku akan menghabiskan seluruh tabungan milikku hanya untuk membelimu....

Aisya itu, harus Ernest katakan apa?! Memiliki kecantikan yang hakiki di balik jilbab yang dipakainya...terkesan malu-malu, menutupi apa yang menjadi kehormatan, mahkota seorang perempuan dengan selembar kain. Bukankah itu terlalu sombong? Ataukah ia yang tak tau caranya bersolek.

Tak banyak produk make up yang Aisya pakai seperti Caroline, gadis itu...setiap ada produk make up ternama apalagi jika brand ambassador kelas dunia, langsung saja ia pesan dan pakai. Tapi seolah madu bunga paling langka dan manis di dunia disiramkan seluruhnya pada gadis ini. Ernest masih bingung, masih begitu banyak gadis cantik di sekitarnya yang bahkan rela mengemis-ngemis untuk ia preteli spare partnya sampai levelan Caroline yang terkenal gadis paling cantik, kaya, kenal baik dengan keluarganya, tentunya seiman pula. Tapi Aisya...wajah dan segala tindak tanduk diamnya seolah seperti magnet tersendiri untuk Ernest.

Ernest berdiri dari tempat duduknya menyambut sang pujaan hati.

"Aisya, dari mana? Aku nunggu loh dari tadi?" nyengirnya menampakkan gigi rapi dengan satu gigi gingsul di kanan, membuat pemuda ini semakin tampan dilihat dari sisi manapun.

CIEEEE ! ! !

Riuh yang mendadak riak macam air dengan lusinan ekor ikan mas itu membuat Aisya menatap nyalang.

Bukannya menjawab ia malah langsung masuk saja ke dalam aula melewati Ernest begitu saja dan mengambil tempat duduk yang ia kira akan jauh dari kursi Ernest tadi.

Ernest terkekeh sumbang mendapat penolakan itu, tapi semakin Aisya menolak semakin ia tertantang.

Sepanjang sesi penerangan teknis seleksi OSN ini Aisya memperhatikan secara seksama pak Wage dan bu Indah yang tengah berbicara di depan sana, bahkan sesekali ia mencatat waktu, teknis dan segala macam tektek bengeknya, sementara Ernest lebih memilih seksama memperhatikan Aisya.

Sadar akan tatapan intens dari seseorang, Aisya hanya meloloskan nafas lelahnya, "Ernest...siapa lagi," gumamnya lelah, ia pikir setelah kejadian kantin tadi, pemuda itu mau melepaskannya tapi ternyata ia salah besar.

Pak Wage melihat satu persatu siswa yang ada di hadapannya dan menemukan satu siswa yang sejak tadi senyam-senyum sendiri macam kesambet jin ivritss, apakah aula ini ada hantunya?

"Ernest, ada yang mau ditanyakan?" tanya pak Wage, sontak semua pandangan mereka kompak menatap ke arah Ernest yang masih bertopang dagu menatap Aisya termasuk Aisya sendiri.

"Hay cantikkk!" sapa Ernest nyengir kuda melambaikan tangan pada Aisya yang seketika merah padam dan kembali membalikkan wajahnya ke arah lain.

"Ha-ha-ha! Definisi gila karenamu ya Nest, terima atuh Sya kasian!" goda salah satu teman.

"Terima!"

"Terima!"

Tanpa dikomandoi siswa lain menyerukan itu, membuat Aisya merengut kesal hingga melampiaskannya dengan mencoret-coret halaman terakhir di bukunya, malu-maluin!

"Hey! Hey! Kenapa jadi ribut gini?!" tegur bu Indah. Ernest akhirnya tersadar dari lamunannya.

"Ernest, kamu ngelamun siang-siang? Sana cuci muka kamu! Makanya kalo istirahat tuh jangan jajan sampe kekenyangan, jadinya jam segini tuh ngantuk, ngelindur!" tegur pak Wage.

"Engga pak, saya justru sadar sesadar-sadarnya...saya cuma lagi mandangin karunia Tuhan...." jawabnya.

"Huuuuu!" riuh mereka lagi.

"Ampun da! Ngga akan bener nanya si Ernest mah pak, heran saya...otak pinter tapi kelakuannya gini," omel bu Indah.

"Genius sama sableng beda tipis ya Nest?" tawa Gibran.

"Gue sableng, lo idi..ot. Gue sableng ada alesannya...karena Aisya..." senyumnya penuh makna.

"Woahhhhhh!" sorak mereka.

"Eehhh! Berisik!" tegur pak Wage.

Aisya semakin menciut jadi sebesar biji anggur.

.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!