NovelToon NovelToon

AIR MATA PERNIKAHAN

Kehidupanku

Namaku Sifa, saat ini, umurku sudah menginjak tiga puluh dua tahun. Bukan usia yang muda untuk wanita sepertiku. Namun, aku sudah dikaruniai seorang orang anak laki-laki yang sangat tampan. Yang pertama bernama Zaki, berusia tujuh tahun. Dan saat ini, aku sedang mengandung anak yang kedua.

Aku menikah saat usiaku masih dua puluh lima tahun. Namun, ada sedikit cerita sedih sebelum aku menikah.

Sejak kecil aku diasuh oleh kakek dan nenekku sampai dewasa. Hal itu dikarenakan saat kecil, kata orang tuaku aku tidak bisa mengontrol tangan dan sering menyakiti adik-adikku. Ya, mungkin karena aku masih kecil dan belum bisa berpikir mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Namun, berkat asuhan dari kakek dan nenekku, aku pun berhasil menjadi sarjana dengan gelar terbaik. Aku bahkan bisa bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang besar pula.

Apakah itu cerita sedihku? Tentu saja tidak. Diasuh oleh kakek dan nenekku adalah hal yang terbaik dalam hidupku. Karena berkat mereka aku berhasil menjadi orang yang baik. Aku bahkan sudah mengenakan hijabku ketika masih belia. Meski aku harus jauh dari kedua orang tuaku, namun mereka tetap menyayangiku hingga sekarang.

Dulu, aku pernah berkenalan dengan seorang pria yang sangat disukai kakekku. Pria itu sangat Soleh, baik, dan pintar. Namun, sepuluh tahun kami menjalin cinta, nyatanya tak menjamin kami akan berjodoh.

Aku meninggalkan dirinya secara tiba-tiba karena ada seorang pria yang mau melamarku. Entahlah, aku begitu sangat mencintainya hingga merelakan cintaku yang sudah sepuluh tahun aku jalani bersamanya, yaitu Mas Fandi.

Bahkan saat calon suamiku hendak melamarku, di situlah orang tua mas Fandi baru tahu bahwa aku sudah putus dengan anaknya dan akan menikah dengan orang lain. Aku dengar, ibunya sampai meneteskan air mata. Tak tega rasanya, namun, kalau sudah jodoh, kita takkan bisa melakukan apa-apa karena ini adalah takdir dari Allah.

Aku menikah dengan seorang pria yang sangat baik, dia adalah Mas Amir. Pria yang saat ini sudah berusia tiga puluh tiga tahun, hanya terpaut satu tahun dariku saja.

Saat ini, aku sedang hamil sembilan bulan. Saat-saat yang dinantikan oleh suamiku. Dia meyakini bahwa anak yang akan lahir adalah anak perempuan karena dia sangat menginginkannya.

"Aduh, capek," ucapku sambil merebahkan tubuhku ke atas sofa ruang keluarga.

"Kenapa, Sayang?" Ku denger suara mas Amir datang menghampiriku.

"Ini, Mas, kakiku berdenyut. Lihat, bengkak nih gara-gara kamu nggak mau nemenin aku jalan setiap pagi," rajukku sambil mengerucutkan bibirku.

"Maaf, Sayang. Kan kamu tahu sendiri kalau Mas ini sedang banyak kerjaan di kantor. Maaf, ya, cintaku." Mas Amir langsung mendaratkan usapan halus di wajahku. Membuatku tersipu malu dengan tingkahnya yang selalu memanjakan aku.

Dia pun langsung memijat kakiku dengan usapan lembutnya. Aku merasa sangat nyaman jika dia melakukan sentuhan itu di kakiku. Entahlah, mungkin karena dia adalah orang yang sangat aku cintai. Jadi, apapun perlakuan yang diberikannya untukku, pasti akan membuatku merasa nyaman.

"Mas, kalau seandainya anak yang aku kandung ini laki-laki lagi, gimana?" tanyaku sambil menatap ragu.

Dapat kulihat perbedaan rona wajahnya saat ini. Mas Amir sepertinya sangat tidak menyukai pertanyaanku tentang anak yang akan lahir dan mengisi keluarga kami.

"Kamu jangan mikirin macam-macam. Aku yakin kalau anak ini pasti perempuan. Iya, kan, Sayang." Mas Amir mendaratkan sebuah kecupan lembut di perutku. Seolah sedang berbicara dengan calon anak kami.

Aku menatap lirih. Dia memang tidak mengetahui bahwa anak yang sedang aku kandung adalah anak laki-laki. Hal ini aku melakukan USG kemarin, dokter mengatakan bahwa calon anak kami adalah laki-laki. Sedangkan aku mengatakan padanya bahwa aku tidak melihat calon anak kami. Hanya sekedar kontrol kandungan saja.

Ah, entah bagaimana nantinya jika dia tahu bahwa anak yang akan kau lahirkan sebentar lagi adalah laki-laki. Memangnya apa bedanya anak laki-laki dan perempuan? Mengapa dia seolah takut jika tidak memiliki anak perempuan?

Apa menurutnya hanya anak perempuan saja yang bisa mengurus orang tuanya saat sudah tua? Anak laki-laki pun bisa, untuk apa khawatir?

"Mas, memangnya apa sih bedanya anak laki-laki dan perempuan?" tanyaku penasaran. Aku ingin mendengar jawaban langsung darinya.

"Ya beda aja. Kalau anak laki-laki itu kan kebanyakan nakal dan saat dewasa sering nggak inget orang tua. Kalau anak perempuan itu pasti memiliki hati yang lembut dan berperilaku baik." Mas Amir pun menjabarkan penjelasan mengenai perbedaan anak laki-laki dan perempuan.

"Tapi anak kita si Zaki kan baik, Mas. Lihat dia, rajin sholat, mengaji, dan dia juga rangking di sekolah. Nggak pernah tuh sekalipun buat aku atau kamu marah," sahutku sedikit kesal. Bagaimana bisa dia membedakan anak laki-laki dan perempuan seperti itu? Semua anak itu sama, mereka adalah karunia terindah yang diberikan Allah kepada setiap orang tua.

"Ya Zaki memang baik. Tapi kan kita nggak tahu gimana nanti adiknya? Kalau laki-laki, pasti dia nakal banget. Soalnya dulu kan kamu nakal," ucap Mas Amir sambil mencubit hidungku ingin bercanda.

"Ih, Mas, kok diungkit. Ya namanya juga anak-anak, ya pasti ada nakalnya, lah. Kayak kamu nggak nakal aja!" Aku menggerutu sambil bersedekap dada.

"Cieee, ngambek. Udah, yuk, sekarang kita jalan ke depan komplek. Biar bengkak di kaki kamu kempes," ucap Mas Amir sambil menarik tubuhku agar berdiri dari sofa.

Kami pun berjalan-jalan ke sekitar komplek perumahan yang kami tempati. Kami yang dua-duanya kerja di perusahaan besar membuat kami bisa memiliki hunian yang bagus dan juga mobil serta dua sepeda motor.

Di jalan, kami berpapasan dengan beberapa tetangga yang sedang menjalani rutinitasnya di sore ini.

Ada yang baru saja pulang dari bekerja, ngobrol di rumah tetangga, atau menjemput anaknya yang sedang bermain di lapangan.

Saat ini Zaki sedang belajar di kamarnya. Makanya aku tak perlu repot menjemputnya. Dia akan keluar di jam yang sudah ditentukan. Begitulah cara akan mendidiknya. Seperti cara kakekku dulu saat mendidikku dengan sangat disiplin hingga bisa menjadi seperti sekarang ini.

Saat ini aku sedang mengambil cuti karena akan segera melahirkan. Aku bersyukur karena mas Amir adalah sosok suami yang sangat siaga. Tapi, bagaimana kalau nanti anak kami lahir, apa dia tidak akan mengubah sikapnya yang manis ini? Semoga saja tidak. Aku akan mendidik anak keduaku dengan sangat baik agar Mas Amir bisa menarik ucapannya bahwa anak laki-laki itu notabennya adalah anak yang bandel.

Kelahiran anak kedua

Beberapa hari kemudian.

"Aduh, sakit, Mas!! Cepatlah, aku udah nggak kuat!" Aku mencengkram tangannya yang masih mengemudi dengan kuat.

"Sayang, jangan cakar tangan Mas. Mas lagi nyetir. Kamu tahan, ya, Sayang, sebentar lagi kita akan sampai ke rumah sakit." Mas Amir yang tampak sangat panik pun segera mempercepat laju mobil.

Aku tidak menyangka bahwa kelahiran anak kami secepat ini. Padahal, kata dokter HPLnya sekitar satu minggu lagi. Untung saja Mas Amir bisa dihubungi dan langsung pulang untuk membawaku ke rumah sakit.

"Cepat dong, Mas! Aku udah nggak tahan!" Aku semakin berteriak sambil menahan sakit di perutku.

Mas Amir terpaksa menahan cengkraman tanganku yang sudah menyakiti tangannya. Dia membiarkan aku melampiaskan terasa sakit ini dengan menyakitinya.

Hingga beberapa menit kemudian akhirnya kami sampai ke sebuah rumah sakit yang bekerjasama dengan perusahaan tempat Mas Amir bekerja.

Aku pun segera ditangani oleh dokter. Mas Amir juga masuk ke ruang persalinan dan menemaniku melahirkan anak kedua kami.

Berkali-kali aku menjerit dan menjambak rambutnya karena rasa sakit ini sangat menyakitkan. Padahal aku sudah pernah melahirkan, tapi entah kenapa kelahiran kedua ini juga sama sakitnya.

Hoeekkk hoeeekkk! Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya lahirlah anak kedua kami. Mas Amir masih terus berada di sisiku untuk menguatkan aku yang baru saja melahirkan anak kedua kami. Sedikitpun dia tak melihat anak kami yang sedang dimandikan oleh para suster.

"Makasih, ya, Sayang, karena kamu sudah melahirkan anak kedua kita." Mas Amir mengusap rambutku dan mendaratkan sebuah kecupan di keningku. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk karena tubuhku sangat lemah setelah berjuang melahirkan anak kedua kami secara normal.

"Pak, silakan diadzankan dulu," ucap seorang suster sambil menyerahkan bayi yang sudah dimandikan dan dibedong."

"Lho, kok bedongnya warna biru, Dok? Saya kan sudah memberikan kain berwarna pink," ucap Mas Amir hingga membuat mereka saling pandang karena heran.

"Maaf, Pak, tapi, anak Bapak kan laki-laki. Jadi kami menggunakan kain berwarna biru. Tapi, kalau bapak ingin yang warna pink, nanti suster akan menggantikannya," ucap sang dokter.

Seketika aku bisa melihat perubahan wajah Mas Amir. Yang tadinya sangat senang dengan wajah berseri-seri, kini menjelma menjadi wajah yang muram dan masam. Jelas sekali bahwa dia sangat kecewa dengan kelahiran anak kedua kami yang rupanya berjenis kelamin laki-laki juga.

"Pak, maaf, silakan diadzankan dulu," ucap sang suster yang masih menggendong bayiku.

Dengan wajah terpaksa, Mas Amir pun mengambilnya dan mengadzankannya. Sebelumnya dia telah mengambil air wudhu sehingga hanya tinggal mengadzankannya saja. Adzan harus dikumandangkan di telinga kanan bayi, apapun jenis kelamin bayi tersebut. Setelah selesai mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi, bacakan iqamah di telinga kiri bayi. Itulah yang dilakukannya.

Setelah aku dipindahkan ke ruang rawat, seluruh keluargaku dan keluarga Mas Amir pun datang. Mereka memberi selamat pada kami atas kelahiran anak kedua kami yang kami sepakati bernama Prayoga Amirul atau dipanggil dengan nama Yoga.

Ibuku terlihat sangat bahagia ketika menggendong cucunya yang sangat mirip denganku. Anak pertama kami sangat mirip dengan Mas Amir. Wajar saja jika anak kedua kami ini malah mirip denganku.

Ibu mertuaku juga turut datang dan memberikan selamat kepada kami. Namun, sepanjang kami mengobrol, Mas Amir masih tampak diam dengan wajah yang lesu.

Keluarga kami mengira bahwa dia sedang keletihan. Namun aku tahu, dia bukan sekedar keletihan, tetapi kecewa dengan kelahiran anak kedua kami yang ternyata berjenis kelamin laki-laki.

Bukan salah takdir

Beberapa hari kemudian, aku pun sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Dengan dijemput oleh suami serta keluarga kami, aku pun pulang ke rumah dengan membawa bayi mungil ini.

Sepanjang jalan, tak kudengar suara Mas Amir yang ikut nimbrung ketika kami membicarakan anak kedua kami. Padahal ibu mertuaku sangat antusias sekali meskipun cucu kedua dari Mas Amir adalah laki-laki lagi.

"Zaki, gimana? Kamu seneng dong punya adek lagi," ucap ibu mertuaku yang sedang memangku Yoga yang tengah tertidur pulas.

"Suka, Nek, Zaki mau main bola sama dek Yoga nanti."

Ucapan polos Zaki membuat semuanya tersenyum. Dan lagi-lagi Mas Amir hanya diam saja.

"Sifa, mulai besok Mama akan kirim asisten rumah tangga untuk kalian, ya. Kamu kan baru lahiran, kasihan dong kalau nggak ada yang nanti. Sedangkan Amir juga sedang sibuk sama pekerjaannya," ucap ibu mertuaku. Beliau memanglah wanita yang sangat baik hati. Tak pernah pilih kasih terhadap menantunya. Beliau memperlakukan menantunya secara adil. Makanya di keluarga kami tidak pernah ada pertengkaran ataupun rasa iri yang ditimbulkan oleh perlakuan yang berbeda.

Aku merasa sangat bersyukur karena memiliki ibu mertua seperti ibu Mas Amir ini. Namanya Indah, seindah wajah dan akhlaknya.

"Mama nggak perlu repot-repot, Ma. Aku masih bisa kok ngelakuin semuanya sendiri," ucapku dengan senyuman kecil. Segan rasanya menolak permintaan ibu mertuaku yang super baik ini.

"Jangan dong, Sifa. Kamu itu baru melahirkan. Nggak papalah ada yang bantu-bantu kerjaan rumah. Kasian entar kamu nggak bisa istirahat." Mama mengusap punggungku dengan lembut. Seperti usapan seorang ibu pada anak kandungnya.

"Iya, Ma, makasih, ya," ucapku sambil mengangguk. Aku memang tidak akan pernah bisa menang jika berdebat dengan Mama Indah.

Kembali ku lirik Mas Amir yang masih fokus menyetir dengan wajah yang masam. Mas, mengapa kamu menyalahkan takdir Allah? Anak yang aku lahirkan ini adalah ciptaanNYA, mengapa kamu malah seakan kecewa dengan ketentuanNYA? Aku hanya bisa menangis dalam hati. Tak mungkin kutunjukkan rasa sedihku di depan keluarga besarku seperti ini. Sama saja membongkar aib sendiri.

Sesampainya di rumah, kami pun mengobrol sebentar sebelum Akhirnya mereka berpamitan pulang karena hari sudah semakin sore.

Aku sedang berada di dalam kamar bersama Zaki dan bayiku. Zaki terlihat sangat bahagia dengan kelahiran adiknya yang juga berjenis kelamin laki-laki. Impiannya memang memiliki adik laki-laki yang akan selalu menemaninya bermain bola. Itulah pola pikir anak-anak yang masih polos. Meski baru kelas satu SD, namun Zaki memiliki sifat yang sedikit lebih dewasa dari umurnya. Makanya aku merasa sangat bangga memiliki anak sepertinya.

"Mas, sini, dong, lihat anak kita," ucapku ketika Mas Amir masuk ke dalam kamar dan meletakkan tas bayiku.

"Nggak!" ucapnya ketus. Bahkan tak mau menoleh ke arah kami.

"Ayah, ayo kita main sama dedek Yoga," ujar Zaki yang mencoba menggapai tangan ayahnya dan menariknya agar mendekat dengan kami.

Dengan langkah gontai dan wajah yang lesu, Mas Amir pun mendatangi kami dan melihat putranya. Masih tergambar jelas raut kekecewaan di wajahnya. Berkali-kali dia menghembuskan nafas berat, seakan tak rela dengan takdir yang telah diberikan Allah.

"Ayah, lihat, adek, Yah. Wajahnya mirip Mama, ya," ucap Zaki mengulang kembali kalimatnya.

"Iya, Nak, mirip." Hanya itu yang diucapkan Mas Amir pada kami. Dengan senyuman yang sepertinya dipaksakan. Di pun pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi pada kami. Ya, dia memang kecewa dengan kelahiran anak kedua kami ini. Astaghfirullah, semoga kamu sadar dengan keegoisanmu, Mas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!