NovelToon NovelToon

CINTA UNTUK NADA

1. Pulang kampung

"Hoammm .... "

Nada menguap lebar sambil merentangkan kedua tangannya, masker yang menutupi sebagian wajahnya tertarik ke atas menyentuh matanya. Tangannya bergerak membetulkan, sesekali pandangannya menyapu sekitarnya. Terlihat wajah letih para penumpang bis dengan kaki terentang keluar dari bangku yang mereka tempati, membuat pemandangan terasa menyedihkan.

Perjalanan ke kota kelahirannya kali ini terasa lebih lambat, waktu tempuh yang seharusnya hanya tiga jam mundur menjadi lima jam. Di tengah perjalanan terjadi kerusakan mesin sehingga bis yang ia tumpangi harus berhenti mendadak.

Sopir dan kernet turun memeriksa mobil sambil sebelumnya meminta maaf pada penumpang karena keterlambatan dan ketidak nyamanan perjalanan kali ini.

Drrttt.. drrttt, hp di saku jaket Nada bergetar.

"Hallo, Non Nada? Sudah sampai mana Non, kok jam segini belum datang?" suara bi Ani terdengar khawatir.

"Iya Bi, masih di jalan. Bis nya mogok jadi telat datangnya. Ntar kalau sudah sampai balai desa Nada telpon ya Bi"

"Hati-hati ya Non, sudah malam soalnya. Bibi khawatir, atau Non biar dijemput pak Joko aja. Sebutin alamatnya, biar disusulin kesana ya Non?"

"Nggak usah Bi, lagian bis nya udah baik kok. Nih sudah jalan lagi, Bibi tunggu di rumah aja ya, tolong siapin teh anget sama nasi goreng ya Bi. Hehe, Nada laper"

"Iya Non, udah Bibi siapin. Pokoknya Non Nada yang hati-hati ya," suara bi Ani di ujung telpon. Nada tersenyum, tak sabar ingin bertemu bi Ani yang sangat dirindukannya. Sosok wanita tua yang sudah dianggap seperti Ibunya sendiri.

🌹🌹🌹

Nada celingukan mencari seseorang yang akan menjemputnya. Hawa malam yang dingin menyeruak menembus tulang, Nada mengetatkan kerah jaketnya menarik retsleting hingga ke atas menutup rapat leher jenjangnya. Sesekali dikibaskan tangannya mengusir hawa dingin yang mulai mengusiknya.

Bis yang ditumpanginya sudah sampai di balai desa hampir setengah jam yang lalu. Satu persatu para penumpang mulai dijemput keluarganya, menyisakan Nada seorang diri. Hingga tak lama kemudian muncul sebuah mobil yang berhenti tepat di tempatnya berdiri.

"Maafkan Bapak ya Non Nada, telat jemputnya. Tadi motornya mogok gak mau stater, jadi Bapak tinggal di bengkel depan gapura. Untung saja ada Tuan Arga lewat, sekalian Bapak numpang." Pak Joko keluar dari dalam mobil dengan segera mengangkat koper kecil dan tas ransel milik Nada.

"Ehh, Pak Joko, mau dibawa kemana koper Saya Pak?" Nada menatap bingung.

"Mau Saya taruh di bagasi Non. Ayo Non, cepetan masuk, sudah malam," sahut pak Joko cepat.

Nada menatap laki-laki di samping pak Joko jengah. Wajah tampan dan tubuh tinggi tegap yang kini tersenyum ramah padanya.

"Benar kata Pak Joko, sudah malam. Biar Saya antar pulang sekalian," katanya masih dengan senyum ramahnya.

"Nggak ngerepotin nih! Nggak nelpon dulu sama yang di rumah, nanti ada yang marah lagi!" Arga tetap dengan senyum ramahnya enggan membalas ucapan Nada.

Karena terlalu lelah, Nada yang duduk di bangku belakang tertidur pulas. Arga yang melihat dari kaca spion hanya menggelengkan kepala, gadis yang menarik pikirnya.

Melewati jalan panjang di lereng bukit yang sedikit menanjak, sampailah mereka di depan sebuah rumah mungil yang terlihat begitu asri dengan pekarangan luas dipenuhi berbagai tanaman hias di depannya. Di samping rumah terlihat bangunan baru yang sepertinya baru saja selesai direnovasi. Di teras rumah tampak bi Ani yang sudah menunggu kedatangan mereka.

"Non Nada mana Pak? Kok nggak kelihatan?" tanya bi Ani sambil menerima tas ransel milik Nada. Pak Joko menunjuk ke arah dalam mobil sembari mengangkat koper Nada membawanya masuk ke dalam rumah.

"Ketiduran di belakang," sahut Pak Joko.

Bi Ani bergegas ke mobil, membuka pintu mobil dan menepuk bahu Nada pelan.

"Non Nada bangun, sudah sampai Non." Nada tak bergeming. "Aduh, gimana ini kok nggak bangun-bangun ya?"

Bi Ani mulai menggoyangkan tubuh Nada, tapi tak ada reaksi sedikitpun. Arga yang sedari tadi hanya memperhatikan, berjalan mendekat.

"Biar Saya saja yang gendong Bi. Kasihan, kecapean banget kayaknya"

Arga mulai mengangkat Nada perlahan, memeluk erat tubuhnya. Sejenak dipandanginya wajah cantik dalam pelukannya itu, bulu mata lentik dengan alis tebal yang berjajar rapi. Hidung mancung dan bibir mungil merekah. Jantung Arga berdetak cepat, merasakan tubuh hangat wanita dalam pelukannya.

"Tuan, ini kamarnya Non Nada," suara bi Ani menyadarkan Arga.

"Eh, iya Bi." Arga segera menurunkan Nada lembut, menarik selimut hingga menutup sampai ke dada.

"Pak Joko, Bi Ani saya pamit pulang dulu"

"Iya Tuan, makasih sudah mau mengantar kami pulang. Makasih." Pak Joko menjabat erat tangan Arga.

"Sama-sama. Saya permisi dulu, assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Arga berjalan memasuki mobilnya, tersenyum simpul membayangkan bagaimana reaksi Nada jika tau kalau Arga yang menggendongnya masuk ke dalam kamarnya.

🌹🌹🌹

Suara azan subuh menyadarkan Nada dari tidur lelapnya. Matanya masih ingin terpejam tapi ia harus segera bangun dan menunaikan kewajibannya.

Setelah selesai sholat subuh, Nada keluar menuju teras rumahnya. Melakukan olah raga kecil di pagi hari, meregangkan otot-otot yang kaku karena perjalanan semalam.

"Pagi Non Nada, kok sudah bangun?" Bi Ani keluar dari arah belakang rumah sambil menenteng sapu lidi, mulai menyapu halaman rumah.

"Iya Bi, udah nggak ngantuk lagi. Kebanyakan tidur malah lemes badan," sahut Nada sambil menyeka peluh di dahinya.

"Oh iya, ntar siang Non mau dimasakin apa, biar Bibi sekalian ke pasar"

"Masak sayur lodeh sama goreng ikan asin aja, sama bikinin sambal terasi ya Bi? Yang pedes."

"Hehe, iya. Nanti Bibi masakin yang enak pokoknya. Tapi dimakan ya Non, nanti kayak nasi goreng semalam," sahut bi Ani mengingatkan.

"Iya, maafin Nada ya Bi. Semalam ngantuk banget," jawab Nada sambil memeluk bahu Bi Ani. "Ya udah, Nada masuk dulu ya Bi, mau mandi"

"Jangan lupa sarapan ya Non, sudah Bibi siapin di meja makan!"

"Iya Bi, makasih."

🌹🌹🌹

2. Ziarah

Nada mematut diri di depan cermin besar dalam kamarnya. Memoles tipis bibir merahnya sambil membetulkan letak syal di lehernya. "Hhemm, cantik," gumamnya memuji diri sendiri. Nada bergegas keluar kamar sambil menenteng tas punggung warna ivory miliknya. Pagi ini, dia berencana mengunjungi makam almarhumah Ibunya.

"Bi, Nada pergi dulu ya. Mau ke tempat Mama. Assalamualaikum."

"Iya Non. Waalaikum salam," sahut bi Ani sambil berjalan keluar rumah. Dipandanginya Nada yang mengendarai Scoopy coklatnya, tersenyum cerah sambil melambaikan tangan kirinya. Nada memang selalu tampil cantik dan memakai pakaian terbaiknya saat berkunjung ke makam Ibunya.

Masih jelas dalam ingatan bi Ani kejadian dua puluh lima tahun yang lalu, saat Nyonya Sarah meninggal dunia karena mengalami pendarahan berat sesaat setelah melahirkan Nada. Bastian, Ayah Nada terlihat sangat terpukul sekali dengan kepergian istrinya. Baru dua tahun usia pernikahan mereka, dia harus kehilangan istri tercintanya.

Nada tumbuh menjadi gadis cantik dan bersahaja. Kehilangan sosok Ibu tak membuatnya berkecil hati, justru membuatnya semakin jadi sosok yang peduli pada sesama. Hati nuraninya menjerit melihat ketimpangan sosial di depan matanya. Mereka yang sakit dan tidak memiliki biaya untuk berobat, terkadang harus menjual sebagian harta yang di miliki untuk membayar biaya rumah sakit bahkan sampai habis tak bersisa. Hal itulah yang membuatnya bertekad untuk membangun klinik kesehatan di desanya dengan harapan bisa membantu meringankan biaya perobatan mereka.

Tidak mudah memang, walaupun kecil Nada berharap klinik impiannya haruslah dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dan segala peralatan canggih yang menunjang. Dan Nada tau, semua itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Nada tak menampik bantuan dari Ayahnya, yang selalu mendukung penuh keinginannya dan berkat bantuan dari Ayahnya pula Nada mampu mewujudkan impiannya.

Bastian Nugraha Ayah dari Nada, adalah pengusaha tambang batu bara dan property yang sangat sukses di kota B. Demi mewujudkan impian mulia Anaknya, apapun permintaan Nada akan ia penuhi selama itu untuk kebaikan. Dan melihat Anak Gadisnya bahagia, adalah hal terbaik yang bisa ia berikan sebagai seorang Ayah yang tak bisa dinilai dengan uang.

🌹🌹🌹

"Assalamualaikum Ma, apa kabar Mama disana. Maafin Nada baru sekarang bisa jenguk Mama." Nada berbisik lirih. "Nada kangen banget sama Mama"

"Sekarang Nada sudah punya klinik sendiri Ma. Bekas gudang di samping rumah kita sudah Nada bangun jadi klinik kecil. Nada mau bantu orang- orang yang ingin berobat tapi nggak punya biaya, biar mereka nggak harus pergi jauh ke kota"

Nada menyiram pusara Ibunya dengan air yang dibawanya di dalam botol plastik, kemudian menaburkan bunga yang dibelinya di depan gerbang tempat pemakaman.

Nada bersimpuh didekat nisan Ibunya, memanjatkan doa dengan khusyuk.

"Nada pamit dulu, Mama baik-baik disana ya." Nada mengangkat kepala, memandang langit biru seolah melihat Ibunya tersenyum. Tak terasa tangannya terangkat, melambai pada bayangan Ibunya. Tak lama kemudian ia pun beranjak pergi meninggalkan pusara Ibunya.

Tak jauh melangkah, matanya menemukan pemandangan yang mengusik hatinya. Tampak seorang wanita muda menangis terisak sambil memeluk nisan di depannya, sepertinya dia baru saja kehilangan seseorang yang disayanginya. Kakinya melangkah mendekati wanita itu.

"Ibu, kenapa Ibu tega tinggalin Nisa sendiri Bu. Nisa nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, cuma Ibu satu-satunya. Nisa nggak tau harus kemana lagi .... "

Nisa menengadahkan wajahnya menatap sendu wanita cantik yang sedang memegang pelan pundaknya. Air mata masih menetes di pipi halusnya.

"Ibumu?"

Nada merendahkan tubuhnya berjongkok sambil memberikan sapu tangan miliknya. Nisa menganggukkan kepalanya lemah.

"Jam empat subuh tadi Ibu meninggal, Kak," jawab Nisa lemah.

Nada tersenyum lembut sambil mengarahkan tangannya, menunjuk ke pusara Ibunya.

"Ibuku disana, sejak lahir Aku nggak pernah tau gimana rasanya punya Ibu." Nada menggenggam tangan Nisa, mencoba memberi kekuatan.

"Aku Nada. Jika Kamu tidak tau harus kemana, Kamu bisa ikut denganku. Aku sedang membutuhkan seseorang yang bisa membantuku di klinik"

🌹🌹🌹

"Jadi Kak Nada ini Dokter ya? Wihh, keren." Nada tersenyum simpul menanggapi ucapan Nisa yang kini berada di boncengannya.

"Kita mampir ke pasar dulu ya, beli buah," kata Nada sambil mengarahkan motornya memasuki pasar.

"Oke deh Kak," Nisa mengangkat jempol tanda setuju. Nada membeli buah pir dan kelengkeng kesukaannya.

Saat sedang asik memilih, Nada dikejutkan dengan suara seseorang yang memanggil namanya. "Mba Nada, apa kabar?"

Nada menoleh, menatap lelaki tampan di sampingnya yang sedang mengulurkan tangan padanya.

"Maaf, Anda mengenal Saya?"

" Saya Arga, yang waktu itu me .... "

"Aaa .... Saya ingat," seketika pipi Nada memerah mengingat kejadian malam itu. "Makasih ya sudah antar Saya pulang," Nada menjawab cepat. Menepis ingatan bagaimana lelaki itu menggendong dirinya. Arga bengong, menatap bingung dengan tangan masih menggantung di udara.

"Berapa semuanya Bu?" Nada bertanya pada penjual buah.

"Seratus dua puluh lima ribu non"

Nada segera membayar belanjaannya dan dengan cepat menarik tangan Nisa pergi.

"Maaf, kami duluan."

Arga menggaruk kepalanya yang tak gatal, menatap kepergian Nada sampai menghilang dari pandangannya. Arga tak menyangka akan bertemu lagi dengan Nada. Siang ini sesuai jadwal dirinya akan mulai mengunjungi perkebunan teh miliknya di kota ini.

"Maaf Tuan, sudah waktunya berangkat," Toni sekretaris Arga mengingatkan.

"Baiklah." Arga menghela nafas kesal. Pikirannya di penuhi dengan sosok Nada. Ini kali kedua pertemuan mereka, tapi sikap Nada sama sekali tidak bersahabat.

🌹🌹🌹

3. Kepedulian

"Kak Nada kenal sama Cowok tadi?" tanya Nisa penasaran.

"Nggak tuh!"

"Kok Dia tau nama Kakak?"

"Paranormal kali, bisa tebak nama," Nada menjawab asal.

"Hahaha, Kak Nada bisa aja. Dia itu Tuan Arga, pemilik baru perkebunan teh di desa kita ini Kak. Udah kaya, ganteng, baik, ramah lagi. Type suami idaman banget pokoknya"

"Kok Kamu tau banget sih siapa Dia. Jangan bilang kalau Kamu juga suka sama Dia"

"Hehe, naksir doang Kak. Nggak lebih." Nada hanya tersenyum menanggapi ucapan Nisa, senang melihat keceriaannya lagi.

🌹🌹🌹

Hari berlalu, Nada mulai di sibukkan dengan pasien yang datang ke kliniknya.

Nisa yang membantunya, tampak kewalahan saat berusaha menenangkan seorang anak lelaki kecil yang menangis keras karena ingin ikut Ibunya yang sedang memeriksakan kandungannya.

Bi Ani yang keluar rumah menuju klinik untuk mengantar sarapan pagi, terkekeh geli melihat Nisa. Segera di taruhnya dua porsi nasi goreng lengkap dengan telor ceplok di atasnya.

"Sini biar Bibi aja yang gendong, Non Nisa sarapan dulu. Sekalian tolong bawakan sarapan Non Nada ke dalam," Bi Ani mengambil anak yang berada dalam gendongan Nisa. Menepuk perlahan punggungnya sambil mengayunkan tubuhnya dan mulai bernyanyi.

"Makasih Bi Ani, jadi ngerepotin." Nisa tersenyum lega. Tak mudah memang menenangkan anak kecil yang rewel, apa lagi dirinya yang tidak punya pengalaman sama sekali dalam mengasuh anak kecil.

Tak butuh waktu lama, anak lelaki itu terlihat mulai tenang dan mengantuk hingga akhirnya tertidur di bahu Bi Ani.

Tiba-tiba dari arah depan klinik terdengar suara gaduh, seorang lelaki tampan berbadan tegap keluar dengan tergesa dari dalam mobil dan dengan cepat membuka pintu di belakangnya. Tak lama kemudian keluar lelaki paruh baya menggendong seorang wanita yang terlihat lemas, pucat pasi dengan mata terpejam.

Dengan sedikit berlari kecil, lelaki itu menerobos masuk ke dalam klinik.

"Permisi Nona, maaf, dimana Saya bisa bertemu dengan Dokter di klinik ini. Ada wanita pingsan yang butuh penanganan segera," kata Arga dengan wajah terlihat cemas.

Nisa bengong melihat lelaki di hadapannya.

"Nona, please. Ini darurat." Arga mengusap kasar rambutnya.

"Eh, iya. Maaf, Dokter Nada sedang sarapan. Sebentar saya panggilkan"

Nada yang mendengar keributan di depan segera berlari keluar. "Tolong bawa wanita ini ke dalam," perintahnya.

Nada memandang gemas lelaki di hadapannya. Heh, dia lagi. Kenapa harus selalu bertemu dia lagi sih.

"Apa yang terjadi, bagaimana bisa dia tidak sadarkan diri seperti ini?" tanya Nada meminta penjelasan. Pandangannya mengarah pada Arga yang berdiri tak jauh dari meja kerjanya.

Arga mengernyitkan dahi menatap heran wanita cantik yang kini memakai jubah kebesaran dan stetoskop di lehernya, benar-benar tak menyangka kalau dokter yang di carinya adalah Nada.

Nada meraba denyut nadi wanita di hadapannya, memakai stetoskop dan mulai memeriksa pasien di depannya. Usianya masih sangat muda, kurang lebih tujuh belas tahun, badannya kurus dan lemah dengan detak jantung yang bergerak cepat. Nada menurunkan stetoskopnya mengarah ke bagian lambung.

Perlahan mata yang terpejam itu mulai terbuka, berputar lemah melihat ke sekeliling ruangan. "Saya dimana, Saya kenapa dokter?"

"Maaf, Kamu sekarang berada di klinik Saya. Tadi Kamu pingsan di perkebunan," sahut Nada sambil tersenyum ramah. "Siapa nama Kamu?"

"Rima Anjani Dokter, makasih sudah menolong Saya. Tapi maaf, Saya nggak punya uang untuk membayar biaya perobatan Saya," sahut Rima cepat.

" Tidak masalah, Saya tidak akan meminta biaya sepeser pun padamu. Untuk saat ini, yang terpenting adalah kesehatanmu. Tunggu disini sebentar saja, ada yang ingin Saya tanyakan lebih lanjut sama Kamu."

Nada meminta pada yang lainnya untuk menunggu di luar ruangan karena ia ingin bicara hanya berdua saja dengan Rima. Ada yang mengganjal di hatinya melihat keadaan Rima yang membuat hatinya jadi trenyuh, melihat kenyataan di usia yang terbilang masih sangat muda harus bekerja di saat seharusnya anak seusianya sedang asyik menikmati masa remajanya.

🌹🌹🌹

"Kita bicaranya santai aja ya, nggak usah tegang gitu. Panggil Saya Nada saja, oke," Nada tersenyum ramah. "Rima sering mengalami pingsan, atau gejala yang lain yang buat Rima nggak nyaman?" Nada mulai pertanyaannya.

"Suka mual-mual gitu Dok, mulut rasanya asem. Kalau habis makan malah tambah parah sakitnya"

"Itu karena asam lambungnya naik ke kerongkongan. Di dalam kerongkongan bagian bawah ada katup yang dalam keadaan normal akan terbuka untuk menerima makanan atau minuman menuju lambung untuk dicerna. Setelah makanan atau minuman tadi masuk ke lambung, maka katup ini akan menutup kembali untuk mencegah isi lambung naik kembali ke kerongkongan," Nada berusaha menjelaskan semudah mungkin agar bisa diterima dengan baik oleh Rima.

"Pada kasus Rima saat ini, katup itu tidak berfungsi dengan baik. Katup itu melemah sehingga tidak menutup dengan baik, jadi makanan yang sudah masuk tadi kembali naik ke kerongkongan. Itulah yang menyebabkan Rima suka mual dan merasa asam di mulut." Rima hanya menunduk pasrah mendengar penjelasan Nada.

"Jangan mudah stres, perbaiki pola makan secara teratur. Jangan makan pada saat perut benar-benar terasa lapar, karena itu akan mempengaruhi kerja lambung"

"Bagaimana cara Saya bisa mengatur pola makan Dokter, Saya harus bekerja. Upah yang Saya terima tidak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bisa makan sehari sekali saja sudah sangat bersyukur," Rima menutup wajahnya mencoba menahan air mata yang mulai mengalir di pipi pucatnya. Nada memegang lembut tangan kurus Rima mencoba memberi kekuatan.

"Rima harus tetap semangat ya. Yang sabar, Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya." Nada memeluk tubuh Rima lembut. "Aku akan bicara pada pemilik perkebunan, semoga saja ada solusi terbaik. Inshaa Allah"

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!