“ Bukankah kamu sift malam?”, tanya Beni bingung sambil menunjuk ke arah Airin yang dilihatnya berada di studio pagi ini.
“Aku bertukar dengan Siska, ia mendadak ada acara, jadi ku handle tugasnya sebagai program director”, jawab Airin lalu ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruangannya di bagian produksi. Baru saja ia duduk dan melepaskan jaket juga tasnya, seorang wanita berdiri tepat di belakangnya dan menatap Airin tajam.
“Sangat menyebalkan ketika aku tahu kamu masuk pagi ini dari orang lain”, ucap Bianca pada Airin sambil membawa tumpukkan kertas di tangannya, seluruh orang di studio mengetahui bahwa Airin dan Bianca bersahabat sejak mereka pertama kali menginjakkan kakinya untuk melamar pekerjaan di studio ini.
“Jangan ganggu aku dan bekerjalah, aku ingin segera pulang agar bisa pergi bersama Billy”, balas Airin sambil menopang kedua dagunya dan membayangkan kekasihnya. Bianca menyingkirkan apapun yang sedang dipegang oleh Airin dan menariknya pergi bersamanya.
“Bantu aku terlebih dahulu mengisi voice over, Pak Beni memintaku menyerahkannya jam sepuluh pagi ini”, rengek Bianca pada Airin yang sedang mempersiapkan diri untuk mengerjakan tugasnya.
“Kerjakanlah sendiri, aku harus mengerjakan banyak hal bodoh” tolak Airin dengan sedikit mengejek namun Bianca tak peduli, ia terus saja menarik tangan Airin dan tak melepaskannya, mereka berdua masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan “Voice Over Room” dimana hanya ada Bianca dan juga Airin didalamnya.
“Kalau aku melakukannya bersama mu maka semuanya akan cepat selesai, kamu pengisi suara terbaik di studio ini Airin. Bantulah sahabatmu yang bodoh ini”, pinta Bianca pada Airin sambil sedikit merengek seperti anak kecil. Ditolakpun percuma saja, Airin tak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan sahabatnya itu.
Pengisian suara cukup cepat dilakukan, beberapa iklan yang akan ditayangkan di tv pada akhirnya selesai kurang dari setengah jam. Bianca mengeditnya sedikit lalu menyerahkannya pada Pak Beni.
“Sudahlah aku harus mengerjakan bagianku”, seru Airin berjalan keluar dari ruang vo.
Waktu berlalu degan cepat, dua program acara telah selesai. Kini Airin sangat sibuk dengan mengedit naskah untuk acara di Tim 3, timnya sendiri. Tiba tiba sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya, maksud hati tak ingin menghiraukannya namun pesan itu datang lagi dan lagi yang berhasil mengalihkan perhatiannya.
Billy : [ Sepertinya aku sedikit terlambat dan tak bisa menjemputmu. Bisakah kamu pergi sendiri ke restauran itu? ]
Airin : [ Tak perlu memaksakan diri kalau tak bisa. Jika terlalu malam, kita batalkan saja dan ganti lain waktu ] balas Airin dengan wajah sedikit kecewa namun masih berharap.
Billy : [ Jika ku batalkan namun kita bertemu di apartemenmu bagaimana? ]
Airin : [ Ok, See you there ]
Billy : [ See you soon. Love you]
Sinar matahari mulai padam dan terbenam seutuhnya pukul enam sore, waktu bagi Airin untuk pulang dan melanjutkan pekerjaannya esok hari, mengingat Billy akan datang ke apartemen miliknya, ia segera membersihkan dirinya dan juga rumahnya serta mulai memasak untuk makan malam mereka berdua. Setelah segalanya terlihat rapi dan bersih, Airin meluruskan kedua kakinya dan bersantai sambil menunggu Biily datang, meski sedikit lama namun Airin tetap menunggu ditemani ponselnya yang ia mainkan.
Tepat pukul delapan malam, suara pintu terbuka, Billy masuk begitu saja ke dalam rumah Airin karena ia mengetahui kata sandinya, Billy datang bersama dua kantung keresek ditangannya. Seorang pria tinggi tegak kini berada di hadapannya.
“Apa yang kamu bawa?”, tanya Airin berjalan mendekat pada Billy, membantunya membawakan dua kantung keresek di tanggannya.
“Ayam, pizza dan juga bir lalu minuman beralkohol lainnya”, jawab Billy
“Kamu sudah makan?”, sambungnya
“Sudah, namun untuk ayam dan juga pizza akan selalu ada ruang didalam perutku”, jawabnya singkat sambil memegang lemak pada perutnya yang tertutup kaos putih yang dikenakannya, wajahnya yang terlihat tak sabar membuka ayam dan juga pizza yang menjadi menu favoritnya, ditambah bir dan juga minuman beralkohol yang sangat serasi dengan makanannya.
Mereka berdua melewati malam bersama sama, Airin masih terus terjaga bahkan meski ia mulai mabuk sekalipun akibat bir dan juga alkohol yang telah dimunumnya. Mengingat bahwa besok Airin sift malam, Billy bisa lebih lama menemani Airin di apartemen milik kekasihnya itu. Namun ia tak bisa lagi berlama lama karena ia pun sudah mulai mabuk, tak mungkin ia menyetir dalam keadaan mabuk atau sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Sudah hampir jam dua Airin, aku harus pulang”, ucap Billy lembut pada Airin yang masih berusaha meneguk segelas alkohol yang telah habis itu.
“Ah.. Tidak, jangan tinggalkan aku. Menginaplah disini”, rengek Airin sambil memegangi tangan Billy yang berdiri dan hendak mengambil jaket miliknya.
“Besok aku harus bekerja, tak mungkin juga aku menginap sayang”, balasnya lalu mencium kening Airin yang telah mabuk sepenuhnya. Airin masih tetap memegangi Billy bahkan ia berdiri lalu memeluk kekasihnya itu agar tak pergi meninggalkannya, sambil terus merengek agar tak ditinggalkan Airin terus mendekap Billy.
“Akan sangat berbahaya jika aku menginap Airin, hal buruk akan terjadi padamu”, bisiknya yang membuat Airin kegelian dan menarik langkahnya sedikit menjauh.
“Takkan ada yang terjadi padaku. Jadi tinggallah lebih lama”, pinta Airin dengan terus berusaha mempertahankan kesadarannya disaat ia mabuk sepenuhnya, wajah Airin yang seperti orang linglung sangat menggemaskan di hadapan Billy, bahkan untuk berdiri saja sulit baginya karena dibawah pengaruh alkohol.
“Aku adalah pria yang pemalu Airin, kamu tahu itu. Namun bersamamu aku mungkin dapat melewati batasanku” seru Billy menatap tajam Airin dan langsung mengecup bibir Airin dengan lembut. Maksud hati benar benar melakukannya dengan lembut namun Billy pun sedikit dikuasai alkohol, membuatnya mencium Airin dengan sedikit lebih rakus.
Billy memapah Airin masuk ke dalam kamarnya dan menidurkannya di kasur, ia sadar bahwa dirinya hampir saja melewati batasannya. Billy menyelimuti Airin lalu mematikan lampu kamarnya, segera ia pergi dari apartemen Airin sebelum benda kecil dalam dirinya bangkit dan berdiri dengan tegak.
“Sial, aku benar benar harus pergi dari tempat ini, dia selalu saja seperti ini saat mabuk”, gerutunya kesal karena ia tak bisa melakukan apa yang diinginkannya.
Tepat pukul empat sore Airin telah bersiap pergi bekerja, bersama mobil pribadinya ia berangkat dari apartemennya menuju kantornya yang berada di Surabaya Timur, suasana macet yang cukup panjang selalu terjadi di Surabaya, bagaimana tidak, Surabaya dinobatkan sebagai kota metropolitan No 2 di Indonesia. Namun di tengah percalanan, Airin merasakan kepalanya mulai berdenyut dan perlahan sakit dikepalanya semakin terasa, bahkan darah pun ikut keluar dari hidung Airin ditengah kemacetan itu.
“Hah.. Apa ini? Darah?”, tanya Airin terkejut ketika lendir berwarna merah itu seketika turun keluar dari kedua lubang hidugnya. Airin segera mengambil tisu lalu menyeka darahnya itu dengan tisu. Perlahan sakit di kepalanya hilang dan pandangan Airin kembali normal seperti sebelumnya.
“Ada apa denganku? Mengapa mendadak aku pusing dan mimisan?”, tanya Airin bingung pada dirinya sendiri. Airin mengabaikan alarm tubuhnya dan tak menghiraukannya, ia menganggap bahwa sakit kepala dan mimisan bukan hal yang penting dan tak perlu terlalu ditanggapi olehnya. Airin bekerja seperti biasanya, ia juga harus bersiap untuk pergi ke Kantor Gubernur Jawa Timur untuk meliput sebuah rapat disana bersama timnya.
Wajahnya yang cukup pucat tertangkap basah oleh Bianca yang saat itu berpapasan dengannya ketika hendak memasuki sebuah ruangan, mungkin semua orang tak menyadari bahwa Airin sedanng tidak baik baik saja tetapi berbeda dengan Bianca, ia sangat peka pada Airin. Segera Bianca menghampiri Airin dan memastikan bahwa sahabatnya itu baik baik saja.
“You good?”, tanya Airin menatap Airin yang terlihat sedikit pucat dimatana. Pertanyaan Bianca mendapat sebuah anggukkan dari Airin yang menandakan bahwa dirinya baik baik saja, Airin melepaskan genggaman tangan Bianca dan berjalan masuk ke dalam ruangannya, sementara Bianca masih terdiam melihat sikap sahabatnya itu yang sangat terlihat tak baik baik saja di matanya.
Bersama dengan timnya, Airin berangkat ke Kantor Gubernur untuk meliput sebuah berita, ia yang mulai merasa tubuhnya tak baik baik saja masih mengabaikannya dan menganggap bahwa dirinya hanya membutuhkan istirahat karena terlalu lelah dalam bekerja. Dalam perjalanan ke Kantor Gubernur, kepalanya kembali terasa sakit namun kali ini tak disertai dengan mimisan, ia hanya merasakan sakit dikepalanya dan seketika Airin kehilangan kesadarannya didalam mobil, membuat kawan satu timnya panik.
“Airin!! Rin bangun”, panggil salah satu kawannya dengan panik
“Telpon kantor, minta kirim satu atau dua orang menggantikan posisi Airin, keadaannya yang seperti ini tak mungkin kita biarkan dia ikut dalam meliput berita”, seru kawan lainnya, suasana yang sebelumnya baik baik saja mendadak menjadi sedikit panik karena kejadian Airin pingsan didalam mobil secara tiba tiba.
Bianca dan salah satu crew yang menggantikan posisi Airin datang, mereka segera masuk ke dalam Kantor Gubernur dan meninggalkan Airin juga Bianca didalam mobil sambil menunggu Airin sadar kembali. Sebelumnya Bianca sudah merasa bahwa Airin sedang tak baik baik saja namun ia menutupi keadaan dirinya, dengan setia Bianca menunggu Airin hingga ia sadar kembali sementara teman satu tim Airin berada didalam untuk meliput berita.
“Rin, sudah sadar?”, tanya Bianca sambil membantu Airin duduk dengan posisi yang benar.
Airin masih tetap memegangi kepalanya masih terasa sedikit sakit dan melihat sekitar, ia tak mendapati kawan satu timnya ada bersamanya, hanya Bianca yang menemaninya kala itu disaat ia pingsan.
“Mereka semua ada didalam? Aku juga haru masuk bersama mereka”, seru Airin mencoba membuka pintu mobil untuk masuk ke dalam gedung, namun Bianca berhasil menahan Airin untuk tetap tinggal bersamanya sampai taksi yang dipesan datang.
“Tidak, kamu tetap disini bersamaku, kita kembali ke studio”, seru Bianca pada Airin dengan wajah panik bercampur kesal.
“Mana mungkin bisa ku lakukan Bi? Mereka kekurangan orang”, seru Airin masih mencoba memaksakan diri untuk masuk kedalam.
“Kantor sudah mengirimkan Siska menggantikan posisimu, sekarang kita kembali ke kantor, ini perintah Pak Beni”, seru Bianca yang terpaksa membawa nama Pak Beni, atasan mereka karena ia tahu jika aka sangat sulit membawa Airin kembali ke kantor disaat seperti ini. Mendengar Bianca membawa nama atasannya, Airin terpaksa menurut dan ikut kembali ke kantor bersama Bianca.
Airin masih sangat yakin bahwa dirinya tak apa, dalam taksi ia hanya melihat ke luar jendela dan berusaha untuk berpikir positif seperti yang selalu dilakukannya.
“Mau ku temani pergi ke dokter?”, tanya Bianca lembut pada Airin sambil menggenggam tangan sahabatnya yang terus saja memalingkan wajahnya melihat keluar jendela. Airin menggelengkan kepalanya menolak ajakan Bianca untuk memeriksakan dirinya ke dokter, keyakinan dalam dirinya sangat kuat jika ia masih baik baik saja.
“Aku hanya memerlukan istirahat yang lebih banyak. Mungkin saja aku hanya kelelahan”, jawab Airin dengan suara sengau. Bianca membiarkan Airin sendiri dan tak mengganggunya untuk sementara waktu.
Sesampainya di kantor, Airin masuk begitu saja dan meninggalkan Bianca diluar. Untuk mengalihkan pikirannya dari pemikiran yang negatif, Airin mengerjakan apapun yang dapat ia kerjakan hingga waktu baginya untuk pulang. Ketika hendak bersiap pulang, pandangannya kembali kabur dan sakit kepala menyerangnya lagi, kali ini ia kembali mimisan seperti sebelumnya, sakit kepala yang semakin terasa membuatnya tak kuat untuk berdiri dengan kedua kakinya, Airin memegangi kepalanya dan ia jatuh tersungkur ke bawah, darah pun keluar terus menerus dari hidungnya. Beruntung saat itu Bianca datang dan melihat Airin yang jatuh tersungkur menahan sakit kepalanya.
“Airin!!”, teriak Bianca memanggil nama Airin, Bianca lebih panik ketika ia melihat darah keluar dari hidungnya, kini Bianca sangat yakin bahwa Airin tidak dalam keadaan baik baik saja.
Bianca membantu Airin untuk berdiri dan duduk pada kursinya, ia juga menyeka darah yang keluar dari hidung Airin, juga yang ada di lantai. Bianca membantu Airin menenangkan dirinya sampai ia merasa jauh lebih baik dari sebelumnya, meski butuh waktu namun Bianca selalu ada di sisi Airin.
“Sudah merasa lebih baik?”, tanya Bianca. Airin hanya mengangguk melihat wajah khawatir sahabatnya itu, ia tersenyum dan menatap Bianca untuk mengurangi rasa kekhawatirannya.
“Sore ini aku akan menemanimu pergi ke dokter, ikuti ucapaku. Kamu tak bisa lagi mengatakan kalau kamu hanya butuh istirahat Airin, sudah berapa kali kamu mimisan? Sudah berapa kali kamu pingsan? Amsih tak sadar juga?”, kesal Bianca pada Airin yang mengacuhkan kesehatannya.
“Aku baik baik saja, tenanglah, jika aku merasa jauh lebih buruk dari ini maka aku akan memintamu menemaniku ke dokter”, jawab Airin mencoba menenangkan Bianca yang panik juga khawatir padanya.
“Billy tahu tentang kondisimu?”, tanya Bianca lagi. Airin hanya menundukkan kepalanya lalu menggeleng, dugaan Bianca benar, ia bahkan tak mengatakannya pada Billy yang adalah kekasihnya.
Ponsel Airin berbunyi, panggilan dari Billy masuk menandakan ia sudah berada di luar kantornya, segera Airin mengemas barang barangnya lalu menggandeng Bianca turun ke bawah.
“Billy telah menjemputku. Kamu tak perlu pusing pusing mengantarku Bi, kekasihku yang akan memastikan aku aman”, ucap Airin sambil tersenyum dengan wajahnya yang sangat terlihat pucat.
“Benahi dulu penampilanmu sebelum bertemu kekasihmu, kamu terlihat seperti nenek nenek yang menyeramkan, pucat dan juga buruk rupa. Pergilah ke toilet dasar bodoh” seru Bianca melihat pada sahabatnya yang tak berpenampilan menarik.
Airin menuruti ucapan Bianca untuk pergi ke toilet dan membenahi penampilannya agar ia terlihat segar dimata kekasihnya meski sebelumnya hal buruk menimpanya. Sedang Bianca masih saja memikirkan kesehatan sahabatnya itu, maksud hati ia ingin mengatakannya secara langsung pada Billy namun ia mengurungkan niatnya, ia tak ingin terlalu ikut campur dalam urusan mereka.
Hari ini sama seperti hari hari sebelumnya, Tak hanya Bianca yang mendapati Airin mimisan, beberapa rekan kerjanya juga Pak Beni atasannya sering melihat Airin mimisan dan pusing seketika, semakin lama Airin semakin terlihat sangat pucat, vitamin dan juga waktu tidurnya sudah ia tambahi namun semuanya itu tak bereaksi terhadap Airin yang masih saja mimisan dan pingsan.
Beruntung hari ini adalah jatah libur bagi Airin, jadi ia bisa bangun lebih siang dari sebelumnya. Maksud hati ingin bermalas malasan, namun suara bel rumah yang terus berbunyi sedikit mengganggunya, membuatnya bangun dari ranjang yang terasa sangat nyaman dan membukakan pintunya.
“Bukankah ini terlalu dini untuk berkunjung ke rumah orang lain?”, tanya Airin yang melihat Bianca berdiri didepan pintu rumahnya, tanpa banyak berucap Bianca menerobos masuk dan duduk di sofa untuk sedikit meregangkan tubuhnya.
“Kamu gila? Ini jam sembilan pagi, apakah masih terlalu dini bagi mu tuan puteri?”, sindir Bianca yang melihat sikap sahabatnya yang selalu bangun siang ketika ia libur bekerja. Airin diam sana dan duduk di samping Bianca, tak biasanya Bianca berkunjung ke rumahnya sepagi ini.
“Bersiaplah. Kita akan menjalani tes kesehatan di salah satu rumah sakit. Aku sudah membuatkan jadwal untukmu, jadi lebih baik bersiaplah”, ujar Bianca pada Airin.Bianca sudah tak ingin lagi mendengar alasan apapun yang keluar dari mulut sahabatnya itu, sudah hampir satu minggu Airin selalu memiliki alasan agar ia tak pergi ke dokter dan memeriksakan dirinya, kini Bianca datang masuk ke dalam rumah Airin dan menariknya seara paksa.
Dalam sebuah rumah sakit, Airin sedang menjalani sebuah pemeriksaan dan ditemani oleh Bianca sahabatnya, kedua kakinya yang tak bisa diam dan juga terus memainkan jemarinya menandakan bahwa Airin sedikit khawatir dengan hasil pemeriksaannya. Ia masih berharap bahwa dirinya baik baik saja , namun Airin juga tak dapat memungkiri bahwa dirinya yang sering pingsan juga mimisan berkali kali tidak sedang dalam keadaan baik baik saja.
“Hasil pemeriksaan bisa diambil minggu depan. Untuk saat ini saya tak bisa memastikannya, Namun kemungkinan besar ini adalah Leukimia atau kanker darah”, ucap dokter mencoba menyimpulkan apa yang ia ketahui.
“Namun untuk memastikannya datanglah minggu depan”, sambung dokter itu.
Seakan jantung Aiirn berhenti berdetak ketika dokter mengatakan kanker darah, Airin sungguh terkejut, bahkan tubuhnya pun seperti mematung. Mereka berdua keluar dari ruangan dokter dan melangkah keluar dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan Airin dan Bianca tak erbicara satu dengan yang lainnya. Bianda merasa sedikit bersalah karena mengantar Airin ke dokter dan mengetahui kabar buruk itu meski belum pasti, Airin yang terus menatap ke luar jendela mobil mencoba menenangkan dirinya dan berusaha untuk tak memikirkan ucapan dokter yang belum pasti itu.
“Apapun yang akan terjadi nantinya, bagaimanapun hasilnya, aku akan ada disampingmu Rin”, ucap Bianca menggenggam tangan Airin yang terlihat takut dan juga khawatir.
“Aku tak apa Bi, dokter mengatakan segalanya belum pasti, dokter itu pasti salah. Aku baik baik saja dan akan terus seperti itu hingga hasil darahnya keluar”, balas Airin yang mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Sejak saat itu rasa pusinng dan juga mimisan masih terus terjadi pada Airin, di tempat kerja, ketika diapartemen bahkan ketika ia sedang makan malam bersama Billy pun pusing dan mimisan masih ia rasakan. Malam ini Billy mengajak Airin pergi makan malam bersama, beruntung waktu longgar mereka sama jadi mereka berdua dapat bertemu lebih lama dan melepas rindu berdua, mengingat beberapa hari yang lalu acara makan malam mereka batal karena Billy memiliki pekerjaan yang belum selesai.
Di dalam kamar Airin menatap dirinya di cermin sambil memperhatikan penampilannya awas awas jika ada yang kurang dari dirinya, memoles wajahnya di daerah yang masih terlihat kurang lalu kembali lagi bercermin memperhatikan penampilannya dari atas sampai kebawah.
“Sepertinya ini cukup untuk malam ini”, ucapnya dengan terus menatap dirinya di cermin.
Sebuah pesan masuk kedalam ponselnya, Billy telah datang dan menunggu di bawah, dengan berbalutkan dress hitam, Airin mengambil ponsel juga tasnya lalu mantel yang sudah ia siapkan dengan warna yang senada dengan dress yang ia gunakan. Dari dalam mobil Billy melihat sesosok wanita cantik yang sedang berjalan menuju mobilnya, tiada hari tanpa rasa kagum yang terpancar di wajah Billy tiap kali ia melihat Airin yang berdandan dengan sangat cantik.
“Bahkan tanpa polesan apapun ia sangat cantik. Mengapa ia harus berdandan semenawan ini? Pantas saja aku tergila gila padanya”, gumamnya dalam hati samil terus menatap Airin yang berjalan semakin mendekat padanya.
“Tahukah kamu bahwa kamu terlihat sangat cantik malam ini?”, tanya Billy pada Airin yang masuk kedalam mobilnya, ia bahkan menatap Airin tanpa berkedip, menikmati kecantikan Airin hanya untuknya sendiri.
“Tahukah kamu bahwa kita akan terlambat?”, balas Airin pada Billy yang masih menatapnya kagum.
“Kita tak membuat janji dengan siaapun jadi biarkan aku menatapmu hingga aku puas”, ucap Billy yang semakin mendekatkan wajahnya pada Airin, ia menggenggam tangan Airin dan mengecup lembut tangannya sambil tersnyum manis. Setelah puas dengan menaap Airin, Billy menyalakan kembali mobilnya dan pergi ke restoran yang sedah ia reservasi sebelumnya.
Sebuah restoran yang cukup indah untuk sekedar makan malam berdua, Billy memilih tempat yang sang sangat indah dan nyaman untuk Airin, waktu terbatas yang mereka miliki tak ingin terbuang sia sia. Billy sangat merindukan kekasihnya ini.
“Bagaimana pekerjaanmu? Semuanya baik?”, tanya Billy sambil memotong daging pada piringnya.
“Sepertinya berjalan dengan baik, hanya saja ada beberapa masalah, namun aku mampu menyelesaikannya dengan baik”, balas Airin.
“Bagaimana dengan perusahaanmu?” sambung Airin menanyakan.
“Sepertinya aku akan lebih sebuk dari sebelumnya, karena perusahaan akan meluncurkan sebuah produk baru. Jadi ku pikir aku akan lebih lelah dari sebelumnya”, jawab Billy yang mengungkapkan perasaannya pada Airin.
Acara makan malam mereka berjalan dengan baik, hingga darah kembali keluar dari hidung Airin, beruntung Billy tak melihatnya.
“Aku harus kekamar mandi”, ucap Airin melangkah pergi setelah ia mengusap darah yang keluar dari hidungnya.
Darah yang keluar kali ini lebih banyak dari sebelumnya, entah sudah berapa tisu yang Airin guakan untuk membersihkan hidungnya dari darah yang keluar.
“Sial, mengapa harus saat ini ketika aku sedang bersama Billy?”, geramnya pada darah yang terus saja keluar tiada henti. Airin melihat dirinya di cermin dan mendapati wajahnya yang terlihat pucat , segera ia mengambil bedak dan sedikit memoles wajahnya agar tak terlihat pucat dimata Billy.
“Aku baik baik saja dan akan terus seperti itu”, ujarnya menatap diri pada cermin dikamar mandi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!