Shapira Aluna, harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya juga adik satu-satunya. Aluna mendapat tawaran kerja dari guru SMAnya, Bu Farida. Bu Farida memberi tawaran kepada Luna untuk bekerja di sebuah yayasan, di sana Luna akan bekerja sebagai Baby Sitter.
Luna sudah melakukan training selama beberapa bulan selama di yayasan, Ia tengah menunggu seseorang yang membutuhkan tenaganya.
Luna sangat berharap untuk segera mendapat majikan, Luna harus memenuhi kebutuhan sekolah sang adik.
Hingga suatu hari, ada tiga orang dewasa mendatangi yayasan.
"Selamat siang, Pak, Bu. Ada yang bisa Kami bantu?" Tanya pengurus yayasan pada seorang pria bernama Khaif Xelian, Ia tak datang sendirian melainkan bersama dua orang perempuan cantik dan salah satunya menggunakan kursi roda.
"Iya. Emm Kami butuh satu orang babby sitter, dan Kami ingin hari ini juga. Ada?" Tanya Khaif dengan tegas.
Khaif memiliki perawakan tinggi, dan dada yang bidang. Wajahnya putih bersih, Ia juga memiliki alis yang cukup tebal dan hitam pekat.
Mata bulatnya menampakkan raut ketegasan ketika menatap siapapun yang menjadi lawan bicaranya, Ia memiliki seorang istri yang cantik juga tiga orang anak dan salah satunya baru lahir sekitar dua bulan yang lalu.
"Bisa sekali, Pak. Kebetulan ada satu babby sitter yang siap untuk bekerja," tutur pengurus yayasan.
"Sebentar, Saya panggilkan dulu orangnya." Penguruh yayasan itu masuk ke sebuah ruangan, dimana ketika Ia kembali Luna sudah berjalan di belakangnya.
Luna menundukkan kepalanya, tubuhnya yang mungil membuat Khaif sedikit melontarkan pertanyaan.
"Berapa usianya? Apa Dia masih di bawah umur?" Tanya Khaif sembari memperhatikan postur tubuh Luna yang mini.
Luna seketika mengangkat kepalanya, mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Khaif.
"Oh, tidak, Pak. Dia sudah cukup umur," jawab pengurus yayasan.
"Sayang. Aku kayaknya cocok deh sama Dia, Kita ambil Dia aja!" Pinta Selina, istri dari Khaif.
Khaif yang terlihat gagah berwibawa, seketika merunduk merendahkan tubuhnya di samping sang istri. Suara tegasnya berubah lembut ketika hendak berbicara dengan istrinya.
"Lin. Kok Kamu langsung main cocok aja, kan Kita belum tahu Dia seperti apa. Kenalan juga belum, terus..."
"Sayang. Apa pernah feeling Aku meleset?" Selina berucap dengan yakin.
Khaif terdiam, Ia mengatupkan kedua bibirnya dan mengingat bagaimana cara sang istri menilai sikap seseorang bahkan yang belum Ia kenal sekalipun.
"Ya sudah."
Khaif berdiri, dan kembali menatap Luna dengan tajam.
"Kami ambil Dia!" Seru Khaif.
Pengurus yayasan tersenyum, begitupun dengan Luna yang merasa senang karena Ia akan segera mulai bekerja.
"Boleh sekali, Pak. Namun sebelum itu Saya memiliki syarat khusus untuk keluarga yang akan memperkerjakan Luna," ujar pengurus yayasan.
"Syarat khusus? Apa itu?" Tanya Khaif.
"Luna hanya bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 7 malam, setelah itu Dia akan pulang dan tidak menginap di rumah majikannya." Pengurus yayasan menuturkan.
Khaif sedikit terkejut, pasalnya Ia menginginkan baby sitter yang ada di rumahnya setiap saat.
"Tapi Saya ingin yang bisa 24 jam di rumah. Memangnya apa alasan Dia tidak bisa menginap?" Tanya Khaif dengan nada yang sedikit tak terima.
"Begini, Pak. Luna ini yatim piatu, Luna hidup berdua dengan adiknya yang masih sekolah di bangku SMP. Mereka tinggal di kontrakan, dan Luna tidak bisa membiarkan adiknya tinggal sendirian. Luna harus menyiapkan keperluan adiknya di pagi hari," tutur pengurus yayasan.
"Oh, kalau begitu adiknya Luna ikut saja tinggal di rumah Kami. Bolehkan, Mas?" Tanya Selina.
Khaif menoleh, Ia tak menduga sang istri akan mempunyai rencana secepat itu.
"Luna. Mereka kan orang asing, baby sitter aja kadang tidak bisa di percaya, apalagi di tambah anggota keluarganya yang Kita juga gak kenal." Teman Selina, Yuke, menuturkan.
"Benar, Sayang. Kalau keduanya ikut ke rumah, Kita rugi dong harus memberi makan keluarganya juga!" Seru Khaif.
Luna yang mendengar seruan Khaif, seketika merasa kesal.
"Sombong banget ini laki-laki," ucap Luna dalam hatinya.
"Emangnya kenapa? Kasihan kan kalau adik Luna di tinggal sendirian, Kita juga punya anak laki-laki yang umurnya mungkin gak beda jauh sama adik Luna. Mereka bisa berteman, dan untuk makanan. Kita gak akan miskin hanya karena memberi makan satu atau dua orang, Sayang." Tutur kata Selina begitu lembut, hal itu yang juga membuat Luna merasa senang terhadap Selina.
Khaif tak membantah, Ia kembali berdiri dan memberikan keputusan.
"Ya sudah, Saya ambil Dia. Sekalian sama adiknya!" Seru Khaif.
"Alhamdulillah. Baik kalau begitu boleh Saya minta alamat rumah Bapak? Nanti Luna akan segera datang, Dia harus menjemput adiknya lebih dulu." Pengurus yayasan menjelaskan.
"Ya sudah Luna ikut Kami sekarang, dan Kami akan mengantar Dia menjemput adiknya. Iya kan, Mas?" Tanya Selina lagi yang membuat Khaif tak bisa menolak.
"Iya." Khaif terpaksa menyetujui.
"Lin. Kok Kamu segitu royalnya sama Dia?" Tanya Yuke yang merasa tak suka dengan sikap temannya yang terlalu baik terhadap Luna.
"Gak apa-apa, Ke. Apa masalahnya? Kasihan Dia harus naik angkutan umum jemput adiknya, terus naik angkutan umum lagi buat menuju ke rumah Aku. Kalau bisa bareng, kenapa harus perginya masing-masing?" Tanya Selina.
"Bu, maaf. Gak apa-apa, kok. Saya bisa berangkat sendiri ke rumah Ibu nanti, Saya janji Saya gak akan lama." Luna meyakinkan.
"Nggak. Kamu bareng Kita aja sekarang!" Seru Selina yang bersikukuh dengan keinginannya.
"Ya sudah Luna, Kamu siap-siap sekarang aja." Pengurus yayasan meminta.
"Baik, Bu. Saya ambil tas dulu," ujar Luna.
Ia pun berlari menuju ruangan, dan kembali dengan cepat.
"Saya sudah siap, Bu." Luna telah berdiri kembali di depan Khaif dan istrinya.
"Ya sudah, Kita berangkat sekarang." Selina dan Khaif berpamitan, dan Mereka pun mengantar Luna untuk menjemput adiknya.
Semua sudah di dalam mobil, dan Khaif pun mulai melajukan mobilnya menuju kediaman Luna.
"Luna. Adik Kamu ada di rumah atau masih di sekolah?" Tanya Selina.
"Biasanya kalau jam segini sudah di rumah, Bu." Luna menjawab seadanya.
"Oh, bagus kalau gitu. Jadi Kita langsung ke rumah Kamu, ya!" Seru Selina.
Luna mengangguk, sekilas Ia memperhatikan posisi duduk majikannya.
"Kok ini yang duduk di depan malah temannya Bu Selina?" Dalam hati Luna bertanya-tanya.
Terlihat jelas bagaimana tatapan mata Yuke pada Khafi, yang menurut Luna seperti menyimpan perasaan.
Namun Luna tak berlebihan dalam memikirkan hal itu, Luna tak mau ikut campur urusan majikannya. Ia hanya akan fokus pada pekerjaannya, dan akan bekerja sebaik mungkin agar dapat terus memenuhi kebutuhan sang adik juga kebutuhan dirinya.
Sesampainya di rumah kontrakan Luna, Luna segera turun dan berlari ke rumahnya.
"Dek. Ayo bantuin Kakak beresin barang-barang Kita!" Pinta Luna dengan tergesa.
"Kok di beresin, emangnya Kita mau kemana, Kak?" Tanya Nuka, adik laki-laki Luna yang berusia 13 tahun.
"Kamu harus ikut Kakak tinggal di rumah majikan Kakak," jawab Luna sembari membereskan barang-barangnya.
"Hah. Emang Kakak udah dapat majikan?" Tanya Nuka yang juga membereskan barang-barangnya.
"Iya. Alhamdulillah, cepetan Dek. Kasihan Mereka nunggu!" Pinta Luna.
"Iya, Kak." Nuka mempercepat gerakannya.
Di luar, di dalam mobil. Khafi tengah memainkan ponselnya, sementara itu Yuke tengah bercerita panjang lebar kepada Khafi. Selina yang sedari tadi memperhatikan rumah kontrakan Luna, merasa prihatin.
"Anak semuda Luna sudah harus kerja keras buat menghidupi adiknya. Aku pasti gak akan salah menilai Luna, Dia pasti anak yang baik."
Selina yang usianya berbeda 9 tahun dari Luna, merasakan bahwa Luna adalah gadis yang mudah di sukai banyak orang.
Ia berniat untuk menganggap Luna sebagai adiknya sendiri, Selina merasa bahwa Luna memang anak yang jujur.
"Fi. Kamu dengerin Aku cerita gak?" Tanya Yuke yang kesal ceritanya tak di respon oleh Khafi.
Khafi tak menjawab, Ia asik dengan gawainya.
"Sayang."
Mendengar suara sang istri, Khafi langsung menoleh.
"Iya, Sayang. Kenapa?" Tanya Khafi.
Yuke yang melihat itu, sontak memalingkan wajahnya karena Khafi berbeda sikap terhadapnya.
"Kamu susulin Lun, gih. Kok Dia lama, ya? Barang kali ada Dia buntuh bantuan," ucap Selina.
"Lin. Kamu tuh berlebihan deh, biarin aja kenapa sih. Dia itu cuma baby sitter, gak usah diperlakuin spesial!" Seru Yuke.
Selina tak menjawab, Ia beralih menatap suaminya seraya berharap sang suami paham dengan tatapannya.
Khafi menghela nafasnya, Ia tahu betul apa yang diinginkan oleh istrinya.
"Ya udah Aku susulin Dia." Khafi turun dari mobil dan menyusul Luna.
Khafi berjalan menuju rumah, saat di ambang pintu Khafi refleks menundukkan kepalanya ketika hendak masuk ke dalam rumah.
"Udah belum? Lama banget?" Tanya Khafi yang kedatangannya tak di sadari oleh Luna dan adiknya.
"Heh, Dia siapa Kak. Main masuk ke rumah orang tanpa permisi, gak sopan itu namanya!" Hardik Nuka.
Luna melebarkan matanya, Ia dengan cepat membekap mulut sang adik untuk tak melanjutkan hardikannya.
"Sstt! Nuka, Dia itu bosnya Kakak!" Bisik Luna.
Nuka terkejut, Ia langsung berubah ramah dan meminta maaf pada Khafi.
"Maaf, Om. Nuka udah bicara gak sopan."
"Jangan panggil, Om. Panggil Bapak!" Pinta Luna.
"Oh, iya maaf, Pak." Nuka memperbaiki panggilannya terhadap Khafi.
"Emm ini udah beres kok, Pak." Luna berdiri dan segera keluar dari rumah bersama adiknya.
Khafi yang hendak berjalan menuju mobil, tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Kenapa berhenti, Pak?" Tanya Luna.
"Yang punya kontrakannya dimana?" Tanya Khafi, masih dengan suara tegasnya.
"Di belakang, gak jauh dari sini. Ada apa memangnya, Pak?" Tanya Luna lagi.
"Kamu harus pamitan sama yang punya kontrakan, kan Kamu udah gak akan ngontrak lagi." Khafi menuturkan.
"Oh, iya. Tadinya Saya mau pamitannya nanti karena kan takutnya Bapak buru-buru," ujar Luna.
"Pamitan sekarang aja!" Pinta Khafi.
Luna mengangguk, Ia berlari ke belakang rumahnya untuk menemui pemilik kontrakan.
"Permisi, Bu." Luna mengetuk pintu.
"Iya, kenapa Luna?" Tanya pemilik yang baru membuka pintu.
"Maaf mengganggu, Bu. Saya cuma mau pamitan, Saya dapat kerjaan yang harus tinggal di rumahnya. Jadi Saya gak akan tinggal di kontrakan dulu," ujar Luna.
"Oh, alhamdulillah kalau gitu Lun. Semoga betah ya kerjanya," ucap pemilik kontrakan yang begitu baik pada Luna juga adiknya.
"Iya, Bu Aamiin. Tapi kalau semisal nanti Saya butuh kontrakan, bolehkan balik kesini lagi?" Tanya Luna.
"Boleh dong. Pokoknya kapanpun Kamu butuh kontrakan, pasti bakal Ibu siapin." Pemilik kontrakan yang tak memiliki anak perempuan itu sudah menganggap Luna seperti anaknya sendiri, semasa kedua orang tua Luna masih hidup pun pemilik kontrakan itu selalu banyak membantu.
"Makasih banget, Bu. Ya sudah kalau gitu Saya pamit sekarang, ini kunci kontrakannya." Luna mengembalikan kunci rumahnya.
"Iya, hati-hati, ya."
Luna mengangguk, Ia pun kembali berlari menemui majikannya.
"Sudah, Pak." Luna mengatur nafasnya yang tersengal.
Khafi mengangguk, lalu Ia meminta Luna untuk masuk ke dalam mobil.
"Hay. Udah beres?" Tanya Selina saat Luna membuka pintu mobil.
"Sudah, Bu. Maaf Saya lama," ucap Luna.
"Gak apa-apa, masuk!" Pinta Selina.
Luna dan adiknya pun masuk ke dalam mobil, dan Luna duduk di samping Selina.
"Semoga Kamu betah ya kerja sama Saya, ya." Selina menerima Luna dengan tangan terbuka.
"Aamiin." Luna bersyukur, pertama kali Ia mendapat pekerjaan, Luna langsung mendapatkan majikan yang begitu baik hati dan bertutur kata lembut.
Sesampainya di kediaman keluarga Khafi, Luna terkesima melihat megahnya rumah majikannya.
"Kak. Rumahnya besar banget, kayak yang Aku lihat di tv." Nuka begitu kegirangan.
"Haha, Kamu lucu banget, sih. Udah gak sabar mau masuk, ya?" Tanya Selina pada Nuka.
"Eh, maaf, Bu. Nuka baru lihat rumah sebagus ini," ucap Nuka.
"Gak apa-apa, gak usah minta maaf. Yuk masuk!" Ajak Selina.
"Kampungan banget, sih!" Gerutu Yuke yang langsung turun dari mobil dan berlalu masuk begitu saja ke dalam rumah.
"Sayang, sini Aku bantu." Khafi membantu istrinya.
"Oh, sebentar Saya ambilkan kursi rodanya." Luna bergegas turun dan membuka bagasi mobil.
Luna mengeluarkan kursi si dan ikut membantu majikannya.
"Terima kasih. Maaf ya ngerepotin terus," ucap Selina pada suaminya.
"Gak apa-apa, kenapa harus minta maaf. Aku bakalan terus ada buat Kamu," ucap Khafi dengan tulus.
Luna terdiam, satu sisi Khafi memiliki sisi terbaik ketika bersama istrinya. Ia terlihat begitu menyayangi sang istri, dan bertanggung jawab pada istrinya.
"Kita masuk sekarang!" Seru Khafi.
Mereka pun masuk ke dalam rumah, Luna dan sang adik masih takjub melihat isi rumah yang begitu mewah.
"Wah, Kak bagus banget. Luas," ucap Nuka.
"Sstt, udah jangan banyak bicara. Gak enak kalai kedengaran Bos Kakak!" Pinta Luna.
"Bi Yuni!" Panggil Khafi.
Terlihat wanita paruh baya berjalan cepat dari arah dapur, Bi Yuni adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama di rumah Khafi.
"Iya, Tuan. Ada yang bisa Bibi bantu?" Tanya Bi Yuni.
"Ini Luna, Baby sitter yang baru. Tolong antarkan Dia sama adiknya ke kamarnya, dan jelaskan peraturan di rumah ini!" Pinta Khafi.
"Oh, baik Tuan. Mari Neng," ajak Bi Yuni.
Luna mengangguk, Ia pun mengikuti langkah kaki Bi Yuni.
"Nah ini kamarnya," ucap Bi Yuni sembari membuka pintu kamar yang akan di tempati oleh Luna juga adiknya.
"Wah. Luas, bersih. Kasurnya juga empuk," ucap Nuka yang langsung berhambur menuju tempat tidur.
"Bibi jelasin dulu peraturan di rumah ini, ya. Pertama, harus selalu bangun pukul lima pagi. Kamar harus selalu rapih, walaupun kamar Kita sendiri. Tuan Khafi paling gak suka sama orang yang jorok! Kedua, jangan pernah masuk ke kamar orang lain sembarangan, termasuk kamar Bibi. Tuan Khafi sangat menghargai privasi seseorang, walaupun sesama pembantu. Ketiga jangan menanyakan apapun yang menjadi urusan majikan, Kita gak boleh kepo. Gak boleh mengobrol berlebihan sama majikan, cukup sewajarnya antara pembantu sama majikan. Terakhir yang pasti harus selalu nurut sama perkataan majikan, sekalipun itu bertentangan sama Kita. Udah, nanti yang lain-lainnya Kamu juga bakal tahu sendiri. Bibi ke dapur dulu, harus masak buat nanti makan malam."
Bi Yuni berpamitan, lalu Luna masuk ke dalam kamar dan membereskan barang-barangnya.
"Nuka, ingat apa yang di bilang sama Bi Yuni. Kamar Kita harus selalu rapih!" Seru Luna.
"Iya, Kak." Nuka menjawab.
"Ingat. Kakak butuh kerjaan ini, jadi tolong bantu Kakak. Jangan bikin ulah, jangan sampai Kakak kehilangan kerjaan Kakak. Ngerti?" Tanya Luna.
"Ngerti, Kak." Nuka ikut membereskan barang-barang serapih mungkin.
Tak lama, suara telepon berbunyi. Luna dan Nuka begitu terkejut, Mereka mencari keberadaan telepon itu.
"Kak. Ini teleponnya bunyi, angkat!" Seru Nuka.
Perlahan, Luna mengangkat telepon itu.
"Ha-halo?" Tanya Luna dengan gugup.
"Ke ruang tamu sekarang!" Seru Khafi di balik telepon.
"Siap, Pak." Luna segera menutup telepon dan berlari menuju ruang tamu.
Luna melihat orang-orang tengah berkumpul di ruang tamu, hal itu seketika membuat Luna semakin gugup.
"Maaf jika Saya lama, Pak." Luna merundukkan kepalanya.
"Gak lama, kok. Oh iya, Mah. Ini Luna, Baby sitternya anak-anak." Selina memberitahukan hal itu pada Mertua juga ibunya.
Ya, di rumah Khafi tinggal banyak sekali orang. Dari mulai, Ibu Selina. Kedua orang tua Khafi pun tinggal bersama Mereka, juga ketiga anak Khafi dan Selina yang masih kecil-kecil.
Untuk Yuke, Dia tidak tinggal di rumah Selina. Namun hampir setiap hari Ia berkunjung ke rumah Selina, sampai membuat Ibu juga mertua Selina bosan.
Yuke adalah teman dekat Selina, namun sikapnya banyak tak di sukai oleh orang rumah.
"Selamat sore, Saya Saphira Aluna. Panggil saja Luna," sapa Luna sembari membungkukkan badannya.
"Sore. Kamu umurnya berapa? Badan Kamu mungil, kayak anak ABG." Ibu Selina berucap.
"Iya, masih imut-imut kayaknya." Ibu Khafi ikut menimpali.
"Oh, umur Saya 18 tahun, Bu. Badan Saya memang kecil, nurun dari Ibu Saya." Luna menuturkan.
"Oh, 18 tahun itu kalau gak salah baru lulus sekolah SMA, ya?" Tanya Ibu Khafi.
"Iya, Bu." Luna menjawab.
"Kenapa udah kerja? Gak kuliah?" Tanya Ibu Selina.
Luna menggelengkan kepalanya, Ia merasa sedih ketika mendapat pertanyaan itu.
"Saya tidak bisa kuliah, karena harus mengurus adik, memenuhi kebutuhan sekolahnya." Luna mamaparkan.
"Oh, gitu. Kamu tulang punggung keluarga? Orang tua Kamu kerja apa?" Tanya Ayah Khafi.
Luna menghela nafasnya, Ia seakan berat menjawab pertanyaan dari Ayah Khafi.
"Bu, Yah. Luna yatim piatu," jawab Selina. Ia paham perasaan Luna saat itu, dan membantu menjawabnya.
"Ya ampun, maaf Luna. Kamu sabar, ya. Semoga betah kerja disini!" Seru Ayah Khafi.
"Ini orang-orang kenapa pada suka sih sama baby sitter ini?" Yuke tampak tak suka dengan sikap ramah keluarga Khafi terhadap Luna.
Luna merasa bersyukur, karena Ia mendapat majikan yang begitu baik dan menerima kehadirannya.
"Nah ini anak-anak Saya, Luna." Selina meminta anak pertama dan keduanya untuk menghampiri Luna.
"Luna. Ini Brian, anak pertama Saya usianya 9 tahun. Brian, ini Kak Luna. Nanti Kamu kalau butuh apa-apa, minta tolongnya sama Kak Luna, ya!" Pinta Selina.
"Iya, Mami. Halo, Kak Luna. Aku Brian," ucap Brian yang sangat sopan pada Luna.
Luna merendahkan tubuhnya, Ia mensejajarkan wajahnya dengan Brian.
"Halo, Brian. Aku Luna, kalau butuh apa-apa jangan sungkan, ya." Luna menyapa dengan ramah.
"Nah ini anak kedua Saya, namanya Annisa usianya 7 tahun. Kamu panggil Ica aja," ujar Selina.
"Hay, Ica. Kamu cantik banget," ucap Luna sembari hendak mengelus pipi Annisa.
"Awas tangannya bersih gak? Maen colek aja!" Seru Yuke.
Luna terdiam, lalu Ia menarik kembali tangannya yang hampir menyentuh pipi Ica.
Ica melirik dengan sinis ke arah Yuke, lalu Ia dengan sengaja merapatkan tubuhnya pada Luna.
"Kak Luna cantik, pasti Dia rajin jaga kebersihan." Ica berucap.
Yuke terkejut, Ia merasa sangat tersudutkan di depan semua orang.
Ibu Selina dan Ibu Khafi saling bertukar pandang, keduanya tampak tertawa kecil.
"Nah kalau yang ini, si bungsu. Anak ketiga Saya, namanya Serena. Kamu panggil Dia Rena aja," ujar Selina.
"Hay, Rena. Ini lagi mainin apa?" Tanya Luna pada anak bungsu Khafi yang berusia 2 tahun.
"Toktok," jawab Rena dengan gemas. Toktok yang di maksud Rena adalah lato-lato, sebutan toktok Ia dapatkan karena mendengar suara yang di hasilkan lato-lato itu sendiri.
"Wah udah pinter bicara Kamu, gemas sekali. Mau main sama Kak Luna?" Tanya Luna mencoba untuk mendapatkan hati putri bungsu Khafi yang masih balita.
"Tugas Kamu itu fokus di Rena, Dia masih kecil dan pastinya belum ngerti apa-apa. Untuk Brian sama Ica Kamu bantu sebisanya aja," tutur Selina.
"Baik, Bu." Luna harus bersiap untuk mendekatkan dirinya pada ketiga anak Khafi, terlebih Rena. Anak balita biasanya tak bisa langsung dekat dengan orang baru, hal itu menjadi sebuah tantangan bagi Luna.
"Sekarang jamnya Rena gantu popok, tolong Kamu gantiin, ya. Kamar Rena ada di lantai dua, sebelah kiri paling pojok." Lina menuturkan.
"Baik, Bu. Ayo Rena, Kita main di kamar Rena yuk!" Bujuk Luna.
Tampak Rena menatap Luna dengan asing, namun tak lama tangan mungil Rena meretang dan mendekat pada Luna.
Luna lega, karena Rena mudah unuk di bujuk. Ia pun pergi menuju kamar Rena.
"Saya permisi dulu," pamit Luna sembari memangku Rena.
"Iya, hati-hati, ya Rena aktif banget anaknya." Lina mewanti-wanti.
"Baik, Bu."
Setelah Luna pergi ke kamar, kedua anak Khafi dan Selina juga ikut masuk ke kamar mereka masing-masing.
Tersisa keluarga Khafi, dan Yuke di ruang tamu.
"Yuke. Kamu gak pulang?" Tanya Bu Windira, Ibu Khafi.
"Emm. Masih betah, Tante." Yuke menjawab sembari terkekeh.
"Oh, ya udah kalau gitu Kamu disini. Lina harus istirahat dan Khafi juga harus temani istrinya, Kita juga mau istirahat ya. Jadi Kita tinggal dulu ya," tutur Bu Windira.
Yuke merasa kesal, secara tak langsung Ibu Khafi bermaksud untuk menyuruhnya pergi dari rumah Khafi.
"Ke. Aku ke kamar dulu ya," pamit Selina.
Yuke hanya mengangguk, Ia tak mengucapkan sepatah katapun.
Setelah semuanya pergi, tersisa Yuke seorang di rumah tamu.
"Dih, ngapain Gua disini kalau gak ada yang nemenin? Mana Khafi ikutan masuk!" Gerutu Yuke.
Ia berdiri, dan dengan perasaan kesal keluar dari rumah Khafi.
Di dalam kamar, Khafi membantu istrinya untuk berbaring.
Sebenarnya Lina masih kuat untuk sekadar berdiri, dan berpindah ke atas tempat tidur. Namun sikap khawatir Khafi yang berlebihan, membuatnya seakan tak mampu berbuat apapun.
"Mas. Padahal Aku bisa loh jalan pelan, gak usah pakai kursi roda terus kemana-mana." Lina menuturkan.
"Ya gak apa-apa pakai kursi roda, biar Kamu gak capek. Kamu harus banyak istirahat, gak boleh kecapean." Khafi terlihat bergitu perhatian pada istrinya.
"Iya, tapi kan kalau sekadar jalan di rumah gak perlu pakai kursi roda juga. Aku kayak orang yang lumpuh aja," ujar Lina.
Khafi terdiam, Ia tetap menginginkan sang istri menggunakan kursi roda dengan alasan kesehatan.
Selina mengidap penyakit kanker serviks stadium akhir, Ia tengah menjalani pengobatan satu tahun terakhir ini.
Lina sering kali tiba-tiba drop, bahkan keluar masuk rumah sakit.
Lina sudah pasrah dengan takdirnya, sehingga Ia bahkan telah ikhlas jika nantinya Ia yang harus meninggal lebih dulu.
Lina juga mewanti-wanti pada sang suami, Lina telah meminta Khafi untuk ikhlas jika terjadi sesuatu padanya. Lina bahkan sudah membicarakan perihal penggantinya, Ia ingin Khafi mencari istri baru ketika suatu hari Ia tak bisa bertahan lagi.
Hal itu Lina katakan di hadapan keluarganya, juga Yuke.
Hal itu pula yang membuat Yuke, merasa memiliki kesempatan untuk menjadi pengganti Selina di hati Khafi.
Namun yang terlihat selama ini, Khafi tak merespon lebih perhatian dan sikap manis Yuke padanya.
"Mas. Coba ambilkan telepon!" Pinta Lina.
Khafi menyerahkan telepon rumah ke dekat sang istri, lalu membantunya untuk menghubungi telepon yang ada di kamar putri bungsunya, Rena.
Luna yang baru selesai mengganti popok Rena, terkejut ketika mendengar suara telepon.
"Hah, kaget Aku." Luna segera mengangkat telepon, tak lupa Ia menggendong Rena.
"Halo." Luna menyapa.
"Halo, Lun. Udah di ganti popoknya?" Tanya Selina.
"Oh, udah Bu. Baru selesai," jawab Luna.
"Oh, gitu. Sekarang jamnya Rena makan sore, Kamu buatin makanan buat Rena. Menunya ada di laci nakas, dekat tempat tidur Rena. Di buku itu juga ada banyak rutinitas Rena setiap harinya, jadi Kamu bisa tahu malam ini sampai kedepannya harus ngapain aja." Lina memberitahukan.
"Oh, baik Bu. Saya akan ambil bukunya dan Saya akan baca dulu," sahut Luna.
"Ya udah kalau gitu, Saya tutup ya." Lina mematikan panggilan teleponnya.
Luna menaruh kembali gagang telepon, dan segera mengambil buku yang di maksud oleh majikannya.
"Wah lengkap banget. Aku baca dulu deh," ucap Luna. Ia pun membaca seluruh tulisan yang ada di dalam buku itu.
Luna melirik ke arah Rena, Ia memperhatikan tubuh anak majikannya yang begitu putih bersih.
"Selain genetik, pasti pengaruh dari makanan juga. Kulit Rena sehat banget, makanannya aja bagus-bagus semua."
Luna membawa buku catatan itu ke dapur, dan segera menyiapkan makanan untuk Rena.
"Nah, Rena Kamu duduk disini. Kakak mau buatin makanan buat Kamu. Jangan berdiri, kalau berdiri nanti Rena jatuh. Nanti sakit, Rena ngerti?" Luna mencoba untuk memberi arahan dengan cara berbicara sembari menatap kedua mata Rena.
Gadis kecil itu mengangguk, dan duduk dengan tenang di kursi makannya.
Dengan cekatan, Luna menyiapkan makanan sesuai yang ada pada buku panduan.
Luna juga berusaha untuk selalu mengawasi Rena, Ia takut jika Rena melakukan sesuatu yang berbahaya saat Ia lengah.
Tak lama makanan untuk Rena selesai di buat, Luna segera mengambil kipas kecil agar makanan Rena segera bisa di santap.
Rena yang tak sabar berkali-kali mencoba menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, namun dengan lembut Luna memberi nasihat pada Rena.
"Tunggu sebentar, ya. Makanannya masih panas, kalau buru-buru Rena masukin ke mulut nanti lidah Rena sakit. Sabar ya!" Pinta Luna.
Ajaibnya, Rena menurut dengan semua yang di ucapkan oleh Luna.
Tanpa Luna sadari, ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari jauh.
"Sepertinya Dia penyayang anak-anak, Dia juga kelihatannya lemah lembut dan sabar juga. Semoga Dia memang bisa di percaya," ucap seseorang itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!