Pindah rumah? Lagi?
Sudah tiga kali kejadian ini terulang, dikarenakan sang kepala keluarga yang mendapat tugas kerja di lain-lain tempat membuat nya mau tidak mau harus mengajak anak dan istrinya untuk ikut merantau bersamanya, jauh dari kampung halamannya. Rumah mereka yang semula terpaksa dijual untuk biaya pindahan, soalnya semua tidak ditanggung oleh Bos nya (dasar bos jahat).
Keluarga beranggotakan tiga orang ini tengah berdiri di depan sebuah rumah yang lumayan besar dan luas jika dilihat dari dalam, kalo dari luar akan terlihat minimalis. Cat nya putih, ada taman nya juga tapi tidak terlalu besar cukup lah buat tanam mayat, ehh maksudnya bunga.
"Arin cepat tata barang-barang kamu, setelah itu Mama akan daftarkan kamu sekolah," ujar wanita paruh baya yang diduga bernama Rima. Melihat putrinya yang tampak anteng rebahan di sofa setelah sampai tadi langsung membuatnya terganggu, bukannya kemas-kemas malah rebahan.
"Mah daftar sekolahnya besok saja, Arin cape banget," rengeknya seraya merentangkan tangannya meregangkan otot-otot tangan, pegal habis bawa koper dan tas berat berisi baju dan barang lainnya.
"Kalo daftar besok acara pendaftarannya tutup, kamu gak denger tadi kata tetangga kita?"
"Tapi Arin cape pengen bobo."
"Daftar dulu baru tidur, Mama gak mau ya kalo kamu gak sekolah," ucapan Rima sudah tegas itu tandanya gak bisa dibantah. Arin menghela nafas pelan kemudian meraih koper dan tasnya lalu menuju anak tangga, menurut arahan sang Papa bahwa kamarnya ada di lantai dua.
"Kenapa harus ada tangga sih disini? Bisa gak kalo beli rumah yang ada lift nya biar gak capek naik turun tangga," keluhnya sambil terus menyeret paksa kakinya yang sudah kesemutan dari tadi keliling cari rumah yang cocok dan deket dari tempat kerja Papa nya dan terlebih juga deket dari sekolah baru Arin nantinya.
Arin baru saja lulus SMP, itu artinya hari ini dia akan mendaftar sebagai siswi SMA, untung acara pindahannya pas dia libur kelulusan jadi gak terlalu ribet ngurus ini itu.
Arin membuka pintu kamarnya.
"Uhhh debunya banyak sekali, ini lebih mirip rumah hantu, berapa lama gak dibersihin nih kamar kotor banget," Arin mengibaskan tangannya menghalau debu-debu yang memaksa masuk ke rongga pernapasannya. Karena malas jika harus membersihkannya, Arin lebih memilih untuk meletakkan koper dan tasnya di atas ranjang, masalah beres-beres bisa nanti, sekarang dia hanya perlu membersihkan diri karena suara berat sang Mama mulai menyapa indra pendengaran nya.
Arin memakai pakaian simple, hanya daftar sekolah saja kan? Gak perlu pakai seragam atau apa lah itu.
"Kita pergi naik apa Mah?" tanya Arin tiba-tiba sudah berdiri di belakang sang Mama, membuanta beliau terperanjat kaget hampir tersungkur.
"Ya Allah, Arin! Bisa gak kalo ngomong tuh nada suara kamu dipelankam sedikit. Mama sudah pesan taxi kamu tunggu di luar, Mama ganti baju dulu," Rima Mama dari Arin segera memasuki kamarnya yang ada di lantai satu dekat dapur. Arin menghela nafas pelan kemudian keluar rumah.
Di luar, Arin melihat Papa nya sedang bicara lewat telpon, terlihat serius sekali.
"Huh pasti masalah kerjaan, Papa memang orang yang super duper sibuk," gumamnya pelan lalu berjalan kecil menuju jalanan.
Tak berselang lama, taxi yang dimaksud Rima akhirnya sampai sesuai alamat. Arin dan Mamanya segera masuk karena waktu mengejar mereka, pendaftarannya sebentar lagi berakhir. Tidak sampai 10 menit untuk menempuh perjalanan ke sekolah barunya Arin.
"Wahh besar sekali? Seriusan Arin bakal sekolah disini?" tanya Arin takjub melihat bangunan yang gede dan luas sampai ke belakang.
"Ya mau sekolah di mana lagi, hanya ini yang terdekat, kalo kamu gak suka ya gak usah sekolah, jadi gelandangan aja," kekeh Rima kemudian menuntunnya masuk menuju ruang kepala sekolah.
Ruangan kepala sekolahnya sangat elit, AC nya 5 gak beku tuh gurunya disandingin dengan AC 5.
Setelah menyerahkan semua data yang diperlukan, akhirnya Arin diterima sebagai siswa di SMA Puspa Bangsa ini, katanya sih SMA ini salah satu sekolah elit yang siswa dan siswinya kebanyakan dari kalangan holang kaya semua, tapi Arin sih gak percaya sama kayak begituan sekaligus gak peduli juga, sekolah ya sekolah aja gak usah pamer kekayaan, biasanya sih gitu kan.
Arin menggerutu setelah mendengar penuturan kepala sekolah yang katanya besok harus mulai masuk karena siswa dan siswi baru akan mengikuti MOS. Harusnya kan libur satu minggu dulu baru masuk sekolah, (pemikiran anak jaman sekarang seperti saya).
"Huh terpaksa harus bangun pagi nih besok, padahal Arin mau istirahat full," Arin lagi-pagi merengek dan menarik-narik lengan Mamanya.
....
Seperti yang dikatakan kemarin, Arin bangun sangat pagi itupun karena bantuan alarm, Arin tidak mau terlambat untuk masuk sekolah, masa baru daftar udah di skor aja kan gak lucu, mana hari ini MOS lagi untung saja belum disuruh bawa benda aneh, soalnya ini juga hari pertama, Arin pakai seragam olahraga seperti ketentuan pihak sekolah.
"Tumben bangun pagi, biasanya selalu jam 11," goda Mamanya yang tengah memasak sarapan untuk mereka.
"Membiasakan diri," jawab Arin seadanya kemudian meminum susu yang dibuatkan oleh Mamanya.
"Bagus, itu baru anak Mama," Rima mencubit gemas hidung Arin sampai memerah.
"Masa Arin naik taxi lagi Mah?" tanya Arin disela kunyahannya.
"Gak dong sayang, kita kan sudah punya mobil," sahut Hendri Papa Arin.
"Oh iya? Kok Arin gak tau? Papa kapan belinya?"
"Bukan Papa, tapi Bos Papa yang mengantarnya semalam sebagai kendaraan buat bolak-balik Kantor, jadi mulai hari ini Papa yang akan mengantar kamu ke sekolah," ujar Hendri.
"Horeee, gak perlu naik taxi lagi," Arin berjingkrak bahagia bak anak kecil yang diberikan mainan. Kedua orang tuanya hanya menggeleng melihat tingkah putrinya yang konyol.
"Sudah bawa bekal?" tanya Rima kala melihat Arin sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tas nya.
"Gak usah deh Mah, Soalnya tas Arin gak muat," jawabnya.
"Ah masa, lagian kamu bawa apaan sampai gak muat?" Rima mengintip isi tas anaknya.
"Ya ampun, kamu mau sekolah apa mau kemah? Kok bawa boneka sih, lah kipas angin juga ada, senter buat apa sayang?" Rima mengeluarkan barang-barang aneh yang di packing Arin, susah payah dia nyusun tuh barang supaya muat, eh Mamanya asal ngeluarin aja membuatnya mendengus kesal.
"Itu buat jaga-jaga Mah."
"Memangnya MOS kamu sampai malam sampai harus bawa senter segala, kipas angin bisa Mama maklumin lah ini bawa boneka juga," keluh Rima.
"Heyy sudah-sudah, acara debatnya dilanjutkan nanti. Sebaiknya kita berangkat sekarang, nanti telat," Hendri menengahi, dia terlihat buru-buru keluar sambil mengangkat telpon. Arin menata kembali barang-barang yang tadi dikeluarkan Mamanya, tak lupa salim dulu habis itu berlari kejar Papanya yang sudah duluan masuk mobil.
Welcome di novel baru aku, semoga suka walaupun kurang menarik...
Mobil berhenti tepat di depan gedung sekolah baru Arin.
"Kayaknya Papa gak bisa jemput kamu nanti sayang, kamu gak apa-apa kan naik taxi?" Hendri menghela nafas pasrah, hari ini Bos nya menyuruh Hendri untuk lembur di hari pertama ia bekerja.
Raut wajah Arin yang tadinya senyum seketika hilang, padahal sudah membayangkan dari tadi jika nanti pulang sekolah dia dijemput sang Papa. Dengan malas Arin mengangguk mengiyakan. Setelah salim Arin segera memasuki gerbang, untung belum ditutup soalnya masih jam 6 lebih 40 menit, 20 menit lagi jam 7.
Arin melihat sekeliling, dia kebingungan mau duduk di mana. Akhirnya Arin memutuskan untuk pergi ke taman. Di sana sudah banyak siswa dan siswi seumuran dengannya yang sepertinya juga murid baru yang akan mengikuti MPLS sama seperti dirinya. Ada yang main kejar-kejaran, ada yang ngerumpi, ada juga yang makan. Arin merutuki dirinya yang seperti anak hilang di sini karena gak punya teman. Untuk menghilangkan rasa bosan dan sendirian, ia memutuskan untuk memainkan ponselnya saja.
Bel berbunyi dan dari speaker terdengar suara kepala sekolah yang memerintahkan untuk seluruh siswa siswi baru menuju ke aula karena para guru dan anggota Osis sudah menunggu di sana untuk membagikan masing-masing tugas pada siswa baru. Arin berdecak kesal, baru sebentar dia santai sudah dipanggil aja. Arin segera mengangkat tas nya kemudian menuju aula, dia sebenarnya gak tau letak aula nya di mana, hanya berbekal ngekor di belakang siswa lain dia jadi tau.
Tak disangka aula sekolah ini sungguh luas, dua kali lipat dari lapangan basket, mulut Arin menganga karena takjub, jujur baru kali ini dia masuk sekolah semewah ini, sekolah lamanya gak sebesar ini. Arin segera berbaris mengikuti barisan teman-temannya. Kepala sekolah mulai naik mimbar yang sudah disediakan di sana. Tau lah ya apa yang akan dilakukannya, apalagi kalo bukan pidato. Arin sungguh bosan mendengar kepala sekolah ngang ngong ngeng di depan, mana lama banget lagi kan Arin jadi bete, dia sudah seperti cacing kepanasan akibat bosan denger ceramah gak berfaedah kepala sekolah botak itu.
15 menit berlalu akhirnya selesai juga, Arin bisa bernafas lega, bayangin berdiri sambil dengerin ceramah 15 menit, apa gak pegal tuh kaki. Tak lama setelah itu, seorang pemuda tinggi yang dari tadi berdiri di depan mulai naik mimbar menggantikan sang kepala sekolah, sepertinya saat ini giliran dia untuk memberikan pencerahan kepada siswa baru di sini. Sorak sorai para perempuan mulai terdengar kala pemuda itu sudah sampai di mimbar, Arin yang gak tau apa-apa karena memang posisi dia baris di belakang jadi gak terlalu kelihatan, dia sampai jinjit-jinjit buat ngeliat apa yang sedang terjadi.
"Masya Allah dia ganteng banget," ucap salah satu siswi yang baris di samping Arin.
"Iya ganteng banget, gue yakin pasti dia ketua Osis di sini," jawab salah satu temannya.
"Menurutku sih biasa aja," ujar Arin. Kedua siswi tadi langsung menoleh sinis ke arah Arin yang langsung terdiam mendapat tatapan seperti itu. Padahal dia hanya mengeluarkan pendapatnya, apakah salah? Arin mengedikkan bahunya acuh kemudian kembali menghadap depan memilih untuk tidak menanggapi omongan kedua siswi centil itu yang saat ini tengah berbisik. Setelah semua sorak sorai mereda, pemuda tinggi itu mulai berbicara di depan.
"Assalamualaikum wr.wb. Baik, selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya Zian ketua Osis di sini, dan di sebelah kanan saya namanya Rangga sebagai sekertaris di sebelahnya lagi ada Agatha sebagai wakil ketua Osis dan yang terakhir ada Rafi sebagai bendahara. Baiklah semuanya, tugas pertama kalian adalah berkeliling di sekitar sekolah ini untuk menemukan benda apa pun yang kalian temukan, setelah itu langsung diantar kepada pengurus Osis, tapi barang yang kalian ambil bukan sembarangan ya, kami sudah taruh benda-benda di sekitar sekolah ini jadi tugas kalian adalah menemukannya, siapa yang berhasil menemukan benda minimal dua akan dapat kesempatan untuk berfoto dengan siapa pun yang kalian mau," ujar Zian. Semua nya kembali bersorak bahagia dan menjadi lebih semangat dari sebelumnya, semua kecuali Arin, menurutnya itu sangat mudah dan imbalannya tidak menggiurkan sama sekali. Masa dapat foto doang, minimal dikasih uang kek 5 juta triliyun gitu, baru tuh Arin semangat.
"Baik, kalian semua bisa mulai sekarang. Dalam waktu lima menit kalian semua harus kembali berkumpul di sini lagi untuk menyerahkan apa yang kalian dapatkan," sambungnya lagi sebelum turun dari mimbar.
"What? Lima menit? Anjir lah, ini sekolah luas nya minta ampun. Disuruh nyari benda gak jelas dalam waktu lima menit, mana sempat," gerutu Arin gak terima dengan waktu yang diberikan, mau protes juga gak ada gunanya. Semua siswa peserta MPLS segera berhamburan keluar aula untuk mencari benda yang dimaksud, Arin tertinggal star karena tadi belum siap.
Arin berkeliling di taman dekat air mancur, feeling nya mengatakan jika ada benda di sini, nah kan bener. Matanya gak sengaja menemukan sebuah sapu tangan warna merah corak-corak yang sengaja di sembunyikan di semak-semak dekat kursi taman.
"Yeayy dapet satu," ujarnya riang. Tak jauh dari sana, netranya lagi-lagi melihat benda familiar tepat di depannya. Itu sebuah sisir, tangannya bergerak ingin mengambil tapi tiba-tiba sebuah tangan sudah merebut duluan hak miliknya.
"Hey gue yang duluan lihat itu," tegur Arin gak suka.
"Oh maaf aku tidak tau, tapi aku butuh banget dengan benda ini," jawab gadis itu dengan raut muka sedih.
"Untuk apa?" Arin mengernyit heran, butuh ya butuh tapi gak seharusnya dia mengambil hak orang.
"Aku ingin berfoto dengan kak Zian, aku sangat mengidolakannya dia sungguh tampan, tolonglah hanya ini peluangku. Di tempat lain sudah habis, jadi aku memutuskan untuk mencari di sini dan gak sengaja melihatmu berdiri mematung memandangi sisir ini," jelasnya lagi. Arin merasa iba, sudahlah berdebat tidak ada gunanya lagipula dia juga sudah punya satu benda buat di antar, dan yang pastinya Arin kehilangan kesempatan untuk berfoto dengan pengurus Osis, tapi dia tidak minat sama sekali.
"Baiklah kamu boleh mengambilnya, oh iya bukannya syarat buat foto itu dua benda ya, satu lagi mana?"
"Aku dapat mainan kunci yang digantung di parkiran," ujarnya seraya menggoyangkan mainan kunci bentuk kuda.
"By the way terima kasih ya sudah menyerahkan benda ini, padahal dalam hal seperti ini semua orang akan bersaing, apalagi bisa dapat kesempatan buat foto bareng sama anggota Osis yang ganteng dan cantik," ucapnya heran.
"Gue sama sekali gak minat, nemu satu aja sudah cukup bagi gue. Gue duluan ya soalnya sudah mau lima menit," Arin hendak berlalu tetapi lengannya ditarik.
"Nama kamu siapa?" tanya gadis itu. Arin mengangkat kedua alisnya bingung.
"Oh maaf kalo aku lancang, aku hanya mau berkenalan," ujarnya lagi kemudian melepaskan lengan Arin.
"Arin, nama gue Arin," Arin dengan ramah mengulurkan tangannya. Gadis itu tersenyum bahagia kemudian membalas uluran tangan Arin.
"Namaku Nayla, senang bertemu denganmu Arin. Sekali lagi terima kasih," ucapnya gembira. Arin hanya mengangguk kemudian pergi.
Kini semua nya sudah kembali berkumpul di aula sesuai arahan dari sang ketua Osis. Tidak butuh lama semua sudah kembali membuat barisan tanpa ada cekcok dulu yang tinggi harus di belakang dan yang pendek harus di depan.
"Eh Zian, semua udah kumpul tuh," tunjuk Rangga pada Zian yang sedang santai memainkan game online di ponselnya. Zian menghela nafas, merutuki dirinya sendiri kenapa harus memberi waktu 5 menit, seharusnya kan 10 menit agar dia leluasa memainkan gamenya.
"Gantian sekali ngomong, gue males," ujar Zian kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Heh tanggung jawab lo yang buat syarat aneh kayak tadi, kayaknya tuh ciwi-ciwi tergila-gila sama lo," tunjuk Rafi pada sebagian siswi yang menatap kagum ke arah Zian, sepertinya mereka siap untuk menagih janji.
"Gue salah ngomong tadi," jawab Zian cengegesan.
"Terserah, yang penting lo tanggung jawab. Udah sono cepat biar nih acara kelar, gue mau healing," protes Rangga seraya menarik narik lengan baju Zian. Zian naik ke atas mimbar sebagai ketua Osis yang bertanggung jawab dengan tugasnya, sementara temannya yang lain pasang senyum bego di belakang, siap-siap aja nanti dikejar para siswi yang sedang tergila-gila.
"Langsung kita mulai saja, para siswa dan siswi silahkan berbaris untuk menyerahkan benda apa saja yang kalian dapat dan sebutkan nama kalian setelah menyerahkannya, sebab nanti akam dipanggil satu-satu untuk syarat yang sudah saya umumkan sebelumnya," jelas Zian dengan raut wajah seramah mungkin biar menutupi rasa malasnya. Ucapan Zian kembali mendapat sorak sorai yang meriah.
Semua sudah tampak berbaris maju untuk menyerahkan benda yang ditemukan kepada ketiga anggota Osis selain Zian karena dia mendapat bagian menulis nama siswa yang dapat minimal dua benda.
Siswa cowok sudah pasti incarannya Agatha sang wakil ketua Osis, siapa sih yang gak tertarik sama perempuan setengah bule itu. Udah cantik, baik, ramah lagi.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan kegiatan ini sekitar 25 menit.
Di antara semuanya mungkin hanya Arin yang membawa satu benda saja sedangkan yang lainnya rata-rata dua. Arin sih gak masalah, dia juga gak minat sama sekali, asal ada buat digenggam di tangan udah cukup buat dia, kebetulan juga Arin dapet giliran terakhir.
"Kok cuma satu?" tanya Rangga kala melihat sebuah sapu tangan diletakkan begitu saja oleh Arin di depannya.
"Well, hanya itu yang bisa saya temukan," Arin mengedikkan bahunya acuh.
"Baiklah, kami mohon maaf kamu tidak bisa mendapat kesempatan buat berfoto dengan kita," ujar Rangga.
"Saya juga gak tertarik, cuma foto doang gak membuat saya tergiur, maaf lancang tapi ini pendapat saya, terima kasih," Arin balik badan kemudian menyusul yang lain di tengah aula. Mereka berempat yang mendengar ucapan sarkas Arin langsung kaget dan terdiam seketika.
"Anjir berani banget tuh cewek, masih jadi siswa baru aja udah belagu," Rafi menggeleng pelan memaklumi sikap Arin.
"Sudah diam, siapa nama gadis itu?" tanya Zian.
"Mana gue tau, kita kan gak terima satu benda, minimal dua benda seperti kata lo," ketus Rangga.
"Tadi gue gak sengaja liat nametag dia, namanya Arin kalo gak salah," sahut Agatha yang dari tadi cuma diam memperhatikan.
"Oke. Arin, sudah gue tulis," ujar Zian sambil memperlihatkan lembaran yang tertulis nama-nama semua siswa.
"Lah lo gak adil, cepat hapus tuh nama! Yang lain capek-capek keliling nyari dua benda masa mau lo samain sama tuh anak yang cuma dapet satu?" Rangga tentu saja protes, soalnya masih kesel dengan kata-kata Arin tadi.
"Udah diem, lo gak tau apa isi otak gue," jawab Zian kemudian berjalan menuju mimbar.
Arin duduk selonjoran di tepi aula bersandar pada tembok sambil memperhatikan para siswa dan siswi yang sibuk ngantri untuk foto bersama dengan para anggota Osis.
"Ini udah bisa pulang gak sih? Aku laper banget, nyesel gak dengerin Mama tadi," Arin bergumam sambil memegangi perutnya yang mulai meraung-raung minta diisi. Karena dirasa sudah gak ada kegiatan lagi dan jam sudah menunjukkam pukul 11 siang, Arin mengangkat ranselnya kemudian hendak pergi dari aula yang membosankan ini. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang, gak tau siapa karena Arin belum nengok ke belakang.
"Kenapa?" tanya Arin setelah tau seseorang itu yang tak lain adalah Zian.
"Mau kemana?" Zian bertanya balik membuat Arin merenggut kesal, ditanya malah nanya balik.
"Bukan urusan kakak," ketus Arin.
"Salah satu aturan sekolah di sini, kamu gak boleh bersikap seperti itu terhadap kakak kelas terlebih lagi pada para anggota Osis, karena kami sangat berpengaruh di sini asal kamu tau," jelas Zian. Arin mengatup kedua belah bibirnya, dia sudah salah ngomong. Cacing di perutnya membuatnya berkata sarkas. Jangan sampai dia dipecat dari sekolah ini hanya karena omongan dia yang kasar terhadap Osis, bisa-bisa Mama dan Papa akan mengurungnya di dalam kamar.
"Baiklah, saya minta maaf atas perkataan yang tidak sopan tadi. Tapi boleh minta tolong gak lepasin tangan saya," ujar Arin dengan senyum sinisnya. Zian melotot, dia baru sadar ternyata belum melepaskan tangan Arin.
"Oh, sorry," Zian jadi salah tingkah.
"Saya mau ke kantin, laper. Kalo sudah kenyang baru kesini," Arin melenggang pergi membiarkan Zian menatap punggungnya yang mulai menjauh.
"Lo ngapain di sini?" Agatha menepuk pundak Zian pelan yang membuat sang empunya kaget.
"Gu-gue tadi nyamperin gadis itu," tunjuk Zian ke arah pintu.
"Arin?" Agatha mengernyit bingung. Zian mengangguk pelan.
"Buat apa?"
"Gue cuma penasaran aja sama tuh anak. Udah lah gak penting, gue ke sana dulu," Zian kemudian pergi meninggalkan Agatha menuju perkumpulannya. Agatha mematung di tempat, heran dengan sikap Zian.
....
Arin duduk termenung di depan gerbang sekolah, lagi mikir pake apa buat pulang sekolah. Taxi yang dipesan gak ada yang beroperasi di sekitar sini, kan Arin jadi kesal. Mau telpon Papanya juga gak mungkin, takutnya ganggu.
"Aku jalan kaki aja kali ya?" Arin menimbang-nimbang.
"Tapi panas banget udah kayak simulasi neraka," gerutunya lagi mengurungkan niatnya untuk jalan kaki. Sekolah sudah mulai sepi, yang lain juga sudah banyak yang pulang kecuali guru dan para anggota Osis yang katanya sedang rapat.
"Mau nunggu di sini juga gak bakalan ada yang jemput. Aaakkhhh, Mama Papa tolongin Arin."
Di sela kebingungannya, tiba-tiba saja ada yang menepuk bahunya. Arin terlonjak hampir kejengkang ke belakang.
"Kok belum pulang?" tanya seseorang itu, sepertinya dia sudah selesai rapat. Arin terdiam cukup lama memandangi wajah siapa yang saat ini sedang mengajaknya bicara, karena pemuda itu menutupi sinar matahari jadi otomatis tidak terlalu kelihatan, tapi suaranya Arin sangat mengenalnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!