Hello Sayangku semua. Mungkin ini muncul lama bener yak, tapi author udah up dari semalam kok say. Emang dasarnya aja lama😁 gaas lah..
................
Rumah Sakit...
Suasana seketika hening kala seorang Pria berkacamata dengan Jas putih tempur itu tengah duduk di kursinya menjelaskan tentang apa yang telah terjadi.
Wajahnya serius dan menatap penuh hormat sosok Pria dengan aksen Eropa yang tengah duduk di hadapannya. Ruangan ini hening seakan membiarkan ia bicara dengan bebas tapi masih ada rasa segan yang tak bisa di tepis akan tekanan dan hawa intimidasi dari sosok ini.
"Tuan Maxwell! Kondisi rahim Nona Violet mengalami penurunan setiap Tahunnya. Dia memaksakan diri agar bisa mengandung anak tapi Ovariumnya tak cukup kuat apalagi Kangker yang sekarang sudah menjalar ganas akan mengakibatkan hal fatal. Kami tak bisa lagi mencegah tindakan Operasi pengangkatan rahim," jelas Dokter Karren yang terlihat sedikit mengiba.
Tak ada raut apapun yang di tunjukan oleh wajah Tampan datar dengan garis rahang tegas serta manik coklat kekuningan itu. Hanya satu raut dingin tapi jelas ia pandai menyimpan emosi yang ada di dalam dirinya.
"Bagaimana keputusan anda? Tuan!"
"Lakukan saja yang seharusnya" suara tegasnya berucap bagai sebuah titahan yang tak terbantahkan.
Dokter Karren mengangguk segera menyodorkan lembaran kertas yang berisi semua hasil Pemeriksaan Nyonya Violet bulan ini.
"Saya harap Nyonya Violet bisa menerima ini. Tuan juga harus tetap mendampinginya agar kondisi mental Nona akan tetap baik-baik saja." imbuh Dokter Karren menatap penuh hormat dan sopan sosok ini.
Dialah Maxwell Zean Marcello. Pria berumur 28 Tahun yang memiliki sifat Misterius luar biasa. Ia jarang bicara tetapi kecerdasan dan kekuasaannya tak akan bisa di bantah siapapun.
Di berbagai Negara ia memiliki kerajaan bisnis dimana-mana dengan nama Marcello E-business Company yang bergerak di bidang Otomotif serta Investasi. Dirinya kerap menjadi banyak perbincangan karna sudah menikah dengan Nona Muda Keluarga Fernandez selama 3 Tahun tapi belum memiliki seorang anak.
Tentu hal itu tak menjadi masalah bagi Maxwell yang memang tak pernah menginginkan seorang anak dari Pernikahan mereka. Ia tak tahu apa mencintai Violet atau tidak karna Pernikahan ini hanya di dasarkan oleh kesepakatan antara dua Keluarga Marcello dan Fernandez.
Yang jelas. Maxwell hanya menjalankan apa yang seharusnya terjadi. Ia juga tak terlalu memusingkan urusan Rumah Tangganya karna Maxwell memang memiliki dunianya sendiri.
Hal ini dapat di lihat jelas oleh Dokter Karren yang selama ini menangani kesehatan Violet. Setiap diagnosis yang ia buat walau bagaimanapun parah atau perkembangan yang sedikit maju tak akan ada menciptakan respon emosi di wajah Tampan ini.
Maxwell seakan-akan hanya menjadi Robot hidup tapi masih tahu apa yang harus ia lakukan.
"Jelaskan ini pada Keluarganya!" tegas Maxwell berdiri dari duduknya hingga Tubuh Atletis dibaluti Kemeja dan Jas itu menunjukan kuasanya.
"Tapi. Ada baiknya jika anda yang.."
Dokter Karren berhenti bicara kala tatapan tajam manik coklat elang ini sudah menusuk jantungnya. Alhasil Dokter Karren mengangguk membiarkan Maxwell keluar dari ruangannya.
Seketika hawa disini kembali normal. Ia membuang nafas lega karna jantungnya kembali aman dan tak bisa di bayangkan bagaimana dinginnya Rumah Tangga Pria itu selama ini.
"Nyonya Violet sangat tak beruntung. Memang Tampan dan berkharisma tapi dia sama sekali tak bisa menunjukan perasan apapun," gumam Dokter Karren merasa iba. Hawa gelap dari tubuh Maxwell terlalu membuatnya sesak berhadapan lama-lama dengan Pria itu.
.....
Sementara di luar sana. Langkah Maxwell masih terkesan tegas menapaki lantai Rumah Sakit menuju ruangan rawat Violet.
Ia tak menghiraukan para Tenaga Medis yang melewatinya menyebar ranah tak bersahabat yang membuat semuanya menjauh.
Setelah melewati belokan ke arah kamar wanita itu, Maxwell melipat lembaran kertas di tangannya lalu melempar benda itu ke sembarang arah.
Ia menatap datar para penjaga di depan Ruangan rawat yang tampaknya sudah di kirim banyak Penjaga oleh Ayahnya.
"Tuan Muda!"
Maxwell hanya diam membiarkan satu penjaga itu membuka Pintu untuknya dan barulah Maxwell masuk dengan raut wajah tak berubah.
Ia berjalan dan terhenti di ranjang rawat seorang wanita yang tampak belum sadar dari tidurnya. Ntah ruangan ini terlalu nyaman atau memang ia tengah sakit parah Maxwell tak tahu.
"Bangun!" ucap Maxwell dengan intonasi tak berubah. Ia memang tak bisa bersikap seperti Suami Impian karna Maxwell punya caranya sendiri.
"Bangun!"
"S..Sayang!" lirihan wanita berambut panjang kecoklatan ini tersigap akan kedatangan Maxwell.
Wajah oval ini tampak pucat dengan mata sipit dan ada Poni di bagian dahinya. Ia masih terlihat manis dan memiliki tatapan yang sendu.
"Apa kau sudah lama? Maaf aku tadi ketiduran dan.."
"Kau harus di Operasi!" sela Maxwell tegas tak ada raut iba sama sekali. Padahal, respon wajah Violet langsung berubah kosong mendengar kalimatnya barusan.
"S..Sayang aku.."
"Minta penjelasan pada Dokter! Aku hanya tahu itu," sambar Maxwell membuat mata Violet berair. Wajah penuh kesedihan dan kekecewaan itu naik ke permukaan dengan bibir pucat bergetar dan tangan terulur meraba perutnya.
"O..Operasi? Tapi..s..setelah itu aku tak akan bisa h..hamil. Aku.."
"Kenapa kau ingin sekali menyiksa dirimu sendiri?" tanya Maxwell tapi wajah masih dingin membeku.
Violet seketika diam menatap Maxwell sendu. Ia tak habis pikir kenapa Maxwell begitu tak bisa mengerti dirinya.
"Kau akan tetap hidup jika tak ada anak itu."
"S..Sayang! Kita.. kita sudah menikah selama T..Tiga tahun. Aku..aku ingin memberimu keturunan."
Seketika Maxwell membuang muka. Ciri khasnya yang tak emosional terlalu menyakiti Violet yang merasa jika Maxwell begitu kejam dalam memperlakukan orang lain.
"Kau tak perlu menyusahkan diri sendiri. Persiapkan dirimu untuk Operasi."
"Aku tak mau," tukas Violet dengan mata mengigil meremas perutnya. Maxwell diam sesaat tapi setelah itu ia berbalik pergi tanpa meninggalkan satu patah katapun.
Seketika tangis Violet pecah terdengar sampai keluar. Ia melempar barang-barang di sekitarnya ke lantai sebagai bentuk jika ia tengah mengalami hal yang paling buruk dalam hidupnya.
"K..kenapa??? Kenapa harus akuu??? Kenapa???" teriak Violet menjadi-jadi. Ia berharap jika ada anak maka Maxwell akan merubah sikap dinginnya itu dan bisa menjadi manusia walau sesaat saja.
Tapi, harapan Violet seketika sirna kala Maxwell sendiri tak menghiraukan soal Keturunan. Padahal, di usia Pernikahan yang begitu matang ini seharusnya Maxwell yang lebih memiliki keinginan untuk memiliki Buah Hati.
Sikap Maxwell terlalu sulit Violet imbangi. Sampai sekarang-pun Violet tak tahu apa kesukaan Maxwell atau hal apa selain pekerjaan yang ia gemari.
"A.. Apa yang harus aku lakukan agar bisa mengubahmu?!"
....
Vote and Like Sayang..
Setelah mendapat penanganan dari Dokter akhirnya Violet dapat di tenangkan. Ia sudah tak lagi melempar barang atau berteriak tetapi tatapan mata kosong dan lingkaran kantong mata hitam itu terlihat jelas menandakan ia tengah tak baik-baik saja.
Tentu semua ini belum di ketahui oleh Keluarga Fernandez karna Violet tak ingin membuat Ibu dan Ayahnya bertambah cemas akan keadaanya saat ini.
Karna memang sudah di ujung tanduk dan kepalang jatuh. Violet akhirnya menundukan ego dan perasaanya yang begitu membuncah kala membayangkan betapa indahnya harapan itu. Ia hanya ingin membuat kesepakatan dengan Maxwell yang sekarang sangat sulit di hubungi.
Dokter Karren dan Suster yang biasa membantunya menangani Violet sampai harus memalsukan wajah kala Violet menunggu panggilan itu terjawab.
"Sebentar. Nona!"
Dokter Karren membetulkan kacamata di hidungnya. Ia kembali menghubungi Nomor Maxwell yang ada di Ponsel Violet untuk memberitahu soal jadwal Operasi dan bagaimana tindak lanjutannya.
Melihat dua wajah manusia ini begitu gusar tentu Violet sadar. Ia melirik jam di dinding yang menunjukan pukul 8 Malam. Pastinya Maxwell tengah berkutat dengan kertas-kertas di mejanya lagi.
"Tak usah di ganggu!"
"Nona! Kau.."
"Ponselnya akan di matikan ketika tengah bekerja," jawab Violet hanya mengambil spekulasi itu. Ia memejamkan matanya untuk sekedar merilekskan pikiran agar tak kembali kusut.
Ia juga merasa cemas karna Maxwell tadi pergi dalam keadaan sulit di tebak dan tentu ia khawatir Pria itu akan marah padanya.
"Nona! Kami akan memberitahu Keluarga besar anda dan.."
"Selesaikan dulu Operasinya dan baru bicara dengan mereka," jawab Violet yang tak mau melihat wajah penuh kekecewaan di balik senyuman bahagia itu.
Alhasil Dokter Karren mengangguk saling tatap dengan Suster di sampingnya untuk memberitahu Penjaga di luar untuk mencari keberadaan Maxwell agar segera datang untuk menandatangani Surat persetujuan Operasi ini.
"Nona! Sebaiknya kau jangan Stress dan saya yakin anda bisa melewati hal ini," ucap Dokter Karren yang memang lebih tua dari Violet.
"Terimakasih. Dokter tolong segera siapkan Operasinya," sopan Violet dengan lembut dan sangat halus.
Dokter Karren sampai tak percaya jika Maxwell sampai menyia-nyiakan wanita sesempurna ini walau ada kekurangan yang seharusnya tak menjadi masalah besar.
Setelah diam beberapa saat Violet seketika terpikir sesuatu. Sungguh ia tak tenang memikirkan Maxwell yang bebas di luaran sana dengan pesona dan daya tarik yang bisa membuat wanita mana saja bersujud padanya. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa Pria itu.
"Dokter!" sendu Violet dengan mata bulat mengiba.
"Ada apa? Nona!"
"A..aku sudah tak bisa memiliki anak. D..dan kau tahu sendiri Suamiku bagaimana. Dia.."
Dokter Karren mengambil nafas dalam. Ia mengulum senyum tahu akan kekhawatiran Violet yang pasti takut Maxwell bermain wanita di luaran sana.
"Dia akan meninggalkan aku! Aku tak bisa."
"Nona! Walau Tuan Muda seperti itu dia masih perduli pada anda. Buktinya dia selalu hadir saat pemeriksaan yang anda lakukan setiap minggunya. Dia bersedia mendengarkan penjelasan walau anda tahu sendiri bagaimana raut wajah datar. Tuan!" Jelas Dokter Karren menyelipkan senyum santai.
Mendengar itu seketika mata Violet terbuka. Ada harapan yang terpancar disana hingga Dokter Karren merasa lega.
"B..Benarkah? Apa..aa dia bertanya keadaanku?" semangat yang kembali terlihat menyala membuat Dokter Karren segan untuk mengatakannya.
"Iya. Nona! Bahkan, Tuan mengatakan jika anda harus menjalani Operasi ini karna hidup Nona sangatlah berharga."
"M..Maxwell mengatakan itu?" tanya Violet lagi seakan tak percaya.
Dokter Karren diam sesaat tapi sedetik kemudian ia mengangguk penuh acuan energi.
"Yah. Tuan sangat mencemaskan anda. Nona!"
"Y..Ya Tuhan. Aku memang tak mengerti caranya berpikir," gumam Violet berkaca-kaca. Ia merasa hangat dan sedikit bahagia kala untuk pertama kalinya ia tahu Maxwell ternyata memperhatikannya.
Melihat raut senang di wajah pucat Violet membuat Dokter Karren mengambil nafas dalam. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membangun hidup wanita ini lagi agar tak depresi berkepanjangan.
"Nona! Anda istirahatlah. Saya akan kembali memeriksa beberapa jam lagi."
"Terimakasih," ucap Violet di penghujung bibir pucatnya.
Dokter Karren mengangguk dan segera pergi keluar dari ruangan rawat ini. Di luar sana seperti biasa penjaga masih berderet dan yang membuat Dokter Karren terhenti adalah Suster yang tadi ia suruh keluar tampak gemetar tengah menjawab Panggilan seseorang.
"T..Tuan! b..bisa kau katakan pada Tuan Muda untuk kembali ke Rumah Sakit?" gugupnya berkeringat dingin.
"Tuan tengah sibuk. Dia tak bisa di ganggu."
Suara yang sedikit menekan di seberang sana membuat Suster wanita itu pucat. Pasalnya ia tahu Asisten Pria itu memiliki sikap yang begitu Ambisius dan sangat patuh. Bisa saja dia melaporkan dirinya pada Tuan Maxwell dan akan berakibat buruk nantinya.
"Tuan! Saya hanya menjalankan tugas dan.."
"Langsung hubungi Keluarganya!"
"Tapi..."
Panggilan itu langsung terputus. Suster wanita itu menghela nafas lega mengusap keringatnya lalu menoleh kebelakang dimana Dokter Karren tampak mengisyaratkan agar tak memberitahu Nona Violet untuk sementara ini.
.....................
Di tempat yang berbeda terlihat jelas jika Sosok tinggi jangkung dengan perawakan gagah atletis itu tengah kembali membolak-balikan kertas di tangannya. Wajah Tampan sangat serius dengan alis tebal menukik pertanda ada yang tengah mengusiknya.
"Dia memang selalu ingin memperbudakku," umpat Maxwell meremas kertas itu lalu membuangnya ke sembarang arah. Ia menarik simpulan di dasinya agar lebih memberikannya ruang untuk bernafas.
"Kirim bangkai-bangkai itu kembali padanya." desis Maxwell membuat Pria berambut pirang dibelakangnya seketika mengangguk.
Kursi itu ia putar kecil seraya menatap lurus kedepan dengan sorot mata tajam yang menyeramkan.
"Tuan! Bagaimana dengan Nona Violet?"
"Dia menelfonmu?" tanya Maxwell memejamkan matanya seraya bersandar ke kursi kekuasaan ini.
Tentu ia tak akan memberikan Kontak pribadinya kesembarang orang termasuk Violet yang notabennya Istri Sah untuknya.
Asisten Jirome mengangguk karna tadi ia menjawab Panggilan di luar ruangan.
"Iya. Tuan! Suster itu mengatakan jika Nona sudah sadar dan dia ingin menemui anda."
"Cih," umpat Maxwell mengetuk-ngetuk lengan kursinya. Ntah kenapa ia sangat malas mengurus semua ini? Tapi, Violet terlalu polos tak menyadari jika semua ini hanya permainan Ayahnya.
"Tuan! Aku akan mengurusnya untuk anda."
Maxwell mengangkat tangannya pertanda tak perlu. Asisten Jirome diam tunduk akan keputusan apa yang Tuannya buat.
"Tua Bangka itu sangat menyayangi menantunya. Dia sampai mengancamku berulang kali," desis Maxwell yang tadi menerima surat jika Tuan Besar Marcello akan mengambil Hak kepemilikan Kediaman yang sudah lama Maxwell jaga. Ia tak akan membiarkan Kediaman itu di ambil alih tapi juga tak mau berperang dengan Ayahnya walau mereka tengah menjadi Musuh dalam selimut sekarang.
.........
Vote and Like Sayang..
Jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Selama ini mereka menunggu Maxwell belum menampakan batang hidungnya padahal Operasi akan di mulai pada jam 1 dinihari nanti. Dokter Karren dan Team Bedah lainnya sudah bersiap bahkan hanya menunggu Surat izin ini di tanda tangani oleh pihak Keluarga.
Tetapi. Setelah jarum panjang itu mengarah ke angka 5 tiba-tiba saja mereka kedatangan Pria paruh baya yang tampaknya baru pulang ke Negara ini. Dengan rambut hampir memutih dan jambang tipis di rahang tegasnya itu ia mampu membuat semua Pengawal di luar ruangan langsung menunduk.
"Tuan Besar!"
Sapa mereka tapi tak di jawab. Sekilas memang ada kemiripan dengan Maxwell si beku itu dan memang ini adalah Ayahnya Tuan Marcello.
Tanpa berbicara yang tak perlu ia langsung mendekati Dokter Karren bersama Team Medis lainnya yang hanya menunggu di luar ruang rawat Violet.
"Tuan Besar!"
"Bagaimana Operasinya?" tanya Tuan Marcello dengan Mantel tebal masih ia pakai menandakan perjalanan kesini cukup panjang.
Mendapat pertanyaan seperti itu Dokter Karren dan rekannya saling pandang juga segan dengan Sosok ini.
"Kami menunggu Tuan Muda Maxwell untuk menandatangani surat izin operasi ini. Tuan! Tapi.."
Dokter Karren menjeda kalimatnya agak ragu memancing amarah Pria di hadapannya ini.
"Tapi, Tuan Maxwell tak datang bahkan menjawab panggilan dari kami juga tidak," imbuhnya sopan.
Seketika raut wajah Tuan Marcello berubah kelap. Ntah bagaimana lagi ia bisa mengendalikan ego tinggi dari Maxwell yang selalu semaunya.
"Berikan padaku surat itu!"
"Ini. Tuan!" Jawab Dokter Karren langsung memberikannya. Tuan Marcello menandatangani surat itu secara lugas lalu kembali memberikannya pada Dokter Karren yang lega.
"Kau urus Operasinya. Katakan pada Violet jika Maxwell akan menunggunya Operasi!"
"Baik. Tuan!"
Mereka segera menjalankan Prosedur yang ada. Dokter-Dokter Spesialis di hadirkan langsung dan tentu Keluarga Marcello tak main-main dalam urusan keuangan. Mereka selalu mendapat sumber pundi-pundi dimana-pun.
Melihat semuanya sudah berjalan. Pengawal yang tadi mendampingi Tuan Marcello memberikan Mantel hangat yang lebih tipis agar memudahkan Pria ini beraktifitas.
"Sejak kapan dia pergi?" tanya Tuan Marcello pada salah satu Penjaga berjas hitam di dekatnya.
"Tuan Muda pergi 8 Jam yang lalu. Setelah itu kami menghubunginya kembali tapi hanya Asisten Jirome yang mengangkat. Tuan!" jawab mereka menunduk.
Tuan Marcello membuang nafas kasar merapatkan Mantel hangat yang baru ia pakai. Amarah dan rasa muak itu bercampur hingga ia langsung mengeluarkan Ponselnya untuk menghubungi Pejantan Beku itu.
Namun. Lagi-lagi hanya suara Operator yang menjawab panggilannya pertanda jika Sosok itu benar-benar tak perduli.
"Kalian cari dia!! Katakan jika aku sudah kembali!!"
"Baik. Tuan!"
Mereka langsung bergegas menuju Lift di sudut sana membuat helaan nafas Tuan Marcello tercipta. Ia mendudukan dirinya di Kursi tunggu dengan kepala terasa sangat berat.
"Ntah apa yang ada di pikirannya sekarang?!" gumam Tuan Marcello memijat pelipisnya. Pengawal Owen yang setia mendampinginya hanya bisa diam melihat hubungan dingin Ayah dan Anak ini.
"Tuan Besar! Saya rasa Tuan Maxwell tak akan menerima keberadaan Nona Violet."
"Kau benar," gumam Tuan Marcello menanggapi Pengawal Owen dengan kesungguhan. Ia menghela nafas sejenak meringankan beban di dadanya.
"Tapi. Violet adalah wanita yang lembut. Aku pikir hanya butuh beberapa waktu lagi untuk membuat Maxwell berubah menjadi lebih baik. Dia hanya perduli tentang Kematian Ibunya saja," imbuh Tuan Marcello yang hanya ingin Maxwell keluar dari karakter gelap itu. Alhasil keduanya menjadi tak akur dan saling menyerang dalam artian masing-masing.
Setelah beberapa lama Pintu ruang rawat ini terbuka memperlihatkan Team Medis dan Dokter Karren tengah membawa Ranjang Rawat Violet yang tampak menatap sayu Tuan Marcello karna pengaruh obat yang tadi di berikan padanya.
"D..Dad!"
"Nak!" gumam Tuan Marcello berdiri mendekat. Mata Violet berbinar kala melihat Ayah mertuanya datang tapi masih ada unsur kehampaan disana.
"D..Dad!"
"Kau tenang saja. Maxwell tadi datang tapi dia pergi untuk mencari perlengkapanmu," ucap Tuan Marcello dan Violet hanya tersenyum.
Ia meraih tangan kekar Tuan Marcello untuk sesaat menarik nafas untuk mengutarakan keinginannya.
"Katakan! Kau ingin apa?"
"D..Dad! A..aku.. Aku ingin p..punya anak," lirih Violet begitu terlihat sendu dan memprihatinkan. Tuan Marcello terdiam dan begitu juga seisi lorong ini. Mereka tak mau mencampuri urusan Ayah Mertua dan Menantu ini.
"A..aku.. Ingin p..punya anak. Dad!"
"Kau akan memilikinya," tegas Tuan Marcello mengusap lengan Violet penuh ketenagan. Hal itu membuat mata Violet berkaca-kaca karna tentu hanya Mertuanya-lah yang bisa memahaminya.
"Selesaikan Operasi-mu dengan baik dan aku janji saat kau sadar anak itu sudah ada di dekatmu. Hm?"
"B..Benarkah?"
Tuan Marcello mengangguk. Ia menatap penuh perintah Dokter Karren yang kembali mendorong Ranjang ini bersama Teamnya ke arah Ruang Operasi seiring dengan genggaman tangan Tuan Marcello terlepas.
Pengawal Owen terdiam. Ia cukup heran kenapa Tuan Marcello mengatakan hal itu padahal jelas Violet tak akan memiliki anak kandungnya sendiri?!
"Tuan! Kau.."
"Tak ada yang tak mungkin," gumam Tuan Marcello sudah memikirkan ini. Apapun akan ia lakukan agar Violet bisa bertahan dengan Maxwell yang tak berperasaan itu.
Setelah beberapa lama disini. Para Pengawal yang tadi ia suruh mencari Maxwell itu sudah datang tapi yang membuat Tuan Marcello dan Pengawal Owen terbelalak adalah keadaan mereka yang babak-belur.
"T..Tuan!"
"Ada apa?" tanya Pengawal Owen mendekat memeriksa wajah lebam membiru mereka. Tak hayal hidung berdarah dan mata bengkak yang di perlihatkan begitu menyayat empati.
"T..Tuan Maxwell sudah disini," jawab salah satunya gemetar.
Wajah Tuan Marcello sudah mengeras hebat. Ia tahu ini ulah siapa dan kenapa bisa seperti ini.
"Dimana dia???"
"Untuk apa mencariku?" jawaban santai dari arah Lift sana memperlihatkan Dua orang Pria berjalan gagah ke sini tapi yang sangat mendominasi adalah Sosok Tampan dengan tatapan mata Coklat bak elang yang sangat membuat bulu-kuduk mereka merinding.
Tuan Marcello mengepal kuat melihat wajah datar Maxwell yang berjalan kesini dengan lengan kemeja di gulung ke atas memperlihatkan tonjolan otot liat kekar dan kharisma tubuh jangkungnya.
"Kau memang tak waras. Ha??"
"Hm. Memang," jawab Maxwell santai menghentikan langkahnya tepat di hadapan Tuan Marcello hingga para Pengawal tadi langsung menunduk.
Mereka tak habis pikir kenapa Pria Tempramental ini bisa begitu tak terduga sampai datang membuat kegaduhan besar di Lobby tadi.
"Istrimu tengah berjuang di dalam sana tapi kauu.. Kauu seakan menjadi iblis di hidupnya!!"
"Sutt!" desis Maxwell tak suka suara berisik dan keras ini. Ia beralih memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana yang membuat kharisma dan pesona dari Pria ini menyebar tanpa batas.
"Dia bukan Istriku."
"Maxwell! Aku tak mengerti jalan pikiranmu bagaimana?!" geram Tuan Marcello naik pitam akan sikap tak manusiawi ini.
Bukannya merasa terhina. Maxwell justru memberikan Simrik licik dan tak berperasaan seakan-akan jiwanya sudah tak perduli akan hidup orang lain.
"Tua Bangka. Jangan terlalu mendesakku karna aku tak akan segan MEMBUNUHNYA."
"MAXWELLL!!!" Bentak Tuan Marcello tapi Maxwell hanya memberi senyuman yang merinding. Ia seperti kurang waras bersikap tak bermoral pada Ayahnya sendiri.
"Pelankan suaramu. Atau MENANTU KESAYANGAN-mu itu akan terganggu. Hm?"
"Aku tak akan bermain-main lagi denganmu. Sudahi sikap Tempramen-mu ini dan jangan sia-siakan kesempatan ini lagi. Paham?"
Maxwell hanya diam. Ia menatap miris wajah Tuan Marcello dengan lelucon yang merendahkan harga diri pria ini.
"Cari anak angkat untuk mengobati Trauma Istrimu. CARI ANAK ITU!!"
Seketika raut wajah Maxwell yang semula bergurat santai langsung mendinginkan suasana. Ia membuat semua Pengawal ini mundur hingga kilatan amarah itu menyambar di matanya.
"Anak?" tekan Maxwell mengepal.
"Yah. Jika tidak aku tak akan segan menghancurkan Kediaman lamamu. TAK AKAN SEGAN."
"Kauuu.."
Maxwell seketika ingin mengangkat kepalannya tapi seketika bayangan wajah Ibunya terlihat di balik tubuh Tuan Marcello. Mata Maxwell mengigil hebat dengan rahang mengeras dan gigi terkatup rapat.
"Bawa dia sebelum Violet sadar. Jika tidak kau tahu sendiri apa yang ada di genggamanku," desis Tuan Marcello lalu melangkah pergi diikuti semua Pengawal disini.
Karna tak bisa menahan amarahnya. Maxwell langsung meninju dinding di hadapannya hingga Gamba beton ini terdengar keras dan menyisakan keretakan.
Mata Maxwell mengigil hebat dan terus meluapkan emosi yang ia pendam pada barang-barang di sekitarnya.
Jirome hanya bisa diam melihat bagaimana kehidupan Tuannya yang terlalu membuat akal sehat seseorang tiada.
"Tak ada yang bisa mengerti kau. Tuan!"
.....
Vote and Like Sayang..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!