NovelToon NovelToon

Penyesalan Setelah Perpisahan

Bab 1.

Di sebuah gedung mewah, baru saja diselenggarakan akad nikah yang dipimpin oleh seorang penghulu yang merangkap menjadi wali hakim untuk mempelai wanita.

Seorang pria berwajah tampan mempesona mengucap ijab dengan jelas dan lantang. Saat para saksi berkata sah, suara para tamu ikut menderu mengucap kata yang sama.

Setelah menyelesaikan beberapa prosesi wajib, acara dilanjutkan dengan resepsi besar-besaran. Pesta itu dihadiri oleh para pejabat, pengusaha dan orang-orang penting lainnya.

Malam ini Safia rasanya seperti tengah berada di alam mimpi, tidak pernah terbersit di pikirannya akan menikah dengan orang terpandang serta acara yang digelar semewah ini.

Safia seperti mendapat durian runtuh, dia bersyukur bisa menikah dengan pria yang sangat mencintainya.

Usai acara dilangsungkan, sepasang pengantin baru itu meninggalkan gedung dan masuk ke dalam lift menuju kamar pengantin yang akan menjadi saksi penyatuan cinta mereka berdua.

Ya, sang mempelai pria sengaja memilih hotel besar itu untuk menghabiskan malam pertama mereka. Dia sudah menyediakan kejutan besar untuk istri tercintanya. Tentu saja kejutan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.

Baru saja pintu kamar terbuka, manik mata Safia menatap lekat ke setiap sudut yang sudah dihias sedemikian rupa. Sangat indah dan elegan dengan banyaknya taburan bunga mawar yang berserakan di mana-mana, lilin-lilin kecil yang menyala menjadi penerang di tengah remang-remang cahaya.

"Makasih ya Mas, aku suka sekali." Safia tampak kegirangan, matanya berkaca-kaca, lalu memeluk pinggang pria itu saking bahagianya.

"Suka?" pria itu mengangkat sebelah sudut bibir yang membentuk sebuah senyuman sinis, sayang Safia tidak dapat melihat karena wajahnya tengah tenggelam di dada suaminya itu.

"Mmm... Suka sekali," angguk Safia dengan suara manja.

"Ini belum seberapa, nanti akan banyak lagi kejutan tak terduga untukmu." ucap pria itu, dia masih tetap setia dengan senyum liciknya.

"Hehe... Sekali lagi makasih ya, Mas. Sebenarnya tidak perlu membuat kejutan seperti ini, menjadi istri Mas saja sudah cukup membuatku bahagia." kata Safia tersenyum sumringah, jelas sekali raut kebahagiaan menghiasi wajahnya.

"Ya, baguslah. Memang sudah seharusnya kamu bahagia menjadi istriku." ucap pria itu dingin. "Dan kebahagiaan itu akan berganti dengan air mata." imbuhnya dalam hati.

"Sekarang lepaskan dulu, aku mau ke kamar mandi sebentar."

Sambil mengangguk Safia pun melepaskan pelukannya, membiarkan sang suami masuk ke kamar mandi dan memilih menunggu di tepi ranjang.

Selang beberapa menit, bel tiba-tiba berbunyi. Safia memutar leher ke arah pintu, dia nampak kebingungan memikirkan siapa yang datang malam-malam begini. Bukankah ini malam pengantin mereka, lalu kenapa bisa ada tamu di kamar hotel yang mereka tempati?

Karena penasaran, Safia langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia pikir mungkin saja petugas hotel atau orang-orang kepercayaan suaminya yang berkemungkinan memiliki keperluan mendesak.

Sesaat setelah pintu terbuka, Safia menyipitkan mata menangkap kedatangan seorang wanita berpakaian seksi yang tengah berdiri di ambang pintu.

Tanpa berucap wanita itu tiba-tiba menyelonong masuk dan menyenggol bahu Safia. Tentu saja hal itu membuat Safia bingung karena dia tidak mengenal wanita itu sama sekali.

"Maaf, mungkin Anda salah kamar." ucap Safia membuka suara, dia lekas berbalik dan menghadang langkah wanita itu dengan cepat.

"Salah kamar?" wanita itu mengernyit. "Aku rasa tidak," imbuhnya, lalu wanita itu mengulas senyum dan memilih duduk di sisi ranjang. Dia melipat kaki sehingga menampakkan kulit pahanya yang begitu putih dan mulus.

Safia yang menyaksikan itu bertambah bingung dan nampak panik, dia mulai gelisah. Suaminya tidak boleh melihat pemandangan seperti ini, apalagi di malam pengantin mereka.

Baru saja Safia hendak mengusir wanita itu, pintu kamar mandi tiba-tiba berderit. Sang suami muncul dengan balutan kimono yang membungkus tubuh atletisnya.

"Sudah lama?" sapa Salman yang merupakan suami Safia. Dia sama sekali tidak menatap istrinya, matanya justru terfokus pada tubuh seksi wanita itu.

"Baru saja," sahut wanita itu seraya tersenyum, dia lantas berdiri dan berjalan menghampiri Salman.

Tanpa Safia duga, kedua manusia itu tiba-tiba berpelukan di depan mata kepalanya. Tidak hanya itu, mereka juga tanpa malu berciuman seperti sepasang suami istri pada umumnya.

Mata Safia tiba-tiba membola menyaksikan pemandangan menjijikkan itu, dia benar-benar terkejut dan menutup mulut dengan cepat. Kakinya mendadak gemetaran dengan mata berbinar menahan cairan yang menggenang.

Safia rasanya ingin marah dan memukuli kedua manusia tidak tau diri itu detik ini juga, tapi entah kenapa dia seperti kehilangan kekuatan.

"Apa ini, Mas?" lirih Safia, air matanya tak lagi bisa dibendung. Cairan itu mengalir begitu saja di sudut matanya.

Salman melepaskan bibir wanita itu dan memutar leher ke arah Safia. "Punya mata, kan? Kenapa masih bertanya?"

Safia terperanjat mendengar jawaban ketus Salman. "Hmm... Aku bisa melihatnya,"

Safia tersenyum getir dan dengan cepat membuang pandangannya ke arah lain lalu berbalik badan. Dengan langkah gontai dia berjalan menuju pintu, dia tidak sanggup melihat kemesraan suaminya itu.

Bisa-bisanya dia mendapat pengkhianatan di malam yang seharusnya menjadi malam paling bahagia untuk sepasang suami istri seperti mereka. Safia benar-benar kecewa, hatinya perih bak disayat sembilu tajam.

"Selangkah saja kakimu meninggalkan kamar ini, aku pastikan hidupmu akan menderita untuk selamanya!" ancam Salman pada Safia.

"Aku sudah menderita melihat apa yang baru saja kamu lakukan, apa lagi yang harus aku takutkan?" sahut Safia berderai air mata, dia terus saja berjalan meninggalkan kamar tanpa mempedulikan ucapan Salman.

Baru saja Safia tiba di luar, bokongnya langsung terhenyak di lantai. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan suami yang baru saja menikahinya.

"Pergilah!" ucap Salman pada wanita yang masih berdiri di sampingnya.

"Tapi, Tuan-"

"Aku bilang pergi," bentak Salman, wanita itu sontak terkejut dan ketakutan melihat mata Salman yang memerah dibakar api kemarahan.

"I-iya," sahut wanita itu terbata-bata kemudian berlari meninggalkan kamar.

Setelah wanita itu pergi, Salman mengayunkan kakinya menyusul Safia. Saat mendapati istrinya yang tengah meringkuk memeluk lutut, seringai tipis melengkung di sudut bibirnya. "Masuk!" titahnya.

Safia tidak menyahut dan hanya diam dalam kehancurannya.

"Punya telinga tidak? Aku bilang masuk!" berang Salman dengan rahang menggeram, suaranya pun lantas meninggi.

"Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak ingin menjadi istrimu." pinta Safia dengan yakin, lalu memberanikan diri menatap wajah Salman.

"Cerai?" Salman mengulas senyum licik. "Sampai lebaran cicak sekalipun, tidak akan ada yang namanya perceraian diantara kita." imbuhnya.

"Lalu untuk apa pernikahan ini dilanjutkan? Belum apa-apa saja, kamu sudah berani menyakitiku. Bagaimana dengan besok dan besoknya lagi?" Safia terdiam dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, dadanya kian sesak mengingat kejadian barusan. "Kalau kamu tidak pernah mencintaiku, kenapa menikahi ku? Apa yang membuatmu melakukan ini padaku? Apa salahku padamu, hah?" cerca Safia dengan sederet pertanyaan yang membelenggu hatinya, matanya menyiratkan kepedihan yang sangat mendalam.

"Kau akan tau jika saatnya sudah tiba. Sekarang masuk, jangan membuatku marah!" sergah Salman dengan tatapan tajam seperti mata elang yang siap mencabik mangsa.

"Ya, aku akan masuk. Tapi mulai detik ini, aku mencabut hakmu atas diriku. Diantara kamu dan aku hanya sebatas orang asing, aku tidak akan pernah menganggap mu sebagai suamiku."

Setelah mengatakan semua itu, Safia bangkit dari duduknya. Dia berjalan memasuki kamar dan bergegas mengambil pakaian ganti lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

Di dalam sana tangisan Safia pecah di dekat wastafel. Dia tidak menyangka akan terjebak dalam cinta palsu yang dimainkan Salman untuknya.

Sakit, perih, Safia tidak bisa melupakan pemandangan yang tadi dia lihat. Mungkin seumur hidup bayangan itu akan tetap datang menghantui ingatannya.

Setelah puas membuang air mata, Safia dengan cepat mencuci wajah lalu mengganti pakaian dan membuang gaun pengantin yang dia kenakan tadi ke dalam tong sampah.

Jika Salman memang ingin menabuh genderang perang dengannya, maka Safia akan melayaninya dengan senang hati. Tidak ada gunanya menghormati suami seperti itu.

Bab 2.

Safia keluar dari kamar mandi dengan mata sedikit bengkak, dia berusaha terlihat santai seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dia tidak ingin dipandang lemah oleh pria pecundang itu.

Melihat Salman yang tengah berbaring di ranjang, Safia pun memilih duduk di sofa lalu berbaring memunggunginya. Dia benar-benar jijik melihat wajah pria itu.

Hampir dua bulan mereka berdua menjalin hubungan, tidak sedikitpun keanehan yang tampak dari gelagat pria itu. Akan tetapi, sekarang semua impian Safia hancur lebur tanpa sisa.

Safia pikir Salman benar-benar mencintainya, dia tidak sadar kalau kasih sayang dan perhatian yang diberikan Salman selama ini hanyalah sebuah ilusi.

Semakin Safia memikirkannya, semakin hancur pula hatinya. Kenapa takdir begitu kejam padanya?

"Hei, apa yang kau lakukan di sana? Cepat, kemarilah!" panggil Salman dengan suara baritonnya yang menggema.

Safia yang mendengar itu hanya diam dan memilih menutup telinga, dia tidak akan mau menuruti keinginan bajingan itu.

"Hei, apa kau tuli?" seru Salman dengan nada meninggi, namun Safia masih tetap setia pada pendiriannya. Safia benar-benar tidak ingin melihatnya.

Kesal karena Safia tidak merespon ucapannya, Salman lantas bangun dari pembaringan. Dia berjalan mendekati sofa dan tanpa pikir mengangkat tubuh ringkih itu dengan enteng.

"Lepas, jangan sentuh aku!" bentak Safia sembari meronta-ronta, dia memukul dada Salman sekuat tenaga.

"Diam!" hardik Salman dengan tatapan tajam seperti serigala liar kelaparan, dia membawa Safia ke ranjang dan melempar tubuh itu sesuka hati.

"Awh..." Safia meringis menahan rasa sakit di bagian pinggang. Tidak terasa bening-bening kaca mendadak jatuh di sudut matanya. Dia benar-benar tidak habis pikir, tidak hanya menyakiti perasaannya tapi Salman juga tega melukai fisiknya. Pernikahan seperti apa yang dia jalani ini?

"Tidak usah banyak drama, sekarang lakukan saja tugasmu sebagai seorang istri!" tegas Salman penuh penekanan, dia menekuk lutut di kasur dan merangkak menjajal tubuh Safia.

Safia menatap Salman sekilas lalu membuang muka setelah itu, tubuhnya berguncang menahan tangisan yang ingin pecah seketika itu juga.

Bolehkah Safia menjerit sekeras-kerasnya? Bolehkah Safia mengumpat sejadi-jadinya? Dia tidak ingin melanjutkan pernikahan neraka ini, dia tidak bisa melupakan kesakitan yang dihadiahkan Salman di malam pertama mereka.

"Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan padaku! Bila perlu bunuh saja aku sekalian agar kamu puas!" tantang Safia dengan mata menyala memancarkan kebencian yang mendalam.

Tidak ada lagi tatapan penuh cinta di mata Safia, tidak ada lagi harapan ingin disayang dan dimanja seperti sebelumnya. Safia benar-benar jijik melihat tampang suaminya.

"Aku memang ingin melakukan itu padamu, tapi bersabarlah sampai saatnya tiba! Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah," sahut Salman menyeringai kemudian menekan Safia dan mendaratkan ciuman kasar di bibir istrinya itu.

Sekuat hati Safia mencoba memberontak tapi tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan. Sampai akhirnya Salman berhasil menarik paksa pakaian yang melekat di tubuhnya dan memasukinya dengan cara yang tidak manusiawi.

Salman terlihat seperti binatang buas yang sama sekali tidak memiliki perasaan. Semakin Safia menjerit, semakin kuat pula dia menekan inti gadis itu tanpa belas kasih. Tubuh Safia dibolak-balik olehnya seperti sebuah boneka yang tidak bernyawa.

Safia menjerit dan meraung saat intinya dihujam hentakan bertubi-tubi. Hanya tangisan pilu yang dapat menggambarkan bagaimana hancurnya dia saat ini.

Malam pertama yang harusnya meninggalkan kesan istimewa, kini berakhir dengan kekecewaan yang mendalam di hati Safia. Harga dirinya hilang lenyap, masa depannya hancur hanya dalam hitungan menit saja.

Meski Safia tau bahwa Salman berhak mengambil keperawanannya, tapi Safia merasa tidak ikhlas memberikan itu pada lelaki bejat sepertinya.

Flashback

Safia merupakan seorang gadis cantik bertubuh kecil mungil. Saat ini usianya baru menginjak dua puluh lima tahun, dia merupakan seorang anak yatim piatu yang dibesarkan di sebuah panti asuhan.

Dua puluh tiga tahun yang lalu kedua orang tuanya mengalami laka lantas dan meninggal di tempat kejadian. Sampai detik ini dia tidak tau penyebab pasti dari kecelakaan tersebut.

Sekarang dia sudah menjadi seorang dokter spesialis anak, semua itu berkat kepintaran dan kegigihannya dalam belajar untuk mencapai cita-cita. Dia ingin adik-adik di panti mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak sehingga dia pun memilih menjadi dokter anak.

Hari itu dia baru saja pulang setelah lembur sampai jam dua belas tengah malam. Karena hari itu dia tidak membawa motor, dia harus rela menunggu angkutan umum di depan rumah sakit tempatnya bekerja.

Sampai jarum jam berputar menunjuk angka satu, Safia tidak kunjung mendapatkan tumpangan, akhirnya dia memilih berjalan kaki menuju panti asuhan yang menjadi rumah kebanggaannya.

Akan tetapi, saat diperjalanan tiba-tiba dia dikepung oleh empat orang preman yang berjalan sempoyongan. Jelas terlihat bahwa keempat pria itu tengah berada di bawah pengaruh minuman keras.

Safia berusaha menghindar tapi keempat pria itu sudah keburu menangkapnya. Saat salah seorang dari mereka ingin melecehkannya, tiba-tiba sebuah lampu mobil menyoroti mereka semua.

Seorang pria bertubuh tinggi kekar turun dari mobil, dengan gagahnya dia berjalan menghampiri mereka dan melayangkan bogem mentah pada satu persatu pria itu bergantian.

Karena keempat preman itu tengah mabuk berat, tidak seorangpun yang dapat melawan hantaman dan terjangan dari pria itu. Keempatnya tergeletak di pinggir jalan.

Ya, pria itu adalah Salman. Dia yang sudah membantu Safia dan menyelamatkan masa depannya, lalu membuka jas yang melekat di tubuhnya dan membungkus tubuh Safia yang sudah gemetar ketakutan.

Salman membawa Safia ke mobil dan mengantarnya pulang ke panti asuhan.

Sejak malam itu, keduanya mulai berhubungan baik dan saling berkomunikasi melalui telepon genggam.

Hingga pada suatu hari Salman mengungkapkan rasa cintanya pada Safia. Tidak hanya itu, dia juga melamar Safia di depan rumah sakit. Banyak mata yang menjadi saksi keseriusan Salman pada gadis itu.

Flashback Selesai

Kini semua kenangan itu tidak akan mampu mengembalikan kepercayaan diri Safia. Dia benar-benar hancur setelah apa yang dilakukan Salman padanya.

Dengan langkah tertatih, Safia menguatkan diri memasuki kamar mandi. Dia mengunci pintu dan berdiri di bawah shower, membiarkan tubuhnya diguyur air seiring bening kaca yang terus berjatuhan di pipinya.

Semua rasa sakit yang diciptakan Salman membuat hati Safia hancur berkeping-keping, dia tidak menyangka akan menjadi budak pelampiasan nafsu dari suaminya sendiri.

Apa kesalahan yang sudah dia lakukan pada Salman? Kenapa pria itu begitu tega memperlakukannya seperti seekor binatang?

Dengan tubuh yang sudah menggigil kedinginan, Safia meringkuk memeluk lututnya, tangisannya pecah menyesali kebodohannya yang hakiki.

Kenapa dia harus jatuh cinta pada pria psikopat seperti Salman? Tidakkah Safia berhak mendapatkan secercah kebahagiaan setelah semua rasa pahit yang dia telan selama ini?

Safia hanya ingin disayang dan dicintai sepenuh hati. Apa dia salah menaruh harapan itu pada Salman?

Lama bercakak dalam pemikiran yang memenuhi otaknya, dunia tiba-tiba berguncang hebat. Tatapan mata Safia mendadak gelap hingga akhirnya tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamar mandi. Tubuhnya terus saja diguyur air yang tak henti mengalir.

Apakah sudah waktunya Safia bertemu dengan mendiang kedua orang tuanya? Safia ingin sekali menyerah sampai di sini.

Bab 3.

Tidak terasa malam berlalu begitu cepat, pagi telah tiba seiring datangnya sinar mentari yang mulai naik menyinari bumi.

Di kasur, Salman tersentak dari tidurnya. Dia mengucek mata dan membukanya perlahan.

Seketika Salman mengerutkan kening saat tak melihat Safia di mana-mana. Dia lekas bangkit dan memperhatikan sekelilingnya, benar saja Safia memang tidak ada di kamar itu.

Namun Salman nampak biasa-biasa saja tanpa merasa kehilangan sedikitpun. Dia justru kembali berbaring dan meraih ponsel miliknya yang terletak di atas nakas.

Saat Salman menyalakan ponsel itu, banyak sekali panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk di dalamnya. Dia pun membukanya satu persatu dan asik membalas pesan yang dia rasa sangat penting, lalu dia menghubungi seseorang untuk menjemputnya ke hotel.

Beberapa menit berselang, Salman menaruh ponsel itu di atas bantal lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Sesaat setelah pintu terbuka, Salman melangkah masuk tanpa peduli dimana istrinya berada saat ini.

Namun betapa terkejutnya dia saat mendapati tubuh polos Safia yang tengah terbujur kaku di lantai kamar mandi.

Seketika raut muka Salman berubah pucat, dia berlari kecil menghampiri Safia dan dengan cepat mematikan shower.

"Hey, bangun, jangan bercanda!" seru Salman seraya berjongkok dan menepuk-nepuk pipi Safia. Sayang wanita itu tidak merespon sama sekali. Tubuhnya terlihat pucat pasi seperti mayat hidup.

Bagaimana tidak, sudah semalaman Safia terbaring tak sadarkan diri dan terus diguyur air yang tak henti mengalir. Mungkin saja saat ini jantungnya sudah berhenti berdetak.

"Hey, ayo bangun, jangan membuatku marah!" berang Salman meninggikan suara, namun tetap saja Safia tidak bisa mendengarnya.

Salman mulai panik, mau tidak mau dia terpaksa membopong Safia dan membawanya ke luar. Salman membaringkannya di atas ranjang dan menutup tubuh polos istrinya dengan selimut.

Karena tidak tau harus bagaimana, Salman kemudian menyambar ponsel yang terletak di atas bantal. Dia menghubungi seorang dokter yang merupakan sahabatnya sendiri.

"Menyusahkan saja," umpat Salman mendengus kesal lalu melempar ponselnya ke sofa dan meninggalkan Safia sendirian. Dia masuk ke kamar mandi dan lekas membersihkan diri.

Sepuluh menit berselang, Salman keluar dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Dia dengan cepat mengenakan pakaian dan menyeduh teh untuk menghangatkan tenggorokan.

Baru saja Salman hendak menyeruput teh yang dia buat, bel tiba-tiba berbunyi. Salman meletakkan cangkir itu di atas meja dan melangkah menuju pintu.

Seketika Salman mengulas senyum mendapati kedatangan sahabatnya, lalu mempersilahkan pria itu untuk masuk.

"Pagi-pagi sudah membuat rusuh, ada apa?" tukas Alex. Dia merupakan seorang dokter yang tak lain adalah sahabat Salman sendiri.

"Bukan aku, tapi dia tuh..." Salman menunjuk ranjang yang ditiduri Safia, raut mukanya tampak masam melihat ke arah istrinya.

Alex menatap Safia sekilas lalu geleng-geleng kepala sembari tersenyum kecil. "Astaga, baru semalam sudah dihajar habis-habisan. Apa kau sudah gila?"

"Jangan banyak bacot. Cepat periksa dia, setelah itu pergilah dari sini!" ketus Salman dengan tatapan tajam membunuh.

"Dasar tidak tau terima kasih," umpat Alex. Dia kemudian melangkah menghampiri ranjang dan mulai memeriksa Safia dengan alat yang dia bawa.

Sembari menunggu Alex selesai memeriksa Safia, Salman memilih duduk di sofa dan meraih cangkir yang ada di atas meja. Dia pun melipat kaki dengan pongahnya lalu menyeruput teh buatannya yang sudah mulai dingin,

"Bagaimana?" tanya Salman acuh tak acuh, dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan Safia.

"Kondisi istrimu nampaknya sedikit serius. Sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja agar bisa diperiksa secara menyeluruh." jawab Alex.

"Tidak perlu, kasih infus dan suntikan saja. Sebentar lagi pasti dia bangun," balas Salman.

"Apa kau sudah tidak waras? Denyut nadi dan detak jantung istrimu sangat lemah, kau bisa lihat sendiri wajahnya terlihat pucat dan dingin." sergah Alex meninggikan suara. Dia tidak habis pikir dengan reaksi Salman yang sama sekali tidak berperikemanusiaan.

"Jangan menggurui ku, aku tau apa yang harus aku lakukan. Kerjakan tugasmu lalu pergilah dari sini!" tukas Salman mengusir Alex.

"Aku sudah melakukan tanggung jawabku sebagai seorang dokter. Jika sesuatu terjadi pada istrimu, maka jangan salahkan aku." kata Alex mewanti-wanti, dia pun mengemasi peralatan medisnya dan melangkah meninggalkan kamar.

Setelah punggung Alex menghilang dari pandangannya, Salman bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri ranjang. Dia mematut wajah Safia yang masih nampak pucat, seketika dia pun terdiam untuk beberapa saat.

Bukannya merasa bersalah, Salman justru mengukir senyum sinis. Dia merasa sangat senang melihat penderitaan yang dialami Safia, baginya ini belum seberapa, dia akan membuat Safia lebih menderita lagi daripada ini.

Ya, sejak awal Safia bertemu dengannya. Semua sudah disetting sedemikian baik oleh Salman, bahkan kedatangan empat pria yang saat itu ingin melecehkan Safia merupakan orang-orang suruhannya.

Salman sengaja merekayasa kejadian malam itu untuk menarik simpati Safia. Dia juga sengaja berpura-pura baik selama dua bulan terakhir untuk mengambil hati wanita malang itu. Dia bahkan dengan mudah mengatakan cinta agar Safia masuk dalam perangkapnya.

Kini semua yang direncanakan Salman sudah menjadi kenyataan, dia tidak akan membiarkan Safia lepas dari genggamannya dengan begitu mudah. Bagi Salman hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Kebencian Salman pada Safia berawal sejak enam bulan yang lalu. Saat itu ibu Salman harus dilarikan ke rumah sakit karena penyakit yang sudah lama dia derita.

Dikarenakan saat itu tidak ada dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas, Safia akhirnya ditunjuk oleh kepala rumah sakit untuk menangani wanita paruh baya itu.

Awalnya Safia menolak keras permintaan kepala rumah sakit itu, dia tidak berani karena bukan bidangnya. Akan tetapi setelah melihat kondisi pasien yang semakin memburuk, Safia pun terpaksa mengambil tindakan.

Namun takdir berkata lain. Sebelum Safia sempat menanganinya, wanita itu sudah lebih dulu menghembuskan nafas terakhir. Safia bahkan belum sempat menyentuhnya sama sekali.

Menurut informasi yang Salman terima dari sopir yang membawa ibunya ke rumah sakit, dia menyimpulkan bahwa kematian sang ibu ada hubungannya dengan Safia. Dia berpikir Safia melakukan tindakan mall praktek sehingga menyebabkan ibunya meninggal dunia.

Sejak kejadian waktu itu, Salman akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air. Dia meninggalkan Kanada dan memilih menetap di Indonesia.

Selain untuk membalaskan dendam atas kematian ibunya, Salman juga harus menepati janji pada mendiang ayahnya.

Dia harus menyelesaikan semua urusannya sampai ke akar-akarnya, dia tidak akan membiarkan Safia bahagia di atas penderitaannya. Baginya Safia harus mati menyusul ibunya yang sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Safia harus membayar ini dengan nyawanya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!