NovelToon NovelToon

Tiger Vs Miss Kitty

Playboy Cap Tiger

Sebuah mobil lamborghini melaju kencang di siang hari itu. Suasana jalanan yang lengang membuat si pengemudi semakin memacu kendaraannya semakin kencang.

Seorang pria yang mengemudikan mobil mewah tersebut menganggukan kepala selaras dengan dentuman musik yang menggelegar. Bahkan satu tangannya beralih dari stir kemudi untuk menaikan volume musik.

Di sampingnya, seorang wanita muda menggelayut manja pada si pria dengan ekspresi wajah yang berseri-seri. Bagaimana tidak? Wanita itu baru saja mendapatkan kado berupa jam tangan mewah dari kekasihnya, alis si pengemudi mobil lamborghini.

"Tiger sayang, makasih ya atas kadonya. Kamu paling pinter kalau bikin aku seneng," ungkap Rihana pada kekasihnya, Tiger.

Pria berkulit putih itu pun hanya melirik dan mengecup puncak kepala Rihana sekilas. Lalu kembali fokus menyetir.

"Semua yang kamu mau, Sayang, pasti akan aku turuti."

Mendengar kata-kata itu, senyum di bibir Rihana semakin berkembang. Dia pun langsung memikirkan benda apa lagi yang dapat dia pinta dari Tiger.

"Sayang, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan. Aku sudah mulai sumpek sama pekerjaan aku nih."

Tiger mengerutkan alisnya, pertanda dia bingung. "Jalan-jalan? Jalan-jalan kemana?"

"Kemana aja deh terserah kamu," kata Rihana bersikap pasrah. Agar dia tidak terlihat terlalu menghasut Tiger. Lalu dia melanjutkan ucapannya, "Tapi jalan-jalan ke luar negeri kayaknya bagus deh. Kapan lagi kita bisa ke luar negeri?"

Tiger berdecak tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan. Terlihat jelas bahwa Tiger keberatan dengan permintaan Rihana yang satu ini.

"Sayang, jalan-jalannya nanti saja ya? Akhir-akhir Daddy Elang selalu kasih aku tugas kantor banyak banget."

Seketika Rihana mengerucutkan bibir dan dia menggeser duduknya sedikit menjauhi Tiger. Dipalingkannya muka memandang ke luar jendela, membuat Tiger menjadi merasa gusar.

"Are you okey?" tanya Tiger.

"I'm okey," jawab Rihana dengan ekspresi kesal. 

Tiger berusaha untuk tetap tenang dan menghirup nafas dalam. Kembali satu tangannya mengulur mengusap kepala Rihana dengan lembut.

Sebenarnya Rihana langsung luluh dengan sikap lembut Tiger namun dia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan sikap jutek demi keinginannya terkabul.

Rihana bahkan kembali memalingkan muka agar tidak melihat pesona memikat dari seorang Tiger.

"Kalau kamu nggak kabulin permintaan aku, itu artinya kamu sudah nggak sayang lagi sama aku," sungut Rihana tanpa menatap Tiger.

"Kata siapa? Aku sayang sama kamu kok," Tiger menarik nafasnya kembali sambil terus melajukan mobil meski kali ini dia mengurangi kecepatannya. "Oke deh. Nanti aku bakal diskusi dulu sama Daddy. Kalau Daddy Elang setuju aku ambil cuti, kita jalan-jalan. Kemana pun kamu mau."

Detik berikutnya, Rihana langsung memutar badannya dengan wajah sumringah. Bibir tebalnya yang tadi mengerucut kini telah berubah membentuk senyum lebar.

"Serius?"

"Dua rius malah."

Rihana menjerit seraya mengalungkan lengannya di leher Tiger. Dia mendekap pria itu dengan sangat erat seperti tidak mau lepas darinya.

"Thank you so much, Tiger," kata Rihana bernada manja.

Tiger hanya tersenyum tipis. Tak lama setelah itu, dia menghentikan mobilnya di sebuah bangunan apartemen mewah.

Tiger menunjuk ke gedung itu pada Rihana yang menunjukan bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan.

Rihana melirik sekilas pada gedung apartemen yang menjadi tempat tinggalnya selama satu tahun terakhir ini. Untuk terakhir kalinya dia memeluk Tiger dan meninggalkan kecupan di pipi.

"Bye, Sayang. Hubungi aku nanti malam oke?"

Tiger tampak berpikir. Lalu dia berkata, "Oke, Sayang."

Akhirnya sepasang kekasih itu pun berpisah dengan turunnya Rihana dari mobil mewah tersebut. Di dalam mobil Tiger mengamati Rihana yang berjalan menuju ke dalam gedung dengan langkah yang ringan dan ceria.

Kemudian, Tiger segera memutar kemudi untuk membaur kembali ke jalanan ibukota. Tiger kembali melajukan mobil dengan kecepatan kencang, menyalip beberapa kendaraan lain yang ada di depan.

Tak sampai lima belas menit, dia sudah sampai di sebuah cafe. Dia turun sambil memakai kacamata hitam kesayangannya.

Begitu berada di dalam cafe, Tiger mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu bibirnya tersenyum tipis kala mendapati seorang wanita cantik yang duduk sendirian.

Tiger pun berjalan menghampiri wanita itu yang sibuk dengan ponselnya. Bahkan wanita itu tidak sadar ada Tiger yang mendekatinya.

Sampai akhirnya…

Cup.

Tiger mengecup pipi kanan wanita itu secara tiba-tiba. Membuat wanita itu terlonjak kaget dan seketika menoleh ke arah Tiger.

"Tiger," seru wanita berambut lurus panjang itu.

"Halo, Miranda Sayang. Nunggu lama ya?" tanya Tiger berbasa-basi sambil menjatuhkan bokongnya ke kursi yang ada di samping Miranda.

"Enggak kok. Aku juga baru sampai."

Tiger menggenggam kedua tangan Miranda yang berada di atas meja. Dengan eskpresi wajah yang penuh menyakinkan, dia menatap lurus pada dua bola mata Miranda.

"Maaf ya, aku telat karena sebenarnya aku berusaha membelikan ini buat kamu," kata Tiger mengeluarkan sebuah kotak beludru merah.

Mirana pun semakin terperanjat melihat benda kecil itu. Semua wanita pun pasti tahu akan apa isi dari kotak merah tersebut.

Namun, Miranda tetap tenang dan pura-pura tidak tahu. "Apa ini, Sayang?"

"Buka saja."

Dengan hati yang bergetar Miranda pun membuka kotak itu secera perlahan. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman sempurna, bola mata sipit itu berbinar tatkala memandang cincin yang semat di dalam kotak.

"Sayang, ini bagus banget," jerit Miranda yang sudah tidak bisa menahan rasa senangnya.

"Sini aku pakaikan ya?"

Tiger mengambil cincin di dalam kotak, menyematkannya di jari manis Miranda dengan perasaan was-was takut cincin itu tidak pas.

Namun, Tiger menghembuskan nafas lega kala keinginannya sesuai harapan. Cincin yang seharusnya diberikan untuk Rihana ternyata pas di jemari Miranda.

Bahkan wanita berambut lurus panjang itu tampak senang bukan main. Dia membolak-balikan telapak tangannya ingin melihat cincin itu dari berbagai sudut.

"Sayang, apakah ini tandanya kamu melamar aku?" tanya Miranda to the point.

Wajah Tiger langsung berubah tanpa ekspresi. Dia terdiam selama beberapa saat.

"Tiger," panggil Miranda sambil mengguncangkan bahu Tiger. "Kok kamu diam? Kamu mau melamar aku jadi istri kamu kan?

"Errhmm sebenarnya," Tiger menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Suasana hati Tiger berubah menjadi tidak enak. 

"Sebenarnya apa?" Miranda kembali bertanya dengan raut muka jengkel.

Tiger tersenyum lalu mengusap poni Miranda karena itulah jurus andalannya saat menghadapi wanita yang mulai menunjukan tanda-tanda mengamuk.

"Aku bukan mau melamar kamu sekarang, Sayang. Tapi suatu hari nanti kalau kita memang jodoh pasti kita bakal menikah kok."

"Ck alasan," bantah Miranda. Seketika dia bangkit berdiri. "Kamu pasti punya wanita lain kan? Ayo ngaku!"

"Miranda, kok kamu bilang begitu aku itu…"

Drrt… drrtt… ddrrtt…

Belum selesai Tiger menyelesaikan ucapannya, ponsel Tiger yang ada di saku jas bergetar dan segera dia merogoh benda canggih itu.

"Nah, itu pasti dari simpanan kamu kan?" teriak Miranda berkacak pinggang.

"Nggak, Miranda. Ini Mommy aku yang telepon," Tiger membela diri sambil menunjukan layar ponselnya.

Dan memang benar, jika yang meneleponnya adalah Ayana, ibu kandung dari Tiger.

Tak ingin berlama-lama, Tiger meminta pada Miranda untuk mencari tempat sepi agar dia bisa menerima telepon dari Ayana. 

Begitu telepon menempel di daun telinga Tiger, saat itu juga terdengar suara lengkingan.

"Tttiiiggeerr."

Segera Tiger menjauhkan ponsel dari telinga yang tak kuat merasakan sakit, mengusapnya dengan telapak tangan, lalu menempelkannya lagi.

"Yes, Mom."

"Di mana kamu? Cepat pulang! Ada yang ingin Mommy bicarakan sama kamu."

"Tapi, Mom."

"Sekarang!" teriak Ayana. "Atau kamu bakal Mommy cabut dari ahli waris."

Suatu Tempat

Mobil yang ditumpangi Tiger mendecit kala berhenti mendadak di depan rumah berlantai tiga dengan cat putih. Bangunan megah itu menjulang tinggi hingga bayangannya menaungi bagian teras. 

Tiger menyisir rambutnya dengan jemari sebelum keluar dari mobil. Di tangannya tergenggam sebuah kotak berisi roti bakar.

Tiger sengaja membeli roti bakar untuk sang ibu tercinta, sebab dia tahu Ayana pasti akan luluh jika dibelikan roti bakar.

Kemudian Tiger berjalan dengan jantung berdegup kencang memasuki dalam rumah. Salah satu pelayan pria menundukan kepala begitu Tiger berada di depannya.

"Di mana Mommy?" tanya Tiger pada pada sang pelayan.

"Nyonya ada di ruang baca, Tuan."

Mendengar jawaban sang pelayan, tanpa basa-basi lagi Tiger berjalan menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai dua. Dia masuk ke salah satu pintu yang merupakan jalan menuju ruang baca.

"Mommy," sapa Tiger penuh keceriaan sambil merentangkan tangannya.

Namun, Ayana yang sedang duduk di sebuah kursi besar mengulurkan tangan sebagai tanda agar sang anak tidak mendekat. 

Wanita yang masih cantik meski telah menginjak kepala empat itu memasang wajah galak dan aura kemarahan sangat terasa bagi siapun yang ada di dekatnya.

"Mom?" tanya Tiger bingung.

"Duduk!" Ayana menunjuk kursi kecil di depannya.

"Kenapa, Mom? Nggak biasanya Mommy seperti ini?" Tiger yang masih berdiri bertanya lagi dengan ekspresi wajah kebingungan.

"Mommy bilang duduk!" kata Ayana menaikan suaranya sambil kembali menunjuk kursi.

Maka Tiger pun menurut setelah melihat muka sang ibu memerah karena marah. Jantungnya yang berdegup kencang bertambah dua kali lipat lebih cepat dan pikirannya semakin was was.

Setelah Tiger duduk, Ayana mengalihkan pandangannya pada sebuah dokumen di tangannya. 

"Hari ini Mommy mendapat laporan kalau kamu sudah menghabiskan uang 250 juta untuk membeli jam tangan korek dan sebuah cincin berlian."

"Mom, itu cuma…" sela Tiger namun tiba-tiba dia terdiam tak bisa berkata begitu Ayana mendelikan mata.

Tiger tertunduk lemas dan pasrah. Sementara Ayana menyilangkan tangan di depan dada tanpa meredupkan tatapan tajamnya.

"Sekarang, jawab jujur pada Mommy! Apa alasan kamu membelikan semua barang-barang itu?"

Tiger mengangkat kepala, senyum terukir di bibirnya yang tipis lalu dia mengangkat kotak berisi roti bakar. "Mom, sebelum aku jawab, bagaimana kalau Mommy coba roti bakar yang baru aku beli ini? Enak lho."

"Tiger, jawab!" bentak Ayana seraya menggebrak meja. "Atau Mommy laporkan pada Daddy."

Tiger pun kembali menghela nafas pasrah dan diturunkan kembali kotak makanan yang ada di tangannya.

"Baiklah. Aku akan jawab jujur," kata Tiger dengan suara pelan. "Sebenarnya aku belikan itu semua untuk pacarku, Mom. Aku ingin membuat mereka senang apa itu salah?"

"Tapi yang kamu berikan itu berlebihan, Tiger. Apa kamu nggak sadar kalau pacar-pacar kamu itu hanya merayu kamu supaya mendapatkan apa yang mereka mau?"

"Tapi, Mom. Kata Grandpa, harta kekayaan Daddy nggak bakal habis tujuh turunan."

Ayana berdecak sambil mengalihkan pandangan jengah. Lalu dia berkata, "Iya, dan kamu itu keturunan ke tujuh."

"Ada apa ini?" tanya sebuah suara yang datangnya dari arah pintu.

Serempak Ayana dan Tiger menghadapkan wajah mereka ke arah pintu yang sudah ada Elang berdiri di sana. Pria itu berjalan mendekat dengan langkah perlahan namun tetap terkesan tegap dan mantap.

Pantas Ayana segera berdiri untuk menyambut suaminya yang baru pulang kerja. Seperti biasa, Elang akan merangkul pinggang istrinya dan mendaratkan kecupan singkat di kening.

"Ini lho, Sayang. Aku baru saja dapat laporan keuangan Tiger selama satu bulan terakhir dan dia kedapatan membelanjakan uang untuk barang-barang yang nggak penting," Ayana mengadu pada Elang dengan suara yang manja. "Coba deh, kamu kasih pelajaran sedikit buat anak kita."

Seketika Elang menoleh pada Tiger yang semakin pasrah dengan nasib hidupnya. Sebab dia tahu betul kalau sang ayah pasti akan memihak pada sang ibu.

"Apa itu benar, Tiger?" tanya Elang.

"Oh come, Dad. Daddy kan punya banyak uang, aset, dan jabatan yang tinggi. Jadi apa salah sih aku membahagiakan pacar-pacarku?" 

Elang tak langsung menjawab. Dia menarik nafas panjang, duduk di kursi berdampingan bersama Ayana lalu ditatapnya sang putra dengan intens.

"Jadi benar apa kata Mommy kamu?" Elang bertanya lagi dengan penekanan yang lebih dalam.

Tiger menghela nafas. Dia pun pasrah dan berkata jujur, "Iya, benar, Dad."

Elang bergumam sambil melipat tangan di depan dada. Dua bola mata Elang menyipit sambil terus memandang wajah Tiger.

Sedangkan Ayana yang ada di sampingnya mencondongkan badan lalu berbisik.

"Kita harus melakukan sesuatu agar anak kita nggak terus-terusan seperti ini, Lang. Dia harus bisa mandiri dan nggak bijak menggunakan uang."

"Kamu benar, Ay," ucap Epang mengakui perkataan Ayana memang ada benarnya juga. 

Elang kembali mengamati Tiger dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia mengerutkan dahi, tenagh berpikir dan mempertimbangkan keputusannya untuk terakhir kali. Hingga dia akhirnya berkata, "Mulai besok Daddy akan kirim Tiger ke suatu tempat yang jauh dari perkotaan."

"What?" teriak Tiger terkejut. 

Ada rasa tidak terima dalam diri pria itu. Lantas dia pun berdiri untuk memprotes.

"Tapi, Dad. Bagaimana bisa aku tinggal di luar kota?"

"Dan Daddy akan mencabut semua fasilitas yang telah Daddy berikan," kata Elang tegas.

"Tapi, Dad," sela Tiger.

"Dan Daddy juga nggak akan memberi uang bulanan."

"No, Dad," seru Tiger menjadi-jadi.

"Dan Daddy juga nggak akan menyita kartu kredit, mobil, ponsel…"

"Stop!" suara Tiger menggelegar ke penjuru ruangan. Dia tidak kuat lagi mendengar ancaman sang ayah yang bisanya tidak pernah main-main dalam ucapannya. "Oke, baiklah. Aku akan putuskan semua pacarku asal Daddy menarik ucapan Daddy tadi."

Elang menyeringai dan menaikan satu alisnya. Lalu hanya dengan gelengan kepala yang pelan, telah membuat Tiger menghembuskan nafas kecewa.

Elang tidak setuju dengan persyaratan yang diberikan Tiger. Meski Tiger adalah anaknya, tapi Elang merasa Tiger tumbuh dalam kemewahan dan kesenangan yang membuatnya menjadi manja.

Sehingga kali ini Elang merasa harus tegas dan tega pada sang anak. Keputusan untuk mengirim Tiger jauh dari kemewahan adalah suatu keputusan yang tepat, menurutnya.

"Mulai sekarang, kemasi pakaianmu, Tiger." 

Setelah berkata seperti itu, Elang pun bangkit berdiri. Lalu berjalan melintasi ruangan yang disusul oleh Ayana. 

Tepat setelah mereka melewati ambang pintu, Ayana bertanya pada Elang.

"Lang, memang kamu mau kirim Tiger ke mana?"

Sontak Elang mendadk mengehentikan langkahnya. Dia seperti orang yang bingung dan sambil menoleh pada Ayana dia malah balik bertanya, "Sebaiknya kemana ya? Aku nggak tahu."

Liburan

Pagi hari, terasa berat bagi seorang Tiger. Pria dua puluh tiga tahun yang melangkah ke keluar rumahnya. Di halam rumah sudah ada sebuah mobil hitam yang menunggunya.

Tiger menghela nafas. Dia berbalik memandang rumah besar yang menjadi tempat dia tumbuh sejak kecil. Di rumah itulah dia menghabiskan masa kecilnya dengan bermain bersama mendiang Kakek Bram.

Namun, hari ini dia akan berpindah ke tempat yang asing. Bahkan dia tidak tahu tempat seperti apa yang akan dihadapinya nanti.

Tak jauh dari tempat Tiger berdiri, Ayana dan Elang memandang sang anak dengan perasaan tidak tega. Akan tetapi sekali lagi mereka menegaskan pada diri mereka sendiri jika ini adalah salah satu jalan terbaik.

"Nanti kamu di sana akan tinggal sama seorang kakek bernama Pak Mansur. Beliau itu orangnya baik kok tapi dia juga orang yang tegas," kata Elang memberi nasehat kepada anaknya.

Tiger mendengarkan perkataan sang ayah sambil lalu. Saking berat hatinya dia harus pergi dari rumah.

"Apapun yang dikatakan oleh Pak Mansur, kamu harus nurut. Oke?" tambah Ayana.

Tiger hanya menganggukan kepala tanpa berbicara apapun. Bahkan dia tidak memandang ayah dan ibunya sampai dia masuk ke dalam mobil.

Ayana dan Elang tetap berdiri di tempat mereka sampai mobil yang ditumpangi Tiger berbelok di jalan raya. Lalu Ayana menghembuskan nafas berat, seberat hatinya yang harus melepaskan sang anak.

Elang pun menoleh pada Ayana. Dia tahu persis bagaimana perasaan saat ini. 

Sehingga dia mengulurkan tangannya ke pundak Ayana, mengusapnya dengan lembut sambil memberikan semangat.

"Aku tahu ini berat, tapi menurutku Tiger memang harus dijauhkan dari kemewahan yang sudah dia dapat selama ini," ucap Elang menyakinkan Ayana.

"Tapi apa dia mampu bertahan di luar sana? Secara kan, kita sudah memanjakan dia sejak kecil."

"Kamu tenang saja. Dulu pun aku meninggalkan rumah besar ini lalu tinggal di kontrakan kecil," kata Elang seraya tersenyum penuh makna. 

Tangan Elang yang sedang merangkul Ayana semakin dia eratkan. Sehingga tubuh Ayana semakin terjerembab di dalam pelukan Elang.

Kemudian Elang berbisik, "Lagi pula dengan perginya Tiger, kita bisa berdua tanpa ada yang mengganggu. Iya kan?"

"Ck, kamu kok malah pikirannya ke sana sih," gumam Ayana yang sudah tahu keinginan suaminya.

Sedangkan Elang hanya tersenyum. Tanpa aba-aba, seketika dia menggendong Ayana. "Ayo, kita bikin anak lagi."

Detik berikutnya, Elang pun bergegas membawa Ayana ke dalam kamar.

Di waktu yang sama, Tiger tetap memasang wajah murung sambil memandang ke luar jendela. Pepohonan di pinggir jalan terlihat seperti bergerak melewatinya. 

Namun, tiba-tiba Tiger menoleh pada sang sopir yang duduk di depannya. Lalu Tiger meminta sopir itu mampir sebentar ke rumah Farhan, salah satu sahabat Tiger.

Sang sopir menurut saja tanpa banyak protes. Dia membelokkan arah setir kemudi sesuai petunjuk dari Tiger. 

Lalu tak sampai lima belas menit, mobil mereka sampai di sebuah rumah mewah tapi masih kalah besar dengan rumah Tiger.

Secepat kilat, Tiger turun dari mobil dan langsung bergegas berjalan masuk ke dalam rumah. Dia tidak perlu mengetuk pintu, karena orang tua Farhan sudah sangat mengenal Tiger. Begitu pula para penjaga di sana. 

Mereka membiarkan saja Tiger menyelonong masuk begitu saja. Karena tuan rumah mereka pun tak melarang. Bahkan sudah menganggap Tiger seperti anak sendiri.

Tiger masuk hingga di sampai di sebuah tepi kolam renang. Di sana ada Farhan dan satu lagi sahabat mereka bernama Brian.

Tiger, Farhan, dan Brian sudah berteman sejak mereka bayi. Hubungan mereka terjalin karena orang tua mereka pun saling berteman.

"Farhan, Brian," panggil Tiger pada dua sahabatnya yang bertelanjang dada seraya mencelupkan diri di tepi kolam.

"Hai, Bro," sapa Brian. "Dari mana aja? Sibuk terus ngurus cewek ya?"

Farhan tertawa seperti membenarkan perkataan Brian. "Tega banget ya kamu, Ger. Cewek terus yang diurus sampai lupa sama teman. Aku tebak nih, kamu datang ke sini pasti karena kamu baru diputusin sama salah satu dari pacar kamu kan?"

"Justru aku tuh sudah memutuskan semua pacar aku demi kalian tahu," jawab Tiger sombong.

Farhan dan Brian saling menoleh dengan menampakan tak percaya.

"Masa sih?"

"Ya iya lah. Aku tuh datang kemari mau ngajak kalian jalan-jalan. Mau nggak?" kata Tiger berkacak pinggang. " Semua biaya aku yang tanggung."

"Emang liburan kemana?" tanya Farhan.

"Ada deh. Nanti juga kalian tahu. Pokoknya nanti kita cari cewek-cewek cantik di sana."

Seketika Farhan dan Brian bersorak girang. Mereka langsung mentas dari kolam renang dengan badan yang masih basah mereka menatap Tiger dengan mata berbinar.

"Serius, Tiger?" tanya Brian menyakinkan dirinya.

"Serius lah," jawab Tiger sambil berusaha menyembunyikan senyum nakalnya. "Kalian cepat siap-siap. Bawa baju ganti yang banyak, karena kita bakal menginap lama. Aku tunggu di mobil."

Kemudian Tiger memutar badannya. Dia terkekeh pelan sambil melangkah keluar rumah.

Seperti yang diperintahkan, Farhan dan Brian segera berkemas. Farhan membawa tas ransel yang terlihat besar.

Sementara Brian yang tidak mau pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Akhirnya memaksakan diri untuk meminjam baju-baju milik Farhan.

Dua sahabat itu masuk ke dalam mobil bergabung dengan Tiger yang sudah menunggunya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwasanya, mereka sedang dimanfaatkan oleh Tiger.

Selama perjalanan pun Tiger tidak memberitahu Farhan dan Brian akan kemana mereka pergi. Karena pada dasarnya, Tiger juga tidak tahu menahu tentang desa yang menjadi tempat tinggal Pak Mansur.

Yang Tiger tahu, Pak Mansur dulunya adalah mantan pegawai di perusahan Elang. Namun, sudah lama pensiun dan menghabiskan waktu di desa.

Hampir separuh hari mereka lewati di dalam mobil. Perjalanan begitu melelahkan dan membuat badan terasa pegal meski mereka berada di dalam mobil mewah.

Sampai akhirnya mobil pun berhenti. Si sopir mengatakan jika mereka telah tiba di tempat tujuan. Sontak Brian dan Farhan yang saat itu setengah mengantuk langsung membelalakan mata.

Dengan penuh semangat, mereka turun dari mobil. Akan tetapi senyum mereka pudar dalam hitungan detik tatkala pemandangan yang mereka lihat.

Bagaimana tidak?

Apa yang ada di depan Farhan dan Brian adalah sebuah rumah tua di pinggir sawah. Dedaunan kering berserakan di halam rumah yang dicat warna abu-abu namun sudah mengelupas di mana-mana.

"Tiger, ini tempat wisata kita? Kamu yakin?" tanya Brian pada Tiger yang baru saja menapakan kakinya dari dalam mobil.

"Iya," jawab Tiger santai.

"Kita tinggal di rumah ini?" kali ini Farhan yang bertanya sambil berharap tebakannya salah.

"Kata Daddy aku, iya. Kita akan tinggal di sini."

Secara bersamaan, Farhan dan Brian langsung memutar badan dan hendak masuk kembali ke dalam mobil. Namun, sayang mobil yang membawa mereka sudah melesat pergi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!