Malam itu aku, istriku, dan anak semata wayang kami pergi bertandang ke rumah kakak ipar istriku. Karena keasyikan mengobrol, akhirnya kami pun pulang cukup larut malam. Sudah menjadi kebiasaan, kalau sudah kumpul dengan kakak ipar, bisa lupa waktu. Maklum, kakak ipar istriku ini memang menyenangkan kalau diajak mengobrol. Tema obrolan kami pun beraneka ragam dari urusan rumah sampai urusan politik atau pun artis.
"Bram, nggak nginap saja tah? Ini sudah malam loh!" ucap Mbak Kiki, kakak ipar istriku.
"Kami pulang saja, Mbak. Besok, Satria sekolah," jawabku sambil melirik anak laki-laki kami.
"Iya, Bude. Aku besok makan sehat di sekolah," celetuk anakku dengan gaya lucunya.
"Duh, ponakan bude ini emang kalau urusan makanan nomor satu," jawab Mbak Kiki.
"Mbak, kami pamit pulang dulu, ya?" ucap istriku sambil mencium punggung tangan kakak iparnya.
"Iya, Mil. Hati-Hati. Lain kali nginap, ya? Semenjak menikah kamu sudah jarang menginap di sini. Tuh, kamarmu sudah kangen kamu tempati lagi," ucap Mbak Kiki.
"Iya. Terima kasih, Mbak," jawab istriku sambil menatap sekilas ke arah kamarnya yang dulu ia tempati sebelum menikah denganku.
Aku tahu ada kerinduan di hati Mbak Kiki dan istriku kepada almarhum Mas Wisnu, kakak istriku yang telah mendidik dan merawat istriku sepeninggal kedua orang tua mereka.
Setelah berpamitan, kami pun meninggalkan rumah Mbak Kiki dengan menggunakan sepeda ontel menuju ke rumah. Jarak antara rumah Mbak Kiki ke rumah sekitar 10 kilometer. Selain melalui jalan beraspal, kami juga harus melewati jalan berbatu dan area persawahan untuk bisa sampai ke rumah. Sepanjang jalan, Satria yang membonceng di tengah beberapa kali berteriak girang apabila kami berpapasan dengan kendaraan besar.
"Yah, barusan truknya kayak yang aku lihat di tivi kemarin," teriaknya.
"Kamu nonton tivi sama siapa kemarin, Le?" tanyaku.
"Sama teman-teman, Yah, di rumah Haji Husin," jawabnya dengan penuh gembira.
"Iya ... iya ... Tapi, jangan lupa belajar," balasku.
"Iya, Yah," jawabnya lesu.
Setelah itu Satria duduk dengan anteng. Begitulah kebiasaannya kalau habis ditegur olehku. Tapi, ia pasti akan melaksanakan pesanku. Aku sudah hapal betul tabiatnya.
"Yah. Satria boleh tidur, nggak?" celetuk anakku kemudian.
"Jangan tidur dulu, Le. Kasian ibumu kesulitan memegangi kamu," jawabku sambil mengayuh sepeda.
"Tapi, Yah. Kalau sampai di tikungan dekat rumah itu, aku mau tidur, ya? Soalnya ...," jawab anakku itu dengan ketakutan.
"Emangnya kenapa, Le?" tanyaku penasaran.
"Kata Bagas, di tikungan itu kalau malam ada hantunya ...," jawab Satria semakin ketakutan.
Aku dan Jamila istriku terkejut dengan jawaban Satria.
"Kamu dibohongi Bagas tuh!" ucapku.
"Enggak, pokoknya sebelum sampai tikungan, aku mau tidur di pelukan ibu," protes Satria.
"Ya sudah. Masih jauh kok," jawabku.
Aku dan Jamila sibuk dengan pikiran masing-masing. Jujur, aku tidak menyangka isu tentang hantu di tikungan dekat rumahku itu sampai juga ke telinga anakku. Aku sendiri sebenarnya tidak pernah ambil pusing dengan isu itu. Tapi, aku juga tidak mau kalau sampai anakku menjadi korban dari isu yang belum jelas kebenarannya itu.
Tak terasa, kami sudah hampir sampai di tikungan yang dimaksud oleh Satria. Aku menoleh sebentar ke belakang. Kulihat Satria dengan enaknya tidur di pelukan ibunya.
"Satria tidur, Dik?" tanyaku memastikan.
"Sudah, Mas," jawab Jamila.
"Kamu juga dengar tentang isu itu, Dik?" tanyaku lagi.
"Hm .... i-i-ya, Mas," jawabnya polos.
"Kamu juga takut, Dik?" tanyaku.
Istriku tidak menjawab. Ia hanya menatap mataku sekilas kemudian mengalihkan pandangannya ke wajah Satria yang tertidur pulas.
Aku hapal betul dengan istriku ini. Kalau ia tidak menjawab artinya ia membenarkan pertanyaanku, tapi ia tidak mau mengutarakannya.
"Tenang, Dik. Ada mas di sini," ucapku menenangkannya.
"Mas kan di depan. Kalau hantunya diam-diam muncul di belakang gimana?" ujar istriku tiba-tiba.
"Kamu pegangan sama mas saja. Nggak usah takut!" balasku.
"Gimana aku mau pegangan, Mas. Lah wong kedua tanganku dipakai nahan badannya Satria," protesnya.
"Oke. Nanti mas akan sering menoleh ke belakang," jawabku.
Lagi-Lagi perempuan cantik ini tidak berbicara.
"Bismillahirrohmanirrohiiim ...." Kuucap kata basmalah ketika kami sampai di tikungan yang banyak diperbincangkan orang-orang itu. Angin sepoi-sepoi tiba-tiba meniup tengkukku sehingga terasa dingin sekali. Aku menoleh ke belakang dan kulihat wajah istriku nampak pias. Wajahnya menunjukkan rasa ketakutan yang ia sembunyikan.
Alhamdulillah. Akhirnya, kami pun sudah jauh dari tikungan itu dan sebentar lagi kami akan sampai di rumah.
Rumah kami nampak gelap karena lampunya belum dinyalakan. Kami bertiga pun turun dari sepeda dan bersiap untuk masuk ke dalam rumah.
"Kenapa, Dik?" tanyaku pada istriku yang kebingungan.
"Anu, Mas. Sandal Satria hilang sebelah," jawabnya.
"Wah, pasti terjatuh di jalan," jawabku.
"Padahal di jalan raya tadi, aku masih merasakan sandalnya menyentuh kaki sebelah kananku," jawab istriku.
"Maksudmu sandal Satri jatuh di dekat-dekat sini?" tanyaku.
"Iya, Mas. Kayaknya di sekitar tikungan tadi sampai di sini yang aku nggak ingat lagi," jawab Jamila.
"Hm ... Biar sudah, Dik. Aku cari besok saja," jawabku.
"Hm ... Sandal itu pemberian Mbak Kiki loh. Dan itu sandal kesukaan Satria. Kalau ia tahu sandalnya hilang, pasti dia nangis, Mas," ujar istriku.
"Hem ... Aku cari sekarang, ya?" tanyaku.
"Tapi, Mas ...," protes Jamila.
"Kamu tunggu di sini saja. Aku akan mencarinya sendiri," jawabku sambil memutar kembali sepedaku.
BERSAMBUNG
Kukayuh sepedaku menyusuri jalanan yang kondisinya cukup gelap. Kali ini aku bisa mengayuhnya dengan cukup kencang karena tidak ada Jamila dan Satria yang harus kujaga keselamatannya ketika mereka berdua membonceng di belakang. Kendala laju sepedaku palingan hanya batu-batu besar yang lepas dari tempatnya akibat dilewati truk yang biasa lewat di jalan ini. Dulu, waktu aku masih tunangan dengan Jamila, kami pernah jatuh berdua dari atas sepeda akibat roda depan terbentur bongkahan batu seukuran kepala anak kecil. Kami berdua dimarahi habis-habisan oleh orang tua kami, terutama aku diomeli oleh ibuku karena dianggap tidak bisa melindungi calon istriku waktu itu. Kami berdua berjalan pincang lebih dari seminggu. Untunglah, menjelang pernikahan kaki kami pulih seperti sedia kala. Sejak saat itulah, aku selalu berhati-hati jika bersepeda dengan membonceng perempuan yang paling aku sayangi itu. Apalagi sekarang sudah ada Satria yang harus kami jaga dengan ekstra hati-hati.
Nyes ...
Semilir angin dingin tiba-tiba menyeruak ke tengkuk belakangku saat aku melintas di atas jembatan yang menghubungkan antara dusunku dengan dusun sebelah. Hawa panas tiba-tiba saja menyergap sehingga membuat tenggorokanku kering seketika. Kalau sudah seperti itu bagian perutku menjadi tidak enak dan serasa mau muntah saja. Aku pun meludahkan cairan yang ada di dalam mulutku ke arah kiri sebanyak tiga kali sembari mengucap taawwudz.
"Audzubillahi minas saytonirrojiiiim ...."
Hawa panas itu tiba-tiba lenyap berganti dengan hawa dingin khas angin malam di area persawahan yang cukup membuat tubuhku menggigil kendinginan. Aku pun kembali mengayuh sepedaku untuk melanjutkan perjalanan. Rasa dingin ini tiada artinya dibandingkan harus melihat Satria menangis meraung-raung karena sandal kesukaannya hilang.
"Yah, aku suka banget loh dengan sandal yang dikasih bude Kiki. Gambarnya bagus," itulah kata-kata yang sering diucapkan Satria setiap akan memakai sandal itu.
Ingatan terhadap ucapan anakku itu yang membulatkan tekadku untuk mencari sandal milik anakku itu. Tak sejengkal tanah pun lepas dari pantauan kedua mataku yang sedang mencari benda itu. Meskipun hanya diterangi cahaya bulan, mata sehatku mampu melihat benda-benda yang ada di sepanjang jalan yang aku lalui.
Tak terasa, aku sudah cukup jauh meninggalkan rumah mencari sandal itu. Namun, mataku tak jua menemukan benda yang aku cari. Peluhku pun sudah membasahi baju yang sedang kupakai. Dinginnya angin malam masih kalah dengan panas yang dihasilkan oleh metabolisme tubuhku.
"Duh, di mana jatuhnya sandal anakku itu? Semoga saja aku sudah menemukannya sebelum sampai di tikungan itu," pikirku di dalam hati.
Mataku terus saja memeriksa seluruh bagian jalan yang berbatu-batu, tapi sandal itu tak jua kutemukan. Hingga akhirnya, dengan ekor mataku aku melihat sesosok bayangan hitam sedang duduk di atas pinggiran jembatan yang terbuat dari adonan semen.
"Permisi ...," ucapku sedikit lebih cepat daripada gerakan menoleh kepalaku karena kalau aku menyapa orang tersebut setelah aku menoleh sempurna, tentunya sudah terlambat. Aku yang sedang berada di atas sepeda tentunya sudah melampaui orang tersebut beberapa meter.
"Ya Allah!!!" pekikku terkejut setelah menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa di atas pembatas jembatan itu. Padahal aku sangat yakin kalau tadi ada seseorang yang sedang duduk di sana. Aku menduga ia adalah salah satu tetanggaku yang sedang beristirahat setelah mengairi sawahnya. Tapi, dugaanku ternyata salah. Nyatanya, tidak ada siapa-siapa di tempat itu.
"Ah ... Barangkali aku hanya salah lihat saja," ucapku pada diri sendiri untuk menghilangkan kecemasanku.
Aku kembali berkonsentrasi mencari sandal Satria. Hingga akhirnya, aku pun sampai di tikungan yang terkenal angker bagi warga di sekitar daerah ini. Saat itu suasana di sana begitu hening. Hanya terdengar suara binatang sawah yang saling bersahutan. Entah kenapa, suhu udara yang semula terasa dingin, kembali menjadi hangat bahkan tenggorokanku menjafi kering kembali. Rasa mual kembali aku rasakan. Aku berusaha menghilangkan perasaan aneh itu. Aku berkonsentrasi memeriksa sekeliling untuk mencari sandal Satria. Benar kata istriku, akhirnya aku melihat sandal Satria tergeletak di tengah jalan tepat di tikungan. Hatinya bersorak.
"Alhamdulillah ... Akhirnya aku menemukan sandal anakku," pekikku di dalam hati.
Dengan penuh semangat aku pun mengayuh sepedaku menuju sandal itu berada. Begitu sampai, aku langsung merengkuh sandal itu dari atas tanah tanpa turun dari sepeda. Setelah berhasil merengkuhnya aku pun segera memutar setir dan segera memasang ancang-ancang untuk kembali ke rumah. Namun, sesuatu terjadi di luar dugaanku. Sepeda yang sedang kunaiki tidak bisa digerakkan ke depan seolah-olah ada yang sedang memegangi di belakang. Keringat dingin pun mengucur deras membasahi pakaian yang aku kenakan.
BERSAMBUNG
Aku memberanikan diri menoleh ke belakang untuk memastikan penyebab terhambatnya putaran roda sepedaku.
“Aneh … Tidak ada siapa-siapa di belakangku. Tapi, kenapa sepeda ini tidak bisa digerakkan maju, ya?”
Kembali aku berusaha mendorong sepedaku ke depan. Namun, lagi-lagi aku mengalami kegagalan. Roda sepedaku tak mau beranjak sedikitpun dari tempatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk memeriksa bagian belakang sepedaku dengan lebih teliti. Terus terang saat ini hawa di tempat tersebut sangatlah tidak nyaman bagiku. Tengkukku merasakan hawa dingin seketika. Aku menundukkan kepalaku agar dapat memeriksa bagian belakang sepedaku terutama di bagian ruji-ruji dan gir belakang.
“Ya Tuhan! Pantas saja sepeda ontelku tidak bisa berjalan. Ternyata ada gulungan benang cukup banyak tersangkut di gir belakang.”
Langsung saja aku menarik gulungan benang itu dari lilitannya terhadap gir belakang. Karena mengalami kesulitan aku pun memutuskan untuk memutuskan benang itu satu persatu, sehingga lepaslah lilitan benang itu dari gir belakang sepedaku. Setelah itu aku pun buru-buru mendorong sepedaku ke depan dan langsung menaikinya.
“Alhamdulillah ….” Akhirnya aku bisa bernapas lega sambil meninggalkan tikungan tersebut.
Aku langsung mengayuh sepedaku dengan keras agar segera sampai di rumah. Namun, baru sekitar dua puluh meteran aku meninggalkan tikungan tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara teriakan minta tolong dari arah tikungan tersebut.
“Toloooooooong!!! … Tolooooooong!!!!” suara teriakan anak kecil itu.
Aku yang sadar betul bahwa tikungan itu letaknya cukup jauh dari pemukiman pun langsung berinisiatif untuk memutar arah sepedaku dan kembali ke arah tikungan itu untuk menolong anak kecil yang teriakannya aku dengar barusan.
“Oooooooiiiiiii?” teriakku begitu aku sampai di tikungan tadi.
Tiba-Tiba aku mendengar suara rumput yang bergesekan dengan sesuatu. Kupusatkan pendengaranku untuk melacak arah suara itu berasal. Ternyata suaranya berasal dari rerumputan yang berada di sebelah timur tikungan. Aku memarkir sepedaku di pinggir jalan itu dan kemudian aku pun berjalan secara perlahan menuju sumber suara ‘kresek-kresek’ itu. Suara itu semakin jelas terdengar di telingaku. Dan pada langkah ke sekian, aku kembali mendengar suara minta tolong.
“Tolooooooooooong!!!!!” Kali ini suaranya semakin keras terdengar.
Kerasnya suara itu membuatku semakin panik. Kali ini tidak hanya berjalan, tapi aku sedikit berlari menuju sumber suara itu. Aku terkejut saat melihat sesosok anak kecil seusia Satria sedang terbaring bersimbah darah di atas rerumputan.
“Ya Allah, Nak! Kamu kenapa?” teriakku panik sambil memeriksa kondisi anak itu yang bersimbah darah.
“To-tolong aku, Pak Bram! Tolong aku!” teriak anak kecil itu sambil menahan rasa sakit.
Tentu saja aku iba melihat kondisi anak laki-laki dengan luka parah di bagian leher itu. Aku pun spontan merobek pakaianku untuk membebat luka menganga di bagian leher anak kecil itu.
“Dari mana kamu tahu namaku, Nak? Kenapa kamu sampai terluka seperti ini?” Aku berusaha mengangkat kepala anak kecil itu agar aku bisa membebat lukanya dengan robekan kain bajuku. Namun, tangan anak itu tiba-tiba mencegahku melakukannya.
“Cukup kamu pegangi lukaku ini, Pak Bram! Tidak perlu dibebat seperti itu.” Anak kecil itu melarangku untuk membebat lukanya.
“Tapi, lukamu harus diperban, Nak! Supaya darahnya tidak semakin banyak yang keluar.” Aku berusaha memberi pengertian pada anak kecil itu.
“Coba kamu pegang dulu lukaku dengan tanganmu, Pak Bram!” Ia kekeuh menyuruhku melakukannya sambil menarik tanganku menuju ke lehernya.
Aku tidak bisa berkomentar saat itu karena waktu berjalan begitu cepat. Terlebih saat bersentuhan dengan tangan anak kecil itu, aku merasakan hawa dingin pada kulitnya. Pertanda ia sudah lama berada di semak-semak itu menunggu pertolongan orang lain. Akhirnya, telapak tanganku pun mendarat di lukanya yang menganga.
“Terima kasih, Pak Bram!” ucap anak kecil itu dengan lirih.
Aku senang akhirnya bisa melihat senyuman manis anak kecil itu. Meskipun masih panjang jalanku untuk bisa memastikan anak itu akan selamat.
“Nak, kira-kira kamu bisa nggak membonceng sepedaku? Aku akan membawamu ke Puskesmas. Kalau kamu nggak kuat, biar aku akan meminta tolong kepada tetanggaku yang punya becak untuk membawamu ke Puskesmas,” ucapku berusaha menenangkan hati anak itu.
Anak kecil itu kembali tersenyum.
“Tidak usah, Pak Bram. Aku sudah sembuh kok!” jawabnya dengan santai.
“Tidak, Nak! Kamu harus tetap dibawa ke Puskesmas agar kamu benar-benar pulih total. Nanti kalau kamu sudah di Puskesmas, aku yang akan menghubungi keluargamu.” Aku mencoba menjelaskan kepada anak itu.
“Tidak, Pak Bram. Aku sudah sembuh. Coba kamu lepas tanganmu dari leherku! Kamu akan melihat kalau lukaku sudah sembuh.” Anak kecil itu berkata dengan sedikit ngotot.
Aku tersenyum kepada anak kecil itu. Aku memaklumi bahwa saat ini ia sedang berhalusinasi. Mungkin lukanya yang parah itu yang menyebabkan ia ngelantur seperti itu. Aku merasa semakin sedih melihat ia mengigau seperti itu. Terlebih ketika kurasakan lehernya semakin dingin saja. Aku memutuskan untuk buru-buru meminta pertolongan Mang Salim yang rumahnya paling deka dari sini dan memiliki kendaraan becak di rumahnya untuk digunakan mengangkut anak kecil ini ke Puskesmas terdekat.
“Nak, bapak mau panggil teman bapak dulu ya? Teman bapak punya becak di rumahnya. Jadi, nanti kami akan membawa kamu ke Puskesmas dengan menggunakan becak teman bapak itu.” Aku berkata sambil menarik tanganku dari leher anak kecil itu.
Anak itu tersenyum simpul sedangkan aku terkejut luar biasa.
“Astagfirullah!!!!” Aku terkejut karena menyaksikan luka menganga di leher anak kecil itu sudah tertutup dengan sempurna.
“Ke-ke-kenapa?” Aku berkata dengan terbata-bata.
“Pak Bram tidak usah kaget seperti itu. Aku memang sudah sembuh karena sudah ditolong oleh Bapak.”
Anak kecil itu kemudian bangun. Aku yang masih syok dengan pemandangan yang baru saja aku lihat di depan mataku pun mundur secara perlahan menjauhi anak kecil itu.
“Ka-kamu siapa?” tanyaku dengan terbata-bata.
“Pak Bram tidak usah takut kepada aku! Aku mau berterima kasih kepada Bapak. Kalau tidak ditolong oleh Bapak, mungkin aku akan tetap di sini selama berpuluh-puluh tahun.”
“Berpuluh-puluh tahun?” Aku semakin kebingungan saja mendengar perkataan anak kecil itu.
“Iya, Pak! Selama ini aku sudah sering minta tolong kepada orang-orang yang lewat di sini, tapi mereka malah lari. Sekalinya ada yang mau menolongku, mereka tidak bisa melihatku. Hanya Pak Bram yang bisa melihatku.” Anak kecil itu kembali berkata sambil berjalan ke arahku.
Aku mulai merasa ada yang aneh dengan anak kecil itu. Mulai dari suhu tubuhnya yang dingin, lukanya yang sembuh secara ajaib, dan juga teror-teror yang terjadi di tikungan ini selama belasan tahun ini.
“Ja-ja-jadi ka-kamu ini adalah…” Aku berkata dengan terbata-bata sambil memundurkan tubuhku menjauhi anak kecil itu. Akhirnya tubuhku membentur sepedaku yang aku parkir tadi.
“Iya, Pak Bram. Aku ini bukan manusia biasa seperti Pak Bram,” jawab anak kecil itu dengan entengnya.
“Hantuuuuuuuuuuuuuuuuuuu …” teriakku sambil mendorong dengan cepat sepeda ontelku dan kemudian aku naik ke atas sepedaku dan kukayuh sepedaku sekuat-kuatnya.
Aku sudah tidak memperdulikan lagi suara apapun yang aku dengar. Fokusku kali ini adalah lari dari hantu anak kecil itudan buru-buru sampai di rumah. Entah kenapa, kayuhan sepedaku tidak seringan biasanya. Seolah-olah ada yang sedang membonceng di belakang. Tapi, kali ini aku tidak berani menoleh ke belakang lagi.
BERSAMBUNG
Kira-Kira novel ini ada yang baca nggak, ya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!