NovelToon NovelToon

Menuju Bahagia

Bab 1

...Hy Readers ......

...Selamat datang di novel kedua Author yg bertema Family life. ...

^^^Semoga kalian suka dengan ceritanya ...^^^

...Selamat membaca...

...___...

Sejuknya udara terasa menyambut kehadiranku kala itu, membuatku tergerak untuk menghirup sedalam-dalamnya sembari mengatupkan kedua netraku. Tanpa kusadari, sebuah senyuman mulai merekah menghiasi wajah seiring dengan hembusan nafasku.

Selang beberapa menit, Sang Mentari pun mulai menampakkan sinarnya, suara ayam yang saling sahut menyahut penuh kegembiraan seakan menyambut kedatangannya.

Aku berdiri di samping rumahku sembari menikmati pemandangan alam yang hanya dapat disaksikan oleh sekian persen umat manusia, karena kebanyakan dari kita masih terlelap dalam tidur yang sangat nyaman di balik selimut halus yang bisa merayu siapa saja untuk terus melanjutkan mimpi indahnya, daripada bangun untuk mewujudkan mimpi.

Walaupun hal itu adalah rutinitas harianku, tapi menikmati suasana subuh yang sangat menenangkan itu sudah menjadi candu bagiku. Entah sejak kapan, aku tidak pernah menyadarinya sama sekali.

Aku hanya mengikuti suara hatiku yang tidak ingin melewatkan saat-saat yang menurutku sangat menakjubkan itu. Dimana aku bisa mengagumi ciptaan dari Sang Maha Indah, yang keindahan-Nya sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata.

Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghirup udara nan sejuk dan menyejukkan sembari mengucapkan kata Hamdallah kemudian diiringi kalimat-kalimat dzikir lainnya.

Sembari memejamkan kedua netraku, aku merasakan sesaat tubuhku melayang entah ke mana. Seakan-akan dunia yang menjadi tempatku berpijak seketika menjadi sangat kecil, "Sungguh besar nikmat-Mu ya Rabb," gumamku membatin.

Semangat baru dan harapan baru pun tumbuh di lubuk hatiku, semangat untuk mengawali hari dengan segala sesuatunya. Dan berharap semoga lelahku menjadi Lillahi ta alla.

"Bismillah ...," ujarku setelah selesai melakukan ritual harianku.

Ketika aku hendak berbalik untuk masuk kembali ke dalam rumah, anakku yang bernama Sabrina datang menghampiriku.

'Sabrina' adalah nama yang kuberikan dengan harapan agar ia menjadi seorang gadis yang penyabar.

Ia adalah anak keempat yang dianugerahkan Allah untuk keluarga kecilku, kini ia sudah menjadi seorang gadis kecil yang berusia 10 tahun. Kata orang-orang, jika kami berjalan beriringan akan terlihat seperti kakak beradik karena wajah kami yang sangat mirip.

Sembari mengucek matanya ia bertanya, "Ibu mau ke mana?"

Aku mengulas senyuman samar menyambut kedatangannya. "Ekh... mukenanya sudah dirapikan Nak?" tanyaku berbasa-basi ingin mengalihkan perhatiannya. Semalam Ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya bersama saudara-saudaranya yang lain untuk mengunjungi area persawahan yang saat itu sudah siap ditanami.

Ia hanya diam merajuk menanggapi pertanyaanku. Aku tahu sebenarnya dia kesal karena aku tidak menjawab pertanyaannya, kemudian aku merangkul bahunya mesra. "Ibu tidak akan ke mana-mana, memangnya kenapa sayang?"

"Ayah sama Kakak belum pulang?"

"Belum sayang."

"Mudah-mudahan saja Ayah tidak melupakan janjinya," gumamnya sangat pelan.

Aku hanya tersenyum samar melihat ekspresinya ketika bibirnya menjadi lebih mancung saat bergumam.

Aku menoleh mengintip ke arah jalanan untuk melihat sumber suara yang kukenal. Suara seorang ayah yang sedang terkekeh bersama kelima anak laki-lakinya.

Tak lama kemudian, terdengar suara orang yang mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam ..." jawabku

"Itu Ayah, yes... yes...," sorak Sabrina kegiraan sembari mempersembahkan sebuah tarian kegembiraan ala anak-anak.

"Ayah... Kakak... Adik..." Teriak Isra yang baru saja selesai merapikan tempat tidur.

Inilah keluarga kecil kami. Kami dianugerahkan tujuh orang anak yang memiliki bermacam-macam karakter. Keanekaragaman karakter tersebut seakan-akan menjadi pelangi yang menghiasi bahtera rumah tangga dalam kehidupan kami.

.

.

.

Kuciumi punggung tangan suamiku dengan penuh takhdim sembari berdoa di dalam qalbuku, "Ya Allah berkahilah pemilik tangan yang telah berjuang menafkahi dan merawat kami dengan penuh kehangatan." Ia pun menciumi keningku dengan mesra. Cukup lama, sehingga anak-anak kami protes dengan berbagai ocehan versi mereka.

"So sweet,"

"Cie... Makin mesra saja."

"Ingat umur Bu, Yah."

"Ayah lebay deh,"

"Hmmm, mulai kumat lagi..."

"Akh... Kelamaan,"

"Giliran kami kapan Yah, Bu?"

Begitulah mereka, setiap kali ayah mereka melakukan hal yang sama, mereka pasti akan mengeluarkan uneg-uneg mereka.

Walaupun hampir setiap hari kumendengar ocehan dari anak-anak kami, tapi bagi kami itu adalah sesuatu yang sangat berarti.

Kami yakin, suatu hari nanti semua hal-hal kecil seperti ini tidak akan terulang lagi. Entah kapan, tapi kami hanya ingin menikmati setiap kebersamaan yang menurut kami sangat sempurna itu.

Setelah melepaskan kecupannya, kedua putri kami berebutan menciumi punggung tangan suamiku, begitupun dengan kelima putra kami yang saling berebutan menciumi punggung tanganku.

Sembari mengukirkan senyum khas dengan lesung pipiku aku menyambut mereka kemudian menciumi satu persatu kening dan pipi mereka.

Mungkin hal itulah yang mereka perebutkan sedari dulu.

Setelah semuanya merasa puas, kelima putraku masuk ke kamar mereka untuk mengganti baju koko mereka dengan pakaian biasa. Karena sebentar lagi mereka akan pergi bersama ayah mereka ke sawah untuk menanam padi.

Hal yang sama juga dilakukan suamiku, ia berganti pakaian dengan setelan yang sudah aku siapkan sebelumnya.

Tak lama kemudian, mereka berpamitan denganku kemudian menaiki Viar. Aku hanya tersenyum melambaikan tanganku untuk melepaskan kepergian mereka.

Kini, tinggallah aku seorang bertemankan sepi. Aku masuk dan mengunci pintu rumahku, kemudian melakukan aktifitas layaknya seorang ibu rumah tangga.

Saat itu, bulan Ramadhan tepatnya ramadhan yang ke-20. Tidak ada aktifitas masak-memasak di pagi hari itu, kurebahkan tubuhku di kursi keagunganku yang terbuat dari anyaman rotan.

.

.

.

Terima kasih sudah mampir di karyaku, jangan lupa like, koment dan subcribe jika kalian menyukai karyaku agar kalian dapat mengetahui update terbarunya.

Bisa juga berikan dukungan kalian berupa vote atau gift.

Serta tinggalkan kritik dan saran kalian Readers ...

See you next chapter ...

Bab 2

Saat itu, bulan Ramadhan tepatnya ramadhan yang ke-20. Tidak ada aktifitas masak-memasak di pagi hari itu, kurebahkan tubuhku di kursi keagunganku yang terbuat dari anyaman rotan.

Kursi itu hanyalah kursi satu-satunya yang sengaja didesain oleh suamiku khusus untukku. Semua anak-anak maupun suamiku enggan mendudukinya, karena modelnya yang cukup rumit.

Aku duduk bersandar sambil menutup kedua netraku perlahan, kuhirup udara dalam-dalam, kunikmati kesunyian dalam kesendirianku, dengan merdu kulantunkan shalawat kepada Kekasih-Nya.

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Sholallah ala muhammad

Shollallah alaihi wasallam

Ya Nabi salam alaika

Ya Rasul salam alaika

Ya Habib salam alaika

Sholawatullah alaika

Tanpa sadar, wajahku sudah basah dengan butiran-butiran bening yang mengucur deras dari kedua netraku.

Entah sudah berapa lama kubersenandung merindu kepada Beliau. Rindu yang teramat manis, sungguh aku baru mengerti tentang 'Indahnya mencintai tanpa melihat' setelah aku mencoba untuk lebih mengenal sosok dari kekasih-Nya.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan Suara ketukan pintu yang diiringi dengan ucapan salam dari seorang wanita yang masih kerabatku.

"Waalaikumussalam..." jawabku kemudian aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan wajahku.

"Eh... mbak Isna," Sapaku hangat setelah membukakan pintu untuknya. Aku pun mengajaknya masuk dan duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran bunga sebagai hiasannya. Kami pun berhadapan.

"Ada apa Mbak, kok tumben mampir ke rumah?"

"Ini lho aku lagi pusing mikirin paksu, mikirin anak-anak, mana beras sudah mau habis...," Dan segala macam permasalahan yang biasa dihadapi kaum ibu-ibu.

Aku hanya mendengarkan segala keluh kesahnya tanpa berucap sepatah kata.

"Aku kadang merasa iri dengan kehidupan keluargamu yang aman dan bahagia terus, boleh tahu rahasianya Ra?"

Namaku Larasati Cahyani. Orang-orang biasa memanggilku Rara. Tahun ini usiaku sudah hampir 39 tahun. Usia yang sudah hampir matang. Jika dibandingkan dengan Isna, aku lebih muda darinya karena usianya sudah 45 tahun.

Seperti biasa, sebuah senyuman sekilas terukir diwajahku. Aku mendekatinya dan duduk bersama di tempat duduk yang panjang itu. Aku menatapnya hangat, kemudian menggenggam kedua telapak tangannya lembut, "Aku selalu menyerahkan semua urusanku kepada-Nya, aku berbisik dan menangis menumpahkan segala keluhanku di atas sajadah di malam yang gelap saat semua orang terlena dengan mimpi-mimpi indahnya mereka."

Ia terdiam kaku menatapku tak bisa berkata-kata lagi, mungkin ia ragu batinku menjawab. Aku mengangkat tangan kananku dan menyentuh pundaknya mesra, "Cobalah!" ujarku untuk meyakinkannya.

Ia langsung memelukku erat, semakin erat. Ia menangis sesegukan di bahuku cukup lama. Aku mengusap punggungnya yang masih bergetar hebat itu. "Menangislah... jika dengan itu Mbak akan merasa lebih baik setelahnya."

Tak lama kemudian ia melepas pelukannya perlahan, "Apakah aku pantas memohon kepada-Nya, sementara tubuhku berlumuran dosa?" dengan nada yang merendah.

"Apa Mbak percaya kepadaku?"

Ia mengangguk samar sembari mengusap sisa-sisa butiran bening di wajahnya.

Sembari menepuk pahanya manja aku mengatakan, "Benarkah... Berapa persen?" tanyaku dengan nada manja, kemudian aku mengangkat kedua keningku berulang-ulang kali untuk menghiburnya.

"He-he-he," ia terkekeh kecil melihat sikapku yang sedikit kekanak-kanakkan. "Seribu persen," jawabnya dengan mendaratkan sebuah tepukan di pahaku.

Aku pun terus menggodanya, "Waw... aku terkaget," ujarku narsis sembari meletakkan kedua tanganku di atas dada seakan-akan aku benar-benar kaget.

Ia semakin gemes melihat tingkahku, lalu ia mencubit pipiku. "Anak nakal...," celotehnya kemudian melepaskan cubitannya dari pipiku.

"Ha-ha-ha..." Kami pun tertawa bersama-sama.

Setelah keadaan sudah mulai membaik, aku melanjutkan perkataanku. "Jika memang benar seperti itu? Lalu apakah harus ada alasan lagi untuk tidak mempercayai Sang Maha Pengampun?"

Seketika suasana berubah menjadi serius.

"Bersyukurlah, selagi kita masih diberikan kesempatan. Mungkin ini adalah cara-Nya agar kita kembali kepada-Nya.

"Jangan pernah merasa orang lain lebih bahagia dari kita, karena kita tidak pernah tahu sebesar apa perjuangannya untuk memperoleh kebahagiaan itu sendiri."

Ia menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku ungkapkan, mungkin ia sedikit tersindir dengan perkataanku yang terakhir. Tapi itu lebih baik untuk kita agar kedepannya tidak akan ada rasa iri hati lagi.

"Terima kasih Ra, aku akan mengingat semua ucapanmu."

"Sama-sama Mbak."

.

.

.

Setelah kepergiannya, aku merenung sejenak kemudian aku teringat kisahku di mana saat aku terpuruk tak bisa berbuat apa-apa lagi karena kondisiku yang sedang sakit.

Ya, saat itu... Aku masih muda, usiaku 26 tahun. Aku menderita sebuah penyakit yang aneh, entahlah... Bahkan dokter pun susah mendefinisikannya.

Saat siang hari aku menggigil kedinginan, tubuhku terasa hangat tapi aku menggigil seperti sedang berada di sebuah freezer.

Saat siang hari aku menggigil kedinginan, tubuhku terasa hangat tapi aku menggigil seperti sedang berada di sebuah freezer dengan suhu dibawah nol derajat Celcius.

Meskipun suamiku telah membungkusku dengan berlapis-lapis blangket, aku tetap saja menggigil, rasa dingin yang kuderita bukan hanya diseluruh tubuh saja, aku merasakan bahwa hawa dingin itu menyerang sampai kedalam tulang belulangku.

Pada malam harinya, aku merasakan yang sebaliknya, seakan-akan aku dihadapkan dengan sebuah tungku perapian yang nyala apinya mampu membuat siapa saja merasakan kegerahan di seluruh tubuhnya. Ya, pada malam hari tubuhku akan basah dengan keringat, keringat yang tidak pernah habis sepanjang malam.

Untunglah suamiku selalu siaga membantuku mengganti kaos oblongku, dalam semalam aku akan menghabiskan separuh kaos yang ada tidak seberapa itu dari dalam lemariku. Entah berapa kali aku harus membangunkannya untuk membantuku berganti pakaian karena tubuhku sangat lemah. Untuk berdiri saja aku tidak mampu, dengan kesabarannya ia terus merawatku. Merawat anak pertama kami yang saat itu baru berusia dua tahun.

Di siang hari, suamiku akan membelikan tiga bungkus nasi kuning sebagai sarapan kami, lalu ia meninggalkan kami berdua untuk mencari nafkah dengan membawa kantong kresek jumbo yang berisi pakaian-pakaianku semalam, dan menitipkan kantong kresek tersebut ke tukang cuci. untunglah Andra (Anak pertama kami) tumbuh menjadi anak yang penyabar. Ia akan bermain bersama teman-temannya, berlarian kesana-kemari dengan sesekali menengok keadaanku. Di usia itu Ia sudah mengerti bahwa ibunya sedang sakit.

Jika pada saat ia menengok dan mencari keberadaanku, aku akan menyunggingkan sebuah senyuman untuk mengatakan kepadanya bahwa aku baik-baik saja.

Ia pun dengan sendirinya akan bergabung lagi bersama teman-temannya. Tapi, ketika ia menengok dan menemukanku sedang meringkuk di atas tempat tidur, ia akan meninggalkan teman-temannya dan memilih untuk berbaring di samping tempat tidur untuk menemaniku.

Aku terharu melihat kedewasaannya di usia yang masih seumur jagung itu.

"Bu, Kakak lapar." ucapnya sembari mengoyang-goyangkan tubuhku. Ia menamakan dirinya 'Kakak' karena ia ingin mempunyai adik yang banyak seperti tetangga kami yang telah dianugerahi tiga orang anak.

Mungkin ia merasa sunyi dengan kesendiriannya, ia selalu mengatakan keinginan itu kepada kami hampir setiap malam.

Ia tumbuh sebagai anak yang cerewet dan pintar bergaul, meskipun baru berusia dua tahun empat bulan, ia mampu berbicara dengan cukup jelas.

Perlahan aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk sekedar berdiri dan mengambilkan nasi untuknya.

Sebelum berangkat, suamiku akan melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci piring dan menyapu rumah kami yang hanya berukuran empat kali lima dan terbuat dari papan dengan permukaan yang kasar.

Dengan tubuh kurus kering dan gemetar itu aku melangkah perlahan sembari menopang tubuh kecilku di pinggiran dinding rumah kami, si kecilku turut menuntunku dengan memegang ujung daster sembari mengucapkan, "Hati-hati Bu!"

Aku mengayunkan langkah kecilku dengan sangat berat, tulang-belulangku seakan tidak tersambung dengan utuh lagi. Sungguh beruntung, rumah kami tidak sebesar dan seluas rumah kedua orang tua kami.

Ketika sampai dimeja makan, aku merasa seakan-akan seluruh tenagaku terkuras habis. Aku pun duduk di kursi panjang yang terbuat dari sebuah papan. Kuraih piring dan sendok yang sudah tertata di atas meja, kemudian mengambil sesendok nasi dari penanak (Magic com), dan menaruh kecap manis di atas nasi tersebut.

Dengan penuh antusias ia menyambut piring yang kuberikan kepadanya, lalu ia menghabiskan makanan itu tanpa sisa.

Ku ingin menangis dan memeluknya erat, tapi aku harus berusaha tegar dan menyembunyikan kesedihanku darinya.

Ia hanya ingin aku sembuh agar aku bisa memberikannya seorang adik seperti yang selalu diucapkan Ayahnya untuk menghibur kami.

"Aku tahu kamu lelah, aku pun sama..., ya, kita sama-sama lelah. Bukankah sebaiknya kamu mencari seseorang yang lebih baik dariku?

"Bukankah sebaiknya kamu mewujudkan keinginan anak kita dengan menikahi seseorang yang lebih baik dariku?

"Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk membahagiakanmu, untuk mewujudkan keinginan anak kita. Dia layak untuk bahagia mas, dia harus merasakan kebahagiaan.

"Aku rela di madu, aku rela pulang ke rumah orang tuaku meskipun mereka tidak ingin merawatku, aku rela melakukan apa saja demi kebahagiaan kalian mas.

"Tapi... jangan pernah mengharapkan kesembuhanku yang tidak pasti ini mas.

Itulah kata-kataku jika aku merasa putus asa dengan keadaanku.

"Aku tak sanggup lagi menjalani hari demi hari seperti ini, aku tidak mempunyai alasan yang kuat untuk bertahan hidup lagi..."

.

.

.

Bab 3

Itulah kata-kataku jika aku merasa putus asa dengan keadaanku.

Namun suamiku hanya akan memelukku sembari menangis tersedu-sedu berusaha untuk menguatkanku.

"Untuk apa aku bertahan mas, untuk apa... Hiks-hiks-hiks." tangisku pecah sembari memukul-mukul punggung kekarnya.

Mungkin, ia bisa merasakan sakit yang sedang meradang ditubuhku.

Mungkin, ia bisa merasakan batinku yang sudah terlalu lelah dan rapuh untuk menerima semua kenyataan pahit ini.

"Sudahlah Rara, kumohon hentikan semua ucapanmu! Aku tidak ingin mendengarnya lagi."

Setelah itu ia menyeka butiran-butiran bening yang terus mengalir dari kedua netraku, membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya lembut, seraya berkata, "Kita ke rumah sakit sekarang Ra, aku sudah menyiapkan segala kebutuhannya, jangan pikirkan masalah biaya rumah sakit nanti, tabungan kita sudah cukup kok... mau ya Sayang...." bujuknya dengan wajah yang memelas memohon persetujuanku.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan 'Sayang' yang keluar dari mulutnya. "Kenapa baru sekarang Mas?" Batinku bergumam. Aku terlena untuk sementara ketika aku mendengar pertama kalinya ia mengucapkan kata itu.

"Untuk apa aku sembuh Mas, untuk apa haah!

Untuk kamu lukai lagi, untuk menjadi wonder women yang selalu mengalah, untuk jadi pembantumu, kokimu, atau budakmu?"

Ia hanya menutup matanya yang sipit itu, sehingga air mata yang tadinya hanya menggenangi pelupuk matanya, tumpah begitu saja dan membasahi wajah lelahnya.

Kemudian ia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamar sembari beristigfar untuk menguatkan hatinya saat mendengar celotehanku.

Mungkin aku sedikit tersentuh dengan pemandangan yang jarang terlihat dari raut wajah suamiku yang telah membuat luka batin di dalam qalbuku.

Akhirnya aku memilih untuk diam dan mengakhiri pertengkaran kami.

Mungkin penyakitku ini disebabkan oleh tekanan batin yang selama ini kusembunyikan dari semua orang. Ya, termasuk keluarga dan orang tuaku.

Mereka hanya menganggap kehidupanku sangat bahagia, suamiku yang sangat pengertian, rajin, bahkan rela merawatku dan tetap setia meskipun aku sakit-sakitan.

Jika aku mendengar pujian yang dilontarkan oleh orang lain mengenai kebaikan suamiku, aku ingin tertawa terbahak-bahak dan meneriakkan semua perlakuannya kepadaku.

Namun aku masih menyadari sesuatu, mereka tidak mungkin mempercayaiku begitu saja, apalagi peduli dengan nasibku.

Sungguh aku tidak punya pilihan lain selain,

M A T I P E R L A H A N - L A H A N.

Saat itu serasa olehku bagaikan terkurung di sebuah sumur yang sangat dalam, hanya kegelapan yang setia menemaniku.

Teriakanku...

Tangisanku...

Keluhanku...

Ketakutanku...

Semuanya tiada berarti, tiada yang peduli, tiada yang mengerti, dan tiada yang mau mengulurkan tali untuk menuntunku kembali menuju cahaya terang di luar sana.

Seringkali aku mendongakkan wajahku sembari mengangkat kedua telapak tanganku dan berdo'a, "Ya Allah... ambillah nyawaku sekarang juga, sungguh aku sudah tak berdaya lagi untuk menghadapi cobaan dari-Mu, aku sudah tidak punya apa-apa lagi, aku sedang tidak ingin apa-apa lagi, aku sudah berusaha semampuku untuk tetap bertahan mengarungi bahtera rumah tangga kami, aku sudah mengerahkan semua kesabaranku untuk tetap berada disisinya.

"Aku lelah ya Allah, sudah sangat lelah, aku hanya ingin kembali ke sisi-Mu ya Rabb."

Dengan Isak tangis yang tiada henti aku melangitkan keputusasaan ku, dan tubuh yang bergetar hebat aku merangkai sebuah permohonan terakhirku, "Jika memang saat ini belum waktuku, berikan sebuah alasan agar aku bisa melanjutkan tujuan hidupku."

Waktu terus berganti, entah sudah berapa lama aku mendiamkan suamiku. Entah sudah berapa kali ia membujukku, tapi aku hanya terus mengabaikannya. Semakin hari tubuhku serasa semakin tak berdaya, selera makanku sudah hilang, hanya air putih yang bisa masuk melalui kerongkonganku. Tak ada sebutir nasi pun yang bisa kutelan.

Hari itu, serasa akan menjadi hari terakhirku...

Dengan tubuh lemah tak berdaya dan wajah yang pucat pasi, aku bertanya satu hal yang menurutku sangat penting, sebuah pertanyaan yang sangat sederhana namun penuh arti bagiku.

"Mas...' gumamku lirih hampir tak terdengar, ia langsung mendekatiku sembari berjongkok di hadapanku. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Ia mengangguk senang sembari mengulas senyuman hangat, cahaya matanya memancarkan sebuah kebahagiaan. Tapi entah kenapa serasa ada sebuah tirai tak kasat mata yang terbentang di antara kami.

Aku menghirup nafas dalam-dalam sembari mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku. "Apakah Arti seorang istri bagimu?" dengan nada yang sedikit menekankan kata 'Istri'.

Ia terdiam seketika, cahaya indah di matanya langsung lenyap, senyum hangatnya seketika memudar terganti dengan sebuah kebingungan yang sangat jelas dari raut wajahnya.

Aku tersenyum kecut, dan memalingkan wajahku darinya.

Masih sama, masih dengan kebingungan yang sama. Pertanyaan yang sama tak pernah terwajab olehnya sekalipun ia sering mengatakan kata-kata cinta dan sayang yang menurutku bukanlah hal yang kuinginkan. Ya, cinta dan sayang tidak akan berarti tanpa sebuah 'Penghargaan'.

Aku hanya ingin dihargai layaknya seorang istri. Hanya itu, tidak lebih dan bukan hal yang asing untuk pasangan suami istri.

Namun... tak pernah kurasakan selama kita berada di sebuah kapal yang bernama 'Pernikahan'.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!