Di suatu sudut kota yang hingar bingar dengan kesibukan kendaraan yang berlalu lalang,menyebabkan polusi udara yang tak dapat di hindarkan,terdapat sebuah pedesaan yang begitu dan tentram. Masih banyak pepohonan yang tertata di setiap sudut desa itu,udara yang segar,suasana yang nyaman,bebas dari polusi udara. Selain itu,penduduknya yang suka ber gotong royong dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.
Di sana,terdapat sebuah surau dengan ukuran yang tidak terlalu besar,terlihat banyak orang sedang mengaji di sana. Tak jauh dari sana, terlihat seorang anak gadis remaja,duduk di salah satu sudut ruangan surau itu,sedang mengaji kitab suci Al-qur'an.
Dia adalah Dewi Anjani,anak gadis dari Bapak Tarno dan ibu Mirna. Suara merdunya membuat orang-orang yang ada di sana menatap nya penuh rasa kagum. Siapa sih yang tidak kenal Dewi Anjani? Gadis yang periang,ceria,penuh santun dan suka menolong orang yang dalam kesulitan. Dia tidak pernah sekalipun murung.
Bibir tipisnya selalu menyunggingkan senyum tatkala bersimpangan dengan warga yang menyapanya. Dia gadis yang sholeha,tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat kecuali dalam keadaan tidak suci atau sedang datang bulan.
Dia begitu fasih melantunkan ayat-ayat suci Al-qur'an,tanpa di sadari,dari sudut ruangan yang tak jauh dari tempatnya,ada salah satu pemuda yang terus menatapnya dengan penuh makna. Pemuda itu sungguh mengagumi kepribadian Anjani.
Gadis yang begitu lemah lembut,sholeha,siapa saja pasti akan terpanah oleh kecantikan dan kepribadian yang begitu sempurna menurut versi mereka,para pemuda.
Selesai membaca kitab suci Al-qur'an,dia kemudian melanjutkan sholat isya' berjamaah di sana,terdapat juga Wanda,sahabat masa kecil nya dan kini beranjak dewasa bersama.
Kedua orang tuanya serta adik perempuannya-Vania,juga ada di surau untuk menjalankan sholat berjamaah.Cuaca sedikit mendung dan seperti akan turun hujan. Tak lama mereka menyelesaikan sholat Isya',suara guntur menggelegar di iringi angin.
Mereka yang ada di sana,bergegas untuk pulang ke rumah,tak terkecuali Anjani dan juga sahabatnya,Wanda. Mereka berdua pulang berjalan kaki menuju rumah mereka.
Seperti biasa,mereka pulang sambil di iringi canda tawa. Sesampainya di depan rumah Anjani,Wanda segera pulang ke rumahnya,jarak rumah mereka tak terlalu jauh,sekitar 6 rumah dari rumah Anjani.
Ibu dan adik Anjani sudah sampai di rumah lebih dulu.
“Assalamualaikum,” ucap Anjani dari luar pintu.
“Waalaikumsallam,” sahut adik dan juga ibu nya hampir bersamaan.
“Bapak belum pulang,bu?” Tanya Anjani seraya masuk dan duduk di ruang tengah.
“Belum,katanya ada sesuatu hal yang masih di bincangkan dengan Ustadz Malik." jawab ibu sambil masuk ke dapur untuk menyiapkan makan malam mereka.
“Anjani,tolong bantu ibu memanaskan sayur ini,sambil nunggu bapak pulang,nanti kita makan bersama,” Anjani lantas beranjak dari duduknya dan menghampiri ibunya di dapur untuk membantu.
Tak berapa lama,pak Tarno pulang dalam keadaan ke-basahan,ternyata hujan turun ketika Anjani sampai rumah.
“Bapak kok baru pulang?”
“Iya,tadi ada sedikit hal yang di bahas dengan Ustadz Malik,” jawab bapak sambil jalan menuju kamar mandi hendak berganti pakaiannya yang ke-basahan.
“Anjani,panggil adik mu,kita makan malam bareng,bapak sudah pulang tuh,”
Anjani hanya menurut dan memanggil adiknya yang sedang berada di kamar,tak lama mereka pun sudah duduk di ruang tengah beralaskan tikar,dengan lauk pauk seadanya,mereka makan malam bersama. Kebersamaan yang mungkin tak dapat di nilai dengan apa pun.
Dalam keadaan sudah selesai makan,bapak Anjani pun mencoba membuka pembicaraan.
“Bu,tadi bapak sedang berbincang dengan Ustadz Malik,mengenai Anjani…” belum selesai pak Tarno berbicara,di potong oleh istrinya.
“Kenapa dengan Anjani,pak?Apakah dia melakukan kesalahan?” Tanya bu Mirna dengan rasa was-was,khawatir anak nya melakukan kesalahan yang besar.
Pak Tarno menggeleng dan melanjutkan kalimatnya,"Tidak bu,tadi nak Malik mengutarakan niatnya,dia ingin melamar Anjani sebagai istri,dia juga bilang sebenarnya sudah lama ingin mengutarakan niatan itu,baru sekarang dia bilang sama bapak,katanya besok mau datang kesini."
Anjani terkejut dengan apa yang barusan dia dengar dari bapaknya,dia tidak percaya dengan apa yang barusan di dengar nya.
“Ya,itu tergantung Anjani pak,wong dia yang akan menjalaninya,” jawab bu Mirna sambil menoleh melihat Anjani yang sedang kebingungan.
“Gimana nduk?Kamu bersedia menerima lamaran dari nak Malik?” Tanya bapaknya.
Anjani bingung harus berkata apa,dengan sedikit keberanian,akhirnya dia menjawab pertanyaan dari bapak nya.
“Bapak,ibu,maafkan Anjani,sebernarnya Anjani masih belum ingin menikah,Anjani juga masih ingin bekerja membantu bapak sama ibu untuk biaya sekolah Vania,”
Pak Tarno hanya menghela nafas panjang. Beliau juga merasa cemas dengan usia Anjani yang masih terbilang sangat muda harus menjalani hidup berumah tangga. Di sisi lain beliau juga sudah terlanjur menyetujui apa yang telah di perbincangkan dengan Malik waktu itu.
Dalam keheningan sesaat,bu Mirna bersuara,"Anjani,kamu tidak perlu memikirkan biaya sekolah Vania,itu sudah menjadi tanggung jawab kami berdua sebagai orang tua,ibu rasa kamu juga sudah cukup umur untuk menikah,dan satu hal lagi,jangan menolak apabila ada seseorang yang datang melamar,itu pamali,menjauhkan jodohmu,"
ucap bu Mirna dengan nada sedikit marah.
“Ibu,Anjani baru berusia delapan belas tahun,itu masih terlalu dini jika untuk menikah sekarang,”
“Anjani,bagi ibu,usia tidak menjamin kedewasaan seseorang,"bu Mirna melanjutkan kalimatnya,"Lantas,lelaki seperti apa yang kamu harapkan? Menurut ibu,nak Malik itu anak yang sholeh,taat beribadah,mengerti agama,ibu yakin dia akan menjadi imam yang baik untuk kamu dan anak-anakmu kelak,” jelas ibu sambil mengelus rambut panjang Anjani.
Anjani tidak bergeming,tak terasa bulir bening mengalir membasahi pipi mulusnya. Pak Tarno hanya melihat perdebatan dua wanita yang ada di sampingnya.
Sebenarnya pak Tarno juga masih belum ingin Anjani menikah dulu,biarkan dia menikmati masa mudanya dengan kawan-kawan se-usianya. Beda halnya dengan ibu Mirna,yang ngotot agar tidak menolak niat baik ustadz Malik.
Mereka beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing.
Tinggal Anjani yang masih duduk di sana merenung kan setiap ucapan sang ibu.
Tangisan,air mata tak dapat di bedung lagi.Semakin menyedihkan saat dia membayangkan akan menikah di usia muda.
Waktu berlalu begitu lambat bagi Anjani,dia melirik ke arah jamur dinding,pukul 00:00 WIB.
Dengan gontai di berdiri dari duduknya,hendak menuju kamarnya dan mencoba untuk beristirahat.
********
Di dalam kamar dengan ukuran yang tidak terlalu besar hanya cukup untuk dipan kayu dan lemari kecil tempat menyimpan baju.
Anjani duduk di tepi ranjang tepat di depan jendela,dia mengarahkan pandangannya lurus ke luar jendela yang masih terbuka,hujan masih turun di malam itu,angin berembus sedikit kencang membelai wajah ayu nya.
Dia menghela napas panjang,entah lah apa yang akan di putuskan esok hari jika ustadz Malik benar-benar datang ke rumahnya.
Perlahan dia beranjak dari duduknya dan bersiap untuk berbaring,mencoba memejamkan mata yang sebenarnya belum merasa mengantuk. Pikirannya melayang,hatinya gelisah,memikirkan
perkataan ibunya barusan.
Perlahan mata indahnya sayup-sayup mulai merasakan kantuk dan dia pun tertidur dengan hati penuh gelisah.
******
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari,seperti biasa,Anjani beranjak dari tidurnya untuk menjalankan solat sunah tahajud,dia membuka pintu kamar dan menuju ke sumur hendak mengambil air wudhu.
Baru beberapa langkah hendak membuka pintu belakang,dia di kejut kan suara bapaknya dari arah belakang,
"Nduk,kamu mau kemana?" Tanya pak Tarno.
Seketika Anjani menoleh,"Mau ambil air wudhu pak,mau sholat," jawab Anjani.
"Bapak tumben sudah bangun?" Tanya Anjani.
"Iya,bapak tadi mendengar ada suara orang jalan,tak kira suara apa,ternyata kamu," jawab pak Tarno sambil ngucek-ngucek matanya.
"Ya sudah,saya ke sumur dulu ya pak,bapak tidak sekalian sholat tahajud?"
"Iya,bapak juga deh,mumpung sudah bangun."
Mereka berdua pun mengambil air wudhu bersama dan Anjani menuju kamar hendak mengadu kepada sang Khalik tentang kegelisahan hatinya.
Dengan suara lirih nya,dia berdoa dengan khusyuk mengharap ampunan dan ketenangan hati. Sambil menengadahkan tangan dia memohon kepada Allah Azza Wajallah,
'Ya Allah ya rabbi... Hamba datang lagi ya rabb,mengharap belas kasih-Mu,mengharap ampunan-Mu... Mengharap semua ridho-Mu,apa yang harus hamba lakukan ya Allah? Keputusan apa yang harus hamba ambil? Ya Allah,beri hamba petunjuk-Mu. Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar, amiin,'
Selesai berdoa dia pun meraih musaf yang berada di sampingnya,dengan hati mulai sedikit tenang,Anjani membaca ayat-ayat Al-Qur'an,sembari menunggu Adzan subuh berkumandang.
Seperti biasa,setiap pagi sehabis sholat subuh Anjani membantu ibunya di dapur memasak sarapan untuk mereka semua,pak Tarno yang sudah bersiap untuk pergi ke ladang milik bapak Herman.
Pak Tarno bekerja sebagai buruh sawah dan ibu Anjani bekerja sebagai tukang cuci dan kadang menerima pesanan kue dari para tetangga yang memerlukan.
Anjani sendiri semenjak lulus sekolah dia bekerja di sebuah toko baju yang tidak jauh dari rumahnya.
******
"Anjani,tunggu!!" Teriak Wanda dari arah belakang,tatkala Anjani hendak berangkat kerja ke toko baju dengan berjalan kaki,karena jarak toko tidak terlalu jauh dari rumah nya.
Anjani menoleh,"Wanda,kamu mau kemana?" Tanya Anjani seraya menghentikan langkahnya.
"Aku mau ke rumah bude Ida,kebetulan searah sama kamu,kita jalan bareng yuk," sahut Wanda dan Anjani hanya mengangguk pelan.
Dalam perjalanan,mereka berdua hanya diam dan akhirnya Anjani membuka obrolan,"Wanda,kamu tahu kan Ustadz Malik?" Tanya Anjani kepada sahabatnya itu.
"Iya,tahu,kenapa memangnya?"
"Aku sedang bingung Nda," ucapan Anjani sambil menarik nafas panjang.
Wanda yang ada di sampingnya menatap penuh rasa penasaran.
Anjani melanjutkan kalimatnya, "Beliau kemarin bilang sama bapak,katanya nanti malam akan datang kerumah untuk melamar ku,"
Wanda melotot,terbelalak karena kaget,"Apa...??" Sambil menutup mulutnya,Wanda benar-benar kaget.
"Iya Nda,aku harus bagaimana ini? Aku masih ingin bebas dan bermain dengan kamu,menikmati masa remaja sepuasnya,"
suara Anjani berubah menjadi parau,tergurat kebingungan dalam wajah ayunya.
Wanda tidak bisa berkata,dia hanya bengong dan terus menatap Anjani yang sedang kebingungan.
"Wanda,kok kamu malah bengong sih,kasih solusi dong?" Seketika Wanda menggaruk kepala yang mungkin tidak gatal.
"Anjani,aku tahu ini berat buat kamu untuk memutuskan,tapi aku hanya berdoa yang terbaik buat mu,"
"Hmmm..." Anjani hanya menghela nafas panjang.
Wanda sudah sampai di rumah budhenya,dan Anjani melanjutkan berjalan menuju toko tempat dia bekerja.
***
Dalam perjalanan menuju toko tempat dia bekerja,Anjani terus melamun dan memikirkan apa yang sebaiknya dia putuskan.
Keputusan apa yang terbaik yang harus dia ambil.
Hari ini dia pergi bekerja berjalan kali karena sepeda yang biasa dia pakai,di pakai ibunya untuk mengantar kue pesanan bu Shanti yang kebetulan rumahnya agak jauh dari rumah Anjani.
Membutuhkan waktu satu jamur jika berjalan kaki menuju Rumah bu Shanti.
Karena jarak yang cukup jauh,maka Anjani memutuskan pergi bekerja berjalan kaki.
Bu Mirna pun berangkat mengantarkan pesanan kue milik bu Shanti.
Dengan menggunakan sepeda hanya membutuhkan waktu kurang lebih duapuluh menit untuk sampai di sana.
Bu Shanti memesan kue untuk acara yasinan nanti siang,biasanya di tempat bu Shanti,setiap jum'at,selepas Dzuhur ibu-ibu mengadakan yasinan rutin.
Dan hari ini adalah giliran di rumah bu Shanti untuk mengadakan yasinan rutin.
Akhirnya bu Mirna sampai juga di rumah bu Shanti,dengan di sambut hangat oleh sang pemilik Rumah.
"Assalamualaikum,bu Shanti,"
Kebetulan bu Shanti sedang di teras rumah. Memiliki rumah yang sederhana,mewakili pemiliknya yang juga sederhana.
"Waalaikumsalam,bu Mirna,mari sini masuk," jawab bu Shanti sambil membantu bu Mirna yang kepayahan membawa kue-kue pesanannya.
"Tumben di antar sendiri,Anjani ke mana?" Tanya bu Shanti.
"Anjani kerja bu," jawab bu Mirna.
"Mari sini,duduk dulu,saya ambilkan uangnya dulu ya bu," bu Shanti pun masuk hendak mengambilkan yang untuk membayar kue yang dia pesan.
Tak lama beliau keluar sambil membawa segelas teh hangat untuk di suguhkan kepada bu Mirna dan beberapa cemilan.
"Ini bu uangnya,dan ini saya buatkan yeh,di minum dulu," sambil menyodorkan uang dan menghidangkan minuman bu Shanti kepada bu Mirna.
"Wah,repot-repot saja bu Shanti ini,saya jadi tidak enak," jawab bu Mirna sungkan.
"Gak papa bu,gak usah sungkan,saya mengganggap bu Mirna itu seperti saudara sendiri,"
"Terimakasih bu Shanti atas kemurahan hatinya," tak terasa menetes air mata bu Mirna,karena baru kali ini ada orang yang mau menghargai dia.
Selama ini,dia selalu di pandang rendah oleh warga sekitar Rumahnya.
Hanya segelintir saja yang mau menghargainya. Maklum,keluarga bu Mirna memang keluarga yang ekonomi nya terbilang di bawah orang-orang sekitar.
Maka mereka menganggap bu Mirna tidak pantas untuk di hargai.
Namun,bukankah bu Mirna juga makhluk ciptaan Allah? Yang juga harus saling mengasihi dan menghargai?
Sedangkan Allah SWT tidak pernah membedakan,semua ciptaan-Nya itu perlu di hargai dan di sayangi.
*******
"Assalamualaikum,bude," suara Wanda terdengar di luar pintu rumah ibu Ida. Dengan tergopoh Wanita setengah baya itu membuka pintu.
“waalaikumsallam,eh Wanda,mari masuk,"
“Ini bude,di suruh ibu nganter mangga,kebetulan panen yang ada di depan rumah” seraya menyodorkan kantong kresek berisikan mangga kepada bu Ida.
“Iya,terimakasih,kamu tumben sudah lama gak main kesini?” Tanya bu Ida sambil menyuruhnya duduk.
“Iya bude,kemarin gak enak badan,” jawab Wanda asal.
“Oh iya,bude,Danu ke mana kok gak ada di rumah?”
“Dia sedang ada di toko,katanya pengin melihat toko”
“Memang nya dia gak kuliah bude hari ini?”
“Katanya sedang libur.”
Danu Prakas adalah anak bu Ida satu-satunya,suami bu Ida meninggal kecelakaan motor di pertigaan jalan Asmara ujung gang. saat Danu baru berusia 7 tahun. Tidak mudah bagi bu Ida menjadi orang tua tunggal.
“Wanda,daripada kamu main saja gak jelas,mending kamu kerja di toko bude sama Anjani,” kata bude Ida menyarankan kepada Wanda yang kerjanya cuma main saja.
“Kapan-kapan lah bude,Wanda masih ingin main-main dulu,” jawab Wanda sambil cengengesan.
“Kamu itu ya,sudah gede masih saja kaya anak kecil,” goda bude Ida.
“Ya sudah bude,Wanda pulang dulu ya,gak ada Danu gak seru,” sambil Wanda beranjak dari duduknya dan berpamitan kepada bude Ida.
********
Anjani sampai di toko dan bersiap untuk menjalankan tugas sebagai pelayan toko di sana,baru mau menyapu lantai di kejut kan dengan kehadiran Danu,bos kecil toko itu.
“Selamat pagi Anjani,” sapa bos muda tersebut.
“Eh,mas Danu,selamat pagi mas,tumben datang ke toko? Ibu mana?” Tanya Anjani sambil menyapu lantai.
“Ada di rumah,” jawab Danu sekenanya.
Sebenarnya Danu sudah lama menyimpan perasaan terhadap Anjani,tapi dia takut untuk mengutarakan isi hatinya,takut di tolak. Diam-diam Danu memperhatikan Anjani dari sudut ruangan toko itu,dia sungguh mengagumi kepribadian Anjani yang begitu polos,wajah yang cantik,postur tubuh yang tinggi semampai bak model dunia,di tambah lagi dengan baju gamis dan kerudung segi empat yang di kenakan nya,menambah keanggunan bagi sosok Dewi Anjani.
Danu terus mengagumi sosok Anjani,tanpa sadar fikirannya melayang jauh,andai Anjani menjadi istrinya dan memiliki anak bersamanya,membina rumah tangga dengan Anjani,sungguh kebahagiaan tiada tara. Ah,andai itu bisa terwujud.
Danu menghela nafas,"Anjani,apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Danu tiba-tiba.
"Kenapa mas Danu tiba-tiba tanya seperti itu?" Anjani balik bertanya.
"Ah,enggak,wanita secantik kamu pasti sudah punya pacar," jawab Danu cengar-cengir.
"Siapa juga yang mau jadi pacarku mas,sudah jelek miskin lagi," jawab Anjani asal.
"Siapa bilang kamu jelek? Kamu tuh cantik,sholeha,kamu itu juga baik," timpal Danu dengan nada memuji.
"Iihh mas Danu bisa aja,mas Danu sendiri pasti banyak cewek yang mengelilingi di kampus,kan?"
"Enggak juga sih,hehehe"
Mereka berdua saling lempar candaan dan tak luput juga saling adu pandang.
***
Sudah jam 12 tengah hari,pak Tarno beranjak dari sawah hendak menuju gubug tempat dia biasa berteduh kala pergi ke sawah.
Dia membuka rantang,bekal yang selalu di siapkan istrinya setiap dia hendak ke sawah. Dengan sayur asam dan gorengan ikan asin,tak ketinggalan sambal terasi,dengan lahap pak Tarno memakan habis semua tak tersisa.
Sehabis makan dia hendak mengambil air wudhu di sumur dekat sawah tersebut,dan melanjutkan sholat dzuhur di gubug.
Tanpa di duga,anak pak Herman,Sania datang menghampirinya. "Eh neng Nia,tumben ke sawah?" Tanya pak Tarno sedikit heran,karena tidak biasanya Sania datang ke sawah,apalagi di tengah hari,panas terik begini.
"Iya pak,lagi pengin saja ke sawah," sambil matanya jelalatan seperti mencari sesuatu.
"Neng Nia sedang mencari seseorang ya?"
"Ah,enggak pak," sontak Sania mengedarkan pandangan nya ke aras pak Tarno,dan Sania pun duduk di dalam gubug itu.
"Pak Tarno sudah makan?"
"Sudah neng,baru saja,"
Sania duduk di pinggir gubug,angin sepoi membuat rambut panjangnya berayun naik turun,Sania sepertinya sedang menunggu seseorang,entah siapa yang dia tunggu.
Hampir satu jam Sania duduk sendiri di dalam gubug,pak Tarno juga sudah memulai aktivitasnya di sawah,Sania beranjak hendak pulang kerumah.
Pak Tarno hanya melihat dari kejauhan,Sania berjalan melalui jalanan sawah yang sedikit becek,meninggalkan sawah,berniat untuk pulang.
'Neng Nia sebenarnya sedang menunggu siapa ya?' Gumam pak Tarno dalam hati. Dan dia pun melanjutkan pekerjaannya,mencangkul sawah yang akan di tanami pala wija.
***
"Kamu dari mana Nia? Kaki belepotan tanah gitu?" Tanya bu Siti-ibu Sania,istri bapak Herman.
"Nia dari jalan-jalan bu,ke sawah cari angin segar," celetuk Sania sembari ngeloyor menuju kran air yang ada di sudut rumah,hendak membasuh kakinya yang kotor.
“Jalan-jalan kok ke sawah,aneh kamu”
“Nia ingin melihat pemandangan,keasrian kampung kita bu” jawab Sania sewot.
“Ya sudah,habis cuci kaki tolong antarkan baju ini ke rumah nak Malik,itu bajunya sudah jadi,sekalian minta ongkos ya”
Dengah wajah semringah Sania langsung setuju,biasanya dia agak males kalau di suruh ibunya,tapi kali ini sedikit berbeda karena ada hubungan dengan ustadz Malik.
Bu Siti adalah penjahit baju paling terkenal di kampung itu,dia juga membuat baju untuk di titipkan di toko milik bu Ida.
Sesampainya di rumah Ustadz Malik,Sania memberikan baju koko yang telah di pesan oleh nya.
“Pak ustadz,emang mau ke mana to,kok pesan baju baru segala?” Tanya Sania dengan keberaniannya.
“Anu,nanti malam mau berkunjung ke rumah saudara” jawab ustadz Malik asal.
“Emang saudara yang mana pak ustadz?” Sania masih penasaran.
“Nanti kamu juga tahu sendiri” jawba ustadz Malik dengan senyum simpulnya.
Hati Sania bergetar menatap senyum simpul yang di kembangkan ustadz Malik,ternyata dalam diam Sania menaruh hati terhadap ustadz nya itu. Dia begitu ingin bersanding dengna ustadz Malik,namun apa daya,ustadz Malik hanya menganggapnya sebatas murid ngaji dan guru.
“Ya sudah kalau begitu pak ustadz,saya pamit pulang dulu,assalamualaikum” pamit Sania.
“Wa'alaikumsallam” jawab ustadz Malik.
****
Sepulang dari toko,Anjani bergegas mandi dan menjalankan sholat ashar,baru selesai sholat,pintu kamar di ketuk oleh ibunya.
tok! tok! tok!
“Anjani,,boleh ibu masuk?”
“Iya bu,masuk saja,ada apa bu?" Tanya Anjani seraya melipat mukena yang dia kenakan barusan.
Ibu Mirna duduk di tepi ranjang dipan tepat di bawah Anjani duduk,beliau mengelus rambut anak perempuannya dengan penuh rasa kasih dan sayang. Anjani tahu apa maksud ibunya,pasti akan menanyakan perjodohan nya dengan ustadz Malik. Anjani hanya diam sambil memeluk kedua lutut ibunya dan menyandarkan kepalanya di sana.
“Nak,ibu tahu ini berat untuk kamu,ibu juga tahu kamu masih ingin sendiri dan menghabiskan waktu remaja mu,tapi coba kamu lihat ibu Sarah,dulu dia juga menolak lamaran dari orang,bukan sekali tapi dua kali dia menolak,dan apa hasilnya? Sampai sekarang dia masih sendiri,kedua orang tuanya sudah tidak ada, tidak tahu apa yang akan terjadi padanya kelak kalau dia sudah mulai menua,dengan siapa dia akan menua?”
“Tapi ibu,Anjani masih belum siap untuk berumah tangga,usia Anjani juga masih belum dewasa” jawab Anjani di iringi isak tangis dan berderai airmata membasahi pipi mulusnya.
“Anak ku,percayalah bahwa Allah sudah mengirim jodoh untuk mu,meski usia mu baru delapan belas,ibu yakin nak Malik bisa menjadi imam yang baik” bujuk bu Mirna.
“Sudah jangan menangis lagi,nanti sehabis sholat isya' nak Malik akan kesini dengan kedua orang tuanya,untuk memastikan waktu yang tepat untuk melamar kamu” ucap bu Mirna sambil beranjak dari duduk nya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar yang masih berlinang air mata kesedihan.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!