"Padahal, aku sudah meninggalkan pria yang ku cintai demi menuruti permintaan Papi, yang menjodohkan kita. Tapi, kenapa kamu justru berselingkuh, ketika hari pernikahan sudah semakin dekat?"
Ucap Sora Pranata, yang memergoki calon suaminya sedang berselingkuh dengan wanita di dalam kamar apartemantnya. Dua pasangan selingkuh yang kini hanya mengenakan pakaian minim, dengan canggung harus menerima semua emosi Sora. Padahal, Dua minggu lagi Sora akan menikah dengan sang pria, dan semua persiapan nyaris sempurna.
Sora yang demi menjadi anak berbakti, rela meninggalkan Sang kekasih yang sudah di pacarinya selama Lima tahun, untuk menikahi Afdal. Ia adalah anak dari sahabat dekat ayahnya.
"Maaf, jika kamu mau memaafkanku... Kita akan lanjutkan pernikahan. Tapi jika kamu tak ingin, aku akan minta Papa batalin semuanya."
"Gampang kamu ngomong begitu? Keluargaku akan malu, kamu tahu ngga?" pekik Sora dengan begitu kuat.
"Aku sudah bilang, aku ngga cinta sama kamu. Kamu 'kan, yang nekat mau menikah sama aku."
"Iya... Aku yang bodoh karena telah menuruti semua kemauan Papi. Padahal aku sudah memiliki kekasih. Ya... Aku yang salah, mungkin ini karmaku. Sudahlah, terimakasih atas semua perhatianmu selama ini."
"Besok aku akan bawa Papa ke rumah, untuk membatalkan semuanya." ucap Afdal.
"Jangan, itu akan membuat orang tuaku malu. Apalagi, ketika orang bilang jika anak gadisnya telah di tolak mentah-mentah oleh Pria." senyum Sora kecut.
"Biarkan, mereka tahu jika Aku yang memutuskan. Setidaknya, kecewanya hanya padaku."
Sora kemudian melepas cincin pertunangan mereka, dan memberikannya kembali pada afdal. Dan dengan langkah gontai, Sora berjalan menapaki lorong Apartemen yang begitu panjang itu.
Cliiiing! Pintu lift terbuka, dan Ia langsung masuk kedalamnya. Ia sendirian, hanya dapat menatap bayangannya sendiri yang begitu menyedihkan. Ia akhirnya menuerah dengan keadaan, dan duduk memeluk lututnya. Air mata yang Ia tahan akhirnya pecah, Ia menangis sejadi-jadinya di dalam keheningan dan kesendirian itu. Menangis hingga sesak dan lemas, tapi hatinya sedikit lega.
Pintu kembali terbuka, Sora mengusap bersih air mata di pipinya. Ia pun segera kembali pulang, dan mengatakan penbatalan pernikahannya pada Sang Papi.
Plaaaak!
"Bodoh, kenapa kamu batalin? Bisa hancur persahabatan Papi sama Om Leo kalau begini."
"Maaf, Pi. Sora ngga cinta sama Afdal."
"Cinta? Apa kamu bisa kenyang karena cinta? Bahkan lelaki pengecut itu, tak pernah berani untuk mendatangi Papi, atau bahkan berusaha merebut kamu dari afdal. Sadar, Sora... Dia ngga pantas kamu perjuangkan!"
"Maaf, Pi." sesal Sora, yang duduk menunduk dhadapan sang ayah.
Perkataan Papi Sora, jika mantan kekasih Sora itu tak layak di perjuangkan. Bahkan, Ia telah pergi jauh entah kemana, bahkan tanpa kebar sama sekali, seolah hilang di telan bumi.
Semua orang tahu, jika mereka sebenarnya saling mencintai, dan tak sedikit yang mendoakan, jika mereka berjodoh dan akhirnya akan bersanding di pelaminan. Tapi apa boleh buat, bagi Sora orang tuanya lebih penting kala itu.
Kini, gadis berusia Dua puluh empat tahun itu hanya bisa diam. Semuanya telah hancur, pernikahan batal, bahkan mantan kekasihnya entah dimana. Ia tak punya arah dan tujuan lagi sekarang.
Sehari semalam pasca kejadian yang mengecewakan, seluruh anggota keluarga kembali sibuk, tapi bukan karena bahgia. Mereka dengan penuh rasa kecewa, berusaha membatalkan semua yang telah di rencanakan. Cancel Weding Organizer, Cancel dekorasi, bahkan membakar semua undangan yang telah diberi nama dan alamat yang akan di tuju. Beberapa kerabat pun sibuk menelpon kerabat jauh lainnya, untuk memberitahu semua pembatalan. Tapi, semua begitu sulit dan nyaris tak bisa.
Sora tahu, hati mereka sangat perih dsn kecewa. Tapi, jika Sora tetap memaksa pernikahan itu terjadi, maka pernikaha itu akan menjadi pernikahan yang tidak sehat di kemudian hari.
Sang Papi, kini hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang begitu kecewa. Mungkin, andai saja bisa dan pantas, Ia akan memukuli Sora berkali-kali, seperti ketika Ia masih kecil dulu. Sora puas dengan ayunan tangan Sang Papi yang memang telah mendidiknya dengan keras dan harus selalu perfectional itu. Hingga Ia tak mau, jika ayahnya tahu bahwa Ia lah yang telah mengalami penolakan itu.
"Non, Ya Allah... Kenapa begini sih?" tanya Puspa, Asisten rumah tangga yang khusus diperuntukkan untuk Sora.
Puspa seusia dengan Sora, sehingga mereka begitu akrab dan nyambung jika mengobrol berdua dengan berbagai tema. Apalagi, Puspa adalah anak Mbok Iyem yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Papinya.
Tuan Pranata sendiri adalah seorag konglomerat, pemilik Hotel Prasasti dengan cabang yang lumayan banyak di indonesia. Kekayaannya tak di ragukan lagi, dan tak akan habis untuk Tujuh turunan.
Pagi hari setelah kejadian menyakitkan itu. Tuan Pranata sengaja mengumpulkan orang yang ada di rumahnya. Sora bukan anak semata wayang, Ia memiliki seorang Kakak laki-laki berama Ardiansyah Pranata (Ardi). Ardi pun sudah memiliki istri dan seorang putra bernama Akito Ardi Pranata. Mereka tampak hidup bahagia, dan Ardi mengurus salah satu hotel milik Ayahnya. Hanya saja, Istri Ardi yang bermama Ayuna, sedikit kurang ramah pada Sora.
"Ada apa, Papi kumpulin kami disini?" tanya Ardi.
"Papi ingin membicarakan masalah Sora. Seperti yang kalian tahu, jika Sora sudah di pastikan batal menikah dengan afdal." jawab Tuan Pranata.
"Ya, semua orang tahu itu. Dan bahkan Satu keluarga besar seolah kehilangan muka karena kasus ini." lirik Ayuna, pada Sora yang sedari tadi hanya bisa diam meratapi nasibnya.
"Ya, seperti yang kalian tahu.... Bahwa sebenarnya Papi akan memberikan Saham utama Papi pada Sora, tapi karena pernikahan tertunda, maka pengalihan itu juga tertunda. Ardi masih menjadi pemegang sementara sekarang." ujar Tuan Pranata.
"Hah, Sementara? Bukankah, seharusnya Mas Ardi adalah pewaris utama dari semua aset Papi?" celetuk Ayu.
"Ayu... Apa-apaan kamu? Ini bukan hak kamu untuk bicara." tegur Ardi padanya.
"Aku hanya ingin mempertahankan Hak dari seorang anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, Mas."
"Tapi ini semua bukan urusanmu. Stop berbicara!" tegas ardy pada istrinya.
Ayu mendengkus kesal, bibirnya mengerucut, tapi tetap berusaha elegan di depan satu keluarga. Rasa tak senangnya pada Sora semakin menjadi-jadi, karena Ia lah penghalang Sang suami mendapatkan tahtanya.
"Aku berharap, kau terus menjadi masalah untuk keluarga ini. Hingga akhirnya, Papi akan jengah dan membuangmu." gerutu Ayu dalam hati, sembari menatap Sora dengan sinis.
Seusai sarapan, mereka semua bubar dan pergi untuk bekerja di kantornya masing-masing. Sedangkan Sora. Mengajak keponakannya Akito yang berusia Lima tahun itu untuk bermain bersama.
"Udah gagal nikah, masih Pede aja gitu, duduk santai di rumah. Kalau aku, udah minggat karena malu. Ya, meski diri sendiri ngga malu, tapi udah mempermalukan keluarga." sindir Ayu pada Sora.
"Aku akan pergi, jika waktunya pergi." Sora dengan santai menjawab ucapan kakak iparnya.
Sora kini kembali merenungi semua kemalangannya di kamar. Ia terfikir kembali akan kekasihnya yang pergi. Ia begitu rindu padanya, tawanya, candanya, dan semua ucapan yang pastinya bisa menenangkan Sora di saat seperti ini.
Sora duduk di pinggiran jendela sembari memandangi taman yang ada di luar. Begitu indah dan terawat, dan itulah Satu-satunya kenang-kenangan dari Sang Mami yang masih terjaga rapi hingga kini.
Sebenarnya Sora dan Ardy beda Ibu. Ibu Ardy masih hidup, tapi berada di sebuah Rumah Sakit Jiwa karena stres Demensia yang di deritanya tak kunjung sembuh. Lalu Papinya menikahi Mami Sora, yang kemudian meninggal ketika Sora masih berusia Lima belas tahun. Kecelakaan, tapi banyak orang bilang jika itu di sengaja. Sampai sekarang belum di ketahui bagaimana kebenarannya.
Hp Sora berdering, dan Ia segera mengangkatnya. Ardy rupanya menelpon untuk sebuah kepentingan.
"Ya, Kak_ada apa?" tanya Sora.
"Bisa tolong bawakan File yang ada di ruang kerjaku ke kantor? Aku memerlukannya untuk rapat. Tapi, kalau bisa cepat ya...."
"Ya, baiklah... Nanti ku antarkan."
"Oke, Map warna Abu-abu, jangan salah."
"Hmmmm...."
Sora langsung mematikan telepon, dan langsung bergegas pergi.
"Nona mau kemana?" tanya Puspa.
"Antar berkas Kakak. Cepet kok, ngga akan mampir kemana-mana." sahut Sora, yang berlari dengan cepat menuju Lamborghininya yang terparkir rapi di garasi.
Ia pun menginjak pedal gas dengan kuat, lalu pergi dengan kecepatan tinggi. Ia ingin meluapkan semua perasaan hati yang masih gundah gulana, dengan menerabas jalanan. Ia begitu puas, ketika berhasil sampai dengan selamat di hotel Sang Kakak.
"Nih..." ucap Sora yang memberikan dokumen itu.
"Cepet bener, Loe ngebut?" tanya Ardy.
"Ngga perlu gue jawab 'kan?" balas Sora dengan santai.
"Ra... Jangah begitu lagi. Gue tahu, Loe itu masih labil, jangan sampai terjadi apa-apa sama Loe di jalan nanti."
"Apa contohnya? Kecelakaan, atau bahkan meninggal?"
"Ra... Makin lama makin ngaco kalau dibilangin."
"Dah lah, Kak. Gue mau cepetan balik. Puspa sama Bik Iyem lagi kontrol istimewa ke gue sekarang. Semakin terkekang banget rasanya."
"Itu semua demi Loe, Ra. Demi kebaikan Loe..."
"Apaan? Udahlah, gue balik. Kerja yang bener, biar cepet diangkat jsdi direktur utama." ucap Sora.
Gadis itu pun keluar dari ruangan Ardy dengan santai dan tenang.
"Kebaikan... Kebaikan kok mengekang? Jangan-jangan, lagi nyariin jodoh lagi, mereka ini?" gumam Sora, yang sedang menduga-duga.
Fikirannya saat ini nemang sedang tak beres. Otaknya selalu dipenuhi dengan fikiran buruk mengenai Papinya. Ia bahkan, sempat menyangka jika Sang Papi yang membuat Maminya bunuh diri, dan tak kecelakaan seperti yang mereka bilang.
Sora kembali menyetir dengan kecepatan yang tinggi. Tapi kali ini Ia merasa sedikit aneh dengan mobilnya. Tiba-tiba, ada sebuah mobil box besar di hadapannya. Sora berusaha mengerem, namun rem mobil itu ternyata blong.
"Shiiit! Kenapa begini? Tadi baik-baik saja...." gerutunya.
Mobil box semakin mendekat di hadapannya, bunyi klakson pun memekakkan telinga, apalagi teriakan orang dari luar begitu terdengar. Begitu bising, nyaris merusak semua konsentrasinya. Sora akhirnya refleks membanting setir ke arah kiri. Mobil Sora berputar hingga menimbulkan sebuah bunyi yang kencang.
Chiiiiiiiiiitttt... Braaaaakkkk! Mobil memang terhindar dari kendaraan di depan, tapi bodi samping menabrak sebuah tiang dengan begitu kuat.
"Aaaaakkkkh!" sora memekik, karena kepalanya terbentur setir, lalu punggungnya terhempas ke belakang dengan kuat.
"Mba... Mba... Ngga papa 'kan? Luka ngga?" seorang pemuda menyadarkannya yang lemah.
"I-iya, kebentur sedikit." jawab Sora, yang masih dalam keadaan syok.
Pemuda itu lalu membawa Sora keluar, dan membantunya duduk di sebuah kursi, lalu memberikannya minum.
"Mas, tangan saya gemeteran. Bisa tolong teleponin Papa saya?" pinta Sora, dengan memberikan Ponselnya.
Pemuda itupun mengangguk, lalu menelpon dengan nomor yang Sora tunjukan padanya.
"Sudah, Mba_katanya sebentar lagi datang kesini."
"Iya, makasih." jawab Sora dengan senyum ramahnya.
Sebuah mobil Roll Royce berwarna hitam datang dengan gagahnya. Berhenti tepat di hadapan Sora dan orang yang mengerumuninya di tepian jalan raya. Semua pun menyingkir memberikan akses jalan pada seorang pria paruh baya dengan tongkat di tangannya itu.
"Papi..." lirih Sora, dengan memegangi kepalanya.
"Apalagi ini, Sora? Apalagi yang kau lakukan?"
"Bisakah bertanya tentang kabarku dulu? Dimana rasa khawatir Papi pada anaknya?" sergah Sora.
"Papi sudah melihatnya dengan jelas. Mobil hancur, kepalamu terluka, dan kau menjadi tontonan warga? Apalagi yang kamu buat untuk mempermalukan keluarga kita?" ucap Papi Sora dengan nada tinggi.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang di rasakan Sora saat ini. Alih-alih datang dengan sejuta kecemasan, justru Papinya malah mengomelinya di depan kerumunan orang. Membuatnya semakin menjadi pusat perhatian.
Sora benar-benar jengah kali ini, tapi Ia tak mungkin menjawab sang papi di depan semua orang ini. Ia hanya bisa diam, berdiri lalu mengayunkan langkah kakinya masuk ke dalam mobil papinya itu.
"Langsung pulang, Sep. Saya masih ingin bicara dengan gadis brandal ini." titahnya pada sang supir pribadi.
Omelan berlanjut hingga sampai di rumah. Dan yang lebih menyakitkan, adalah ketika Papi Sora kembali mengomelinya tanpa melihat situasi yang ada.
Semua keluarga dan sanak saudara yang berasal dari luar kota telah tiba, dan kini sedang menonton pertunjukan gratis itu. Ada yang melerai, ada yang menambah runyam suasana, dan ada yang dengan santai dan menikmati cemilannya menatap semua yang terjadi. Namun tak ada yang berani menolong Sora, sekedar untuk membersihkan lukanya.
"Pi... Sudahlah, jangan terlalu keras. Kasihan Sora." tegur Ayu, yang tiba-tiba datang dengan peralatan P3K di tangannya.
Ayu duduk di sebelah Sora, dan menarik miring tubuh Sora untuk menghadapnya. Ia pun segera membersihkan luka dan menempelkan verban di dahi Sora.
"Mulai hari ini, detik ini juga. Kamu Papi kurung di rumah. Papi sedang mencari ganti Afdal untukmu. Pernikahan harus tetap terlaksana, meski mempelai pria beda orang."
Tatapan Sora begitu tajam pada Papinya. Ia ingin melawan, tapi di cegah Ayu yang menahan tangannya untuk tetap duduk.
" Huuust! Jangan memperkeruh suasana." lirih Ayu.
Sora akhirnya kembali diam, dengan bulir-bulir airmata yang tertahan. Sepertinya sudah begitu banyak, dan hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.
"Huaaaaaa!!! Ha... Haha... Papi jahat, tetep kekeuh mau nikahin aku sama orang yang ngga ku cintai." tangis Sora di dalam kamarnya.
Untung ada Puspa yang tetap setia menemani, meski Ia juga tak tahu harus berbuat apa untuk Sora. Ia bahkan tak segan memeluk dan mengusap lembut bahu gadis itu agar sedikit tenang, karena memang hanya itu yang dapat ia lakukan.
"Sabar, Non_saya juga bingung mau ngomongin apa. Saya 'kan, cuma babu disini."
"Tapi kamu adalah orang terdekatku di sini, Puspa. Kasih saran kek, apa gimana. Pokoknya, aku ngga mau nikah! Apalagi sama siapa itu ngga tahu."
Semburat bahagia tampak di wajah Puspa. Karena memang, Puspa tak hanya menganggapnya sebagai Nona muda, tapi sudah seperti adiknya sendiri. Tapi, untuk kali ini Ia tak berani memberi saran apapun, karena semua keputusan tampaknya sudah bulat di tangan Tuannya.
Tap... Tap... Tap.... Langkah kaki yang begitu anggun datang tanpa permisi, bahkan mengetuk pintu.
"Bukankah, sudah ku bilang jika kau pergi saja. Aku ingin memberi saran tadinya, tapi malah kau anggap lain."
"Ya, karena setiap perkataan yang keluar dari mulutmu itu semuanya tak ada yang baik." jawab Sora dengan ekspresi datarnya.
"Papi sudah menemukan jodohmu, dia adalah anak seorang pemilik restaurant ternama di kota ini. Dan ketika kalian menikah, Restaurant itu akan di janjikan untuk buka cabang di hotel Papi." ujar Ayu, membongkar semua yang seharusnya masih di rahasiakan.
Ingin rasanya Sora mengelak tak percaya. Tapi kali ini, hati terkecilnya bilang jika Ayu benar.
" Pernikahan akan tetap di laksanakan, meski dengan mempelai pria yang berbeda."
Ayu tersenyum iblis, lalu meninggalkan Sora dan Puspa di kamarnya.
"Hah? Ngga mau, pokoknya ngga mau. Ngga mau di jodohin, apalagi ini sama sekali ngga kenal." gerutu Sora.
"Ya... Bicara saja sama Tuan Papi, tapi kali ini dengan memohon, supaya hatinya luluh."
"What? Memohon?"
"Ya, gimana lagi?" tanya Puspa yang juga kehabisan ide.
Seharian dibuat Sora dan Puspa termenung, dan seharian juga Sora. Tak menyentuh makanannya sama sekali. Nafsu makannya hilang seketika, kekesalannya tak dapat terbendung lagi.
Ia mencoba menemui Sang Papi untuk bicara, tapi nampaknya terlalu sulit untuk bertemu, meski mereka Satu rumah. Papi Sora memilih diam dan menenangkan diri di kamarnya. Malam ini.
"Pi.... Sora ngga mau nikah sama dia, Pi. Papi faham ngga sih, maunya Sora?" teriaknya dari luar, tapi tak di jawab sang Papi.
"Sora nekat bunuh diri loh nanti, kalau Papi begini terus. Sora juga punya hak menentukan masa depan Sora sendiri loh. Ngga bisa begini!" teriaknya lagi, dengan berkali-kali menendangi pintu kamar Papinya, tapi tetap tak di dengarkan.
Sora anak orang kaya, tapi Ia merasa begitu miskin, apalagi jika bicara tentang kasih sayang. Meskipun, apa saja yang Ia minta akan dituruti langsung oleh seisi rumahnya nerdasarkan amanat Papinya. Tapi, ketika Sang Papi memiliki sebuah kehendak untuk Sora, maka Ia pun harus bisa menurutinya sebisa mungkin.
Akhirnya Sora lelah, Ia pun kembali ke kamarnya untuk merebahkan tubuh sejenak.
Tampak Puspa sedang membereskan lemarinya yang penuh dengan pakaian tak terpakai.
"Non, bajunya masih bagus-bagus banget, sumbangin aja ya, ke pembantu sebelah rumah."
"Hmmm,. Terserah." jawab Sora yang tengah memijati kepalanya.
Puspa malam ini di perintahkan untuk selalu menjaga Sora di kamarnya. Hingga tidurpun, Puspa harus berdampingan Sora dan mengusahakan untuk tak pernah lengah.
Pusa sudah berusaha, tapi rasa kantuk manusia normal begitu kuat menggelayut di mata bulatnya itu. Hingga akhirnya Ia bangun tanpa Sora di sampingnya.
"Loh, kemana?" tanya nya pada semua tembok yang menjadi saksi kunci. Pasalnya, semua pakaian yang Puspa bereskan dalam sebuah tas semalam pun hilang.
"Ya Ampun, gimana bisa pergi, di luar 'kan penjagaan ketat?" gumamnya lagi.
Dan kali ini, Puspa segera bangun dan memberi tahu semua orang di rumah itu.
"Tuan besar... Tuan..!" pekiknya berlarian di rumah besar itu.
Semua orang berlarian menghampirinya dan ikut cemas seketika.
"Kamu kenapa?" tanya Ayu.
"No-Nona.... Itu Sora kabur." jawab Puspa dengan terengah-engah.
"Hah! Kabur?"
Ardy dengan begitu cekatan langsung menghubungi semua anak buahnya yang tersebar di seluruh penjuru kota. Ia pun memerintahkan mereka berpencar untuk mencari Sora kemana saja, termasuk ke tempat terpencil dan kumuh sekalipun.
"Jangan lupa, kirim beberapa orang ke Bandara. Siapa tahu, Dia ingin pergi ke luar Negri." himbaunya.
Semua menuruti Ardy dengan sigap. Lalu menyebar sesuai dengan perintah Bos mereka.
"Gawat kalau Papi tahu." ucap Ayu lirih.
"Apa yang gawat?" tanya Papi yang tiba-tiba datang dengan tongkatnya.
"Pa-papi...." Ayu gugup, dan Puspa bersembunyi di belakangnya.
"Katakan! Apa yang terjadi pada berandalan itu?" bentak Tuan Hartono dengan keras.
"Nona Sora meninggalkan rumah tapi saya ngga tahu kapan dan kemana." jawab Puspa tanpa jeda.
"Apa? Sora..... Soraaaaa!" pekik Papinya dengan begitu kuat, hingga nafasnya sesak.
"Pa-papi...." panggil Ayu yang cemas di susul Ardy yang tak kalah paniknya.
Ia langsung memanggil dokter keluarga mereka, dan memeriksanya di kamar. Hampir setengah jam pemeriksaan, tapi belum juga terbangun dari tidurnya.
"Tidak apa, dia hanya syok. Biarkan saja tidur sejenak, dan ketika bangun berikan obat ini. Dan jangan lupa, tenangkan Ia dengan berbagai cara."
"Baik, dok. Terimakasih." jawab Ayu, dengan menerima resep itu, lalu meminta Puspa untuk segera menebus nya.
Ayu dengan setia menunggu sang mertua dengan terus memijat tangannya. Tampak Ayu begitu khawatir, meski hatinya juga lega ketika Sora kabur dari rumah.
Bandar Udara Perdana Halim kusuma, Jakarta.
Sora berjalan dengan menenteng tas besar berisi pakaiannya. Meski Ia tahu, isinya adalah pakaian jadul miliknya. Dan Ia pun kini demikian. Menggunakan celana Jogger hitam, sweter bisgsize berwarna coklat dan topi hitam yang Ia turunkan hingga menutupi wajahnya.
Sora pun tahu jika orang Ardy akan mencarinya ke seluruh kota, dan akan memblokir semua ATM dan credit cardnya. Sehingga ketika pergi, Ia langsung menarik uang yang banyak untuk keperluan kaburnya. Ia pun telah membeli tiket untuk ke suatu tempat yang jauh, yang bahkan tak akan terfikirkan oleh Ardy.
"Perhatian seluruh calon penumpang. Perhatikan foto yang terpajang di layar besar. Terdapat foto seorang gadis yang tengah meninggalkan rumah, bernama Sora Ayudia Hartono. Bagi yang menemukannya di dalam mau pun di luar Bandara ini, harap segera melaporkan kepada satpam atau hubungi nomor yang tertera."
"Shiiiit! Dia bahkan memajang foto terjelekku di depan umum. Berengsek!" gerutunya pada Ardy.
Dengan langkah yakin, Sora membalik tubuh dan berusaha menghindari tatapan orang darinya.
"Itu dia!" pekik seorang pria berjas hitam.
Sora kemudian berlari tanpa jeda, menabrak seluruh orang yang ada di hadapannya, bahkan meloncati pagar pembatas yang ada dengan mulus.
"Aaah, tak sia-sia selama ini belajar taekwondo." pujinya terhadap diri sendiri.
Mereka pun begitu, mengejar meski harus menabrak semua orang yang ada di sana. Tapi beberapa orang melawan karena di anggap sebagai perusuh. Mereka pun tampak di serang oleh para penumpang yang kejar jadwal disana.
"Nona...! Jangan pergi, Tuan mencarimu.." pekik salah satu dari mereka.
Tapi Sora tak perduli, bahkan masih sempat memberikan sebuah kissbye untuknya, dan pergi menggunakan taxi.
"Haish... Sial! Aku rugi tiket pesawat kalau begini. Bagaimana bisa pergi."
"Mau kemana, Nona?" tanya Sang supir Taxi.
"Ke loket Bus aja, naik Bus aja lah biar aman." Semoga pencarian mereka tak sampai kesana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!