“Bang Darwis, bangun!” Aku menggoyang kaki suamiku. Membangunkannya.
Namun, dia gak kunjung bangun. Cuma menggeliat aja. Nyebelin banget. Aku goyang lagi kakinya.
“Bang, minta duit. Beras habis. Minyak goreng juga habis. Adel kelaparan mau minta sarapan, uang belanja mana,” jelasku lagi.
Akan tetapi Bang Darwis tetap abai. Aku yakin dia dengar ocehanku, cuma malas meladeni.
Keterlaluan. Ini yang butuh makan kan bukan hanya aku, tapi anak kami. Adel butuh makan.
“Bang, bangun, ini udah siang!”
“Argh! Kamu apa-apaan, sih? Aku masih ngantuk!”
Aku kaget sampai terjatuh. Pasalnya Bang Darwis bangun sambil menendang. Aku yang gak tau tentu menghindar. Apes malah membentur meja hingga gelas yang ada jatuh dan belingnya mengenai kaki.
"Bang!" sentakku spontan berjongkok. Ya Allah sakit banget ini. Darah mengalir. Tumit nyut-nyutan.
Kutatap Bang Darwis sengit.
"Apa? Salah sendiri gak hati-hati," katanya cuek.
Gila ya dia, bukannya bantuin malah berdecak dan pergi gitu aja ke kamar mandi. Gak punya empati. Jahat!
Sudah begini aku cuma bisa meringis dalam diam sambil membersihkan pecahan beling. Keterlaluan dia.
“Buk?”
Aku menoleh spontan melotot saat Adel mendekat.
“Jangan ke sini!” cegahku setengah teriak.
Seolah-olah paham, bocah kecil itu pun gak bergerak. Dia matung di ambang pintu. Aku sedikit lega karena dia menurut. Bahaya kalau dia mendekat dan pecahan beling mengenai kakinya.
“Ibuk, kaki ibuk ada darahnya,” oceh Adel.
“Gak apa, ibu gak apa. Adel nonton tv aja ya. Jangan ke sini. Bahaya. Ibu bersihkan belingnya dulu.”
Adel seakan paham. Dia pergi dari kamar.
Sepeninggal Adel entah kenapa nyeri hatiku. Air mata pun turun gak bisa ditahan. Hati ini nyeri banget karena Bang Darwis. Kami menikah sudah lima tahun lebih tapi suamiku itu tetap cuek. Yang lebih menyakitkan lagi sekarang mulai pelit. Uang belanja dijatah harian dan itu pun hanya dua puluh ribu.
Bayangkan, dua puluh ribu sehari. Mana cukup.
Cuma, aku juga gak bisa maksa. Dia sudah bekerja keras untuk kami. Jadi cukup gak cukup ya harus dicukupi.
Bang Darwis kembali ke kamar dengan badan setengah basah dan handuk melingkari pinggang.
"Jangan cengeng. Gitu aja nangis," sinisnya padaku yang sedang membersihkan serpihan gelas.
Masalahnya bukan cengeng karena luka. Ini lebih condong ke kecewa. Entah perasaanku apa gimana, sekarang dia mulai berubah. Gak pernah senyum, jarang main sama anak.
Jika pun ada waktu luang dia selalu asyik dengan HP. Dan jika bicara sama aku kalimat yang dia lontarkan pastilah tentang komplain. Entah lantai yang kotor atau baju yang belum di cuci.
Padahal aku itu sudah beberes, tapi di mata dia selalu kurang bersih. Kurang rapi.
Dulu dia gak gini. Sebelum nikah dia janji ini dan itu. Aku bakal dibahagiakan katanya. Dia bahkan nyuruh berhenti kerja agar bisa ngurusin dia dan anak kami. Sekalinya udah aku turutin dianya malah begini.
Aku gak bilang dia lepas tanggung jawab. Enggak!
Dia tetap tanggung jawab. Aku dinafkahi, dikasih makan dan tempat tinggal. Tapi hidup kan gak hanya tentang itu. Kadang aku juga pengen beli baju baru, jalan, dan lain-lain. Tapi apa daya selalu gak kesampaian. Aku ditekan agar hemat. Selama lima tahun menikah satu helai gamis pun gak pernah kebeli.
Terkenang dengan masa lalu. Waktu masih gadis aku puas beli apa aja. Gajiku gak banyak karena memang hanya tamatan SMA. Pekerjaan pun cuma di percetakan.
Akan tetapi aku bahagia. Dengan gaji segitu aku bisa kasih orang tua dan beli yang aku mau. Jalan ke mana aja bisa.
Sekalinya sudah jadi istri dia, semua serba terbatas. Malah makin lama kehidupan makin sengsara. Aku jarang pulang kampung lantaran dia bilang gak ada ongkos. Jadi, cuma bisa lepas rindu sama orang tua dari HP saja. Ini berbanding terbalik dengan apa yang dia janjikan dulu.
Argh! Semakin dipikirkan aku semakin sebal. Semakin gak tahan. Mau cerai rasanya, tapi gak mungkin. Kami sudah punya anak. Dan juga dia ini pilihanku sendiri. Dulu aku akan dijodohkan sama anak teman ibu yang seorang PNS, tapi aku menentang keras lantaran cinta sama Bang Darwis.
Makin dipikirkan aku semakin kesal. Merasa salah pilih suami. Sampai-sampai saat ada masalah gak berani ngomong sama orang tua maupun saudara. Semua aku pendam sendiri.
"Ni uangnya," lanjut Bang Darwis sambil meletakkan uang dua puluh ribu di atas meja.
Mencelos hatiku. Uang segitu sebenarnya cukup untuk sekedar beli sayur dan telur. Cuma masalahnya ada beberapa bumbu yang habis. Belum lagi minyak goreng, kopi, gula, sabun mandi.
Ya Allah, mau marah rasanya sama dia, tapi ..
"Gak cukup, Bang. Tambahin lagi." Aku berdiri.
"Gak cukup gimana? Gak pernah masak enak juga," balas Bang Darwis setengah membentak.
Ya gimana mau masak enak. Jatahnya cuma segitu. Kalau dikasih lima puluh mungkin masih bisa makan ayam.
"Masalahnya minyak sama bawang habis, gula, kopi, sabun." Aku sebut satu-satu
"Ngutang dulu sama Aldi," balasnya yang buat aku kehabisan kata.
"Kemarin juga udah ngutang, Bang."
"Ya utang lagi. Nanti gajian aku bayar."
"Tapi Abang gajian itu baru seminggu yang lalu."
Bang Darwis kelihatan berang. Dia maju dan langsung mengapit daguku. Aku terjepit tanpa bisa mengelak. Perih, sakit, ngilu.
Selain itu aku juga takut. Matanya melotot besar saat natap. Dia kalau lagi marah memang menakutkan.
"Bang, sakit …."
"Berani ngatur suami kamu, ha!"
Dan lagi, yang bisa aku lakukan cuma diam meringis menahan sakit.
Apitan Bang Darwis lepaskan. Dia kelihatan buru-buru pasang baju.
"Jadi istri itu harus nurut. Jangan banyak nuntut," lanjutnya.
Ya, dan selama lima tahun ini satu kali pun aku gak pernah nuntut dia ini itu. Kurang apa aku?
Kulihat dia pasang jaket lalu pakai parfum.
"Bang Darwis mau ke mana?"
Dia menoleh dengan memberi tatapan tajam. "Gak usah kepo. Lagian apa yang aku harapkan di rumah. Punya istri gak bisa nyenengin suami, mau tidur lama aja di ganggu. Kamu kan tau ini hari Minggu. Aku mau istirahat!"
Sebenarnya aku tahu, cuma aku juga harus belanja dan uang selalu dalam dompet dia. Sedang dompet selalu disembunyikan.
"Cukup gak cukup pakai uang itu," titahnya lagi.
Aku melihat uang dua puluh ribu di tangan dengan hati meringis sakit. Sehari dijatah segitu padahal gaji suami lumayan. Sudah diatas tiga juta. Sebagai sales produk makanan perusahaan terbesar, suamiku ini sudah bisa disebut senior.
"Bang, tambahin lagi."
"Gak ada Nabila. Uangnya gak ada. Yang di aku cuma buat bensin sama rokok. Gimana mau ngorder ke toko kalau gak ada bensin. Aku juga barusan kasih ibuk. Sudahlah, bilang Aldi kasbon dulu nanti aku bayar. Lagian dia kan adik aku. Dia pasti mau ngutangin."
Ya, Aldi memang mau mengutangkan sembako. Cuma aku gak enak. Aku tahu kalau suamiku itu gak pernah membayar sedang Aldi juga butuh memutar modal usaha warung.
Gimana aku bisa tau, ya karena Aldi selalu senyum aja saat aku tanya apa Bang Darwis udah bayar utang apa belum. Senyumnya itu aku artikan belum bayar utang.
Aku pergi bawa uang segitu buat belanja. Dengan jalan kaki. Kebetulan lokasi warung Aldi gak jauh. Cuma melewati lima rumah.
Seperti biasa aku belanja paling akhir. Sengaja menunggu warung sepi lantaran malu jika ada yang mendengar aku ngutang. Dan juga aku gak mau gara-gara aku utang, tetangga lain ikutan utang.
"Beli apa, Kak?" tanya Aldi. Bujang berparas rupawan itu tersenyum.
Ah, sudah lima tahun nikah tetap aja aku merasa gak nyaman di panggil kakak. Banyangkan, aku yang baru dua lima dipanggil Kakak oleh Aldi yang usianya dua delapan. Oiya, Darwis itu hanya punya Aldi. Mereka cuma dua bersaudara.
"Kak Nabila?"
Aku tersentak.
"Itu, Al, aku mau beli telur, minyak, gula, kopi, sabun mandi, bawang sama garem. Tapi …." Aku menjeda. Gak bisa ngucapin lagi. Gak tega mau ngutang, tapi ….
"Bentar ya, Kak."
Aldi masuk ke dalam dan keluar bawa kantong kresek yang aku duga barang yang disebut tadi.
"Ini, Kak. Ada lagi gak?"
Aku menggeleng.
Sudah begini apa yang bisa aku lakukan selain mengambil alih kantong kresek berisi belanjaan, lalu menatap Aldi. Adik iparku itu selalu tersenyum walau aku datang ngutang.
Oiya, wajahnya beda tipis sama Bang Darwis, bedanya Aldi rada tirus. Badannya juga rada kurus. Gak macam Bang Darwis yang berisi.
"Kekurangannya nanti dibayar Bang Darwis," jelasku.
Ya Allah, berdenyut hati dan mukaku karena Bang Darwis. Malunya gak terkira.
"Iya. Gak apa-apa," balas Aldi. Dan dia masih saja tersenyum. Kelihatan teduh tatapan matanya.
"Makasih, ya, Al." Aku balas senyum ke Aldi, lalu putar badan hendak pergi. Tapi, dipanggil lagi. Tentu aku balik badan.
"Kenapa, Al?"
"Ini buat Adel," katanya sambil menyerahkan eskrim dua bungkus dan memasukkannya ke dalam kantong belanjaan.
"Tapi, Al."
"Satu buat Adel, satu buat Kakak."
Ya Allah, gak tau harus ngerespon apa. Mau nangis guling-guling. Rasanya udah lama aku gak makan es krim. Dulu waktu masih gadis aku paling doyan es krim. Tapi sejak menikah selalu nahan diri biar gak jajan. Biar bisa belanja kebutuhan lain.
"Makasih, Al."
Aldi tersenyum lalu menunduk. Aku yang tau ke mana arah matanya tertuju jadi gak enak. Sudah ketebak apa yang bakalan dia lakukan.
"Aku balik, El." Aku buru-buru putar badan.
"Bentar, Kak."
Tuh kan.
Mau gak mau aku balik badan lagi dan melihat Aldi ke dalam. Dia keluar bawa sesuatu, lalu berjongkok di depanku sambil meletakkan plester luka di kaki.
"Kena beling tadi," jelasku tanpa dia tanya.
"Hati-hati, Kak. Kasian Adel. Nanti siapa yang ajak dia main ke sini kalau kaki Kak Nabila luka."
"I-iya, makasih. " Aku nyengir lalu pergi.
Sambil jalan aku tu mikir, kenapa Aldi masih sendiri padahal usianya sudah matang. Dia juga tergolong berduit. Dia punya usaha sembako yang aku tau dia memulainya dengan usaha sendiri. Dia kerja jadi TKI lima tahun, lalu pulang bikin warung.
Sebagai kriteria suami dia itu perfek. Sama orang tua juga kelihatan sopan. Dia yang membiayai kedua orang tuanya. Itu menandakan dia penyayang dan berbakti. Lalu, kenapa gak nikah?
Sampailah aku di halaman dan melihat motor metik Bang Darwis masih terparkir. Tadi memang memintanya jaga Adel sebentar karena aku harus belanja. Untungnya dia mau.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam," sahut Bang Darwis. Dia duduk di sofa sambil pegang hp. Sedang Adel ada di bawah dekat kaki dia. Anak kami itu terlihat asyik main.
"Lama banget belanjanya. Gak tau apa aku mau pergi. Sengaja, ya," tudingnya.
Sakit, tapi aku gak akan terpancing. Jika aku buka suara takutnya malah berantem. Aku tau watak Bang Darwis itu keras. Gak bisa dilawan. Maka dari itu lebih baik ngalah. Iyain aja biar rumah aman.
Aku lihat Adel yang sedang main boneka. "Adel mau es krim?" tanyaku sambil jongkok dan membuka kantong.
Anakku itu langsung semringah dan berjalan mendekat. "Mau, Buk," katanya.
Menggemaskan.
"Jajan jajan terus. Mungkin itu alasan uang belanja selalu kurang," sindir Bang Darwis yang buat hatiku rada panas. Padahal dia yang kasih uang sedikit.
Waktu tiga tahun menikah aku selalu terima dikasih uang sedikit. Ya karena memang ada cicilan motor. Jadi harus bisa menyisihkan.
Tapi sekarang kan udah gak ada cicilan, lalu kenapa masih aja dijatah? Herannya aku itu di situ. Saat ditanya dia selalu marah. Persis tadi.
"Ini dikasih Al, Bang," jelasku.
Dia berdengkus aja. Lalu berdiri merapikan jaket. Namun, gelagatnya berubah. Dia tiba-tiba pegang perut lalu kentut.
Adel yang mendengar itu cuma tertawa.
"Sial, kenapa tiba-tiba mules," sungutnya. Dia lalu pergi ke dapur setelah meletakkan ponsel dan dompet di atas meja.
Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran sama ponselnya. Dia terus memegang Hp. Gak pandang waktu. Kadang lagi makan pun pegang HP, lalu senyum-senyum sendiri.
Penasaran kubuka ponselnya. Rada gemetar tangan soalnya selama lima tahun menikah nggak pernah sekalipun aku otak-atik hp dia.
Cuma entah kenapa aku penasaran dengan isi ponselnya saat ini. Terbesit satu dugaan, apa dia main gila diluar sana.
Aku cek satu-satu. Aplikasi chat, media sosial dan lain-lain. Tapi gak ada yang aneh. Nggak ada chat perempuan. Lalu sama siapa dia berkirim pesan selama ini ya?
Get contact.
Aku tiba-tiba penasaran sama aplikasi ini. Katanya aplikasi ini bisa ngasih tahu kita apa nama kita di kontak orang lain.
Berani-berani takut aku intip Bang Darwis. Dia masih belum selesai.
Cepat Aku cek aplikasi itu dan kaget, beneran kaget sampai istighfar saat melihat satu nama yang tersemat di ponsel entah siapa.
"Pacarku sang ean."
Air mataku menitik.
D-dia benar-benar berkhianat? Lalu, apa yang sudah dia lakukan sama perempuan itu sampai-sampai ngasih dia nama Bang Darwis pacarku sang ean? Apa mereka sudah ....
Mataku memanas. Dada rasanya kebakar. Sakit.
Aku letak hp lalu bawa Adel ke rumah mertua. Aku balik ke warung Aldi.
"Al, ada Ibu?" tanyaku yang berusaha mengatur emosi.
"Ada, Kak."
Aku pun masuk setelah mengucap salam. Aku titip Adel pada ibu mertua yang kebetulan lagi membelah ikan teri.
Setelahnya aku balik. Dada sudah mengentak, bergemuruh luar biasa. Gak terima aku diselingkuhi sedang selama ini dia gak pernah membahagiakan. Apa yang dia beri padaku sampai berani nyakitin begini? Apa dia pernah kasih aku intan berlian?
Gak, gak pernah! Yang dia kasih hanya kemelaratan.
Sampailah aku di rumah dan melihat suamiku itu udah rapi lagi. Mukanya berseri. Dia juga bersiul.
"Bang, siapa perempuan itu?" sergahku setengah teriak.
***
btw makasih sudah baca. like dan follow ya. jika berkenan follow aku juga di Instagram. adisty_rere
"Apaan?" balasnya cuek.
Geram, kudekati dia lalu menarik kerah jaket yang dia pakai. Aku tarik kuat gak peduli badan kami jomplang baik dari sisi berat maupun tinggi. Hatiku sudah terlanjur sakit. Jadi apa pun rasanya sanggup aku hadapi. Gak ada hal yang lebih menyakitkan dari ini.
Coba pikirkan. Aku sudah berkorban banyak. Merelakan banyak hal demi dia. Meninggalkan pekerjaan, meninggalkan keluarga dan mengorbankan masa muda demi bisa berumah tangga. Lalu ini yang dia kasih.
Demi Allah, aku gak terima. Gak akan bisa memaklumi perbuatannya. Apa kurangku sampai dia begini? Apa!
Selama ini aku selalu menuruti. Makan seadanya. Gak pernah meminta ini itu. jangankan perhiasan, pakaian dalam saja aku gak pernah minta. jika bisa diperbaiki maka akan aku perbaiki.
itu aku lakukan lantaran sayang. Gak tega sama dia yang bekerja seharian di luaran. Belum lagi jika melakukan kesalahan. Dia akan jadi sasaran atasan. Aku tau sakitnya itu makanya gak pernah nuntut. Aku terima semua apa yang dia kasih. Kupikir kami akan bahagia nanti.
Tapi apa yang terjadi. Dia main serong? astaghfirullah ... gak kuat aku. Gak sanggup.
"Jujur sama aku selama aku nanyanya baik-baik. Siapa dia?"
"Siapa? Siapa yang kamu tanya ini?" balasnya yang buatku makin kesal. Aku pukul dadanya dua kali. "Siapa perempuan setan itu!"
"Nabila, kamu ngapain?" tanyanya.
"Siapa dia? Siapa perempuan itu! Apa yang kamu lakukan sampai dia simpan nama kamu pacarku *****-an?" cecarku berteriak.
Sumpah, seumur hidup menikah baru ini aku berteriak di depan dia. Ini karena aku marah. Benci dikhianati sedang selama ini gak pernah dicukupi. Lalu atas dasar apa dia berselingkuh?
Apa kurangnya aku. Aku setia. Saat dinyinyir ibu mertua pun aku gak pernah ambil hati. Aku memaklumi lantaran berpikir orang tuanya adalah orang tuaku yang harus dihormati. Gak nyangka ini yang aku dapat setelah sekian tahun mengabdi.
Dadaku berdebar bersamaan muka dan mata yang memanas. Air mata pun turun tanpa bisa aku tahan. Sakitnya sampai nembus tulang.
Dengan sorot nyalang aku tatap dia. Dia keliatan salah tingkah. Tertangkap dari binar mata yang bergerak liar.
"Ayo, jawab, Bang! Siapa dia?" teriakku lagi.
"Kamu ini apaan, sih?"
Badanku didorong otomatis aku jatuh dengan posisi punggung membentur dinding. Panas rasanya, tapi gak sepanas hati ini. Aku gak pernah mau dikhianati.
"Bang Darwis!" teriakku. Peduli setan jika tetangga mendengar.
"Gak ada yang selingkuh Nabila!" balasnya berteriak pula.
Hah, dia pikir aku percaya? Gelagat dia yang aneh. Uang jatah belanja yang sedikit dan perhatian dia yang berkurang itu sudah menunjukkan kalau dia punya some one di sana. Punya simpanan.
Aku angkat dagu lalu pukul dada dia. Setelahnya tarik lagi kerah bajunya. "Lalu, siapa dia? Siapa yang udah kasih nomor hp kamu dengan nama itu, Bang?"
Aku kembali di dorong. Cuma bedanya kali ini kaki udah gak sanggup menahan diri. Aku jatuh terduduk dengan lutut yang lebih dulu membentur lantai.
Ngilu, sakit, tapi gak sebanding dengan rasa sakit dan marah yang aku rasa saat ini.
Aku tatap lagi Bang Darwis. Dia buka jaketnya lalu menarikku berdiri. Lenganku dicekal dan dicengkeram kuat. Ngilu.
"Kamu cek hp-ku?" tanyanya sambil kasih akun tatapan nyalang.
"Iya. Aku cek, siapa dia!" Aku menggila. Aku pukul dada Bang Darwis berkali-kali.
Tapi agaknya gak berbekas. Jangankan mengaduh, mengedip aja enggak. Dan ini buatku menggila.
Aku lepaskan diri dan melayangkan tamparan ke pipi dia. Ini kekerasan pertama yang aku lakukan.
"Apa yang kamu lakukan sampai dia kasih kamu nama itu?" teriakku lagi.
"Berani kurang ajar kamu," balasnya lalu mendorong. Aku tersungkur membentur dinding. Kepalaku terbentur keras.
Pening, tapi aku tetap bertahan. Rasa muak buatku kuat. Aku gak tahan.
Aku tatap nyalang dia yang sedang usap-usap pipi. Binar matanya menyiratkan kebencian. Dia seperti siap mengamuk.
Tapi aku tak gentar sama sekali. Bahkan saat dia datang mendekat aku sama sekali gak takut. Aku gak takut!
"Kamu makin ngelunjak."
"Aku gak ngelunjak. Aku cuma tanya siapa perempuan sial itu! Siapa!"
"Gak ada siapa-siapa!" teriaknya lagi
"Pembohong!"
"Mulai kurang ajar kamu. Sini kamu!"
Aku bahkan gak kedip saat dia dorong pundakku dan menarik kerah baju. Kaki mulai gak menapak lantai.
"Berani kamu? Aku suamimu, Nabila!" geramnya lagi
Aku sama sekali gak takut.
"Ceraikan aku!" kataku penuh intonasi penegasan.
Matanya membulat. Mungkin gak nyangka aku bakalan bilang ini. Selama ini aku gak pernah minta cerai. Jangankan cerai, membantah omongannya saja gak pernah. Itu bukti cinta dan baktiku padanya. Tapi dia malah begini. sakitnya gak terkira. Sakit banget.
"Aku minta cerai.Kembalikan aku ke rumah orang tuaku," lanjutku menegaskan
"Apa kamu bilang?" balasnya. Badanku makin naik. Rasanya sakit terlebih saat satu tangannya mencengkeram leher.
Ya, aku ingin bercerai. Aku gak bahagia.
"Ceraikan aku!" lanjutku lagi meski suara sulit keluar.
Bugh!
Aku terbaring setelah badan membentur pintu. Kepalaku pening. Nyut-nyutan. Meski begitu aku lega karena bisa bernapas lagi.
Kupandangi lagi dia. Dia mendekat lalu menarik kerah bajuku. Badan tergantung lagi.
"Coba bilang. Ulangi!" katanya sembari melotot. Matanya merah. Deru napasnya juga tidak teratur.
Ya, dia memang begini. Jika marah dia gak segan main tangan. Tidak sering, tapi jika kami cekcok maka tangannya akan ringan memukuli. Makanya aku lebih sering memendam.
Tapi gak kali ini. Aku gak kuat. Aku masih punya orang tua. Aku masih sanggup membesarkan Adel. Kamu gak butuh laki-laki macam dia. Pembohong! Peselingkuh!
Mataku memanas. Terasa air mengalir di pipi. Mungkinkah ini balasan karena aku menentang orang tua karena memilih dia.
Ah ingat orang tua mataku makin panas.
"Ceraikan aku. Ceraikan aku, Darwis!"
Bandanku diban*ting. Sakit gak main-main karena membentur dinding. Kepalaku juga kliyengan. Luar biasa rasanya.
Kulihat lagi Bang Darwis. Dia mendekat dengan cepat. Setelahnya badanku ditarik lagi, diseret, ditolak lagi sampai tersungkur. Telapak tangan perih, lutut luka.
Sakit. Sekarang bukan hanya hatiku yang disakiti, tapi fisik juga.
Ya Allah … makhluk apa yang jadi suamiku selama ini.
Mataku memanas menatapnya yang beringas.
"Ulang sekali lagi!" titahnya
"Ceraikan aku!"
Brakh!
Badanku kembali dilempar. Aku terjerembab terkena kaki sofa, setelah itu dia mendekat dan menarik daguku. Kami berserobok pandang.
"Kamu gak akan pernah aku ceraikan. Gak akan pernah!" geramnya penuh penekanan dan penegasan.
"Kalau begitu kasih tau siapa perempuan itu!" teriakku gak terima. "Siapa perempuan itu!"
Plak!
Pipi panas bersamaan dengan napas yang tercekat.
Dia menamparku? Ya Allah.
Jika tidak mau pisah bukankah seharusnya bilang siapa perempuan itu? Ini malah main tangan. Sungguh jahat laki-laki ini. Kenapa perubahannya jauh sekali?
Dulu, dia pengertian. Penyayang. Tapi lihatlah sekarang. Dia sudah mirip binatang ketimbang manusia.
Air mata jadi menitik lagi. Sumpah, demi apa pun aku benci laki-laki ini. Aku benci!
Jilbabku ditarik. Dia memaksa menatapnya. "Jangan pernah mintai cerai dariku!"
"Teganya kamu begini ke aku. Apa kurangku? Apa salahku? Sampai hati kamu begini. Apa gak mikirin Adel? Rumah tangga kita."
Dia diam, deru napasnya terdengar tidak beraturan. Ya, aku yakin dia marah. Tapi aku juga berhak marah.
"Jawab aku, Darwis. Apa yang udah kamu kasih ke aku sampai berani selingkuh? Apa?"
Lagi, aku ditampar. Kepala sampai nyut-nyutan parah. Pandangan juga mulai buram lantaran menyatu dengan air mata.
Daguku kembali dicengkeram. Sakit. Ngilu. Rasanya ada yang patah. Cuma, mau mengaduh rasanya tidak sudi.
"Aku gak selingkuh, Nabila," katanya dengan nada tertahan.
"Bohong!"
"Aku gak bodoh. Aku gak selingkuh. Untuk apa selingkuh?"
"Lalu kenapa bisa ada yang kasih nama kamu begitu."
"Itu …." Lisannya menggantung, dia juga kelihatan gugup. Kesempatan buat melepaskan diri. Kutepis tangannya dari dagu lalu menatapnya lekat-lekat.
Dia terlihat gelisah. Ya, dia gelisah. Gelagat aneh itu aja udah jadi bukti kalau dia berbohong. Manusia ini penuh kebohongan.
"Kenapa? Gak mau jelasin siapa dia. Takut aku nyerang dan buat perhitungan?" tanyaku. Dia menatap tajam.
"Sudahlah. Aku capek. Aku capek hidup melarat. Aku capek ngimbangin kamu tapi dikhianati. Aku capek!" Aku dorong dia hingga terjungkal ke belakang. Kesempatan itu aku pakai buat berdiri.
"Apa pengorbanan aku kurang? Aku jauh-jauh dari Kalimantan terbang ke sini demi kamu. Aku yang biasanya hidup nyaman sama orang tua rela ke sini demi berumah tangga sama kamu. Bertahun-tahun hidup sama kamu dalam pengiritan. Aku gak pernah ngeluh walau makan seadanya. Aku juga gak pernah mengeluh saat ibu kamu nyinyir dan nyalahin aku saat Adel sakit atau apa. Aku selalu terima karena bakti aku ke kamu. Tapi apa? Apa ini, teganya kamu selingkuh."
Dia diam. Akan tetapi aku tau dia masih menggeram. Tangannya mengepal di sisi celana.
"Tadi kamu bilang apa? Gak selingkuh? Kalau begitu kasih aku buku tabungan kamu. Aku mau bawa ke bank dan lihat ke mana aja uang kamu mengalir."
Dia masih diam. Tapi saat ini ada perubahan. Muka yang tadinya terlihat garang kini kelihatan bergelombang. Dia gugup. Sebenarnya apa yang dia sembunyikan?
"Kasih ke aku!" teriakku lagi.
Badanku ditepis kasar sampai membentur dinding. Kulihat dia membuka pintu. Mau pergi agaknya.
Tapi tidak bisa. Dia tidak boleh pergi sebelum kasih penjelasan. Aku tidak mau dibeginikan.
"Mau ke mana kamu?" cegatku. Tapi badan ini kembali ditepis dan sialnya di pintu kulihat Aldi. Dia mematung menatap kami.
"Bang Darwis, kamu selingkuh?" tanya Aldi. Dia memegang lengan suamiku itu. Tapi ditepis.
"Bukan urusanmu!" balas Bang Darwis.
Aldi melihat dan aku spontan membuang muka. Entah kenapa ada rasa malu saat ipar melihat aku yang berantakan begini. Selama ini aku selalu menutupi, selalu bertingkah seolah bahagia dan rumah tangga baik-baik saja. Alasannya karena tidak mau ibu mertua ikut campur. Kalau dia tahu, akulah yang akan disalahkan.
Air mata menitik dan gegas aku menghapusnya. Aku tidak boleh lemah. Tidak boleh. Sekarang sudah kelihatan belang suamiku itu. Jadi tidak akan aku sia-siakan air mata ini. Cukup sudah aku menderita. Cukup. Akan aku akhiri.
"Bang, kamu selingkuh?" tanya Aldi lagi.
"Bukan urusanmu, Aldi. Pulanglah!" sentak Bang Darwis.
Sumpah, dadaku kembali begejolak. Aldi yang dibentak aku yang marah. Suamiku itu entah terbuat dari apa hatinya. Sama adik sendiri saja begini.
Bang Darwis mendorong Aldi hingga tersungkur, lalu pergi begitu saja meninggalkan kami. Aku dan Aldi yang tinggal berdua berserobok pandang untuk sekian detik.
"Kak, kamu baik-baik aja?" tanyanya.
Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku jawab baik-baik saja saat hati beneran hancur karena suami. Kesetiaanku, pengorbanan bahkan masa muda yang aku korbankan ternyata berakhir pengkhianatan. Lalu, bagaimana bisa aku baik-baik saja?
Tidak, aku tidak baik-baik saja. Kalau bisa aku ingin mengamuk. Memukuli laki-laki jahat itu. Sampai hati dia selingkuh.
"Kak Nabila?"
Aku hapus air mata dan natap Aldi. Dia kelihatan khawatir.
"Kita ke rumah sakit?"
Aku menggeleng, lalu hapus lagi air mata yang terus aja turun. Tidak tau cara berhentikannya. Air ini terus ngalir.
Aku tarik napas panjang.
"Al, tolong jaga Adel buat sementara. Aku gak mau Adel lihat ibunya begini," kataku lalu tutup pintu.
"Kak, sebenarnya apa yang terjadi?" Aldi mengetuk. Tapi aku belum siap cerita. Gak mampu.
"Oiya Al, jangan bilang Ibuk. Aku mohon …."
"Baiklah," sahut Aldi, lalu hening.
Di belakang pintu aku aku merosot ke lantai. Menekuk kaki sambil menutup wajah dengan telapak tangan.
Sumpah, selama berumah tangga ini adalah cekcok paling parah. Penganiayaan dia juga lebih meyakinkan. Biasanya aku hanya dicubit dan akan menyisakan tanda biru.
Sekarang, semua badan ngilu. Bahkan ada darah. Dalam mulut juga terasa asin. Aku yakin mulut bagian dalam sobek.
Astaghfirullah, apa yang harus aku lakukan dengan rumah tangga ini?
Di belakang pintu aku menunduk. Menangis meratapi nasib. Apa ini balasan karena durhaka?
Ya, aku merasa durhaka. Demi Darwis aku menolak jodoh dari Mak. Demi menikahi Bang Darwis aku sampai cekcok sama Bapak lantaran uang hantaran gak sesuai yang Bapak minta. Aku bahkan dengan ikhlas nambah uang Bang Darwis lantaran takut dia dianggap remeh keluarga besar karena uang hantaran yang sedikit.
Tapi apa ini. Perjuanganku dibalas pengkhianatan. Jahat. Dia beneran jahat.
Astaghfirullah ….
Mak … Bapak, aku mau pulang. Aku gak tahan. Aku minta maaf. Bantu Bila, Mak, Pak.
Tiba-tiba pintu diketuk. Tentu aku berdebar-debar dan gegas hapus air mata.
"Kak, ini Aldi. Buka pintunya."
Entah kenapa aku lega dia yang datang. Tidak kebayang kalau yang datang adalah mertua atau tetangga.
Aku berdiri meski tertatih, lalu buka pintu dan Aldi pun masuk. Untuk sekian detik aku gelagapan.
"Al?" Aku hapus air mata. Bingung. Soalnya Aldi datang bawa sesuatu. Dan setelah dikeluarkan semuanya adalah obat luka. Dia menatanya di meja.
Kembali hatiku mencelos. Adik ipar sedemikian perhatian, beda sama suami yang cuek dan pelit.
"Aku obati Kak Bila," katanya.
Aku menolak, tapi ditarik paksa. Aku dituntun duduk di sofa.
Pertama dia menutup lukaku di kaki, lalu ke telapak tangan. Setelah itu mulai mengobati bagian wajah.
Entah bagian mana yang luka. Soalnya semua terasa ngilu apalagi di bagian pelipis dan bibir.
"Argh!" Aku spontan merintih saat kapas bercampur obat merah mengenai ujung bibir.
"Maaf. Tahan, ya." Dia mulai meniup luka di bibir. Lalu pelipis juga ditiup dia kali, setelahnya kami berserobok pandang.
Saat begini aku jadi teringat sama Bang Darwis. Spontan saja air mata menetes. Lihat Aldi aku jadi ingat Bang Darwis. Sudah aku bilang, muka mereka mirip. Jadi saat lihat Aldi, aku jadi teringat kejadian barusan.
"Bang Darwis selingkuh?" tanyanya.
Aku tidak tau karena dia gak ngaku. Tapi, dari gelagatnya memang mencurigakan.
"Dia punya simpanan, Al," jelasku dengan pelan. Sesak banget ini dada sampai-sampai mau ngomong aja sulit.
"Keterlaluan dia. Apa dia mau ngelakuin kesalahan macam bapak?" geramnya dengan nada tertahan
Ya, aku tau kisah ini. Dulu bapak mertua juga selingkuh saat anak-anaknya masih kecil. Bahkan menikah siri. Tapi entah gimana akhirnya balik lagi.
"Gak bisa, Bang Darwis harus diperingatkan. Dia gak bisa melakukan ini sama anak istri," lanjut Aldi yang buat hati nyeri luar biasa.
Aku hapus air mata lalu menggeleng.
"Makasih karena udah peduli," ujarku.
"Aku harus peduli. Dia itu lagi gak waras. Dia gila."
"Al, aku mau minta tolong."
"Ya, apa katakan."
"Bantu aku agar bisa bercerai."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!