"Apa-apaan kamu, Mas? Jangan bercanda deh. Kamu mau batalin pernikahan kita secara sepihak? Lewat telepon? Nggak bisa Mas. Kita harus ketemu. Mas harus jelasin. Apa? Nggak bisa? Mas! Ini bukan urusan main-main, persiapan pernikahan kita udah... eh halo halo Mas Aldo... Aaarrggh..!"
Telepon dibanting ke kasur.
"Kenapa, Kak? Mas Aldo barusan yang telepon?" Tanya seorang gadis berambut pendek teman sekamarnya.
Gadis berambut panjang dengan tubuh langsing itu mendengus keras, nafasnya memburu menahan emosi.
"Cinta kan udah bilang dia br*ngsek. Kak Divya ngotot mau nikah sama dia."
"Eh Cinta, nggak usah manasin aku deh!"
"Kak, Cinta bicara fakta. Mas Aldo tuh nggak serius sama Kak Divya. Kak Divya kan tau dia deket sama mantan istrinya yang model itu. Kak Divya itu cuma dikibulin sama dia."
Divya menarik napas dalam-dalam dan mengambil bingkai foto di meja. Fotonya bersama Aldo calon suaminya.
Apa yang harus ia katakan pada ayahnya nanti?
Padahal persiapan pernikahan mereka sudah berjalan. Bahkan undangan sudah dicetak. Keluarga di kampung sudah mempersiapkan keberangkatan ke Jakarta.
Tapi pria itu membatalkan pernikahan tanpa alasan jelas.
Lewat telepon pula!
"Yah untung buat Kak Divya. Yang penting sekarang walaupun batal nikah, Kak Divya kan nggak keluar duit. Nggak kayak waktu sama Galih. Tabungan Kak Divya abis buat pernikahan eh tu cowok malah kabur," komentar Cinta membuat Divya geram, memilih masuk kamar mandi.
Mengingat fakta ini memang sudah kedua kalinya ia gagal menikah. Membuatnya terpukul.
Divya tidak mengira di usianya yang sudah lewat kepala tiga harus mengalami gagal menikah hingga dua kali.
Tiga tahun yang lalu, ia hampir menikah dengan Galih seorang fotografer. Ia mengenal Galih yang kala itu mendapat project memotret apartemen yang dipasarkan.
Galih menyatakan ingin menikahi Divya setelah 6 bulan mereka berpacaran.
Persiapan sudah matang. Bahkan saudara Bapak dari kampung sudah berdatangan ke Jakarta untuk membantu acara pernikahan. Mendadak Galih menghilang tanpa jejak.
Divya panik saat itu berusaha mencari Galih untuk membuat perhitungan, sudah membuatnya dan keluarga malu.
Galih membawa kabur uang milik Divya puluhan juta. Semula Galih begitu manis membuat Divya terbuai.
***
#Flashback 3 tahun lalu..#
"Katering udah, undangan udah dipilih, tinggal baju pengantin, sama booking gedung." Divya mencari-cari lokasi gedung pernikahan di sosial media. "Kira-kira ada yang kosong nggak ya tanggal segitu. Kita harus dapet gedung karena undangan udah siap cetak. Tapi yang tanggal segitu harus dicek satu-satu."
"Sayang, mending untuk gedung aku aja yang cari. Gimana?" Tanya Galih.
Divya masih memusatkan perhatian pada gambar-gambar gedung.
"Lagian kamu bukannya iyain aja tawaran pake wedding organizer, sayang. Jadi kan kita nggak repot kayak gini nyari-nyari gedung. Tau beres aja."
Kali ini Divya memandang wajah ganteng calon suaminya yang berumur sama dengannya.
"Inget lho, biaya buat kita nikah itu pas-pasan. Dengan kita kerjain sendiri, itu neken pengeluaran. Bahkan jadi setengah harga."
"Iya sih. Tapi kamu jadi capek kan mikir segala macam."
"Nggak apa-apa kok. Sekali seumur hidup juga. Aku malah menikmati."
"Ya udah mending kamu sortir undangan sama baju pengantin. Untuk gedung pernikahan, biar aku yang cari."
"Oke."
Beberapa hari kemudian, Galih meneleponnya.
"Sayang, aku udah dapet lokasi gedungnya nih." Katanya membuat Divya sumringah.
"Oh ya dimana?"
"Deket taman dekat kampus kamu."
"Nanti kamu jemput aku ya, selesai aku kerja nanti kita lihat ke sana."
"Iya sayang, eh tapi mending sekarang kamu lihat lokasinya. Aku video call ya."
Galih melakukan panggilan video. Divya memperhatikan Galih yang berada di sebuah gedung dengan interior design yang elegan.
"Bagus banget tempatnya. Kamu udah nanya berapa sewanya?"
"Udah sayang. Cuma 50 juta sehari. Tapi lokasinya bagus. Lokasi parkiran nya luas. Kita ambil aja, sayang."
"Iya nanti aku lihat ke sana dulu."
"Duhh gimana ya? Aku barusan nanya sama manajemennya. Kalau nggak cepat, bulan ini bakal full. Jadi kita harus bayar DP dulu 50%, sayang."
Divya menghitung hitung. "Berarti 25 juta?"
"Iya. Kita ambil aja sekarang. Daripada full nanti kita nikah malah ketunda urusan gedung doang. Kamu bayarin DP nya dulu. Nanti kan kalau uang hasil jual tanah di kampung udah cair, aku ganti semuanya."
"Emang kapan mau cairnya? Kok dari awal cuma pake uang aku?" Divya jadi curiga.
"Tenang aja sayang, minggu depan pembayaran full aku ganti semuanya ya."
Divya percaya saja. "Iya deh. Aku bayar 25 juta."
"Transfer ke rekening aku aja. Nanti aku bayarin. Oh ya sekalian, aku perlu bayar untuk fotografer, sayang. Kebetulan temenku yang mau. Kan nggak mungkin aku yang nikah aku juga yang foto-foto. Jadi kamu transfer 30 juta ya. Buat DP gedung, sama DP foto. Jangan lupa ya sekarang aku tunggu, biar langsung booking tempat."
Divya meski aneh saat itu, percaya saja dan men-transfer sisa tabungannya sebesar 30 juta.
Setelah itu...
Galih menghilang!
Nomornya tidak aktif.
Bahkan di kosannya cowok itu sudah tidak ada.
Divya sungguh tertipu mentah-mentah cowok itu.
Bahkan Divya percaya saja keluarga Galih yang berada di Kalimantan, akan datang menjelang pernikahan karena biaya transportasi yang besar. Untuk menghemat biaya, Divya tidak perlu bertemu dulu keluarga besar. Karena untuk mendatangkan keluarga dari Kalimantan membutuhkan biaya banyak.
Galih meyakinkan setelah menikah mereka akan berkunjung ke kampung keluarga Galih.
Makanya, Divya benar-benar tertipu. Cowok itu hilang tanpa jejak membawa semua uang Divya. Uang yang dikumpulkannya susah payah dengan menjadi marketing apartemen.
Cowok itu membawa kabur uang Divya membuat Divya geram dan bersumpah akan bikin perhitungan.
#flashback off..#
***
Divya berusaha move on dan bangkit. Ia jadi lebih waspada pada pria.
Saking ia dendam ingin melabrak Galih, ia jadi melupakan tujuannya untuk menikah.
Padahal Bapak sudah tua dan berpesan agar Divya cepat menikah.
Hingga ia bertemu dengan Aldo, seorang duda kaya. Mantan suami dari seorang model sekaligus bintang iklan.
Semula Aldo seperti serius saja, bahkan membayar semua biaya yang dikeluarkan untuk persiapan pernikahan.
Aldo juga sudah menemui Bapak.
Bahkan Aldo juga yang membantu Divya dalam pekerjaannya. Dengan memperkenalkan beberapa kawannya yang tertarik membeli unit apartemen yang dipasarkan Divya.
Sehingga Divya dapat promosi dan bonus tinggi.
Mereka sudah fitting baju pengantin, bayar katering, sewa gedung, dll...
Tapi Aldo mendadak membatalkan dengan alasan tidak jelas.
Mungkin benar kata Cinta, kalau Aldo berniat kembali rujuk dengan Sharon mantan istrinya.
Apa yang harus ia katakan pada Bapak?
Lagi-lagi Divya tertipu dan gagal menikah.
**
Pagi-pagi sekali, Divya sudah di depan rumah megah kediaman keluarga Pak Ardi Wirata, tempat Bapak bekerja sejak lama.
Ia gelisah ingin masuk, namun cemas dan khawatir. Ia takut Nenek semaput dengar ia gagal nikah kedua kalinya.
"Lho, Neng Divya? Kok di luar aja?" Tegur Pak Bagus, satpam keluarga Wirata.
"Bapak sama Nenek ada kan, Pak?" tanyanya pelan.
"Ada di dalem. Masuk aja Neng." Pak Bagus membukakan pintu.
"Terima kasih Pak."
Divya takut-takut masuk rumah lewat pintu belakang.
Ia bersiap pasti kena marah neneknya.
Pasti ia disalahkan sepenuhnya.
Nenek Ira tinggal bersama Bapak Abdul di rumah ini karena Nenek sudah tua dan sendirian. Untungnya Pak Ardi begitu baik dan dermawan mengizinkan Nenek tinggal di rumah. Apalagi mereka sudah tidak punya rumah di kampung.
Tapi Nenek Ira begitu galak pada Divya padahal ia cucu satu-satunya.
Nenek dan Bapak sedang duduk di tangga taman sambil sarapan gorengan dan teh hangat.
Divya agak enggan mendekat karena Nenek dan Bapak sedang membicarakan tentang pernikahannya yang rencana akan diadakan dua minggu lagi.
"Nanti kamu jemput saja mereka semua di stasiun. Pak Ardi dan Bu Indah sudah mengizinkan keluarga menginap."
"Iya Bu. Baiknya dua hari sebelum pernikahan mereka datang."
"Sebaiknya seminggu sebelumnya, Dul."
"Tidak bisa Bu. Kang Beben bilang di kampung sedang panen. Mereka tidak bisa lama-lama meninggalkan kampung."
"Padahal ini pernikahan cucuku satu-satunya lho. Harusnya mereka menyempatkan. Kan bisa diajak jalan-jalan dulu di Jakarta."
Mendengar pembicaraan Nenek dan Bapak membuat langkah Divya makin berat takut menemui orangtuanya.
"Telepon saja Beben pastikan persiapan oleh-oleh dari kampung sudah siap. Kita harus berikan banyak oleh-oleh untuk Pak Ardi dan Bu Indah. Beliau berdua sudah sangat baik pada keluarga kita."
Divya menarik napas, ia harus segera bicara sebelum keluarganya ditelepon.
"Nenek, Bapak..."
Begitu ia datang, langsung saja Nenek memberondong pertanyaan.
"Tumben pagi-pagi begini kamu datang? Ini kan jauh dari kantor kamu, Cu. Nanti kamu telat ke kantor, bagaimana? Atau nanti mau dijemput Nak Aldo?"
Divya tersenyum getir dan duduk di lantai, siap menerima omelan.
"Ada apa, Nak?" Tanya Bapak tahu putrinya ada masalah.
Tanpa berani memandang Nenek dan Bapak, Divya menceritakan semua tentang batalnya pernikahannya dengan Aldo yang dibatalkan secara sepihak. Tanpa kejelasan yang pasti.
Langsung saja tensi Nenek naik seketika siap mengomeli cucu satu-satunya.
"Kok begitu? Kamu bikin salah, kali! Makanya jadi perempuan tuh jangan terlalu mandiri, kamu bisa cari uang sendiri. Laki-laki jadi segan dekat-dekat kamu!" Lagi-lagi omelan seperti ini yang terlontar dari mulut Nenek membuat kuping gatal.
"Dia nggak bilang apa-apa sama kamu? Apa alasannya?" Tanya Bapak lebih tenang.
Divya menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca. "Hari ini aku mau coba temuin dia untuk dapat penjelasan. Tapi aku punya feeling dia bakal bener-bener batalin pernikahan kami, Pak. Aku juga nggak tau aku bikin salah apa. Sebelumnya kami juga nggak ada masalah."
"Ya kamu masalahnya!" Semprot Nenek tanpa peduli cucunya sudah mau menangis.
"Jangan salahi Divya terus, Bu. Mungkin memang belum jodoh." Bapak berusaha membela.
"Nggak salah gimana? Udah dua kali anakmu ini gagal menikah. Umurnya udah berapa? Gadis seumur dia udah pada punya anak dua bahkan lebih. Lah anak ini, gagal nikah lagi. Gadis kalau udah dua kali gagal nikah itu akan sulit dapat jodoh. Sepertinya dia perlu kita bawa untuk di ruqiyah. Ini ada yang ngehalangin dia buat dapet jodoh dan nikah kayaknya. Atau jangan-jangan kamu pernah nolak laki-laki dan laki-laki itu dendam jadi main guna-guna. Makanya aura kamu ketutup dan nggak bisa dapet jodoh. Lalu..."
"Bu, aku kan udah bilang jangan percaya hal-hal begitu..." Potong Bapak melihat Divya sudah pusing mendengar ocehan Neneknya.
Sejak dulu Neneknya percaya hal-hal gaib seperti guna-guna, pelet, dan semacamnya. Nenek percaya hal itu bisa memuluskan jalan cucunya dapat jodoh.
Waktu kasus Galih saja dengan paksa Nenek menyeretnya ke orang pintar untuk dimandi kembang agar aura buruk hilang. Karena percaya Galih kabur melihat Divya ber aura negatif.
Untung saja Bapak mengingatkan agar tidak musrik dengan mempercayai hal-hal begitu.
Kali ini tetap saja Nenek berpendapat sama.
"Pak, Nek, aku berangkat ke kantor dulu ya. Nanti aku akan cari Mas Aldo. Sekarang aku banyak pekerjaan." Divya bergegas mencium tangan Nenek dan Bapak bergantian.
"Selesaikan pekerjaanmu. Hari Sabtu ini kita ke Mbah Usih di kampung. Kamu harus dibersihkan." Nenek masih saja memaksa. "Kali ini gimana kita bikin alasan pada saudara di kampung."
"Nggak mau sarapan dulu, Nak?" Tawar Bapak.
Divya menggeleng. "Nanti aja Pak. Keburu macet, aku udah telat juga."
Bapak menepuk bahunya dan berbisik. "Nggak usah diambil hati omongan nenekmu. Nanti juga beliau lupa."
Divya mengangguk. "Iya Pak."
Nenek kan memang sudah pikun maklum sudah masuk usia 75 tahun.
"Aku pergi dulu Pak."
"Jangan terlalu banyak pikiran, Nak. Selesaikan masalah dengan Nak Aldo. Minimal kamu bisa dapat kejelasan. Urusan Nenek biar Bapak yang tangani."
"Baik Pak."
Divya bergegas pergi.
”Jangan dimanjakan anakmu itu. Ibu saja menikah dengan bapakmu umur 16 tahun. Seumur dia, Nenek sudah sekolahkan kamu SMP. Sedangkan dia, malah kerja terus, cari uang. Laki-laki mana yang mau perempuan terlalu mandiri begitu? Cari uang banyak. Pasti dia beranggapan tidak butuh menikah. Kamu harus tegas sama dia, Abdul. Cucuku satu-satunya malah jadi perawan tua. Udah gagal menikah hingga dua kali. Laki-laki mana lagi yang mau dengan dia? Ini tuh bawa sial untuk keluarga kita!"
Bapak berusaha menenangkan Nenek. "Sabar ya Bu. Divya pasti ketemu jodoh yang baik."
"Sabar sabar sampai kapan? Emang Ibu nggak mau lihat cicit Ibu? Mana anak Ibu cuma kamu. Karena Bapak kamu meninggal waktu kamu kecil. Begitu kamu menikah, Lastri meninggal ketika melahirkan Divya. Jadi anak dan cucuku cuma satu. Wajar dong Ibu keras sama Divya."
"Iya Bu. Kita tunggu kabar saja dari Divya. Baru nanti kita bicarakan lagi. Aku mau kerja dulu. Ibu santai aja di sini ya." Bapak bergegas mengambil perlengkapan berkebun dan menuju taman.
Sudah lama Bapak bekerja di sini sebagai tukang kebun yang bertanggung jawab atas tanaman milik Bu Indah istri Pak Ardi.
Nenek masih mengumpat-umpat Divya yang gagal menikah lagi.
"Perempuan udah 2 kali gagal menikah siapa lagi laki-laki yang mau? Memang cucuku itu cantik. Tapi semakin tua, semakin sulit dapat jodoh."
***
Divya melangkah lunglai menenteng tasnya. Rambutnya dikuncir sekenanya. Make up nya sudah tertimpa keringat padahal ini masih pagi. Mood nya berantakan sudah setelah permasalahan gagal menikah ini.
Sehabis kena marah Nenek, ia harus ke kantor banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Bulan ini ia belum mencapai target memasarkan apartemen.
Ia harus berusaha lebih keras.
Sudah beberapa bulan ini penjualannya lebih tinggi dari rekan-rekannya yang lain. Berkat kerja kerasnya melobi calon pembeli tanpa menyerah.
Tapi apa benar yang Nenek katakan barusan?
Ia terlalu mandiri hingga merasa tidak butuh laki-laki. Ia memiliki pendidikan memadai dengan gelar sarjana. Dengan mudah ia bisa dapat pekerjaan berkat kemampuan komunikasinya yang baik. Secara keseluruhan, di samping umur, ia merasa cukup baik untuk pria.
Divya mendengus keras. "Tapi harusnya laki-laki bangga dong kalo perempuan bisa kerja dan cari uang. Emang perempuan mandiri nggak disuka laki-laki?"
Saking kesalnya, ia tidak melihat ada yang keluar dari rumah. Berjalan di belakangnya mendengar semua ocehan Divya.
"Lagian Mas Aldo ada masalah apa sih sama aku? Kenapa tiba-tiba banget batalin rencana nikah? Huhh..."
"Batal nikah lagi?"
Divya tersentak kaget dan berbalik.
Duuukkkk...
"Aduuhh..." Divya meringis jidatnya sakit terbentur dagu keras.
Melihat sosok jangkung yang menjulang di depannya, membuat tekanan darahnya naik seketika.
Jefran!
Cowok itu mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Kasian amat sih batal nikah lagi.."
Divya menahan emosinya. Mengingat cowok ini anak dari majikannya Bapak, dan CEO perusahaan keluarga Wirata, membuatnya harus menahan diri tidak membentak cowok itu.
Jefran yang berusia 28 tahun sudah sejak lama menjadi musuh bebuyutan Divya. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun dari Divya namun Jefran bersikap cuek dan sering membuatnya kesal. Benar-benar tidak ada wibawa sebagai CEO kalau berhadapan dengan Divya.
Kalau bertemu, pasti mereka bertengkar. Jelas laki-laki berondong itu yang memulai.
"Nggak ada kerjaan ya komentar nggak jelas gitu," kata Divya sebel.
Jefran terkekeh dan menyentil jidatnya agak keras.
Divya jadi risih. "Apaan sih?"
"Kenapa lagi sekarang? Kok sampai batal?" Tanya Jefran membuat Divya makin kesal.
"Bukan urusan kamu! Udah ah aku mau pergi ke kantor.." Divya berbalik namun Jefran menahan tangannya.
"Tunggu dulu dong.. main pergi aja. Gue kan belum selesai ngomong."
"Apaan sih Jef?"
"Gue anter lo ke kantor. Sekalian ada yang perlu gue bicarain sama lo di jalan."
"Mau bicara apa ngajak berantem? Udah ah aku nggak ada tenaga berantem sama kamu. Jangan makin ngerusak mood aku untuk kerja. Mending aku pake ojek aja."
"Eh ni cewek, dikasih tumpangan gratis malah nolak. Gue bener ada yang mau dibicarain sama lo. Bukan ngajak berantem. Beneran."
Divya mendengus sebal. Setiap bersama Jefran, tensinya selalu naik tanpa aba-aba karena pria ini yang selalu cari ribut dengannya.
"Ya udah mau bicara apaan, di sini aja."
"Eh ada Divya.." muncul Bu Indah, ibunya Jefran.
Divya langsung pasang wajah manis dan menunduk hormat.
"Selamat pagi, Bu Indah."
"Pagi. Kok nggak masuk?"
"Iya barusan sudah ketemu Bapak. Sekarang mau berangkat ke kantor, Bu. Eh Bu Indah mau ke mana?" Tanya Divya melihat Bu Indah sudah siap pergi.
"Mau ke rumah sakit."
"Nyokap mau medical check up," timpal Jefran.
"Oh ya katanya kamu mau menikah? Gimana persiapannya? Ada yang perlu Ibu bantu?" Tanya Bu Indah membuat Divya tersenyum asam.
"Acaranya..." Divya bingung menjawab.
"Batal, Ma.." Jefran yang menjawab membuat Divya kesal namun berusaha ditahan.
"Kok bisa?" Bu Indah heran.
"Bu, maaf sebelumnya. Saya harus segera tiba di kantor. Nanti saya akan datang lagi kalau pekerjaan saya sudah selesai " Divya berusaha menghindari pembicaraan. Jangan sampai mood nya makin rusak pagi ini.
"Oh iya benar. Kalau libur kamu main lah ke mari. Kita masak bersama. Jangan terlalu keras bekerja. Sayangi badan kamu. Kamu itu cantik. Siapapun yang jadi suami kamu dijamin betah di rumah ada istri secantik kamu," puji Bu Indah membuat Divya tersenyum pahit.
"Terima kasih, Bu."
"Jefran, sekalian antar Divya," kata Bu Indah membuat Divya mendelik tajam pada Jefran yang tersenyum usil.
"Iya, Ma. Aku juga mau ke kantor." Jefran membuka pintu mobil. "Buruan masuk."
Terpaksa Divya masuk mobil dengan siaga siap ribut sepanjang jalan.
Ia dan Jefran memang tidak akur karena sifat nyebelin pria itu yang kerap membuat tensinya naik.
Berondong nyebelin, itu julukan Divya padanya.
Walau yang namanya Jefran itu level gantengnya tinggi banget, tapi karena Divya sudah hafal kelakuan aslinya yang nyebelin, Divya tidak sudi mengakui Jefran ganteng abis.
***
"Eh gue lagi ngomong dengerin kek."
"Iya aku denger. Ngomong aja." Divya memasang wajah jutek memandang jalanan yang cukup macet.
"Gue mau beli apartemen yang lo pasarin. Ada nggak?"
"Banyak. Mau berapa unit?"
"Satu aja kali. Cewek gue cuma satu."
Dahi Divya mengernyit memandang pria di sampingnya yang serius menyetir.
"Kamu mau beli buat pacar kamu?"
Jefran meliriknya sekilas. "Ya sekarang kan pacar. Gue kan mau nikah bulan depan. Gue pengen kasih kado buat Fiona, sekaligus buat tempat tinggal kami setelah nikah."
Divya memajukan bibirnya dan memalingkan wajah. "Syukur deh kalian bisa nikah. Nanti aku pilihin unit apartemen terbagus dengan view keren."
"Gitu dong." Jefran mengusap kepala Divya sekilas membuat Divya risih mengingat pria di sebelahnya lebih muda darinya.
Tapi Divya malas debat, Jefran mana mau kalah kalau debat dengannya.
"Ngomong-ngomong, sekarang kenapa lagi lo bisa gagal nikah?" Tanya Jefran membuat Divya mendengus malas menjelaskan.
"Bisa nggak usah nanya."
"Eh gue nanya sebagai temen kok. Temen gue jadi perawan tua gara-gara gagal nikah sampe dua kali."
"JEFRAN!!!"
Jefran tersentak dan menghentikan mobil, untungnya tepat lampu merah.
Dilihatnya wajah Divya sudah memerah dan matanya sudah berkaca-kaca.
"Aku turun di sini!" Divya membuka seat belt, Jefran menahan tangannya panik.
"Eh Divya, sorry jangan marah gitu."
Divya menghapus air matanya yang jatuh.
Jefran merasa bersalah, dan memakaikan kembali seat belt Divya.
"Sorry banget. Nggak lagi-lagi deh gue nanya."
Divya sungguh benci situasi ini, dan bertekad akan menemui Aldo untuk membuat perhitungan.
Divya diam saja, berusaha menurunkan tekanan darahnya. Jefran yang tidak biasa melihat gadis itu diam ingin mengganggunya, namun tidak berani bicara apalagi wajah Divya jutek abis.
Barusan itu pertama kalinya Divya sampai membentaknya. Membuatnya ngeri juga.
Biasanya Divya tidak sampai se emosional itu. Pasti suasana hatinya sedang buruk.
Tiba di depan kantor di kawasan Jakarta Selatan, Divya membuka seat belt.
"Makasih udah nganter."
"Semangat kerjanya, Div." Jefran mengacungkan tangan.
Divya tidak menanggapi dan keluar mobil, bergegas masuk kantor.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!