NovelToon NovelToon

Air Mata Sarah

Kecelakaan

“Juara umum tahun ini diraih oleh, Sarah.” Riuh suara siswa dan siswi berseragam putih abu-abu itu bersorak, jagoannya kembali meraih prestasi di sekolah.

Seorang gadis cantik bermata bulat keluar dari barisan, lalu berjalan menuju podium untuk menerima sebuah tropy dan piagam penghargaan atas prestasi yang telah diraihnya. Senyum semringah menghiasi wajah gadis bernama Sarah itu.

*****

Sarah sudah sampai di depan sebuah pintu rumah mewah milik orang tuanya.

“Assalamu’alaikum.” Sarah membuka pintu lalu bergegas masuk, mencari-cari keberadaan ibunda tercintanya.

“Bu … Ibu …” panggil gadis itu.

“Iya, Ibu di sini.” Seorang wanita paruh baya beteriak dari ruang dapur, tangannya terlihat masih menggurita menyiapkan hidangan untuk makan malam.

“Sarah jadi juara lagi, Bu!” seru gadis cantik itu, sambil mengangkat tropi dan piagam di kedua tangannya ketika sampai di belakang Sang Bunda.

“Anak siapa dulu dong,” sambut Ibu Marni sambil membalikan badan menghadap ke arah Sarah, lalu ia merentangkan kedua tangannya. Sarah berlari dan memeluk Ibunya.

“Berkat do’a Ibu,” bisik Sarah, haru.

Air mata Bu Marni meleleh membasahi pipinya yang masih telihat kencang di usianya yang sudah tak lagi muda.

“Ayah belum pulang, ya, Bu?” Sarah celingukan melihat ke teras belakang rumah, tempat yang biasa digunakan Sang Ayah duduk-duduk santai sambil menikmati secangkir kopi melepas penat setelah bekerja.

“Katanya masih ada meeting di kantor,” ungkap Bu Marni sambil mengusap bekas aliran dipipinya.

“Mandi dulu sana, bau keringat, ih,” kata Bu Marni sambil menutup hidungnya.

Sarah memajukan bibirnya sambil menggerutu, “anak sendiri dikatain.”

Bu Marni tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitas yang ditinggalkannya.

Sarah masuk ke kamar, dia menaruh tropi dan piagamnya di dalam sebuah lemari kaca yang terletak di pojok kamar, terlihat di sana sudah berjejer tropi juga piagam yang telah diraih Sarah sebelumnya.

“Hai prestasiku, kalian punya teman baru lagi, nih,” ucap Sarah pada beda-benda itu.

Sarah menyambar handuk di balik pintu kamar, lalu berjalan menuju kamar mandi. Sarah membersihkan tubuh dengan ditemani lantunan lagu-lagu kesukaannya.

*****

“Permisi!”

Dua orang laki-laki berseragam polisi berdiri di depan pintu sambil mengetuk-ngetuknya.

Bu Marni yang masih menata hidangannya di atas meja makan bergegas menghampiri, lalu membukakannya.

“Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Bu Marni setelah ia berhadapan dengan tamunya.

“Kami dari Satlantas Polsek, Bu. Apakah benar ini kediaman Bapak Prayoga?” ucap seorang polisi yang bernama Beni, terlihat dari sebuah papan nama yang terpampang pada seagam yang dikenakannya.

Bu Marni mengangguk, keningnya mengerut, fikirannya menerka-nerka hal yang terjadi pada suaminya.

“Ada apa dengan suami saya, Pak?” tanya Bu Marni dengan hati yang mulai risau.

“Boleh kami masuk?” pinta Beni.

“Oh, iya, silahkan.”

Bu Marni membuka lebar daun pintu yang masih dipeganginya dari tadi.

“Begini Bu, saya mendapat laporan bahwa Bapak Prayoga mengalami kecelakaan lalu lintas dan sekarang sudah berada di UGD Rumah Sakit.”

Sontak Bu Marni kaget dengan keterangan yang baru saja dia dengar, kakinya terasa lemas, untung saja Bu Marni sudah dalam posisi duduk di kursi ruang tamu saat itu.

Sarah mendengar pembicaraan mereka, dengan cepat dia menghampiri Ibunya, raut wajahnya terlihat kebingungan.

“Bagaimana keadaan Ayah saya sekarang, Pak?” tanya Sarah pada kedua polisi itu.

“Sebaiknya kita sama-sama saja berangkat ke sana,” saran Beni, lalu ia berdiri dari tempat duduknya.

*****

Seorang pria paruh baya tengah merintih kesakitan, ia terbaring lemah tak berdaya di sebuah ranjang Rumah Sakit.

“Tolong segera dibersihkan luka-lukanya dan pasang infus juga oksigen,” perintah seorang laki-laki tampan bertubuh tegap dan memakai snelli.

“Baik, dok,” jawab seorang perawat perempuan yang sudah siap dengan peralaan medis di tangannya.

“Ayah …” teriak Sarah histeris, ketika dia berhasil menemukan orang yang mereka cari di ruangan UGD Rumah Sakit itu.

“Bagaimana keadaan suami saya, dok?” tanya Bu Marni dengan perasaan khawatir.

“Beliau masih belum sadarkan diri, kami akan menanganinya terlebih dahulu, Ibu dan Adik silahkan menunggu di luar,” jawab doter itu.

Seorang perawat laki-laki mengarahkan Bu Marni dan Sarah agar menunggu di luar.

Ibu dan anak itu menurut, keduanya ke luar dari ruang tindakan lalu duduk di ruang tunggu bersama dua polisi yang menemani mereka dalam perjalanan ke Rumah Sakit.

“Kenapa ini bisa terjadi?” lirih Bu Marni dengan air mata yang berlinang.

Beni yang mendengar ucapan Bu Marni berusaha menjelaskan kronologi kecelakaan yang menimpa Pak Prayoga, setelah menarima laporan dari tim olah TKP melalui telepon selulernya.

“Bapak mengalami kecelakaan karena berusaha menghindar ketika hendak bertabrakan dengan seorang anak muda yang membawa sepeda motor. Sekarang anak muda itu sudah berada di kantor untuk di mintai keterangan,” tutur Beni menjelaskan.

“Kalau begitu kami permisi, Bu,” Beni pamit pada Bu Marni.

“Besok kami ke sini lagi, untuk meminta keterangan dari Pak Prayoga,” imbuhnya seraya berjabatan tangan dengan Bu Marni dan Sarah.

*****

Seorang pemuda berwajah tampan terlihat panik setelah digiring oleh dua orang polisi menuju Polsek setempat.

Dia merogoh ponsel yang berada di dalam tas gendongnya.

“Pah, tolong, Devan lagi di kantor polisi nih,” rengek pemuda itu setelah sambungan teleponnya diterima.

“Kamu kenapa?” suara seorang pria disebrang sana bertanya.

“Devan udah bikin orang celaka, Pah, tapi Devan nggak sengaja, beneran deh,” lanjutnya dengan nada ketakutan.

“Sengaja atau nggak kamu harus tanggungjawab!” tegas suara dalam ponsel yang dipegang Devan.

“Papah kesitu sekarang.”

Tut … tut … tut … pembicaraan itu selesai setelah seseorang yang dipanggil Papah oleh pemuda bernama Devan itu menutup sambungan teleponnya secara sepihak.

“Saudara Devan Putra Bagaskara,” panggil seorang polisi.

“Iya, saya sendiri, Pak,” sahut Devan.

“Silahkan duduk di sebelah sini dan berikan keterangan anda,” titah polisi itu, sambil menunjukan kursi yang berhadapan dengan seorang polisi dengan laptop didepannya.

“Bagaimana kejadian ini bisa terjadi?” tanya polisi yang duduk berhadapan dengan Devan.

“Saya mau berangkat ke kampus, arah saya berlawanan dengan mobil berwarna biru itu, karena saya buru-buru, saya berusaha menyalip mobil truk yang ada didepan saya, mobil biru itu menghindar dan menabrak batas jalan. Tapi sumpah Pak, saya nggak sengaja Pak, beneran,” tutur Devan menjelaskan kejadian yang dialaminya.

Polisi yang bertanya itu kemudian mengetik laporan berdasarkan informasi yang sudah dia terima dari Devan.

Pemuda berambut cepak itu terlihat gelisah, dia menunggu kedatangan Papahnya agar segera mendapatkan pertolongan.

“Papah lama banget, sih,” gerutunya.

“Penjarain aja anak nakal itu, Pak,” sungut seorang pria berbadan tegap, dengan langkah yang berwibawa beliau memasuki ruangan dimana Devan berada.

Pandangan Pertama

“Geo, kemana aja sih? Aku telpon kamu berkali-kali nggak diangkat, whatsapp aku juga nggak kamu balesin, kamu udah lupa sama aku?” celoteh seorang perempuan dari dalam speaker handphone milik dokter muda yang baru saja menangani Pak Prayoga.

“Maaf, aku tadi lagi nanganin pasien kecelakaan, jadi nggak bisa angkat telpon,” ucap pemuda pemilik mata elang itu.

“Ya udah aku maafin, tapi kamu harus bisa makan malam sama aku hari ini,” ketus Vania, pacar Geo yang super manja alias kolokan.

“Iya, Aku usahain,” jawab Geo datar.

“Dok, maaf, ada pasien darurat di ruang UGD,” ungkap seorang perawat yang datang dengan tergesa-gesa.

“Aku harus ke ruangan lagi.” Percakapan itu selesai dengan satu sentuhan telunjuk Geo pada layar ponselnya.

Geo kembali bergegas menuju ruangan tempatnya bertugas.

*****

Sarah pamit pada ibunya untuk membeli makanan dan minuman ke luar. Ayah Sarah sudah berada di ruang rawat inap saat itu.

Brukkk … Sarah menabrak seseorang yang sedang berjalan dari arah berlawanan dengannya.

“Aduhh.”

Ponsel Sarah terjatuh ke lantai, pemuda berjas putih itu memungutnya, Sarah pun berusaha meraih kembali ponselnya.

Sejenak pandangan keduanya beradu.

“Maaf, saya buru-buru,” ucap Geo dengan cepat dia mengalihkan pandangannya.

Sarah terkesima melihat ketampanan dokter muda itu di hadapannya. Ia tak dapat berkata, hanya dapat menganggukan kepala. Padahal yang salah justru dirinya, karena berjalan tanpa melihat ke arah depan.

Setelah meminta maaf Geo kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang UGD.

Sarah menatap punggung dokter tampan itu.

“Ganteng banget,” pujinya sambil memegang ponsel.

*****

“Papah tega banget, ama anak sendiri juga,” Devan merajuk saat Papahnya datang dengan ucapan lantangnya.

“Kamu itu memang nggak bisa disiplin, apa-apa semaunya sendiri, mau jadi apa kamu?” hardik Pak Bagas pada anak semata wayangnya.

“Devan nggak sengaja, Pah.”

Devan tertunduk, tak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah dengan keadaan. Harapan satu-satunya adalah Papahnya.

Pak Bagas meminta izin untuk berbicara dengan Kapolsek setempat, yang kebetulan adalah juniornya saat masih aktif dulu di kepolisian.

Pak Bagas adalah seorang purnawirawan polisi, beliau pensiun muda karena harus menjalankan amanat untuk meneruskan usaha kuliner milik almarhum orang tuanya. Kegagahan dan kedisiplinannya masih melekat dalam diri pria berusia enam puluh tujuh tahun itu.

Setelah berbincang di ruangan Kapolsek, Pak Bagas terlihat berpamitan dan keluar dari ruangan.

“Ayo pulang, kamu dihukumnya di rumah,” bentak Pak Bagas sambil menjinjing kerah bagian belakang, jaket yang dikenakan anaknya.

Pria berwibawa itu membawa Devan seperti seorang polisi yang berhasil menangkap maling.

Devan terhuyung karena tarikan tangan Papahnya. Semua anggota polisi yang berada di sana tersenyum-senyum melihat kelakar Bapak pada anaknya itu.

Sampai di luar Polsek Devan menghela nafas lega, dia tau betul segalak apapun Papahnya, beliau tidak pernah mengabaikannya dalam hal apapun.

“Makasih, Pah,” ucap Devan setelah Pak Bagas melepaskan pegangannya.

Tanpa menjawab pria berkaca mata itu meninggalkan Devan yang masih berdiri di depan kantor polisi.

Devan menghampiri sepeda motor kesayangannya.

Ting … ting … suara whatsapp masuk di ponselnya.

‘Kamu ke Rumah Sakit besok pagi, minta maaf pada pengendara mobil yang udah kamu bikin celaka, nggak usah minta ditemenin, belajar bertanggung jawab sendiri, kamu tau kan gimana caranya minta maaf?.’

Chat itu dari Papahnya, yang sudah lebih dulu meninggalkan Polsek dengan pajero putihnya.

Devan tersenyum, dia hafal betul dengan sifat lelaki yang menjadi panutannya sejak kecil.

Setelah memasukan kembali ponselnya ke dalam tas gendongnya, pemuda berambut pirang itu kemudian melajukan kendaraan roda duanya menuju kediamannya sendiri.

*****

Sarah sudah berada di ruangan tempat dimana Ayahnya dirawat usai mengalami kecelakaan.

“Bu, Ibu pulang saja. Ayah aku yang jagain,” bujuk Sarah pada Ibunya yang sudah terlihat lelah.

“Nggak apa-apa, biar Ibu disini nemenin Ayah, kamu aja yang pulang, istirahat,” tolak Bu Marni, sambil menyeruput teh manis hangat yang dibelikan Sarah.

“Ibu ingin lihat Ayah sadarkan diri dulu,” lanjutnya dengan tatapan resah tertuju pada suaminya yang masih terbaring lemah.

Sarah bergeming. Dia tau betul, betapa Ibunya sangat mengkhawatirkan Ayahnya.

*****

Vania sudah berdiri di depan Rumah Sakit sejak satu jam yang lalu, dia terlihat sudah tak lagi memiliki kesabaran. Dengan wajah kesal gadis manja itu berjalan menuju ruangan tempat dimana dokter Geo Sang pujaan hatinya itu berada.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Vania menerobos masuk, ekor matanya menyapu seluruh ruangan, namun pandangannya tak menemukan sosok yang dia cari.

“Cari dokter Geo, ya, Mba?” tanya seorang dokter Farah, teman Geo, pada Vania yang masih berdiri diambang pintu.

Gadis bermata biru itu mengangguk.

“Geo udah pulang dari tadi,” terang seorang dokter laki-laki yang tengah mengenakan jas kebesarannya.

Tanpa basa basi lagi, Vania berbalik dan membanting pintu yang bertuliskan ruangan dokter itu.

“Astaga, si Geo dapet Nenek sihir darimana sih,” celetuk dokter Kemal yang kini sudah siap bertugas dengan jas putihnya. Semua yang ada di ruangan itu tertawa dibuatnya.

Vania berusaha menghubungi Geo, dia terus mendial nomor kekasihnya berkali-kali, namun tak ada jawaban selain suara mesin penjawab otomatis yang menyuruhnya meninggalkan pesan.

Gadis itu menuju mobil yang diparkirnya di depan Rumah Sakit, dia kembali pulang dengan kekecewaan di dalam hatinya.

“Lu? Kok baru nongol sih, barusan cewek lu kesini, gue fikir lu udah balik,” tanya Kemal pada Geo yang muncul dari balik pintu toilet ruangan.

“Baguslah, capek gue ngadepinnya,” keluh Geo sambil menghempaskan tubuhnya di atas kasur tempat beristirahat dokter yang berjaga malam.

“Terus lu nggak balik?” Kemal bertanya lagi.

Geo menggelengkan kepala dengan mata yang sudah dipejamkannya.

Kemal berdecak, lalu keluar meninggalkan Geo yang mulai terlelap.

*****

Matahari pagi menyambut pergantian hari dengan hangat sinarnya yang menerobos dinding kaca sebuah jendela yang masih tertutupi gorden berwarna biru muda.

Sarah terbangun, dia melihat Bu Marni masih berada di atas sajadahnya. Sarah sedang berhalangan, dia tidak mengerjakan dua rakaat subuhnya.

“Bu … Ibu …” panggil Pak Prayoga dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Pak, Bapak sudah sadar, Alhamdulillah ya Allah,” ucap Bu Marni menyambut kesadaran suaminya.

Sarah yang baru saja keluar dari kamar mandi mendengar suara Ibunya.

“Bapak …” Sarah menghampiri sosok lelaki panutannya itu dan memeluknya.

Keduanya tak dapat membendung buliran haru yang lolos melintasi pipi mereka masing-masing.

Tok … tok … suara pintu yang diketuk dari luar.

“Siapa yang datang pagi-pagi begini?”

Maaf

Geo membuka matanya, hari sudah pagi. Ia bergegas menuju kamar mandi, selesai dari sana dokter muda itu menyambar tas gendong dan kunci mobil di atas meja kerjanya.

“Kemana?” tanya Kemal yang baru saja masuk ke ruangan itu.

“Balik dulu bentar, jam masuk gue masih satu jam lagi,” jawab Geo.

“Jangan lama-lama, gue juga pengen balik cepet,” teriak Kemal.

Geo mengacungkan jari jempolnya sambil berjalan keluar.

*****

“Cari siapa?” tanya Sarah pada Devan yang masih bergeming diambang pintu sambil membawa parsel buah ditangannya.

“Oh, iya, maaf, ini bener kamar rawat atas nama Pak Prayoga?” tanya Devan sambil menikmati binar sepasang bola mata bulat yang berada di depannya.

Sarah mengangguk, “iya, benar, beliau Ayah saya, ada apa?” lanjut Sarah kembali bertanya.

“Suruh masuk, Nak!” Bu Marni menyela percakapan keduanya dari dalam.

Devan tersenyum, gadis itu meminggirkan tubuhnya sejajar dengan daun pintu yang masih dipeganginya, bahasa isyarat agar tamunya masuk.

Pemuda tampan itu melangkah ke dalam ruangan. Sarah kembali menutup pintu.

“Adek ini siapa?” tanya Bu Marni setelah menerima salam dari Devan.

“Dia anak yang bawa motor itu, Bu,” potong Pak Prayoga dengan suaranya yang masih lemah.

Devan menunduk, “saya mohon maaf, Pak,” sesalnya.

“Oh, jadi kamu yang udah bikin Ayahku celaka?” sosor Sarah dengan wajah ketusnya.

“Maafkan saya, saya nggak sengaja membuat Bapak celaka, kemaren itu saya buru-buru mau berangkat ke kampus, jadi saya menyalip kendaraan di depan tanpa melihat ada mobil Bapak di arah yang berlawanan,” tutur Devan dengan wajah yang masih tertunduk.

Sarah menyedekapkan tangannya, memandang tajam pada lelaki yang usianya sedikit lebih tua dengannya.

“Makanya kalo bawa motor itu jangan ngebut-ngebut, mending kalo celaka sendirian, ini kan nyelakain orang,” ketus Sarah.

“Sudah-sudah, tidak usah diributkan lagi, yang penting Bapak sekarang udah baik-baik aja,” sela Bu Marni berusaha menengahi.

“Siapa namamu?” tanya Pak Prayoga.

“Devano Putra Bagaskara,” pemuda tampan itu menyebutkan nama lengkapnya sesuai KTP.

Mendengar nama Bagaskara, Pak Prayoga mengerutkan kening, sepertinya dia mengenal nama itu.

“Siapa nama Ayahmu?” tanyanya lagi pada Devan.

“Bagaskara, beliau pensiunan dari kepolisian, dulu bertugas di bagian Lantas Polda, Pak,” dengan lengkap Devan menjelaskan identitas Ayahnya.

“Telpon Ayahmu suruh kesini, sekarang!” titah Pak Prayoga.

‘Duhh, gawat, apa lagi nih,’ batin Devan, sambil merogoh ponsel di saku celana jeans yang ia kenakan.

*****

Geo sampai di apartemennya, dia bergegas masuk. Saat berada dalam kamarnya, Geo mendengar ponsel yang terus berbunyi dari dalam tas gendongnya.

Geo mengabaikan panggilan itu, dia sedang memantaskan dirinya di depan cermin, untuk kembali bertugas di ruang UGD.

Geovano Pratama adalah seorang dokter umum yang di tugaskan di ruang UGD Rumah Sakit Umum Daerah itu.

Dia sudah dua tahun menjalankan tugasnya.

Dokter muda itu tinggal sendiri di apartemen, kedua orang tuanya berada di luar negeri, karena Sang Ayah adalah seorang pengusaha yang memilih tinggal di luar negeri untuk mengembangkan bisnisnya di sana.

Geo lebih sering menginap di tempatnya bekerja, dia lebih suka menyendiri dikeramaian daripada menyendiri di apartemennya.

Pintu lift apartemen terbuka, Geo mengurungkan langkah. Gadis bermata biru yang terlihat sembab itu sudah berada didepannya.

“Kamu jahat, Geo,” geram gadis itu dengan suara tercekat menahan tangis.

Geo mematung, dia tak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.

“Apa salahku?” gadis itu meraung, tangisnya pecah.

Geo kesal, dia meraih tangan gadis itu dan menariknya masuk ke dalam kotak besi yang pintunya kembali menutup.

Vania belum berhenti menangis, Geo masih memegang tangan gadis itu, keduanya kembali menuju apartemen Geo yang berada di lantai tiga belas.

Pintu lift terbuka, Geo menarik kasar tangan Vania mereka masuk ke dalam apartemen Geo.

“Maumu apa?” bentak Geo, saat ini keduanya sudah duduk di ruang tipi apartemen milik Geo.

“Aku hanya butuh waktumu,” jawab Vania lirih.

“Aku bukan lelaki yang bekerja dengan banyak waktu senggang, kamu tau gimana keadaan di ruang UGD?” suara Geo melemah, ia mencoba menahan kejengkelannya.

Vania bergeming, bulir bening yang mengalir dipipinya masih terlihat deras.

“Kita sudahi semuanya, aku capek dengan segala tuntutanmu selama ini,” tegas Geo dengan wajahnya yang sangat serius.

Vania menggelengkan kepala, “aku nggak mau,” rengeknya.

“Kamu yang memulai semuanya, kamu berjanji untuk mengerti profesiku, tapi apa? Kamu terus menuntut dan menuntut tanpa tau bagaimana aku menjalaninya selama ini, aku capek. Kita selesai, aku antar kamu pulang sekarang.” Geo berdiri, lalu beranjak dari tempat duduknya.

Vania memeluk tubuh kekar itu dari belakang, berusaha meruntuhkan keputusan kekasihnya.

Geo melepaskan pelukan gadis manja itu, dia tetap dengan keputusannya. Vania berlari menuju dapur dan mengambil sebilah pisau, lalu meletakannya di bagian urat nadi tangannya.

“Aku mau bunuh diri, kalo kita putus,” teriaknya pada Geo yang masih berdiri ditempatnya.

“Silahkan, aku mau berangkat kerja.” Geo melangkah pergi meninggalkan Vania yang sudah kehilangan cara untuk meraih kembali hati kekasihnya.

“Aaaarrrggghhh … kamu jahat Geo, jahaaattt …”

Teriakan Vania tak menyurutkan langkah dokter muda bermata elang itu, ia tetap pergi meninggalkan kekasihnya yang bersimpuh di lantai.

Geo tau betul karater Vania yang manja dan penakut, dia yakin kekasihnya itu tidak akan berani melakukan aksinya sendiri, semua itu hanya gertakan.

Geo menghampiri mobilnya di area parkir, lalu melajukannya kembali menuju Rumah Sakit tempat ia bekerja.

*****

Sarah tengah berada disebuah resto, dia memesan makan siang untuk empat orang, disuruh Ayahnya.

Setelah mendapatkan empat paket nasi box, Sarah kembali menuju Rumah Sakit.

Di area parkir Sarah melihat dokter muda yang kemarin bertabrakan dengannya saat berjalan di lorong Rumah Sakit, Sarah memandang pemuda tampan berbadan tegap itu dengan penuh kekaguman.

Seperti sadar ada yang memperhatikan, Geo menengok ke arah Sarah, dia tersenyum dan menganggukkan kepala.

Aksinya itu membuat desiran aneh merasuki hati Sarah, gadis pintar itu sepertinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sarah melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruangan dimana Ayah tercintanya dirawat.

*****

Pak Bagas menerima whatsapp dari anak laki-laki kesayangannya itu.

Tanpa membalasnya ia segera meluncur menuju tempat dimana Devan berada.

Tak berselang lama Ayah dari Devano Putra Bagaskara itu sudah berada di depan pintu ruangan rawat Pak Prayoga.

Tok … tok … jari telunjuknya mengetuk pintu ruangan dengan hati-hati, takut mengagetkan fikirnya.

Bu Marni membuka pintu dan mempersilahkan masuk.

“Permisi,” ucap Pak Bagas setelah masuk ke ruangan.

“Benar dugaanku, kamu Bagas, sahabatku,” sambut Pak Prayoga dengan wajah berbinar.

Pak Bagas menghampiri pria yang menyebutnya sahabat, keduanya saling berpelukan ala pria dewasa.

“Prayoga, aku tak menyangka kita ketemu lagi dengan cara seperti ini, maafkan anak nakalku,” cakap Pak Bagas dengan lirikan tajam ke arah Devan.

Bu Marni tersenyum, ia ikut bahagia karena suaminya terlihat jauh lebih baik setelah bertemu sahabatnya.

Prayoga dan Bagaskara adalah sahabat dekat, keduanya satu genk saat berada di bangku SMA dulu.

“Ayah, Ibu, ini makan siangnya,” seru gadis bermata bulat itu sambil membuka pintu.

“Nah, ini pasti calon menantuku,” cetus Pak Bagas ketika melihat Sarah dengan tetengan kantong makan siang di tangannya.

“Maksudnya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!