“Saya terima nikahnya Farasya Nur Apriyanti binti Bapak Toni Hermansyah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana saksi, Sah?”
“Sah.”
“Sah.”
“Alhamdulillah.”
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Asha, yang tidak lain adalah mempelai wanita. Entah dia harus bahagia atau sedih. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Apalagi saat mendengar rasa syukur yang diucapkan keluarga, semakin menambah perih di hatinya.
Seorang ustaz membaca doa yang ditujukan pada pasangan pengantin, yang baru saja sah menjadi pasangan suami istri. Senyum terukir dari semua keluarga dan juga para tamu yang hadir, tidak terkecuali keluarga pasangan pengantin. Semua orang begitu bahagia, sampai resepsi pun digelar dengan begitu mewahnya di sebuah gedung yang begitu besar. Semuanya menggunakan jasa wedding organizer yang terkenal di kota itu.
Kedua orang tua pasangan pengantin saling berpelukan, mereka terlihat begitu bahagia. Ini adalah keinginannya dari dulu, membuat kedua keluarga menjadi satu. Mereka sudah berjanji satu sama lain akan memperlakukan anak mereka seperti anak sendiri.
Para tamu satu persatu mengucapkan selamat pada kedua pengantin dan juga kedua orang tuanya. Banyaknya tamu membuat Asha dan Aji merasa kelelahan. Namun, keduanya masih tetap harus menjamu tamu yang masih ada. Apalagi kerabat jauh yang sudah lama tidak bertemu.
“Apa kamu lelah? Kalau kamu lelah, biar aku antar ke kamar saja lebih dulu. Nanti aku sendiri yang akan menyambut para tamu,” ucap Aji yang hari ini sudah sah menjadi suami Asha.
“Tidak usah, Mas. Aku tidak apa-apa, aku masih kuat. Lagi pula acaranya juga sebentar lagi akan selesai,” sahut Asha dengan tersenyum meskipun tubuhnya benar-benar sangat lelah. Entah kapan pesta ini akan berakhir.
“Tapi kamu sepertinya sangat kelelahan sekali. Sebaiknya kita istirahat di kamar yang sudah disediakan saja.”
“Sungguh, aku tidak apa-apa. Wajar juga, dari pagi kita sudah banyak sekali acara yang dilangsungkan. Ini hanya tinggal sedikit lagi, aku juga nggak enak sama papa dan mama kita kalau pergi begitu saja.”
“Ya sudah, kalau begitu. Jika setengah jam lagi tamu juga belum pulang semua, kita kembali saja ke kamar. Aku juga sudah capek,” ucap Aji yang diangguki oleh Asha.
Wanita itu memang sudah sangat lelah, tapi mau bagaimana lagi. Dia juga tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah menyiapkan acara sebesar ini. Aji kembali menyambut para tamu yang datang, sesekali pria itu menatap wajah sang istri sambil tersenyum. Dia merasa bahagia akhirnya bisa menikah dengan wanita yang begitu lembut seperti Asha.
Kebanyakan tamu berasal dari kalangan pengusaha, teman Asha hanya beberapa saja. Wanita itu memang sengaja tidak mengundang banyak orang agar tidak terlalu berlebihan. Apalagi sejak dirinya putus dengan kekasihnya, dia semakin menutup diri.
Aji beruntung bisa menikah dengan wanita itu yang memang pilihan orang tua. Dia yakin jika Asha adalah wanita baik dan sholihah. Hingga setengah jam kemudian Mama Tia meminta Aji membawa istrinya ke kamar, karena wanita itu bisa melihat wajah sang menantu yang tampak sangat pucat. Pasti karena kelelahan. Aji yang melihat itu pun juga merasa kasihan pada sang istri. Akhirnya dia membawa wanita itu ke dalam kamar yang sudah disiapkan.
“Mas, apa tidak apa-apa kalau kita meninggalkan pesta?” tanya Asha yang merasa tidak enak saat melihat ke sekeliling masih ada beberapa tamu.
“Tidak apa-apa, lagian juga tinggal sedikit, ada papa dan mama yang pasti akan menghadapinya. Jangan terlalu dipikirkan, ayo kita masuk ke kamar.”
Asha pun mengangguk mengikuti langkah sang suami. Aji menggenggam telapak tangan sang istri menuju kamar yang sebelumnya sudah ditunjukkan oleh pegawai di sana. Pria itu juga sudah membawa kunci kamar. Sepanjang perjalanan telapak tangan Asha selalu ada dalam genggaman Aji.
Dalam hati wanita itu merasa takut jika genggaman itu akan terlepas nantinya. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Aji adalah pria yang baik, sementara dirinya hanya manusia yang penuh dosa. Dia menggelengkan kepala, tidak sanggup untuk melanjutkan apa yang sedang ada di kepala.
“Akhirnya kita sampai juga, ini kamarnya,” ucap Aji yang kemudian menatap sang istri. Dia mengerutkan keningnya saat mendapati mata Asha yang terlihat seperti ingin menangis. “Kamu kenapa? Kamu menangis?”
“Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya merasa terharu,” jawab Asha menangis. Dia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya.
“Ya sudah, ayo kita masuk!” Aji pun membuka pintu dan membawa masuk sang istri.
Keduanya begitu takjub melihat dekorasi yang serba merah. Lampu temaram serta lilin-lilin yang ada di lantai, membuat suasana semakin romantis. Aji merasa bahagia melihatnya ternyata tidak ada yang muncul berbeda dengan sang suami, Asha hanya diam mematung dengan ekspresi ketakutan. Kepalanya juga tiba-tiba terasa pusing, padahal tadi dia baik-baik saja. Wanita itu berpikir mungkin karena kurang makan jadinya sekarang terasa pusing.
“Asha, kenapa kamu diam saja?” tegur Aji. Dia merasa aneh saat melihat wajah sang istri yang terlihat pucat.
“Ti–tidak apa-apa, Mas. Aku hanya terkejut.”
“Tapi kenapa kamu dari tadi memegangi kepalamu?”
“Ini hanya ... hanya ... sedikit pusing, Mas.” Asha tertawa canggung ke arah sang suami.
Pusing yang dirasakan oleh wanita itu semakin menjadi, membuat tubuhnya tidak stabil. Sebisa mungkin dia terlihat baik-baik saja, tetapi tetap saja wajahnya terlihat pucat. Aji yang melihat itu pun segera mendekati sang istri dan memegangnya. Pria itu juga berpikir jika istrinya kelelahan.
“Kamu tidak apa-apa? Sepertinya kamu benar-benar sakit, kamu duduk saja biar aku panggilkan dokter.”
“Jangan, Mas!” pekik Asha membuat Aji menatapnya heran. “Maksudku tidak usah, Mas. Nanti juga akan baik-baik saja.”
“Sudah seperti ini kamu masih saja bilang tidak apa-apa, kamu sampai pusing begitu. Aku khawatir kalau kamu sakit, apalagi jika sampai terlambat ditangani dokter, pasti aku akan merasa sangat bersalah. Bagaimanapun juga kamu adalah istriku dan tanggung jawabku. Kamu harus mulai terbiasa dengan kehadiranku,” ujar Aji panjang lebar, membuat Asha semakin bersalah. Mata wanita itu juga berkaca-kaca.
“Kenapa kamu baik sekali padaku?”
“Karena kamu adalah istriku dan tanggung jawabku.”
Wanita itu tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Rasa pusing yang dirasakan semakin menjadi, hingga akhirnya tubuhnya jatuh dan tidak sadarkan diri. Aji begitu panik mendapati istrinya tergeletak begitu saja. Dia segera mengangkat ke atas ranjang. Pria itu mencoba mencari ponselnya agar bisa menghubungi dokter.
Aji meminta Dokter Ihsan datang ke kamar pengantinnya, yang berada satu gedung dengan tempat diadakannya resepsi tadi. Awalnya dokter itu menolak, dia merasa segan datang ke kamar pengantin di malam pertama. Akan tetapi, setelah Aji memaksa dan mengatakan keadaan istrinya akhirnya Dokter Ihsan mau datang juga.
Sebelum menutup panggilan, Aji memperingatkan Dokter Ihsan untuk tidak mengatakan apa pun pada keluarganya. Dia tidak ingin kedua orang tua serta mertuanya khawatir. Pria itu yakin jika Asha hanya kelelahan, besok atau lusa saja Aji memberi kabar.
.
Aji masih duduk di tepi ranjang, menunggu dokter yang belum juga datang. Dia masih berusaha agar membuat sang istri bangun. Namun, belum ada tanda-tanda wanita itu akan sadar. Aji jadi takut jika istrinya akan sakit atau mungkin sebenarnya sudah sakit, tetapi sang mertua tidak memberitahunya.
Ingin sekali pria itu menghubungi mertuanya, tetapi takut jika akan menambah beban pikiran. Apalagi saat ini orang tuanya juga bersama mereka jadi, dia memutuskan untuk menunggu dokter saja. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Asha. Tidak berapa lama, dokter yang ditunggu pun akhirnya datang, membuat Aji merasa lega sekaligus kesal.
Aji sempat protes karena Dokter Ihsan terlalu lama, tetapi tidak dihiraukan dokter itu sama sekali. Aji memang orang yang sopan dan lembut. Namun, dia paling tidak suka dengan keterlambatan. Apalagi keadaan istrinya yang belum juga sadar, sementara dirinya tidak tahu apa-apa tentang wanita itu.
Dokter Ihsan segera membuka peralatan yang dibawa dan memeriksa keadaan Asha. Dokter tersebut merasa aneh dengan keadaan Asha karena semuanya terlihat normal. Kelelahan memang wajar di saat acara seperti ini, kemudian dia tersenyum saat tahu sesuatu. Dia pikir jika Aji pria baik, nyatanya sama saja dengan orang lain, tetapi Dokter Ihsan memakluminya karena dia juga laki-laki.
“Bagaimana keadaan istriku, Dok? Kenapa Anda tersenyum?” tanya Aji yang merasa aneh, padahal dirinya sedang khawatir, tetapi dokter itu malah tersenyum sendiri. Bahkan terlihat seperti sedang mengejeknya.
Dokter Ihsan yang melihat kekhawatiran Aji pun jadi kembali tersenyum. Dia yakin jika pria itu sangat menyayangi istrinya. Pria itu sangat mengenal Aji dan ingin yang terbaik untuknya.
“Dok, ditanya malah senyum-senyum sendiri. Apa yang terjadi pada istriku?” tegur Aji yang belum mendapat jawaban tentang keadaan istrinya.
“Saya tidak bisa memastikan yang sebenarnya, tapi saya mencurigai sesuatu. Cobalah kamu bahwa dia ke dokter kandungan, mudah-mudahan kamu mendapat jawaban di sana.”
Aji mengerutkan keningnya dan bertanya, “Dokter kandungan? Kenapa saya harus membawa istri saya ke dokter kandungan? Kenapa tidak ke dokter umum saja?”
“Itu dia maksud saya, Aji. Saya curiga saat ini istrimu sedang hamil, makanya saya menyarankan kamu untuk pergi ke sana.”
Bagai disambar petir, tubuh Aji membeku, dia begitu terkejut, tidak tahu harus melakukan apa. Ini adalah malam pengantin mereka, tetapi dirinya justru mendengar berita yang sangat luar biasa mengejutkannya. Keduanya bahkan belum melakukan apa-apa. Selama ini juga pria itu berusaha menjaga diri agar tidak melakukan kesalahan, tetapi kenyataannya justru membuatnya geram.
“Aji, kamu mendengarkan aku, kan?” Dokter Ihsan melambaikan tangannya di depan wajah Aji karena pria itu hanya diam dengan pandangan yang kosong.
“Iya, Dok. Saya mendengarnya,” jawab Aji dengan nada datar, pandangannya beralih menatap ke arah sang istri. Rasa kecewa dalam hatinya berubah menjadi rasa benci.
“Baiklah, lebih baik kamu bicarakan berdua dengan istrimu. Saya juga mengerti, sudah biasa memang bagi pasangan suami istri yang baru menikah, tapi sudah hamil jadi, jangan malu untuk mengakuinya. Juga jangan melakukan kesalahan yang akan kamu sesali seumur hidup,” ucap Dokter Ihsan dengan menepuk pundak Aji.
“Dokter tenang saja, saya tahu apa yang harus saya lakukan.”
“Baiklah, saya pergi dulu.” Dokter Ihsan pun segera membereskan perlengkapannya.
“Terima kasih, Dok. Nanti saya akan transfer ke rekening Anda. Seperti yang saya katakan tadi, tolong rahasiakan ini dari siapa pun, termasuk kedua orang tua kami.”
“Tenang saja, aku akan menjaga rahasia ini.”
Aji mengangguk, dokter tersebut pun keluar dari kamar meninggalkan pasangan pengantin baru. Sementara itu, Aji sendiri kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Mereka menikah karena perjodohan, pertemuan mereka juga sangat jarang sekali karena Aji memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Mereka juga hanya pergi beberapa kali.
Jangankan berbuat hal yang tidak senonoh, bahkan untuk berpegangan saja tidak pernah. Baru hari ini setelah mereka sah menjadi suami istri, Aji berani mendekatinya. Akan tetapi, sekarang justru dia mendapatkan kabar begitu mengejutkan soal istrinya yang tengah hamil. Sungguh berita yang sangat menyakiti hati pria itu serta harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan juga suami.
Tiba-tiba saja Aji merasa jijik berada di dekat Asha. Dia mengira istri yang lemah lembut serta sopan santun itu wanita baik-baik, ternyata sama saja dengan wanita di luaran sana. Bahkan lebih terhormat mereka daripada Asha. Mereka jelas-jelas menjual diri demi mempertahankan hidup.
Keluarga Asha dari keluarga terpandang dan kaya, tidak mungkin wanita itu merasa kekurangan uang. Pasti dia melakukannya dengan pacarnya. Sungguh hal yang tidak pernah Aji bayangkan jika dirinya mendapatkan perlakuan seperti ini.
“Kalau Asha memang sudah memiliki kekasih, kenapa dia menerima pernikahan ini? Kenapa tidak menolak dan menikah dengan kekasihnya. Apa kekasihnya itu tidak mau bertanggung jawab, hingga membuat Asha akhirnya terdiam dan menerimanya begitu saja? Tapi kenapa harus melibatkanku? Angan-anganku untuk memiliki seorang istri yang sholehah harus hancur begitu saja karena kehadiran Asha,” gumam Aji dengan mengepalkan tangannya.
Pria itu masih diam di tempat dengan menatap tajam ke arah Asha yang belum sadarkan diri. Kini dirinya sudah dipenuhi dengan kebencian. Wanita itu sudah menghancurkan masa depannya, sampai kapan pun dia tidak akan memaafkannya begitu saja. Aji menerima perjodohan ini demi baktinya pada kedua orang tuanya, tetapi yang didapat justru wanita yang tidak tahu diri.
Kini yang ada dalam pikiran pria itu adalah bagaimana dirinya nanti akan mengatakan pada kedua orang tuanya. Pasti mereka akan merasa sedih dan terluka. Mengenai kedua orang tua Asha, entah keduanya tahu atau tidak mengenai kehamilan ini. Jika mereka tahu, berarti ini adalah konspirasi mereka. Kalau mereka tidak tahu, sungguh pintar sekali Asha menyembunyikan keburukannya dan ini menandakan bahwa wanita itu memang tidak layak untuk jadi istrinya.
Hingga tidak berapa lama, Asha pun sadar. Dia melihat ke sekeliling, barulah dia sadar jika baru saja melangsungkan pernikahan. Dirinya dan sang suami saat ini berada di dalam kamar pengantin, yang didekorasi sedemikian rupa. Saat wanita itu melihat ke arah sang suami, ada perasaan aneh karena pria itu seperti sedang menahan amarah. Padahal pandangan Aji tadi penuh cinta dan kasih sayang, berbanding terbalik dengan keadaan yang dilihat kini.
“Mas, kenapa kamu melihatku seperti itu? Apa ada sesuatu yang aneh dalam diriku?” tanya Asha pelan, mencoba untuk berbicara tenang agar tidak memancing amarah sang suami. Dilihat dari ekspresinya saja Aji terlihat begitu mengerikan.
“Kenapa kamu melakukan ini padaku?” tanya Aji dengan nada dingin.
Asha terkejut dengan nada bicara sang suami. Dia pun memberanikan diri bertanya, “Me–melakukan ini? Melakukan apa, Mas? Aku sama sekali nggak ngerti apa maksudmu.”
“Kamu mau pura-pura bodoh atau kamu memang benar-benar bodoh! Kamu pasti tahu apa yang aku maksud. Tadi kamu pingsan, sudah ingat?” berang Aji yang semakin membuat Asha ketakutan.
Asha menundukkan kepala, dia baru sadar jika tadi dirinya tidak sadarkan diri. Tadinya Asha berpikir jika dia tadi tertidur di atas ranjang, sekarang wanita itu mengingat tadi saat masuk ke kamar kepalanya terasa sangat pusing dan saat bangun sudah di atas ranjang.
“Siapa ayah dari bayi itu?” tanya Aji, seketika membuat Asha terkejut.
“A–apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti,” tanya Asha balik dengan tergagap.
“Kamu tidak usah berlagak tidak tahu. Pasti kamu sudah mengerti maksudku. Jawab saja pertanyaanku, siapa ayahnya.” Aji masih mencoba mengontrol emosinya. Bagaimanapun juga dirinya bukanlah orang yang tempramen. Namun, tetap saja pandangannya tajam ke arah Asha yang duduk di atas ranjang.
Wajah wanita itu begitu pucat, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu juga. Dia meremas kedua telapak tangannya, guna mengurangi rasa takut yang ada dalam dirinya. Bukan ini yang ingin Asha dengar di malam pertamanya. Sudah beberapa kali wanita itu mencoba untuk melupakannya, tetapi hari ini Aji justru mengingatkannya.
Ini memang bukan kesalahan suaminya, mau bagaimanapun juga kandungannya pasti suatu hari nanti akan terlihat. Sebenarnya Asha juga tidak tahu jika dirinya sedang hamil, hanya saja dia mencurigai sesuatu dari tubuhnya karena merasa berbeda. Namun, wanita itu tidak berani untuk memeriksanya. Asha takut mendengar apa hasilnya.
Kini wanita itu justru mendengar dari orang lain. Dia juga tidak mengalami mual atau mengidam seperti orang hamil pada umumnya. Hanya saja kepalanya kadang pusing. Namun, itu tidak terlalu parah, setelah minum teh hangat pasti kembali baik.
“Kenapa hanya diam saja, jawab pertanyaanku. Siapa ayah dari bayi itu? Kenapa kamu tidak minta pertanggungjawaban darinya? Kenapa justru kamu malah memilih menikah denganku?”
Lagi-lagi Asha hanya diam, tidak tahu harus mengatakan apa karena dia juga bingung. Dilema yang dirasakan wanita itu begitu besar. Aji yang melihat keterdiaman Asha menjadi bertambah geram. Pria itu hanya ingin mendengar satu nama dari mulut istrinya, tetapi sepertinya Asha enggan untuk mengatakan.
“Katakan saja satu nama, setelah itu kamu bisa bebas. Kamu juga bisa menikah dengannya, aku tidak akan menghalagimu.”
Asha menggelengkan kepala, matanya sudah mulai berkaca-kaca. Dia tidak pernah berpikir akan berpisah dengan suaminya. Baginya pernikahan hanya sekali seumur hidup dan hanya dengan Aji masa depannya. Wanita itu tidak menginginkan orang lain lagi bersamanya. Meskipun saat ini dalam perutnya ada anak orang lain, tetapi bagi Asha, ayahnya hanyalah Aji.
“Kenapa menggeleng? Aku hanya ingin tahu siapa ayah dari bayi yang ada di perutmu. Siapa dia?”
“Maaf, maafkan aku.”
Lagi-lagi kata itu yang keluar dari bibir Asha, Aji sampai muak mendengarnya. Wanita lugu yang ada di depannya, yang dia kira wanita baik-baik, nyatanya sama saja seperti di luaran sana. Pandai sekali Asha berakting, bahkan kedua orang tuanya pun percaya padanya. Mengenai sang mertua, entah tahu atau tidak.
“Sebegitu besarkah cintamu pada pria itu, hingga kamu tidak mau mengatakan padaku? Apa kamu takut aku akan berbuat sesuatu padanya? Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan sesuatu padanya. Aku hanya akan meminta pertanggungjawaban darinya untukmu, itu saja. Seharusnya kamu berterima kasih padaku, akan aku pastikan dia akan bertanggung jawab kepadamu.”
“Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa mengatakannya,” jawab Asha dengan suara seraknya.
Wanita itu mencoba agar tidak menangis, tetapi sebagai manusia biasa dia sudah tidak bisa menahan diri dan akhirnya air mata itu mengalir begitu saja, seiring rasa sakit yang Asha rasakan. Apalagi kini bayangan itu kembali muncul, semakin menambah luka dalam hati yang sudah coba dia obati. Selama ini wanita itu berusaha sendiri, hingga detik ini pun masih sama. Bukan karena tidak ada yang peduli padanya, tetapi Asha yang tidak ingin merepotkan orang lain.
“Kenapa kamu tidak mau mengatakannya? Apa dia tidak mau bertanggung jawab padamu? Tapi kenapa kamu masih saja melindunginya? Kamu itu bodoh atau apa? Katakan saja namanya, aku akan pastikan kalau dia bertanggung jawab padamu.”
Asha masih menutup mulutnya rapat-rapat, tanpa ada satu kata pun yang keluar. Sungguh kesabaran Aji sudah diambang batas.
“Asha!” bentak Aji yang seketika membuat Asha berjingkat.
Selama hidupnya, baru kali ini dia mendapat bentakan. Yang lebih menyedihkan itu dilakukan oleh sang suami di malam pertamanya. Malam yang tidak akan pernah terjadi diantara mereka. Kedua orang tuanya begitu menyayanginya, itulah kenapa dia tidak pernah dibentak. Bahkan untuk bicara keras saja tidak pernah.
Aji menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan diri. “Sekarang aku tanyakan sekali lagi padamu. Aku harap kamu mengatakannya dengan jujur, jangan sampai kamu membuat kesabaranku habis.”
Asha masih diam dengan menundukkan kepala, dia tidak berniat untuk menjawab apa yang suaminya tanyakan. Wanita itu tahu jika saat ini Aji benar-benar sudah dibatas ambang kesabarannya. Namun, mau apa pun yang akan dilakukan pria itu padanya, dirinya sudah pasrah. Asha tahu kalau suatu hari dia akan mendapatkan perlakuan seperti ini.
Entah karena kehadiran bayi yang ada dalam kandungannya atau karena dirinya sudah tidak perawan lagi. Wanita itu sudah siap becak rencana pernikahan itu dibuat. Saat itu dia hanya percaya jika Aji pria baik dan pasti bisa menerima kehadiran bayi ini, tetapi kini dirinya tahu jika kepercayaannya ternyata salah.
“Katakan siapa ayah dari bayi itu?”
Hening beberapa detik hingga akhirnya Asha menjawab dengan menundukkan kepalanya. “Maafkan aku.”
Lagi-lagi kata itu yang terucap. Aji mengepalkan tangan sekuat-kuatnya. Emosinya benar-benar sudah di ujung tanduk, hingga dia melampiaskan amarah dengan memukul cermin meja rias yang ada di sana, hingga kaca tersebut pecah berhamburan. Asha terkejut dan menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.
Tubuh wanita itu gemetar begitu hebat. Dia yang terbiasa hidup mewah dan diberi kecukupan tidak pernah sekalipun mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Kini harus mengalami hal seperti ini.
Punggung tangan Aji terlihat mengeluarkan darah hingga menetes di lantai. Ada pecahan kaca juga yang menempel di sana. Asha ingin membantunya, tetapi rasa takutnya begitu besar dan membuatnya hanya berdiam diri saja.
“Ternyata cintamu padanya memang benar-benar besar, hingga kamu sangat berusaha untuk menutupinya. Tidak masalah bagiku, terserah padamu apa yang kamu lakukan. Aku juga tidak akan memaksa, tapi jangan salahkan aku jika aku juga melakukan sesuatu.”
Aji segera meninggalkan kamar pengantin tersebut. Entah dia mau pergi ke mana, seharusnya malam pengantin ini menjadi malam yang bersejarah baginya. Namun, sekarang semuanya hancur tidak berbentuk.
Sementara itu, Asha yang berada di kamar pengantin hanya bisa menangis dengan menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia sungguh merasa bersalah akibat kebodohannya dulu, kini masa depannya hancur begitu saja. Satu-satunya harapan kini adalah Aji mau memaafkannya dan melanjutkan pernikahan ini. Wanita itu tidak akan sanggup jika pernikahan ini hancur begitu saja.
Asha tidak bisa membayangkan bagaimana amarah yang akan diterima olehnya nanti. Dia sangat tahu bagaimana karakter papanya yang tidak akan mengingat daratan jika sudah marah. Membayangkannya saja sudah membuat ngeri, entah bagaimana nanti saat itu terjadi.
“Ya Allah, hanya padamu hamba memohon. Hamba memang terlalu banyak berbuat salah, tapi tidak bisakah engkau memberikan kebahagiaan padaku. Aku juga ingin bahagia dengan suami dan anakku, terlepas dari janin ini siapa ayahnya, tetapi sekarang suamiku adalah Mas Aji dan aku menginginkan bersamanya selamanya.” Doa Asha dengan air mata yang semakin deras, dia menyesali semua yang terjadi dalam hidupnya.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!