NovelToon NovelToon

Sistem Yang Merubah Nasib

Chapter 1_ Hari yang malang

Setelah berhenti dari sebuah sekolah swasta tempat dia menjadi salah seorang guru honor, Haris melanjutkan kehidupannya menjadi seorang petani.

Honor yang cuma berkisar tiga ratus ribu per bulannya, tidak lagi memadai dan mencukupi untuk membiayai hidupnya beserta keluarga kecilnya.

Namun hal yang paling mendasar sebagai alasan dari semua kebuntuan itu adalah sikap dan prilaku pimpinan terhadapnya yqng dirasa kurqng baik dan kurang saat mendukungal saat Haris dqn keluarga kecilnya berada disana.

Seringkali dia harus berada pada suasana dilema, antara harus pergi atau tetap bertahan.

"Sebenarnya aku merasa cukup sedih kalaulah harus meninggalkan profesi, terlebih lagi tempat aku telah mengabdi ini.

Aku sudah terlanjur punya hubungan yang erat secara emosional, dengan para muridku yang bagiku sudah seperti anak anakku sendiri.

Suasana sekolah yang memiliki metode bermalam di tempat, atau sekolah berasrama, benar-benar telah membuat ikatan yang terjadi antara aku sebagai guru kepada para muridku, sangat dekat layaknya keluarga.

Alasan itulah yang membuat aku selalu terhalang untuk keluar dari tempat ini, untuk mencari pekerjaan lain.

Alasan itu pula yang membuat suasana, dimana hatiku menjadi begitu berat untuk meninggalkan tempatku mengabdi beberapa tahun belakangan ini, meski karenanya pahit getir kehidupan yang sangat kental dan begitu keras harus aku tanggung dan rasakan disini.

Namun kebutuhan dan keutuhan keluargaku saat ini lebih mendesak, karenanya hal ini mengharuskanku untuk tetap mengambil pilihan keluar dari tempat ini, walaupun rasanya cukup berat.

Honor yang sangat kurang dan jam terbang yang full time 24 jam, benar-benar membuatku tidak bisa mengambil penghasilan sampingan di luaran, untuk menutupi kekurangan kebutuhan belanja keluarga kami."

Begitulah suasana suara hati dan jeritan batin Haris saat sedang berada dalam dilema akan keadaannya itu.

Terkadang rasa ingin pergi dari tempat itu lebih kuat dan dominan, namun di saat yang lain pula, tidak jarang rasa ingin bertahan dan sabar untuk menerima semuanya, menjadi pemenang dalam perdebatan hatinya itu.

Semua dilema yang Haris rasakan bukanlah sesuatu yang tidak beralasan.

Untuk uang sejumlah tiga ratus ribu sebulan, Haris harus bekerja dengan banyak profesi, mulai dari guru biasa, guru pengawas yang mengawasi hukuman murid bila ada anak yang melakukan indisipliner, seperti pelanggaran berupa bolos sekolah atau tidak masuk kelas, keluar komplek sekolah, dll.

Profesi lain yang harus dia kerjakan adalah mengantar dan mengurusi urusan surat menyurat, baik ke kantor pemerintahan, ke sekolah lain, kerumah orang tua murid atau ke dinas yang mengayomi bidang pendidikan di sekolah tempatnya mengabdi.

Beban tugas lainnya yang dia pikul adalah sebagai tata usaha dadakan, sebab seringkali Haris disulap menjadi pemungut uang sekolah dari semua murid.

Lalu ada pula tugas tak tertulis untuknya, yakni sebagai pengantar murid yang sakit ke rumah orang tuanya, termasuk menjadi satpam menjaga dan mengawasi gerbang sekolah dan kegiatan lainnya.

Bagitupun hati Haris tidak pernah mengeluh sebelumnya, sampai pernah terjadi satu peristiwa yang menimpanya.

Peristiwa itu terjadi, saat berada di sekolah tepatnya setelah gajian di sekolah, karena perutnya saat itu terasa sakit, Haris terpaksa pergi ke sungai yang merupakan pemandian umum atau pusat kegiatan MCK di sekolahnya.

Naas hari itu entah bagaimana ceritanya, gaji yang dia terima terjatuh atau hanyut, tidak dia ketahui secara jelas.

Setelah lelah mencari seharian akan tetapi yang dicari tidak juga di temukan, maka dengan mengumpulkan semua keberanian dalam dirinya, Haris menghubungi pihak yayasan untuk meminta bantuan.

Setelah menceritakan nasib malang yang menimpanya, dia meminta tolong agar pihak yayasan membantunya memberikan pinjaman, tetapi malang tak dapat di elak untung tak dapat diraih keinginannya berbuah kekecewaan.

" Pak Yayasan saya terkena musibah har8 ini, uang gaji bulan ini yang baru saja saya terima hilang atau tercecer entah di mana. Saya sudah mencari-cari ke tempat yang saya perkirakan merupakan tempat jatuhnya uang itu, tapi tetap saja tidak ditemukan, jadi saya bermaksud untuk meminjam pada pihak yayasan.

Saya berjanji akan mengganti kembali uang itu dengan potongan gaji tiap bulannya Pak."

"Oh tidak bisa, semua uang itu sudah pas begitu dan semua orang sudah dibagi sesuai dengan honorarium jam mengajarnya."

Tapi saya benar-benar tidak punya uang lagi Pak, bagaimana saya dan keluarga bisa bertahan satu bulan ini, sementara saya hanya bekerja di sini dan Bapak sebagai pihak yayasan adalah pengayom bagi kami para guru-guru, yang tentunya hubungan ini sudah seperti orang tua kepada anaknya. Kalau bukan kepada Bapak kepada siapa lagi saya minta tolong.?"

"Iya tapi memang sedang tidak ada uang lagi Pak Haris, sama sekali tidak ada lagi uang. Itu sudah dibagikan pas begitu.

Jadi mau bagaimana lagi.?"

"Lalu bagaimanalah Pak saya dan keluarga saya selanjutnya ini.?"

"Entah saya pun tidak tahu lagi memikirkannya, kalau sudah begini."

Dengan hati pilu dan rasa sesak di dada Haris pulang ke rumah tempat tinggalnya, tetapi bayangan keluarganya yang akan kelaparan kalau segera tidak ada solusi, menggerakkan hati dan langkah kakinya untuk pergi ke arah perumahan penduduk di luar komplek sekolahnya, untuk meminjam sejumlah uang sebagai pengganti gajinya yang telah hilang.

Sesampainya di rumah salah seorang warga, setelah mengucapkan salam dan dipersilahkan masuk, Haris masih belum berkata apa apa, tetapi air matanya telah tumpah ruah.

Melihat hal tersebut warga pemilik rumah heran sehingga langsung bertanya.

"Ada apa pak Haris? kenapa bapak menangis"

Dengan bibir bergetar Haris berkata

"Uang gaji saya untuk bulan ini hilang pak!

Saya tidak tahu persis di sekitar mana hilangnya, saya sudah seharian ini mencari dan berulangkali berputar disana."

Haris lalu menceritakan semua proses dan rute perjalanan pencariannya hari itu, termasuk usahanya yang sudah berulang kali menelusuri jalan jalan tempat yang dia lalui seharian penuh untuk mencari.

Warga penduduk itu mendengar dan menyimak penuturan Haris dengan seksama,

menunjukkan sikap simpati yang tampak pada ekspresi wajahnya.

Haris yang memang begitu terpukul hari itu juga menceritakan penolakan pihak sekolah untuk memberinya bantuan berupa pinjaman.

Lalu dengan sikap yang terpaksa merendahkan dirinya, karena merasa khawatir kalau keluarganya tidak punya bekal makanan untuk dimakan sebelum gajian berikutnya, dia menyatakan maksudnya untuk meminjam sejumlah uang dari warga tersebut.

"Jadi kalau boleh meminta tolong, saya mau meminta tolong sama Bapak, untuk meminjamkan saya sejumlah uang untuk beberapa waktu lamanya, yang mana uang itu akan saya kebalikan nantinya setelah gajian pak."

Dengan senyum yang begitu hangat tersungging di bibirnya, Pak Tua yang dia temui berkata

"Sebentar ya Pak Haris saya ambilkan".

Begitu mendengar ucapan Pak Tua warga desa tersebut, Haris rasanya ingin sekali langsung bersujud, karena begitu bersyukur tetapi dia malu dengan pemilik rumah.

Tidak butuh waktu yang lama bagi Pak Tua itu untuk keluar dari kamar rumahnya yang memang kecil, sehingga segera dia sampai kembali ke posisi duduknya semula di dekat Haris.

Dengan tangan tertutup Pak Tua itu menyerahkan uang, sejumlah tiga ratus lima puluh ribu rupiah dalam keadaan gulungan bulat yang di ikat dengan karet.

Sambil menggenggam tangan Haris, Pak Tua itu berkata

"Ini Haris saya beri ya, bukan pinjam, kalau bapak kembalikan saya akan tersinggung."

Mendengar perkataan Pak Tua warga desanya yang begitu tulus, jiwa Haris sempat bergetar tak tahu lagi mau berkata apa apa, selain kata terima kasih yang berulang kali dia ucapkan.

Haris tidak menyangka si bapak yang bila dilihat dari keadaan rumahnya itu, sebenarnya tidaklah begitu jauh lebih mapan dari segi ekonomi dibandingkan dengan dirinya, tetapi punya hati yang sangat luar biasa.

"Ya Tuhanku beri aku rezeki yang lapang agar aku kelak bisa membalas kebaikan Bapak ini."

Haris berdo'a dalam hatinya.

Chapter 2_Perlakuan yang tidak adil

Dengan penuh rasa syukur, Haris sangat berterima kasih atas jalan yang Tuhan berikan

Tetapi kejadian hari ini juga membuka matanya, membawanya merenungkan tentang segala kejadian yang telah dia lalui.

Bahwa boleh jadi terkadang orang yang tampak berpendidikan itu, justru seringkali tidaklah lebih terdidik jiwanya untuk mampu memberikan kepekaan dan rasa kasih pada sesama.

Orang yang senantiasa bersama melewati lembaran kehidupan baik dalam wadah dan lingkungan yang sama, belum tentu akan menjadi orang yang akan lebih dekat pada kita dalam hal hati dan perasaan.

Haris sama sekali tidak memberitahukan dari siapa pinjaman uang itu dia dapatkan dan hanya menyatakan ada orang baik yang memberinya,.

Sebenarnya Haris baik dari dirinya maupun istrinya, masih punya jalur kekekerabatan yang masih sangat dekat, pada sosok pengelola yayasan tempat dia bernaung sebagai guru honor disana.

Namun kesenjangan perbedaan status sosial, seringkali menjauhkan sebuah hubungan kekerabatan yang bahkan tadinya sangat dekat.

Pikiran Haris kini teringat akan ajakan ibu mertuanya, yang menyebutkan bahwa mereka punya bahagian tanah dari mertuanya tersebut, sebagai bahagian dari si Diana isitrinya.

"Jadi Ris, karena kalian sudah menikah dan hidup bersama, kenapa tanah itu tidak dibangun saja agar jadi kebun yang produktif seperti sawit atau pohon karet atau apapun daripada dibiarkan saja menjadi hutan.?"

Ucapan ibu mertua Haris itu kembali terngiang di telinganya.

"*Haahh telah bertahun lamanya sejak ajakan itu disebutkan oleh ibu, namun aku diamkan begitu saja, karena tidak ingin bergantung pada mertua.

Tetapi setelah melihat fakta hari ini, bahwa ternyata loyalitas atau kesetiaan itu tidaklah timbal balik, yakni dua arah antara aku dan pimpinan, maka sepertinya aku sudah harus menyisihkan waktu untuk keperluan dan masa depanku kelak bersama keluargaku*."

Haris mulai terbuka hatinya, untuk membangun lahan yang menjadi bahagian istrinya tersebut, menjadi kebun karet.

Harispun telah mulai membawa bibit karet, ke lahan kosong yang akan dia jadikan kebun.

Pkiran polosnya rentang pertanian, membuatnya berpikir agar cepat bisa di ambil manfaatnya, maka dia sengaja menanam bibit yang telah cukup besar seukuran, pergelangan kaki orang dewasa.

Tentu karena itu dia harus mengeluarkan tenaga lebih dan jumlah bibit yang akan dia bawa ke lahannya, juga menjadi sangat terbatas

Untuk beberapa saat Haris terus menyisihkan waktunya.

Disaat saat luang saat jadwal mengajarnya kosong, Haris pergi ke kebun untuk membawa dan menanam bibit pohon karet.

Di suatu hari saat Haris sedang tidur malam, dia dibangunkan oleh salah seorang murid untuk menghadap kepala sekolah, yang memang juga tinggal di area sekolah, sebagai anggota keluarga pemilik sekolah itu sendiri.

"Pak ... Pak...!

Pak Haris dipanggil pak kepala"

"Iya berangkatlah lebih dulu, sebentar lagi bapak akan datang menyusul"

Ucap Haris tampak tak berdaya.

"Ada apa sih bang ? sudah malam begini, masih saja di panggil dasar tidak tahu aturan dan tidak tahu waktu.

Pasti abang akan disuruh menjaga anak anak yang dihukum lagi, karena ketahuan keluar komplek, lalu abang tidak akan tidur semalam, tetapi besok mereka tidak akan mau tahu, abang yang tidak tidur semalaman juga harus masuk mengajar seperti biasa.

Ini sih bukan menjaga hukuman, tetapi abang yang dihukum.

Anak anak ini mereka bergantian menjalani hukuman, sementara abang yang jadi korban untuk terus mengawasi mereka, jadi intinya abang yang dihukum."

Haris hanya bisa pasrah pada apa yang disebut oleh istrinya, semua itu memang adalah kebenaran, terkadang dia harus tidak tidur selama berminggu minggu hanya untuk menjaga apa yang disebut hukuman itu.

Baik istri dan anaknya yang umurnya masih hitungan bulan harus ditinggal sendiri dirumah, pernah dia beberapa kali mempertanyakan atau yang lebih tepatnya disebut sebagai protes itu, dengan maksud agar jadwal menjaga hukuman murid yang melanggar itu dibagi pada guru lain, selalu jawaban dan alasan yang dia peroleh adalah

"Ini perjuangan pak Haris, kita sedang berjuang.

Kita harus sabar pak Haris, karena kita ini sedang berjuang"

Faktanya apanya yang berjuang?

Pihak pengelola sekolah kalau makan di rumah makan mudah menghabiskan uang sejumlah dua sampai tiga bulan gajinya bahkan lebih, sementara Haris dan keluarganya tiga ratus ribu itulah untuk segalanya dan untuk mendapatkannya dia harus full time disana, tidak ada waktu untuk bisa mencari tambahan di luar.

Selain itu dia harus menyiksa matanya, tidak tidur entah sudah berapa malam lamanya, kalau harus di total seluruhnya.

Sementara di saat yang sama si pimpinan tidur nyaman dan bobok cantik di tempat tidur empuk, dengan kehangatan selimut tebal dan pelukan isitrinya.

Menyadari semua itu, hati Haris semakin berontak atas ketidak adilan yang dia terima.

Seringkali terjadi ada saat dimana setelah malamnya dia tidak tidur karena menjaga hukuman, saat dia mengganti waktu tidurnya pada pagi harinya karena memang tidak ada jadwal mengajar.

Di saat masih nyenyak terlelap dalam tidur, istrinya yang sedang mencuci mendengar panggilan murid, yang mengatakan bahwa kepala sekolah menyuruh memanggil Haris agar mengimpal, atau menggantikan guru yang berhalangan hadir, untuk mengajar di kelas.

"Pak....! pak Haris, bapak disuruh masuk ke kelas kami pak, bu' Is ngak bisa datang hari ini."

Lagi lagi haris harus jadi korban, seperti biasanya.

Setelah beberapa hari menanam pohon karet, kegiatan Haris mulai terpantau dan diperhatikan pihak yayasan.

Selama ini dia bisa cukup bebas, karena pihak ketua yayasan, sedang melakukan perjalanan jauh ke luar kota.

Di suatu pagi hari seperti biasanya, karena kosong jadwal mengajar dan telah satu malam penuh menjaga murid yang dihukum, Haris mengganti tidurnya di pagi itu.

Tak lama terdengar namanya dipanggil lewat corong TOA rumah milik ketua yayasan, yang merupakan ayah dari kepala sekolah.

Panggilaan dengan cara yang tidak hormat itu sangat menyakitkan, seolah yang dipanggil berulang kali dengan cara tidak hormat dan memalukan itu, adalah murid yang sudah berulang kali membuat masalah berat di sekolah.

Tak pelak panggilan itu bisa di dengar semua makhluk yang memiliki telinga di sekolah itu.

Chapter _3 : Akhir yang buruk

Merasa kecewa atas perlakuan tersebut, Haris segera berangkat dengan perasan yang begitu dongkol.

Sesampainya disana dia memasuki area teras rumah ketua yayasan, lalu duduk di sofa yang ada diluar, sambil menanti pak tua itu keluar dari rumahnya, setelah dia mengucapkan salam sebelumnya.

Tampak dari depan rumah yayasan yang memang berhadapan dengan kantor sekolah , beberapa orang sedang melihat ke arahnya dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.

"Memanggil guru kok seperti memanggil murid bermasalah.

Dimana letak pendidikan yang tinggi itu diterapkan."

Haris masih begitu dongkol.

Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri untuk beberapa saat, barulah hatinya yang dongkol itu perlahan berangsur membaik.

Sempat termenung beberapa saat, tiba tiba dia segera dikejutkan oleh suara ketua yayasan yang meninggi dan setengah membentak mengatakan.

"Bagaimana sih kamu, masih mau kerja ngak?

"Ada apa ya pak? saya kurang tahu duduk permasalahannya apa.!

"Ada apa ada apa... itu anak anak berkeliaran kesana kemari ngak ada gurunya."

"Oh kalau itu saya tidak tahu pak, karena memang saya tidak ada jadwal mengajar hari ini, di tambah tadi malam saya menjaga hukuman anak anak sampai shubuh di pagi hari.

Anak anak itu dihukum karena mereka keluar kompleks dan semua itu atas perintah pak kepala sekolah pak, makanya pagi ini saya begitu ngantuk sehingga pergi tidur.

Sebelumnya di malam malam yang lewat, saya juga tidak bisà tidu pak, sedangkan di pagi harinya saya juga harus masuk mengajar pak.

"Kalau sudah tidak mau mengajar bilang."

"Maksudnya bagaimana ya pak?"

"Maksudnya kamu dipecat...!!!!"

"Baiklah pak terima kasih atas semuanya selama ini, mohon maaf kalau saya ada salah selama ini permisi."

Haris pulang kembali ke rumahnya dan dia mengatakan semuanya kepada istrinya, segera setelahnya mereka berkemas.

Tanpa ada kata perpisahan ataupun pelepasan yang baik dan layak, Haris beserta keluarga kecilnya pergi dari sana, tanpa ada satupun yang mengucapkan kata perpisahan.

"Kejj sekali perbuatan orang orang ini ya bang? Adek sedih lho bang, tak ada artinya semua apa yang kita perjuangkan selama ini."

"Biarlah dek, orang orang itu sedang mabuk akan kekuasaannya dan menindas kita yang lemah, berdo'a saja agar keadaan kita akan lebih baik kedepannya."

"Iya bang, semoga dengan perginya kita dari tempat itu, hidup kita akan lebih baik dimasa depan."

Setelah keluar dari sekolah untuk beberapa saat Haris dan istrinya tinggal bersama orang tua Diana, namun tidak butuh waktu lama agar hubungan itu rusak.

Di dunia ini tidak banyak mertua yang bisa sabar dan tahan, dengan anak menantu yang tidak punya duit.

Ketiadaan harta dunia adalah dosa yang sangat besar dalam pandangan dunia hedonis, kebijaksanaan dan kearifan pemikiran tidak akan berarti apa apa jika seseorang miskin.

Seperti sebuah ungkapan yang walqupun itu sangat menohok memang, tetapi hal itu bisa dilihat dalam kenyataan, yakni bahwa " kentut si kaya lebih disukai daripada, ucapan bijak si miskin".

Semua yang Haris lakukan akan selalu salah di mata mereka

"Dia tidak tahu tahu apapun soal bertani, apapun."

Ayah mertua Haris protes pada Diana yang mana menurutnya Haris sangat bodoh dan lamban dalam hal bertani.

"Sabarlah pak, namanya juga masih belajar."

"Elleh belajar apa?

Apakah mulut harus belajar untuk makan?

Hari hari dalam kehidupan Haris bersama mertua, bukan lagi sesuatu yang bisa di toleransi.

Semua saudara dari pihak keluarga Diana, tak terkecuali kakak dan adik ipar Haris bahkan mulai tidak menjaga dalam bertutur kata.

Hanya sikap manis dan pengertian istrinya yang menjadi obat penawar dari semua itu.

Pada akhirnya beberapa hal akhirnya memaksa mereka, harus menyewa sebuah rumah sendiri berupa gubuk namun masih di kampung itu.

Suatu hari Haris pergi ke kebun yang beberapa tahun belakangan dia usahakan, begitu bahagia hatinya saat tiba disana mendapati daun pohon karetnya telah begitu rimbun.

Cabang dan ranting yang kecil dari satu pohon, telah bertemu pada pohon lainnya.

"Ahh... akhirnya tidak lama lagi pohon karetku ini akan besar dan aku akan bisa menyadari getah karet dari kebunku sendiri, sehingga tidak perlu memberi bahagian pendapatannya pada orang lain."

Haris tersenyum puas, betapa senang hatinya dan begitu riang, sehingga rasa lelahnya dalam membawa dan menanam bibit pohon karet, ke lahan kebun yang cukup jauh dari perkampungan ini sejak dahulunya, seolah terobati dan terbayar sudah.

Matanya merasa sejuk melihat warna hijau daun karet, yang terhampar di atas areal seluas dua hektar tersebut.

"Hmm.... perutku rasanya sudah minta di isi."

Haris membuka bekal nasi bontot yang sedari tadi dia bawa dari desanya, rasa lelah berjalan sejauh tiga jam lebih perjalanan telah membuat perutnya meminta di isi.

Sebab sejak pagi dia belum makan, kecuali sarapan segelas teh manis dan dua goreng panas di warung kopi yang ada di desanya.

Tentu energi yang dihasilkan oleh sarapan semacam itu, sudah habis dipakai untuk perjalanan naik turun gunung yang curam, selama tiga jam lebih jarak perjalanan tersebut.

Nasi terasa begitu lezat meski lauk hanya seadanya, begitulah keadilan tuhan ada kalanya seseorang diberi bendanya tetapi tidak rasanya, disisi lain tuhan tidak memberi kepada seseorang bendanya tapi diberikan rasanya.

Misalnya ayam rasanya akan menjadi biasa biasa saja, bagi orang yang sering makan ayam, tetapi akan berbeda bagi orang yang jarang jarang makan ayam.

Artinya orang yang betul betul tahu lezatnya rasa ayam, adalah mereka yang jarang makan ayam, tetapi memang merasa suka makan ayam.

Perasaan yang sama tidak akan bisa di rasakan oleh orang yang saban hari makan ayam, yah begitulah keadilan tuhan boleh jadi bagi seseorang diberi bendanya tetapi tidak rasanya.

Setelah selesai makan Haris menyulut api rokoknya, sebelumnya dia bukanlah orang yang aktif merokok, tetapi suasana pekerjaan di hutan semacam itu, dimana ada begitu banyak nyamuk membuat merokok adalah semacam suatu hal yang wajib.

"Haaaahhhh banyak sekali nyamuk di hutan ini, dulu sewaktu mengajar aku tidak akan di kerumuni nyamuk sebanyak ini, tetapi pikiranku disana di bebani dan di tekan begitu kuat, sedangkan disini aku bebas berbuat apapun yang aku suka dan pikiranku tidak akan begitu lelah."

Sekilas ingatan akan masa lalu melintas dalam ingatan Haris.

Merokok di kebun ini memang cukup baik, selain bisa mengusir nyamuk, suasana terasa menjadi ramai.

Asap khas yang dihasilkan rokok ini juga bisa menunjukkan keberadaan seorang manusia, sehingga beberapa hewan seperti ular dan sebagainya akan menjauh.

Setelah tadi sempat teringat akan masa masanya dahulu saat mengajar, kini Haris memikirkan hal yang lain pula, yakni sesuatu tentang rokok yang masih berada dalam genggamannya.

Dengan keberadaannya yang sendirian, di kebun yang masih di kelilingi oleh hutan tersebut.

Haris mengingat sebahagian orang orang tua dikampungnya, yang entah serius atau bercanda mengatakan, bahwa setan yang ada di hutan juga akan menjauh kalau asap rokok mengepul.

Jadi kalau setelah seorang petani merokok, lalu masih ada yang berkata bagi sebatang dong, maka dipastikan itu bukan setan.

"He... he .. he.."

Haris tertawa sendiri saat mengingat ucapan orang tua di kampungnya itu.

Sewaktu masih menikmati rokoknya lamunan Haris telah sampai pula jauh ke depan, dia melihat seolah dia sudah memikul getah karet yang begitu berat di pundaknya.

Baru saja dia tersenyum membayangkan keadaan itu, tiba tiba suara yang sangat kasar yang ditimbulkan oleh dedaunan kering yang seolah dikais oleh sesuatu di bawah, begitu mengejutkan dan membuyarkan lamunannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!