“Ya, Allah. Sakit sekali,” keluh Mita sambil memegang kepalanya. Sudah seminggu ini ia merasakan sakit kepala yang hebat serta muntah-muntah. Mita berusaha untuk bangun dari tempat tidur. Setelah bangun Mita berjalan keluar dari kamarnya.
Rumahnya terlihat sangat sepi sepertinya orang tuanya sudah berangkat ke pasar. Orang tua Mita menjual ikan di pasar Simpang Dago. Mereka biasanya berangkat pukul setengah dua dini hari. Pulang jam dua belas siang.
Mita berjalan menuju ruang makan untuk mengambil minum. Ketika ia meminum segelas air putih tiba-tiba perutnya terasa mual dan mau muntah. Mita berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya di atas closet namun yang keluar hanyalah cairan bening. Setelah perutnya tidak mual lagi, Mita keluar dari kamar mandi. Ia mencampur air minumnya dingin dengan hangat lalu Mita meminumnya. Untung Mita tidak memuntahkan kembali minumannya.
Mita kembali ke kamarnya, ia memutuskan untuk tidak sekolah dulu. Kebetulan Mita baru selesai ulangan akhir semester sehingga tidak masalah kalau ia tidak masuk sekolah. Mita kembali tiduran di atas tempat tidurnya.
Tanpa sengaja Mita melihat kalender yang menempel di dinding dekat meja belajarnya. Ia tidak melihat lingkaran merah di kalender, berarti bulan ini dia belum mendapatkan haid.
Mita memiliki pacar namanya Arifin. Ia sudah berpacaran dengan Arifin selama setahun. Cara mereka berpacaran melewati batas. Ia dan Arifin sering melakukan hubungan suami istri. Padahal mereka baru kelas sebelas SMA.
“Astagfirullahaladzim,” ucap Mita.
“Jangan-jangan aku hamil,” kata Mita kepada dirinya sendiri.
***
Pukul delapan pagi Mita menuju ke apotik yang jauh dari rumahnya. Ia hendak membeli testpack untuk memastikan apakah dia hamil atau tidak. Setelah membeli testpack, Mita langsung mengetes urinnya dengan menggunakan testpack dan hasilnya garis merah dua. Mita positif hamil. Mita kaget melihatnya.
“Haduh gimana, ini?” tanya Mita pada dirinya sendiri. Ia kebingungan sendiri. Ia takut jika orang tuanya tau. Mereka pasti marah besar.
“Arifin harus diberitahu.” Mita kembali ke kamarnya. Ia mengambil ponselnya dan menelepon Arifin.
“Hallo,” ucap Arifin ketika menjawab telepon Mita.
“Kamu dimana?” tanya Mita. Terdengar suara berisik di belakang Arifin.
“Aku di sekolah,” jawab Arifin.
“Kamu nggak ke sekolah?” tanya Arifin.
“Fin, ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” Mita tidak menjawab pertanyaan Arifin tapi dia langsung menyampaikan niatnya menelepon Arifin.
“Mau bicara apa, sih? Bicara saja langsung,” kata Arifin.
“Aku hamil,” kata Mita.
“Goal.” Terdengar suara teriakan di seberang sana. Sehingga Arifin tidak mendengar perkataan Mita.
“Apa? Ulangi lagi!” kata Arifin.
“Males, ah! Aku kirim pesan saja,” kata Mita dengan kesal.
Mita mematikan ponselnya. Ia menulis pesan untuk Arifin.
Mita :
[Aku hamil.]
Mita mengirim pesan beserta foto testpack yang ada garis merah dua kepada Arifin. Arifin hanya membaca pesan darinya tanpa membalas pesannya.
“Iiihhh. Gimana, sih?” Mita kesal karena kekasihnya tidak membalas pesannya. Mita melempar ponselnya ke atas meja. Kemudian Mita naik ke atas tempat tidur, ia kembali tidur.
Mita sedang tidur dengan nyenyak, tiba-tiba tidurnya terusik oleh suara dering ponsel. Mita membuka matanya.
“Haduh siapa sih yang nelepon?” tanya Mita dengan kesal. Mita bangun dari tempat tidur lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Di ponselnya tertulis Silvy calling. Mita menjawab telepon Silvy.
“Hallo,” ucap Mita. Mata Mita terpejam karena ia masih ngantuk.
“Mita, kamu dimana?” tanya Silvy.
“Di rumah. Memang kenapa?” jawab Mita sambil menguap.
“Arifin, Mit,” kata Silvy.
“Arifin kenapa?” tanya Mita sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Arifin kecelakaan. Ia meninggal dunia,” jawab Silvy.
Mita langsung kaget mendengarnya. Matanya yang terpejam langsung terbuka lebar.
“Kapan?” tanya Mita.
“Barusan. Sewaktu pulang sekolah. Ini aku lagi di rumah sakit sama teman-teman mengantar Arifin ke rumah sakit,” jawab Silvy.
“Kirim aku alamat rumah sakitnya sekarang!” kata Mita.
“Iya, Mit,” jawab Silvy. Silvy mengakhiri pembicaraan mereka. Ia mengirim lokasi rumah sakit tempat Arifin di bawa.
Cepat-cepat Mita mengganti bajunya dan berpamitan dengan orang tuanya yang kebetulan sudah pulang dari pasar.
Sesampainya di rumah sakit Mita melihat teman-temannya dan orang tua Arifin sedang menangis. Seketika tubuh Mita menjadi lemas dan pikirannya kacau. Bagaimana nasibnya dan nasib bayi di dalam kandungannya? Siapa yang akan bertanggung jawab? Apa kata orang tuanya jika mereka tau kalau Mita hamil di luar nikah? Mita kebingungan. Akhirnya ia pun menangis dengan kencang. Semua orang mengerti mengapa Mita menangis karena ia adalah kekasih Arifin. Padahal Mita menangis karena bingung bagaimana nasibnya dan nasib bayi yang berada di dalam kandungannya.
***
Keesokan harinya Mita mengikuti pemakaman Arifin. Sebetulnya badan Mita sedang tidak fit. Semalaman ia terus saja menangis meratapi nasib dan nasib bayi di dalam kandungannya. Orang tua Mita menyangka Mita sedang menangisi Arifin yang sudah tiada.
Sebelum pergi ke makam Mita tidak sarapan karena tidak ada satu suap makanan yang bisa masuk ke dalam mulutnya. Ia memuntahkan semua makanan yang ia makan.
Sepanjang prosesi pemakaman Mita terus saja menangis. Ia bingung apa yang harus ia katakan kepada orang tuanya. Apalagi orang yang harus bertanggung jawab atas bayi di dalam kandungannya sudah tiada. Sampai akhirnya prosesi pemakaman Arifin selesai, Mita masih terus saja menangis. Satu persatu orang mulai meninggalkan makam Arifin. Silvy mendekati Mita.
“Mit, kita pulang yuk!” bujuk Silvy.
“Aku mau di sini dulu, Sil,” jawab Mita.
“Nanti kamu pulang sama siapa? Kamu kan tidak membawa kendaraan,” tanya Silvy.
“Nanti aku pulang naik ojek online,” jawab Mita.
“Kalau begitu aku tinggal, ya. Kalau ada apa-apa telepon aku!” kata Silvy. Ia memberi ruang untuk menyendiri.
“Iya, Sil,” jawab Mita.
Silvy dan teman-teman Mita yang lain pergi meninggalkan makam Arifin. Keluarga Arifin juga meninggalkan makam Arifin. Tinggal Mita yang bersimpuh di makam Arifin.
“Fin, aku hamil. Kamu tega meninggalkan aku bersama dengan bayi ini. Aku tidak tau harus berbuat apa,” kata Mita sambil menangis. Tiba-tiba pandangan Mita berkunang-kunang lalu Mita hilang kesadaran. Mita pingsan.
Sementara itu tidak jauh dari makam Arifin ada seorang laki-laki yang sedang berziarah ke makam anak dan istrinya. Ia adalah Hisyam. Tanpa sengaja Hisyam melihat Mita yang tergeletak di sebelah makam. Ia cepat-cepat menghampiri Mita.
“De, bangun De.” Hisyam menepuk lengan Mita agar Mita bangun namun tidak ada reaksi dari Mita. Ia memegang leher Mita ternyata masih ada denyut nadi.
Seorang petugas makam melihat Hisyam yang sedang membangunkan Mita. Kemudian ia menghampiri Hisyam. “Kenapa, Pak?” tanya petugas itu.
“Tidak tau, Pak. Tadi saya lihat adik ini sudah tergeletak di sebelah makam. Sepertinya ia pingsan,” jawab Hisyam. Hisyam menaikkan satu kaki Mita ke atas gundukan tanah makam Arifin agar darah Mita lancar naik ke kepala.
“Bapak bisa tolong carikan saya minyak kayu putih?” tanya Hisyam.
“Tunggu sebentar, Pak. Saya ambilkan,” kata petugas itu. Ia berjalan menuju ke kantor pemakaman. Tak lama kemudian ia datang membawa minyak kayu putih.
“Ini, Pak.” Petugas itu memberikan minyak kayu putih kepada Hisyam. Kemudian Hisyam menaruh botol minyak kayu putih di dekat lobang hidung Mita. Tak lama kemudian Mita siuman.
Mita membuka matanya yang pertama ia lihat adalah Hisyam. Lalu ia melihat ke sekelilingnya, ia sedang berada di tengah-tengah makam. Ia baru ingat kalau ia sedang berada di makam Arifin. Mita pun bangun.
“Kamu tidak apa-apa? Tadi kamu pingsan,” tanya Hisyam.
“Kepala saya sakit dan mata saya berkunang-kunang,” jawab Mita. Ia memegang kepalanya yang masih terasa sakit.
Hisyam melihat wajah Mita yang pucat dan terlihat sangat lemas. Mita terlihat seperti orang yang belum sarapan.
“Kamu belum sarapan?” tanya Hisyam.
“Belum. Saya tidak sempat sarapan,” jawab Mita.
“Ayo ikut saya. Tadi di tempat parkir ada penjual bubur ayam. Mudah-mudahan masih ada,” kata Hisyam.
Hisyam mengukurkan tangannya ke Mita. Mita memegang tangan Hisyam lalu ia berdiri. Ia mengikuti Hisyam menuju ke tempat parkir. Sesampainya di tempat parkir ternyata tukang bubur masih ada. Hisyam menghampiri penjual bubur.
“Pak, pesan satu. Pakai telor, ya!” ujar Hisyam.
“Telornya habis, Pak,” kata penjual bubur.
“Kalau begitu bubur saja, Pak,” ujar Hisyam. Penjual bubur membuatkan bubur pesanan Hisyam.
“Pak minta air minumnya, ya? tanya Hisyam.
“Silahkan, Pak,” jawab penjual bubur. Hisyam menuangkan air the dari teko ke gelas lalu ia memberikan kepada Mita. Mita memium air itu sedikit demi sedikit. Hisyam duduk di sebelah Mita. Tak lama kemudian bubur pesanan Hisyam sudah siap.
“Ini buburnya, Pak.” Penjual bubur memberikan bubur kepada Hisyam.
“Ini buat kamu.” Hisyam memberikan bubur kepada Mita.
“Bapak tidak makan?” tanya Mita.
“Tidak. Tadi saya sudah makan di rumah,” jawab Hisyam.
Mita memakan buburnya sedikit demi sedikit. Tiba-tiba Mita hendak muntah.
“Kenapa? Perut kamu mual?” tanya Hisyam khawatir.
“Iya, Pak,” jawab Mita.
“Kamu punya penyakit asam lambung?” tanya Hisyam.
“Tidak, Pak,” jawab Mita.
Hisyam berpikir sejenak. Biasanya yang suka mau muntah adalah penderita asam lambung atau ibu hamil.
Jangan-jangan dia hamil, kata Hisyam di dalam hati.
“Kamu hami?” tanya Hisyam dengan suara yang pelan agar tidak kedengaran orang lain. Mita diam, ia tidak menjawab pertanyaan Hisyam.
“Oke, saya mengerti. Siapa nama kamu dan berapa usia kamu?,” tanya Hisyam.
“Saya Mita, usia saya tujuh belas tahun,” jawab Mita.
“Kamu tunggu dulu di sini.” Hisyam beranjak dari tempat duduk menuju ke mobilnya. Tak lama ia kembali membawa secarik kertas putih.
“Nanti kamu mampir ke apotik beli vitamin ini.” Hisyam memberikan kertas itu kepada Mita. Mita membaca kertas itu yang ternyata adalah resep obat. Di atas resep obat tertulis nama dr. Hisyam Bakhtiar Sp.OG
“Ini obat apa?” tanya Mita dengan penuh selidik. Bagaimanapun juga ia tidak boleh meminum sembarangan obat.
“Itu vitamin mual. Aman kok untuk kamu,” jawab Hisyam.
“Bapak dokter?” tanya Mita. Tapi dari penampilannya Hisyam terlihat bersih dan rapih persis seperti dokter-dokter yang ia lihat di rumah sakit.
“Iya,” jawab Hisyam.
“Ayo habiskan makanmu! Nanti saya antar pulang,” ujar Hisyam.
“Tidak usah, Pak. Saya pulang naik ojek online saja,” jawab Mita. Ia tidak ingin merepotkan orang lain.
“Jangan naik ojek online! Kamu sedang keadaan tidak fit. Kamu naik taksi online, nanti saya bayarin ongkos taksinya,” ujar Hisyam.
“Terima kasih, Pak,” ucap Mita.
Akhirnya Mita bisa menghabiskan bubur itu tanpa dimuntahkan lagi. Mita memesan taksi online untuk pulang ke rumah. Hisyam mengeluarkan uang dari dompetnya lalu ia memberikan uang sebanyak dua ratus ribu rupiah kepada Mita.
“Ini untuk bayar taksi online. Sisanya untuk membeli vitamin yang ada di resep obat,” ujar Hisyam.
“Terima kasih, Pak,” ucap Mita. Kemudian Hisyam membayar bubur.
“Ayo kita tunggu taksi di depan,” ujar Hisyam. Merekapun beranjak menuju ke depan TPU. Ternyata taksi sudah sampai di depan TPU. Hisyam membukakan pintu untuk Mita. Mita masuk ke dalam taksi.
“Titip adik saya ya, Pak!” ujar Hisyam kepada supir takssi.
“Iya, Pak,” jawab supir taksi.
Hisyam menutup pintu lalu taksi itu pun melaju meninggalkan TPU.
Hisyam mengendarai mobilnya dengan tenang. Ia baru saja pulang praktek. Hari ini pasiennya sangat banyak jadi ia harus pulang larut malam. Ketika ia melewati jembatan ia melihat seorang perempuan berada di pinggir jembatan.
“Ngapain perempuan malam-malam di situ?” tanya Hisyam kepada dirinya sendiri. Hisyam menghentikan mobilnya di pinggir jalan lalu menoleh ke belakang. Perempuan itu hendak naik ke pembatas jembatan.
“Astagfirullahaladzim.” Cepat-cepat Hisyam mematikan mobilnya lalu keluar dari mobil. Ia berlari mendekati perempuan itu. Hisyam memeluk pinggang perempuan itu dari belakang.
“Lepaskan saya! Lepaskan! Biarkan saya mati,” kata perempuan itu sambil memberontak. Ketika mendengar suara perempuan itu sepertinya Hisyam mengenal perempuan itu. Hisyam mengangkat tubuh perempuan itu dengan paksa lalu ia turunkan ke bawah.
“Kamu?” tanya Hisyam ketika melihat wajah perempuan itu. Ternyata perempuan itu adalah Mita. Perempuan yang ia tolong sewaktu pingsan di makam.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Hisyam dengan tajam.
“Tolong biarkan saya mati,” kata Mita dengan memelas.
Hisyam menghela nafas mendengar perkataan Mita. “Kamu pikir dengan mengakhiri hidup semua masalah akan selesai? Dosa kamu akan berkali lipat karena kamu sudah membunuh diri kamu dan membunuh bayi yang tidak berdosa,” ujar Hisyam.
“Tolong Pak, biarkan saya mati. Saya sudah tidak sanggup hidup lagi,” kata Mita sambil menangis. Melihat Mita sedang menangis Hisyam takut orang lain yang lewat menyalah artikan. Ia takut orang menyangka ia sudah menyakiti Mita. Mereka harus mencari tempat yang aman untuk bicara. Tempat yang aman untuk berbicara adalah mobilnya. Hisyam mengajak Mita ke mobilnya.
“Ayo, ikut ke mobil saya!” Hisyam memapah Mita menuju ke mobilnya. Hisyam membukakan pintu mobil. “Masuk!” ujar Hisyam. Mita masuk ke dalam mobil Hisyam. Kemudian Hisyam masuk ke dalam mobil. Ia menyalakan mesin mobil namun tidak menjalankan mobilnya. Mita terus menundukkan kepalanya, ia tidak berani menatap Hisyam. Ia seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh kakaknya.
“Sekarang ceritakan apa yang terjadi!” kata Hisyam sambil menatap wajah Mita.
Mita menceritakan dengan kepala menunduk.
“Orang tua saya sudah tau kalau saya hamil. Ibu saya menemukan hasil testpack di kamar saya. Beliau marah besar kepada saya. Mereka tambah marah ketika mengetahui orang yang menghamili saya sudah meninggal dunia karena mereka tidak tau harus minta tanggung jawab kepada siapa,” jawab Mita.
“Jadi makam itu makam kekasih kamu?” tanya Hisyam.
“Iya, Pak,” jawab Mita. Hisyam sudah menduganya sejak semula sebab ia sempat membaca identitas orang itu yang menempel di papan nisan.
“Lalu kenapa malam-malam kamu ada di sini? Apakah orang tua kamu mengusir kamu?” tanya Hisyam.
“Tidak, Pak. Saya yang kabur dari rumah. Kata Ibu saya, saya menjadi aib keluarga saya,” jawab Mita.
Hisyam menghela napas mendengarnya. Semestinya orang tua Mita tidak mengatakan itu kepada Mita. Masalah tidak bisa diseleaikan hanya dengan marah-marah. Sekarang akibat dari mereka marah-marah Mita kabur dari rumah dan hendak bunuh diri. Apakah mereka tidak tau kalau perkataan mereka membuat anak mereka berbuat nekad?
”Apakah kamu tau tidak, betapa bahayanya perempuan seusia kamu berkeliaran malam-malam di luar?” tanya Hisyam. Mita mengangguk.
“Sekarang kamu saya antar pulang.” Hisyam memakai seatbelt lalu mengemudikan mobilnya.
“Dimana rumah kamu?” tanya Hisyam sambil menoleh ke Mita. Ia melihat Mita belum memakai seatbelt. Hisyam menepikan mobilnya. Lalu mendekati Mita. Mita memundurkan tubuhnya ketika Hisyam mendekatinya. Ia menyangka Hisyam akan berbuat sesuatu pada dirinya.
“Seatbelt kamu belum dipasang,” kata Hisyam. Hisyam menarik seatbelt di depan tubuh Mita lalu memasangkannya.
“Keselamatan nomor satu,” kata Hisyam.
“Tadi dimana rumahmu?” tanya Hisyam lagi.
“Di Babakan Sari,” jawab Mita.
***
Hisyam menghentikan mobilnya di depan rumah berpagar hitam. Rumah itu terlihat sepi, sepertinya orang tua Mita sudah tidur. Jam di dashboard menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam. Hisyam membuka seatbeltnya. “Ayo turun!” ujar Hisyam. Hisyam turun dari mobil lalu membukakan pintu mobil untuk Mita. Mita ragu-ragu untuk turun dari mobil.
“Jangan takut saya yang akan bicara dengan orang tuamu,” ujar Hisyam menenangkan Mita. Akhirnya Mita mau turun dari mobil. Mereka berjalan menuju pintu pagar. Mia mengumpet di balik tubuh Hisyam
“Assalamualaikum,” ucap Hisyam.
“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam rumah Mita. Seorang pria setengah baya membukakan pintu.
“Ada apa, ya?” tanya Pak Emir dari depan pintu. Ia memandang wajah Hisyam dengan penuh selidik.
“Saya mengantarkan Mita pulang,” jawab Hisyam.
“Loh? Bukannya dia ada di kamarnya?” tanya Pak Emir bingung. Setahu Pak Emir, Mita mengurung diri di dalam kamar setelah dimarahi oleh ibunya.
Mita menampakkan diri dari balik punggung Hisyam. Pak Emir menghela nafas ketika melihat Mita berada di luar rumah bukan di dalam rumah. Ia menduga putrinya kabur dari rumah. Pak Emir mengambil kunci gembok pagar lalu membuka gembok pagar.
“Masuk!” seru Pak Emir kepada Mita. Mita ragu-ragu untuk masuk. Ia takut dimararahi lagi oleh orang tuanya.
“Ada yang ingin saya bicarakan mengenai Mita kepada Bapak dan Ibu,” kata Hisyam.
Pak Emir menghela nafas. “Masuklah!” ujar Pak Emir.
Hisyam masuk ke dalam rumah Pak Emir. Mita berjalan di belakang punggung Hisyam.
“Silahkan duduk!” ujar Pak Emir. Hisyam dan Pak Emir duduk di kursi tamu berhadap-hadapan. Sedangkan Mita duduk di sebelah Hisyam, ia takut dimarahi ayahnya.
“Ada masalah apa?” tanya Pak Emir. Hisyam hendak bercerita apa yang terjadi pada Mita namun tiba-tiba Ibu Emilia datang menghampiri mereka ke ruang tamu.
“Siapa yang datang, Pak?” tanya Ibu Emilia. Ia melihat Mita duduk di sebelah laki-laki yang tak ia kenal.
“Ada yang mengantarkan Mita pulang,” jawab Pak Emir.
“Loh, bukannya dia dari tadi ada di dalam kamar?” tanya Ibu Emila dengan kebingungan.
“Dia kabur dari rumah,” jawab Pak Emir.
“Kamu ya, sudah membuat malu keluarga. Kabur lagi dari rumah! Mau kamu apa?” seru Ibu Emilia dengan marah.
Mita hanya menunduk menghadapi ibunya yang marah.
“Sudah, Bu. Sudah malam, malu didengar tetangga,” ujar Pak Emir yang berusaha menenangkan Ibu Emilia.
“Mendingan Ibu duduk di sini. Dengerin cerita Aa ini.” Pak Emir memapah Ibu Emilia agar duduk di sebelahnya.
“Lanjutkan lagi ceritanya, A!” kata Pak Emir. Hisyam menceritakan semua apa yang Mita lakukan malam ini. Ia juga menceritakan pertama kali bertemu dengan Mita.
“Astagfirullahalazim, Mita! Pendek sekali jalan pikiranmu!” Pak Emir marah besar dengan apa yang telah Mita lakukan. Mita hanya menunduk sambil menangis.
“Untung Aa ini yang menemukanmu. Bagaimana kalau orang jahat yang menemukanmu? Kamu benar-benar keterlaluan!” seru Pak Emir sambil menatap Mita dengan tajam.
“Maafkan Mita, Ayah,” ucap Mita dengan sungguh-sungguh.
Pak Emir menghela nafas. “Mulai sekarang Ibu jangan marah-marah lagi! Nanti kalau sampai Mita kabur lagi, bagaimana?” ujar Pak Emir kepada istrinya. Bagaimanapun Mita adalah anak mereka satu-satunya kalau Mita sampai pergi meningalkan rumah mereka pasti akan kesepian.
“Bagaimana Ibu tidak kesal. Dia sudah membuat aib keluarga. Mana si brengsek itu sudah meninggal, jadi tidak ada yang bertanggung jawab,” jawab Ibu Emila dengan kesal.
“Sudah, jangan menyalahkan orang yang sudah meninggal! Lagipula kalau pun dia masih hidup belum tentu dia mau bertanggung jawab,” ujar Pak Emir agar Ibu Emilia tidak marah-marah lagi.
Pak Emir menatap Hisyam. Di jaman sekarang masih ada orang yang berbaik hati menolong putri mereka tanpa dengan mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
“Aa siapa namanya?” tanya Pak Emir kepada Hisyam.
“Saya Hisyam,” jawab Hisyam.
“Terima kasih telah menolong putri kami,” ucap Pak Emir.
“Sama-sama, Pak,” jawab Hisyam.
“Mengenai pemeriksaan kandungan Mita, Bapak dan Ibu bisa membawa Mita ke tempat praktek pribadi saya. Gratis kok, Pak. Tidak akan saya pungut bayaran,” kata Hisyam. Hisyam mengambil kartu namanya dari dalam dompet lalu diberikan kepada Pak Emir.
“Terima kasih, Pak Dokter. Nanti akan kami pertimbangkan,” jawab Pak Emir. Pak Emir mengubah panggilannya kepada Hisyam setelah mengetahui Hisyam seorang dokter.
“Kalau begitu saya pamit pulang. Assalamualaikum.” Hisyam beranjak dari tempat duduk.
“Waalaikumsalam,” jawab Pak Emir. Hisyam meninggalkan rumah Pak Emir.
***
Hisyam merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Rasanya hari ini ia sangat cape sekali. Pasiennya banyak sekali ditambah lagi dengan menghadapi Mita yang hendak bunuh diri. Hisyam jadi teringat kepada Mita. Ia merasa kasihan kepada gadis itu. Memang Mita salah sehingga ia hamil di luar nikah, tapi bukan berarti harus terus saja dipojokkan. Seharusnya Mita dirangkul agar ia tidak tertekan dengan kehamilannya.
Terbesit dipikiran Hisyam untuk menolong Mita tapi bukan dari segi keuangan. Kalau diperhatikan Mita bukan dari keluarga kekurangan. Hisyam ingin menolong Mita dengan menjadi ayah bayinya sehingga aib Mita tidak terlihat oleh orang lain.
Hisyam bangun dari tempat tidurnya dan mengambil foto yang berada di atas nakas. Foto itu adalah foto istrinya yang sedang hamil. “Vin, bolehkan jika abang menikah lagi?” tanya Hisyam pada foto tersebut.
“Abang kasihan sama Mita. Dia anak yang baik namun nasibnya tidak beruntung. Abang ingin menolongnya dengan menjadi ayah bayinya untuk menutupi aibnya. Kamu tidak usah khawatir Abang tidak akan melupakanmu dan anak kita. Kalian akan selalu berada di hati Abang,” ujar Hisyam.
Hisyam mengambil foto bayi di atas nakas. Ia memandangi bayi itu. Bayi tu adalah anaknya yang meninggal di dalam kandungan istrinya. Foto itu diambil ketika bayi itu sudah dimandikan dan hendak ditutupi dengan kain kafan. Air mata Hisyam mengalir di pipinya. Ia teringat kembali kepada istri dan anaknya yang meninggal setahun yang lalu. Istrinya meninggal ketika melahirkan dan nyawa bayinya tidak dapat tertolong. Walaupun ia seorang dokter tetap saja tidak bisa menolong nyawa istri dan anaknya.
Pagi ini tidak biasanya orang tua Mita berada di rumah. Biasanya setiap pagi mereka berada di pasar berdagang ikan di pasar namun hari ini mereka tidak berdagang karena Ibu Emilia sedang sakit kepala. Ia sakit karena memikirkan putri satu-satunya. Ia bingung mencari jalan keluar masalah yang sedang di hadapi Mita.Terpaksa hari ini mereka libur berdagang. Mita bertugas untuk mencuci baju sedangkan Pak Emir bertugas membereskan dan membersihkan rumah.
Tiba-tiba terdengar suara orang yang mengucapkan salam di depan rumah. “Assalamualaikum.” Pak Emir membuka pintu rumah dan menjawab, “Waalaikumsalam.” Pak Emir melihat Hisyam berdiri di depan pintu pagar,
“Eh, Pak Dokter.” Pak Emir membukakan pintu pagar.
“Maaf, Pak. Saya mengganggu Bapak pagi-pagi,” ucap Hisyam.
“Tidak apa-apa. Ayo masuk.” Pak Emir mempersilahkan Hisyam masuk ke dalam rumah. Hisyam masuk ke rumah Pak Emir.
“Silahkan duduk, Pak Dokter. Sebentar, saya suruh Mita buatkan minum.” Pak Emir hendak masuk ke ruang keluarga
“Tidak usah, Pak!” kata Hisyam.
“Tidak apa-apa. Tunggu sebentar!” Pak Emir masuk ke ruang keluarga. Tak lama kemudian ia kembali. Pak Emir duduk di kursi tamu.
“Ada apa Pak Dokter datang ke sini?” tanya Pak Emir.
“Ada hal yang ingin saya sampaikan ke Bapak dan Ibu,” jawab Hisyam.
“Tentang apa ya, Pak Dokter?” tanya Pak Emir.
Tiba-tiba Mita datang membawakan minuman. Ia menaruh cangkir di atas meja.
“Terima kasih,” ucap Hisyam.
“Mit, panggil Ibu ke sini! Pak Dokter mau bicara sama Ibu juga,” ujar Pak Emir kepada Mita.
“Iya, Pak,” jawab Mita.
Mita masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian Ibu Emilia menuju ke ruang tamu. Ia duduk di sebelah suaminya. Mita mengumpet di balik tembok dan ikut mendengarkan pembicaraan Hisyam.
“Kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Mita,” kata Hisyam. Orang tua Mita kaget mendengarnya. Mita yang mendengarkan dari balik tembok juga kaget mendengar perkataan Hisyam. Pak Emir dan Ibu Emilia berpandangan satu sama lain.
“Saya akan bertanggung jawab atas bayi yang berada di kandungan Mita,” lanjut Hisyam.
“Apa yang membuat Pak Dokter mau bertanggung jawab? Janin itu bukan anak Pak Dokter,” tanya Pak Emir. Terus terang saja Pak Emir kaget dengan perkataan Hisyam. Bagaimanapun juga ia harus tau apa motif Hisyam yang tiba-tiba ingin menikahi Mita. Apalagi oang seusia Hisyam biasanya sudah memiliki istri dan anak.
“Saya kasihan kepada Mita. Saya tidak ingin masa depannya hancur hanya karena bayi yang berada di dalam kandungannya,” jawab Hisyam.
“Lalu bagaimana dengan istri Pak Dokter? Apa ia setuju untuk dimadu?” tanya Ibu Emilia.
Hisyam tersenyum mendengar pertanyaan Ibu Emilia.
“Saya seorang duda. Istri saya dan anak saya meninggal setahun yang lalu,” jawab Hisyam.
“Ibu tidak usah khawatir saya tidak akan menikahkan Mita secara siri. Saya akan menikahkan Mita secara sah hukum dan agama,” jawab Hisyam.
Ibu Emilia menoleh ke suaminya. “Bagaimana, Yah?” tanya Ibu Emilia.
“Ayah terserah Mita. Apakah dia mau menikah dengan Pak Dokter?” Pak Emir balik bertanya.
“Mita!” Ibu Emilia memanggil Mita.
“Iya, Bu,” jawab Mita. Mita menghampiri orang tuanya.
“Duduk sini di sebelah Ibu!” ujar Ibu Emila. Mita duduk di sebelah Ibunya.
“Pak Dokter hendak melamar kamu, apa kamu mau menikah dengan Pak Dokter?” tanya Ibu Emilia.
“Mau, Bu,” jawab Mita. Mita mau menikah dengan Hisyam karena secara fisik Hisyam sangat tampan dan bertubuh atletis. Ia laki-laki idaman setiap wanita. Dan yang paling penting Hisyam sangat perhatian kepadanya.
“Alhamdullilah,” ucap Hisyam.
“Kalau begitu besok saya akan mengajak Mita untuk menemui orang tua saya,” kata Hisyam.
Hisyam melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, ia sudah harus ke rumah sakit.
“Saya permisi dulu, karena saya harus ke rumah sakit.” Hisyam pamit kepada orang tua Mita.
“Diminum dulu tehnya,” kata Ibu Emilia.
Hisyam meminum tehnya beberapa teguk. “Saya permisi dulu. Assalamualaikum.” Hisyam beranjak dari tempat duduk.
“Waalaikumsalam,” jawab Pak Emir.
Hisyam keluar dari rumah Mita menuju ke mobilnya. Mita mengantar Hisyam sampai mobil. Sebelum Hisyam masuk ke dalam mobil ia menoleh ke Mita.
“Saya belum punya nomor ponsel kamu.” Hisyam memberikan ponselnya kepada Mita.
“Kamu ketik di sini nomor ponsel kamu!” kata Hisyam. Mita mengambil ponsel Hisyam lalu mengetik nomor ponselnya di ponsel Hisyam. Setelah itu ia berikan kembali kepada Hisyam.
“Terima kasih, Pak Dokter sudah mau membantu saya,” ucap Mita.
“Jangan panggil Pak Dokter, dong. Panggil Abang. Saya kan calon suami kamu,” ujar Hisyam.
“Iya, Abang,” jawab Mita.
“Abang pergi dulu, ya. Assalamualaikum.” Hisyam masuk ke dalam mobilnya.
“Waalaikumsalam,” jawab Mita.
Mobil Hisyam pun meluncur meninggalkan rumah Mita.
***
Mita sedang membetulkan penampilannya di depan kaca. Hari ini ia akan pergi ke rumah orang tua Hisyam. Tadi pagi Hisyam mengirim pesan kalau ia akan menjemput Mita jam sepuluh. Sekarang baru pukul sepuluh kurang lima belas menit. Tiba-tiba ponsel Mita berdering. Mita mengambil ponselnya yang di simpan di atas meja rias. Tertulis di layar ponselnya Abang Hisyam calling. Mita menjawab telepon Hisyam.
“Assalamualaikum,” ucap Mita .
“Waalaikumsalam,” jawab Hisyam.
“Mit, Abang sudah di depan. Dari tadi Abang mengucapkan salam tapi tidak ada yang membukakan pintu,” ujar Hisyam.
“Sebentar, Bang. Mita akan keluar,” jawab Mita.
Mita membawa tasnya lalu keluar dari kamar. Mita membuka pintu rumah, Hisyam sedang berdiri di depan pintu pagar. Mita membukakan pintu pagar. Hisyam memakai kaos t shirt dan celana jeans. Berbeda dengan penampilan Hisyam yang biasa Mita lihat.
“Bapak dan Ibu kemana?” tanya Hisyam melihat rumah Mita yang kelihatan sepi.
“Belum pulang dari pasar,” jawab Mita.
“Kalau begitu kita berangkat sekarang,” ujar Hisyam.
“Sebentar, Bang. Mita mau kunci pintu dulu,” kata Mita. Mita berjalan menuju ke pintu rumah lalu menguncinya. Setelah itu ia keluar dari halaman rumahnya lalu menggembok pintu pagar. Mita pun masuk ke dalam mobil Hisyam. Mobil pun meluncur meninggalkan rumah Mita.
***
Hisyam mengendarai mobilnya menuju ke kawasan perumahan mewah. Mita merasa tegang karena akan bertemu dengan orang tua Hisyam. Ia takut orang tua Hisyam menolaknya. Mita menenangkan dirinya sambil mengusap perutnya.
“Tenang saja. Mama tidak akan menggigit kamu, kok,” ujar Hisyam yang menghibur Mita yang terlihat tegang .
Hisyam menghentikan mobilnya di depan rumah yang sangat besar dan mewah. Hisyam mematikan mesin mobilnya.
“Turun, yuk! Sudah sampai.” Hisyam membuka seatbelt lalu turun dari mobil. Mita turun juga dari mobil. Mereka berjalan menuju ke pintu pagar rumah tersebut.
“Pak Joko. Bukain dong pintunya!” teriak Hisyam dari depan pagar.
“Iya, Den.” Seorang pria hampir setengah baya berlari menghampiri pintu pagar lalu membukakan pintu pagar.
“Mama ada, Pak?” tanya Hisyam.
“Ada, Den. Papa Aden juga ada,” jawab Pak Joko.
Hisyam mengajak Mita masuk ke pekarangan rumah orang tuanya. Mereka masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi.
“Assalamualaikum,” ucap Hisyam ketika masuk ke rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Nella. Ibu Nella sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
Hisyam menghampiri mamanya lalu mencium tangannya. Ibu Nella senang melihat putranya datang untuk mengunjungi mereka. Jika Hisyam sibuk praktek ia jarang datang ke rumah orang tuanya.
Ibu Nella melihat Mita berdiri di pintu masuk ruang keluarga.
“Itu siapa?” Ibu Nella menunjuk ke arah Mita.
Hisyam menghampiri Mita lalu merangkul punggungnya. “Ini Mita. Calon istri Hisyam,” jawab Hisyam.
“Calon istri? Kelihatannya masih muda sekali,” ujar Ibu Nella. Ibu Nella memandangi Mita dari atas terus ke bawah. Sepertinya ia sedang menilai Mita. Mita memberanikan diri untuk menghampiri Ibu Nella dan mencium tangan Ibu Nella.
“Siapa namamu?” tanya Ibu Nella yang masih terus saja memperhatikan Mita.
“Mita, Tante,” jawab Mita.
“Kuliah dimana?” tanya Ibu Nella.
Mita diam tidak menjawab. Ibu Nella menyangkanya seorang mahasiswa.
“Mita masih SMA, Mah. Dia baru kelas sebelas. Usianya baru tujuh belas tahun,” jawab Hisyam.
Ibu Nella kaget mendengarnya. “Dia masih kecil, Hisyam!” ujar Ibu Nella gemas mendengar calon istri Hisyam ternyata masih sangat muda.
“Biar masih kecil tapi sudah bisa bikin anak,” jawab Hisyam seenaknya. Pokoknya ia harus bisa meyakinkan orang tuanya agar mau menerima Mita.
“Iihh. Nanti kamu dianggap p3d0f1l,” ujar Ibu Nella.
“Biarkan saja, Mah. Yang penting Hisyam cinta sama Mita,” jawab Hisyam.
Pak Bakhtiar keluar dari ruang kerjanya lalu datang menghampiri anak dan istrinya. “Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Pak Bakhtiar. Hisyam menghampiri papanya dan mencium tangan papanya.
“Ini Hisyam bawa calon istri yang masih kecil. Usianya baru tujuh belas tahun baru kelas sebelas SMA,” jawab Ibu Nella.
Pak Bakhtiar menatap Mita yang berdiri di sebelah Hisyam. Mita terlihat masih muda dan sangat cantik. Ia juga terlihat sopan pada orang tua. Hisyam juga terlihat sangat menyayangi Mita. Wajar kalau Hisyam ingin memperistri Mita.
“Tidak apa-apa, Mah. Yang penting dia bisa mengurus dan melayani Hisyam,” jawab Pak Bakhtiar.
“Tuh, Papah juga setuju,” kata Hisyam.
“Iiihhh. Bapak dan anak sama saja,” ujar Ibu Nella dengan kesal.
Sebetulnya Ibu Nella senang melihat Hisyam datang memperkenalkan calon istrinya. Semenjak istrinya meninggal Hisyam belum pernah membawa perempuan ke rumah orang tuanya. Baru kali ini ia membawa perempuan ke rumah orang tuanya. Berarti Hisyam sudah membuka pintu hatinya untuk perempuan lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!