"Bima, sampai kapan pun, Ibu tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan gadis itu!" Ucap Mirna dengan tegas dan penuh amarah.
"Bu, mengapa Ibu tidak memberi kesempatan pada Niken? Aku mencintainya, Bu. Dia gadis pilihanku, yang akan mendampingi hidupku. Aku akan menikahinya, Bu. Aku meminta ibu untuk merestui hubungan kami." Bima memohon sambil berlutut di kaki ibunya.
"Cuih! Aku tak Sudi punya menantu seperti dia!" Tunjuk Mirna pada Niken yang hanya berdiri terpaku.
"Dia tak pantas masuk dalam keluarga kita!" Ucap Mirna, ibu dari Bima dengan ketus.
Hati Niken pedih mendengar ucapan calon mertuanya itu. Niken memejamkan matanya, hatinya ingin mundur saja seperti ucapan calon mertuanya itu.
"Bu, aku mencintai Niken. Bagaimana aku menikah tanpa mencintai."
"Ibu telah memilih Rima. Dan dia adalah gadis yang sesuai untukmu, untuk keluarga kita. Kita harus memikirkan bibit bebet bobot yang sesuai dengan derajat keluarga kita. Dia bukan dari keluarga yang sederajat dengan kita." Ucap Mirna dengan tegas tanpa menatap Bima.
"Sudahlah, Bu. Saat ini kita ada di tempat orang, jangan marah marah seperti ini. Bima sudah dewasa, dan berhak memilih pasangan hidupnya." Pak Widodo menenangkan istrinya yang sedang marah pada putranya.
Bima sengaja mengajak Niken datang menemui kedua orangtuanya di acara pernikahan saudara sepupunya di Jakarta. Bima tak menyangka, ibunya akan semarah itu dan menolak gadis pilihannya.
Bima membimbing Niken untuk duduk di kursi dan memberi segelas air mineral untuk diminum.
"Mas, sebaiknya, kita urungkan saja semuanya. Aku tak nyaman jika kita menikah, tanpa restu ibumu." Ucap Niken sambil meneguk hingga habis air mineral itu.
Bima menatap Niken, lalu menggeleng.
"Kamu lihat tadi? Bapak setuju denganku. Lagi pula, kita sudah menjalin hubungan sudah tiga tahun lebih. Aku sudah memantapkan hati untuk menikahimu. Dan aku sudah berjanji pada ibumu dan kakakmu untuk menikah denganmu. Aku mencintaimu, Niken." Ucap Bima dengan nada serius.
"Tapi,... Lihatlah! Ibumu sama sekali tak setuju. Menikah tanpa restu ibu itu tidak berkah, Mas!" Niken membalas ucapan Bima tak kalah serius.
"Namun Niken, dengan atau tanpa restu ibuku, aku akan tetap menikah denganmu! Aku berjanji akan selalu menjaga, mencintaimu, setia, dan memihak padamu, meski ibu bersikap seperti itu padamu. Aku bukan anak kecil yang selalu patuh pada kehendak orang tua! Aku berhak untuk memilih sendiri pendamping hidupku. Dan aku memilih kamu, Niken." Bima menatap Niken lekat lekat.
"Menikahlah denganku, Niken!"
Kini, Bima berlutut dan menggenggam jemari Niken erat.
Niken yang duduk hanya bisa menunduk menatap Bima, berusaha mencari celah untuk menolaknya.
Namun, selama ini, Bima selalu baik, bukan hanya pada dirinya, tapi juga pada keluarganya.
Bima terang terangan datang ke rumah dan meminta pada ibunya akan serius dan menikahi Niken. Bima juga menghubungi, Kakak Niken yang ada di Kalimantan, meminta ijin untuk menikahi Niken.
Segala keseriusan Bima, membuat hatinya luluh, tapi, kenyataan ibu Mirna, ibunya Bima yang tak menyukainya, membuat hatinya bimbang dan galau.
Menikah tanpa restu ibu itu tidak berkah bagi pernikahan. Niken kali ini tak dapat menjawab permintaan Bima.
*
"Kamu mencintainya?" Tanya Ibu Lusi, ibu dari Niken sambil membelai lembut rambut putri semata wayangnya itu.
"Aku mencintainya, Bu. Tapi, ibunya tak merestui kami." Air mata Niken mulai mengalir dari sudut matanya.
"Kamu telah dewasa, dapat memilih sendiri apa yang terbaik untuk dirimu. Ibu akan mendukung apapun keputusanmu itu. Dan ibu berdoa kamu bisa menjalani dengan baik apa pun pilihanmu itu."
Niken menegakkan punggungnya, yang semula rebah bersandar pada paha ibunya, kini, duduk dan menatap pada ibu.
"Niken bingung."
"Kamu perlu waktu. Pikirkanlah dulu, berdoa, minta pada Tuhan yang terbaik untukmu. Dan bicaralah baik baik dengan Bima. Ibu akan selalu berdoa yang terbaik untuk kalian."
"Ibu merestui kami?" Tanya Niken.
Ibu Lusi mengangguk sambil tersenyum.
"Ibu selalu merestui dan mendukung kalian. Bima sepertinya baik dan bertanggung jawab. Bahkan dia berani menghubungi kakakmu dan meminta langsung dirimu. Berbeda dengan kekasih kekasihmu sebelumnya. Tapi, kamu pikirkan saja dulu. Tidak perlu terburu-buru. Ibu yakin, Bima juga dapat mengerti pilihanmu."
Niken memeluk erat ibunya. Rasa nyaman dan aman saat dalam pelukan ibunya.
Setelah satu bulan berpikir dengan keras, akhirnya Niken dengan mantap memilih Bima. Niken bersedia menerima lamaran Bima, dan menerima ajakan menikah Bima.
Pernikahan mereka juga dilangsungkan secara sederhana di rumah Niken. Hanya mengundang teman kerja, dan keluarga dekat saja.
Ayah Niken sudah tiada, jadi Kakak tertua dari ayahnya yang akhirnya menjadi wali nikahnya.
Setelah Bima dan Niken menikah, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan di pusat kota Jakarta, yang dekat dengan tempat mereka bekerja.
Niken memutuskan untuk berhenti dari tempat kerjanya, yang lama karena peraturan perusahaan, suami istri tidak boleh bekerja satu kantor.
Mudah saja bagi Niken untuk mendapatkan pekerja kembali dengan pengalamannya.
Kini usia pernikahan mereka telah hampir satu tahun. Mereka hidup bahagia menjalani pernikahan, meskipun belum ada tanda tanda kehamilan dari Niken.
Mereka menikmati setiap kebersamaan mereka, dan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana, tapi nyaman.
Akhirnya Bima mendapatkan promosi dari perusahaan berupa kenaikan pangkat. Namun, penempatan di Yogyakarta.
Kota asal Bima dan keluarganya.
Bima berdiskusi dahulu bersama Niken sebelum dia menerima pekerjaan itu dari perusahaan.
"Bagaimana menurutmu, seandainya kita pindah ke Yogya?" Tanya Bima.
Niken mengerutkan keningnya menatap Bima. Dia menghentikan kegiatan rutin membersihkan wajahnya sebelum tidur.
"Yogya?" Tanya Niken.
Bima mengangguk sambil meraih jemari Niken. Bima berlutut di depan Niken yang duduk di kursi rias sambil menggenggam tangan istrinya itu.
"Aku mendapat promosi menjadi kepala cabang di Yogya. Untuk masalah gaji, sesuai dengan gaji di Jakarta." Ucap Bima.
Niken terdiam.
"Aku tahu. Makanya aku ingin berdiskusi dulu denganmu sebelum menerima pekerjaan ini. Jika kamu keberatan, aku akan tetap di sini dengan posisiku saat ini." Sambung Bima sambil menghela napas dalam-dalam.
Namun, Niken tahu, Bima telah lama berharap untuk naik dari posisinya supaya memiliki karir yang cemerlang dan juga penghasilan jauh lebih baik dari yang saat ini.
Niken hanya diam saja. Dan malam itu dia pun hanya diam saja hingga hari berganti pagi.
Semalam mereka tidur, tanpa ada ciuman selamat malam seperti biasanya. Niken hanya diam. Dan Bima yang telah memahami Niken, membiarkan hal itu. Karena biasanya Niken membutuhkan waktu untuk memikirkan itu semua.
Semalaman Niken memikirkan semua, dan segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Mas, aku mengijinkan kamu menerima pekerjaan itu." Ucap Niken saat mereka sedang sarapan sebelum berangkat ke tempat kerja.
Bima meletakkan roti di meja dan menatap Niken tak percaya.
"Kamu yakin?" Tanya Bima.
"Ya. Demi karirmu dan masa depan kita. Aku yakin jika karir Mas naik, akan baik juga untuk masa depan keluarga kita." Jawab Niken sambil tersenyum.
"Tapi, mungkin untuk sementara waktu, kita tinggal di rumahku dulu, sebelum kita mendapat tempat tinggal di sana. Apa kamu tidak keberatan?"
"Ya. Tapi janji untuk sementara saja ya! Mas kan, tahu, ibu tidak menyukaiku. Bagaimana aku bisa betah lama lama tinggal di sana?" Cicit Niken sambil manyun.
"Kan, cuma ibu yang nggak suka. Masih ada ayah, Dewa, dan Seruni. Semua menyukaimu. Ngapain takut?" Sahut Bima sambil menjawil dagu istrinya.
"Tapi ibumu itu mengerikan jika menatapku. Seakan aku merebut anak kesayangannya." Desis Niken.
Bima menggeser tempat duduknya mendekat ke arah Niken.
"Aku lebih takut jika kamu marah padaku, lalu mengunci pintu kamar dan membiarkan aku tidur di sofa semalaman sambil menjadi santapan nikmat nyamuk nyamuk." Sahut Bima sambil meletakkan kedua tangannya di bahu istrinya itu dan menatapnya lekat lekat.
"Ah, gombal!"
"Benar! Aku tuh takut kalau kamu marah, terus pergi ninggalin aku atau nyuruh aku tidur di luar. Aku sayang sama kamu Niken. Sungguh!" Bima meyakinkan Niken.
Niken tersenyum geli menatap wajah Bima yang lucu saat sedang berusaha meyakinkan dirinya.
"Iya. Kamu ambil saja pekerjaan itu. Aku setuju. Nanti biar aku urus surat pengunduran diriku di kantor." Ucap Niken sambil tersenyum pada Bima.
Bima menatap Niken seolah tak percaya.
Niken mengangguk.
"Terima kasih, Sayang! Aku memang tidak salah pilih istri. Aku sangat sangat beruntung memilikimu." Ucap Bima seraya memeluk dan menciumi istrinya dengan rasa bahagia.
"Ahhh... Susah sudah! Tuh kan jadi berantakan lagi dandananku!" Niken mengomel sambil mendorong tubuh Bima.
"Bagaimana, jika kita tidak usah bekerja, dan menghabiskan hari ini hanya berdua." Goda Bima.
"Hah? Ogah! Sudah habiskan sarapannya. Nanti kita terlambat." Teriak Niken sambil melirik ke arah jam tangannya.
"Apa kamu sudah siap?" Tanya Bima sambil mengusap lembut pundak Niken.
Niken hanya tersenyum sambil menghela napas.
"Jika aku ikut bersamamu ke kotamu, berarti aku sudah siap, Mas." Sahut Niken lirih.
Bima tersenyum, sambil mengusap pelan bahu istrinya itu.
Niken menyandarkan kepalanya pada bahu Bima. Dan dia merasa nyaman dan aman di sisi lelaki di sampingnya saat ini.
Niken lebih banyak diam dan menikmati pemandangan dari jendela taksi online yang dipesan oleh Bima.
Niken sebenarnya tengah mempersiapkan hatinya saat nanti bertemu dengan ibu mertuanya.
Taksi membawa mereka ke sebuah rumah besar dengan adat Yogyakarta dengan halaman luas, tampak asri.
"Wah, Mas Bima dan Mbak Niken sudah datang!" Teriak Seruni menyambut kedatangan kakak dan kakak iparnya itu.
Bima memiliki dua orang adik yang masih tinggal bersama orang tuanya.
Dewa, adik laki-laki, lebih muda dua tahun dari Bima. Lalu, Seruni, si bungsu yang baru tahun pertama masuk universitas.
Seruni menyalami kedua kakaknya itu, dan membantu membawa sebagian barang yang di bawa oleh Niken dan Bima.
"Kok sepi?" Tanya Bima.
"Bapak ke kantor. Mas Dewa lagi kerja, Ibu di halaman belakang, dan aku menunggu kalian datang!" Ucap Seruni dengan suara riangnya.
"Aku sudah nggak sabar pingin ketemu Mbak Niken lagi, loh!" Ucap Seruni.
Niken mengerutkan keningnya heran.
"Loh, kenapa?"
"Biar ada temannya jika di rumah. Dari dulu selalu jadi korban keganasan Mas Mas- ku itu." Keluh Seruni sambil manyun.
"Tapi kamu tetap jadi adik kesayangan, Mas Bima, kok! Ya, meskipun harus nurut untuk buatkan Mas mu ini secangkir kopi, atau membelikan rokok di warung Bude Mo." Sahut Bima sambil memencet hidung adik perempuannya itu.
Seruni langsung memukul lengan Bima sambil mendengus kesal.
"Tuh, lihat, Mbak. Belum apa apa aku sudah disuruh." Seruni mengadu pada Niken.
Niken tersenyum geli melihat keakraban Bima dan Seruni.
"Ibu di halaman belakang, ya, Ni?" Tanya Bima sambil menaruh tas dan barang barang yang dibawanya dan Niken di kamarnya dahulu.
"He eh." Sahut Seruni sambil mengangguk.
"Aku tinggal dulu ke dapur ya Mbak. Nanti kalau mau minuman langsung ke dapur saja. Seruni letakkan di meja dapur saja." Ucap Seruni pada Niken.
"Terima kasih, ya, Runi." Niken tersenyum sambil menepuk bahu adik iparnya itu.
Seruni berlalu ke dapur.
Bima menatap Niken dan menatapnya lekat lekat.
"Ayo, kita temui ibu." Ajak Bima lembut.
Niken mengangguk, dan mengikuti langkah Bima menuju ke halaman belakang.
Bima meraih jemari Niken saat berdiri di teras belakang.
Niken menghela napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen lebih banyak supaya lebih tenang. Lalu menoleh menatap Bima, suaminya dan mengangguk.
Mereka melangkah sambil bergandengan tangan menghampiri ibu yang sibuk menyiangi dan memotong daun daun yang mulai menguning pada tanaman hias kesayangannya.
"Selamat sore Bu. Kelihatannya, tanaman koleksi Ibu makin bertambah." Sapa Bima sambil mendekati ibu dan mencium punggung tangan Ibu Mirna, ibunya.
"Kamu sudah datang." Sahut Mirna sambil melirik Niken yang ada di belakang Bima.
"Iya, Bima sementara akan tinggal di rumah dulu bersama Niken. Mungkin sekitar sebulan ini, sampai mendapatkan kontrakan untuk kami." Ucap Bima.
Niken maju, mendekati Mirna, meraih tangan wanita paruh baya itu dan mencium punggung tangannya dengan hormat, namun buru buru, Mirna segera menarik tangannya, saat Niken menyalami dengan mencium tangan, seolah tak mau berlama-lama disentuh oleh menantunya itu.
"Oh, jadi kamu hanya sementara di rumah ini, karena istrimu?" Tanya Mirna dengan ketus.
"Apa uangmu sudah banyak, lalu tidak mau tinggal di sini?" Sambung Mirna.
Bima dan Niken saling berpandangan menatap wanita paruh baya itu.
"Tidak. Bukan seperti itu, Bu. Maksud Bima, tidak enak kami menumpang di sini lama lama, Bu." Sahut Bima dengan sopan pada ibunya.
"Hmmmm.... Apa gajimu sudah cukup besar, hah? Apa kamu nggak mikir untuk masa depan? Apa karena istrimu ini nggak mau tinggal di sini? Apa kamu nggak mikir biaya anakmu besok? Oh.. iya, ibu lupa, istrimu nggak hamil!" Tukas Bu Mirna dengan ketus sambil melirik perut Niken.
Tatapan mata Mirna bagai belati yang siap menyayat tubuh Niken saat itu. Niken terdiam. Bima dan Niken memang belum dikaruniai anak dalam usia pernikahan mereka yang hampir satu tahun itu.
"Nggaklah, Bu. Niken tidak masalah jika di sini. Dan kami tidak pernah menunda punya momongan." Sahut Bima.
"Iya, Bu. Saya tidak keberatan tinggal di mana saja. Dan kami sedang berusaha juga untuk mendapatkan momongan." Imbuh Niken dengan sopan.
"Tapi, biasanya nggak lama. Apa jangan jangan dia nggak bisa memberi keturunan."
"Ibu? Ngomong apa sih?" Tanya Bima dengan nada emosi sambil menatap tajam ke arah Bu Mirna.
"Kalian itu kan sudah lama menikah? Apa istrimu nggak bisa melayani kamu dengan baik?" Cetus Bu Mirna, yang kembali menyulut emosi Bima.
"Apa maksud Ibu?"
Bu Mirna tidak menjawab pertanyaan putranya itu. Dia menyibukkan kembali dengan tanaman.
Niken menepuk bahu Bima menenangkan suaminya itu.
"Sudah, Mas. Sabar."
Niken menarik lengan suaminya supaya tidak emosi. Rama masih menatap ibunya tak percaya mengatakan hal yang sensitif mengenai kehamilan.
Bu Mirna melengos dan tak memedulikan anak dan mantunya lagi.
Wanita paruh baya itu, lalu meneruskan menggunting daun yang telah menguning dan menyiangi rumput kecil pada pot tanaman hiasnya.
"Bu, kami permisi ke dalam dulu." Pamit Niken dengan sopan sambil menarik tangan Bima.
"He eh." Sahut Mirna tanpa menoleh.
Bima menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Niken dengan tatapan sedih.
Niken juga sangat sedih dan terpukul dengan ucapan mertuanya yang mengatakan tak bisa memiliki anak. Tapi, dia berusaha tegar. Karena dia telah memilih jalan hidup seperti ini.
Niken tahu, ibu mertuanya masih belum bisa menerimanya sebagai menantu. Hal itu membuat Bima sedih.
Di sisi lain, Niken adalah wanita yang dia cintai. Lalu satu lagi, Mirna adalah ibunya, wanita yang selama ini mengandung dan melahirkan, serta merawatnya hingga dia besar.
Ibu Mirna melirik mereka sekilas, saat Bima dan Niken membalikkan tubuh masuk ke dalam rumah.
"Lihat saja, kalian dapat bertahan berapa lama!" Tersungging senyum sinis di bibir Mirna.
"Kenapa? Kamu mengagumi suamimu ini?" Tanya Bima, mengagetkan Niken yang masih asik menatap foto dalam kamar Bima semasa masih lajang.
"Aku tak percaya kamu bisa bermain band." Niken melipat kedua tangannya di depan dada.
"Lihat saja nanti. Kamu pasti akan makin jatuh cinta melihatku saat di atas panggung, sambil memainkan gitarku." Ucap Bima membanggakan diri.
Niken menggelengkan kepalanya.
"Nggak boleh. Nanti banyak gadis gadis yang mengejar, aku nggak rela!" Sahut Niken pura pura ngambek.
"Cie... Ada yang cemburu. Tapi aku nanti hanya menatap satu orang saja saat manggung. Cuma kamu." Rayu Bima.
"Gombal! Lah kalo aku nontonnya dari samping gimana?"
"Ya aku akan menghadap ke samping, supaya bisa fokus melihat kamu."
"Halah.. cuma ngrayu saja."
"Tapi kamu suka, kan?" Bima mengerlingkan matanya sambil menggoda Niken.
Bima meraih pinggang Niken dan menariknya dalam dekapan.
"Kamu adalah wanita yang selalu ada di hatiku. Mau di depanku ada ratusan wanita cantik lain, hanya kamu yang aku lihat." Ucap Bima sambil menatap Niken lekat lekat.
Niken tersenyum sambil membelai lembut wajah Bima.
Keduanya saling pandang hanyut dalam suasana saat itu.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu kamar diiringi suara pintu sedikit terbuka.
"Oh... Maaf! Aku tidak tahu jika kalian..! Ah... Mas Bima dan Mbak Niken, kalau mau gituan ya dikunci saja pintunya! Itu tadi sedikit kebuka, aku pikir...ahhh....!" Seruni mengomel sambil menutup wajahnya karena malu saat memergoki Bima dan Niken hendak berciuman.
Bima dan Niken saling menjauh sambil tersenyum geli melihat tingkah Seruni kala itu.
"Makanya jangan masuk dulu kalau belum dijawab." Elak Bima.
"Ada apa, Runi?" Tanya Niken sambil menghampiri adik iparnya.
"Bapak memanggil kalian di ruang tengah." Sahut Seruni sambil tersenyum.
"Baiklah, adikku. Nanti aku dan Niken akan menyusul ke ruang tengah. Masmu ini mau ganti baju dulu."
"Awas jangan lama lama, apalagi kayak tadi lagi!" Balas Seruni sambil mengepalkan tangannya pada kakak sulungnya itu.
Seruni meninggalkan kamar Bima.
Lalu setelah mengenakan kaos, Bima dan Niken menyusul ke ruang tengah menemui Pak Widodo, ayah Bima.
*
"Ayo duduk sini. Kita ngobrol-ngobrol!" Sapa Pak Widodo menyambut anak dan menantunya itu.
Bima dan Niken bergantian bersalaman sambil mencium tangan dengan sopan pada ayah Bima itu.
"Jadi kamu pindah tugas di Yogyakarta?" Tanya Bapak dengan suara berat pada Bima.
"Iya, Pak. Saya dipercaya mengepalai kantor cabang Yogya saat ini, dan mengembangkan sampai area Jawa tengah."
"Wah, bagus itu. Bapak optimis kamu bisa."
Bapak tersenyum dengan bangga pada Bima.
"Alangkah baiknya, jika kamu memikirkannya Bapakmu juga, yang sudah tua ini. Masih lembur mengurus pabrik batik. Harusnya kamu anak tertua yang membantu Bapakmu ini. Sudah nggak membantu, nggak nurut juga, huh!" Bu Mirna yang baru datang langsung mengomel sambil duduk di samping Pak Widodo.
"Ada apa, Bu. Anaknya datang kok malah ngomel?"
"Jangan terlalu dimanja anaknya, Pak!" Tukas Ibu Mirna.
"Siapa yang dimanja?"
"Bima." Sahut ibu dengan cepat sambil menatap ke arah Bima, melirik ke arah Niken, yang menunduk, tak berani membalas tatapan ibu mertuanya itu.
Pak Widodo tersenyum saja, mendengar jawaban istrinya itu.
"Kamu itu, ya, Bim, dinasehati orang tua selalu nggak dengar. Bapakmu ini punya usaha sendiri, tapi kamu malah kerja sama orang lain!"
"Kan ada Dewa sama Runi, Bu?" Bima membela diri.
"Dewa bisa apa? Bisanya cuma genjrang genjreng gitar nggak jelas gitu! Runi, baru masuk kuliah! Bisa apa dia."
"Maaf, sebelumnya, Bu. Mungkin Runi bisa sedikit sedikit membantu usaha Bapak, sambil belajar. Jadi, nanti saat lulus, atau bahkan sebelum lulus pun, dia sudah siap, jika diberi tanggung jawab."
Niken mencoba memberi saran.
"Halah! Tahu apa kamu itu?" Ibu menggerakkan tangan kanannya seolah menepis sambil menatap sinis menantunya.
"Eh, benar juga, omonganmu, Nduk! Bagus itu. Coba Bapak ngomong ke Runi."
Pak Widodo manggut-manggut sambil tersenyum menatap Niken, sementara Bu Mirna mendelik, lalu manyun, dengan raut wajah tak suka.
"Runi! Kemari!" Panggil Bapak dengan suara keras.
"Ya, Pak! Ada apa?" Tak lama Seruni, adik bungsu Bima datang dan duduk di sebelah Niken.
"Kamu mau bantu Bapak di pabrik?" Tanya Bapak pada Seruni.
"Hah, bantu? Bantu gimana sih, Pak?"
"Ya membantu Bapak di pabrik batik. Kamu itu anak Bapak. Usaha Bapak itu bakal bapak wariskan ke anak anak Bapak. Jika nggak ada anak yang bisa membantu Bapak, bagaimana Bapak bisa membangun usaha supaya lebih besar."
Seruni terdiam. Lalu melirik pada kakaknya dan kakak iparnya, seolah meminta saran.
"Nggak ada salahnya kamu membantu Bapak. Hitung hitung belajar dulu. Mengenal kerjanya, karyawannya, pelanggannya. Ya, kan, Pak?" Sahut Bima.
"Kamu itu menjerumuskan adikmu, Bim! Runi masih terlalu kecil. Dia bisa apa? Nggak bakal bisa dia untuk bantu usaha Bapak." Sahut Ibu dengan sinis.
"Nggak boleh ngomong gitu loh, Bu. Runi perlu banyak belajar. Belajar dari hal kecil dulu, lama lama makin pintar." Ucap Bapak meladeni Ibu dengan sabar.
Seruni menghela napas sejenak.
"Ya, Runi akan bantu Bapak. Kapan aku bisa mulai membantu, Pak?"
"Besok, sepulang kuliah, kamu boleh langsung datang ke pabrik."
Seruni mengangguk mengerti, dan tersenyum pada Bapak.
"Ingat, jangan sampai kerjaan pabrik membuat nilai nilainya jeblok!" Tukas Ibu cepat.
"Siap, Bu. Tenang, Runi kan termasuk anak yang rajin. Apalagi ada Mbak Niken juga di sini." Sahut Seruni sambil memeluk kakak iparnya itu.
"Loh apa hubungannya?" Tanya Ibu.
"Mbak Niken bisa bantu aku ngerjain tugas. Ada teman yang bisa diajak diskusi dan teman ngobrol."
"Halah, bisa apa dia! Sekolah, paling cuma lulusan SMA, nggak cocok kamu tanyain. Beda level, Runi!" Ibu mengibas ngibaskan tangannya, tidak setuju pendapat Seruni.
Niken hanya bisa mengehela napas, sambil berusaha sabar mendengarkan ucapan mertuanya yang selalu menyudutkan dirinya.
Pak Widodo, menepuk paha istrinya dengan sedikit keras.
"Nggak boleh ngomong seperti itu, Bu. Pamali! Ora pantes, orang tua ngomong gitu pada anaknya." Pak Widodo mengingatkan pada Bu Mirna.
"Lah memang benar kan, kamu lulusan SMA. Nggak kuliah, kan?" Bu Mirna menatap Niken seolah bertanya.
"Ya, saya lulus SMA, Bu. Kemarin sambil kerja nerusin kuliah, akhirnya sebelum menikah sudah bisa mendapat gelar sarjana."
Jawaban Niken seolah menampar wajah Bu Mirna.
Bima, Seruni, dan Pak Widodo, hanya bisa mesam mesem menahan tawa, melihat raut wajah Bu Mirna yang menahan malu.
"Wah, hebat!" Puji Pak Widodo.
"Kamu harus banyak belajar dengan Mbakmu ini, Run."
Seruni mengangguk angguk, dan Niken tersipu malu mendengar pujian ayah. Mertuanya itu.
"Awas, kamu ya! Berani beraninya membuat aku malu! Rasakan nanti akibatnya!"
Ucap Bu Mirna dalam hati sambil menatap kesal Niken.
"Kamu juga boleh, bantu Bapak di pabrik. Kebetulan Bapak juga sedang butuh karyawan tambahan untuk bantu administrasi."
Mendengar suaminya menawarkan pekerjaan pada menantunya, sontak Bu Mirna menatap suaminya tak suka sambil mendelik.
Niken terkejut tak percaya.
"Sungguh, Pak?" Tanya Niken.
"Iya." Pak Widodo mengangguk.
"Pak, apa nggak salah menawari orang? Apa nggak sebaiknya menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain terlebih dahulu." Timpal Bu Mirna.
Pak Widodo mengerutkan keningnya.
"Apa nggak kebalik, Bu. Pabrik butuh admin. Lalu Niken, sudah pengalaman, lebih cepat belajarnya, nggak susah ngajari, apalagi keluarga sendiri."
"Hah, keluarga? Nggak salah? Dia orang luar, Pak! Apa nggak ada pilihan lain selain dia? Apa nggak ada sarjana lulusan universitas terbaik se- Yogyakarta yang bisa Bapak pilih jadi karyawan?" Bu Mirna menggelengkan kepalanya.
"Sudahlah, Bu. Percayalah padaku. Niken pasti bisa. Apalagi, ada Runi, yang juga akan membantu di pabrik."
Sahut Pak Widodo dengan tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!