Yaya berlari kecil menghampiri seorang pria yang duduk tak jauh dibelakangnya. Pria yang sudah hampir enam bulan ini dikejar-kejarnya. Yah Meski yang di kejar-kejarnya itu selalu bersikap dingin dan cuek padanya, ia tidak peduli. Baginya, yang paling penting adalah keberadaan pria itu membuat hidupnya jadi lebih berwarna.
"Gav, ke kantin bareng yuk." serunya menggandeng tangan pria yang disukainya tersebut tanpa rasa malu.
Beberapa teman sekelasnya menatapnya sinis. Apalagi kaum cewek. Mereka sudah tidak menyukainya sejak hari pertama masuk sekolah itu. Menurut mereka gadis itu terlalu gampangan dan kampungan.
Tapi sekali lagi, Yaya tidak peduli. Sekalipun tidak ada yang mau berteman dengan dia, dirinya masih bisa mendekati Gavin dengan bebas. Iyakan?
"Kayaknya lo urusin istri lo dulu deh." bisik Bintang sahabat sekaligus teman sebangku Gavin yang langsung mendapatkan tatapan mematikan dari cowok itu. Bintang malah tertawa meledek.
Gavin melirik Yaya yang sekarang asyik bergelut manja disampingnya. Ia menutup matanya dalam-dalam lalu menghempaskan tangan gadis itu dari lengannya, tidak kasar juga tak lembut. Sikapnya dingin seperti biasa. Ia heran apa yang membuat gadis itu ngotot banget suka sama dia sampai kayak begini. Padahal jelas-jelas dia sudah menolaknya.
Kalau gadis-gadis lain masih punya malu dan takut mendekatinya terang-terangan. Tapi gadis yang satu ini malah tidak ada rasa malu sedikitpun dan terus-terusan menempel padanya tiap hari seperti permen karet.
"Lo jangan ganggu gue lagi. Ngerti?" sentak Gavin.
Hampir tiap hari ia bersikap cukup kasar ke gadis itu, tapi anehnya Yaya sama sekali tidak tersinggung, malah semakin menempel padanya, membuatnya frustasi sendiri. Ia tidak tahu harus pakai cara apalagi pada gadis sinting ini.
"Tapi kamu itu cahaya hidup aku Gavin, aku gak bisa semangat kalo nggak ada kamu tahu, jadi jangan nyuruh-nyuruh aku pergi yah." pinta Yaya manja yang di sambut tawa geli Bintang yang berdiri disebelah Gavin. Beberapa teman sekelas mereka yang masih di dalam berasa mau muntah mendengar kata-kata lebay yang seperti dibuat-buat itu. Jijik banget kayaknya mereka karena perkataan lebay Yaya.
Sedang Gavin lagi-lagi menutup matanya dalam-dalam, mencoba menahan diri agar tidak tersulut emosi. Tenang Gavin, nih cewek emang begini. Gumamnya dalam hati.
"Lo tuh ya." tekannya dongkol. Ia menatap Yaya tajam tapi gadis itu lagi-lagi malah tersenyum lebar.
Tenang Gavin, tenang. Jangan emosi. Pria itu menahan rasa gondoknya.
"Udah-udah. Kalo lo berdua debat terus, entar keburu bel lagi." ujar Bintang menengahi.
Gavin masih menatap Yaya sebentar sebelum keluar bersama Bintang. Gadis itu cepat-cepat mengejar mereka. Tak lupa memeluk lengan Gavin tanpa ijin, seperti yang dia lakukan hari-hari sebelumnya.
***
"Gue prihatin sama hidup lu bro." gumam Bintang menatap lurus Gavin yang kini duduk didepannya sambil sesekali melirik kebelakang ke Yaya yang masih mengantri makanan mereka.
Gavin menatap Bintang dengan alis terangkat bingung. Ia tidak mengerti maksud perkataan sahabatnya itu.
"Gue pikir cewek pertama lo bakalan normal. Ternyata lo dapetnya yang jauh banget dari kata n-o-r-m-a-l." kali ini Bintang berbisik dengan tawa tertahan. Menekan kata terakhir dalam kalimat yang dia ucapkan dengan ekspresi meledeknya.
Perkataan itu sontak membuat Gavin melemparkan tatapan sebalnya ke sang sahabat.
"Sekali lagi lo bilang dia cewek gue, mampus lo." ancamnya dongkol sedang Bintang terus tersenyum jahil padanya.
"Santai kali, lagian tuh cewek cakep. Lo nggak rugi-rugi banget juga." tambahnya dengan nada meledek.
Gavin sudah bersiap-siap menonjok Bintang tapi terhenti dengan kedatangan Yaya. Ia menatap gadis itu malas. Selera makannya sudah hilang sejak tadi karena gadis itu. Kalau sudah begitu, lebih baik dia pergi saja.
"Kok nggak di makan makanannya?"
Tanya Yaya. Sejak tadi ia melihat Gavin hanya menatap makanan didepannya.
"Nggak selera." balas Gavin ketus. Raut wajah Yaya langsung berubah.
"Tapi aku udah bela-belain ngantri buat beliin makanannya tahu. Kalo Gavin sakit gimana?" ungkap gadis itu memasang wajah cemberut yang malah membuat Gavin tambah merasa jengah. Lebay.
"Bodoh." balasnya tidak peduli.
"Udah nggak usah digubris, nanti juga dia cari makan sendiri kalo udah laper." lagi-lagi Bintang menengahi.
Yaya mau bicara lagi tapi mulutnya langsung di sumpal dengan sepotong bakso dari Bintang.
"Habisin aja makannya, bentar lagi bel. Lo nggak mau kelaparan di kelas kan." katanya biar gadis itu tidak bicara lagi. Yaya menatapnya dongkol tapi tetap menurut.
"Oh ya!"
Seru Yaya lagi saat teringat sesuatu. Bintang hampir tersedak dibuatnya. Nih cewek bener-bener deh, kesal Bintang.
"Nanti aku pulang bareng Gavin boleh yah?"
"Nggak usah ngelunjak." tolak pria itu langsung. Yaya kembali memasang wajah cemberut.
"Gue balik."
ucap Gavin bukan ke Yaya tapi ke Bintang yang masih asyik mengunyah. Ia berdiri dan pergi dari situ. Terlalu bosan dan kesal dengan tingkah Yaya. Gadis itu menghembuskan nafas panjang menatap kepergian Gavin, kapan pria jangkung nan keren itu akan bersikap lembut padanya? Selama ini Dastin belum pernah berbicara dengan lembut padanya, dan ia menantikan waktu itu. Hari dimana Gavin akan memperlakukannya dengan lembut dan membalas cintanya.
"Ya..,"
Yaya melirik Bintang malas.
"Lo nggak capek apa ngejar-ngejar cowok yang nggak suka sama lo?" tanya cowok itu ke Yaya.
Sebenarnya ia merasa heran juga kenapa Yaya sampai sebegitu tergila-gilanya pada Gavin sekalipun sudah berkali-kali pria itu jelas-jelas menunjukkan penolakan dan bersikap dingin padanya bahkan terkadang Gavin akan bersikap kasar kalau sudah kalap dan jengah dengan tingkah berlebihan Yaya.
"Nggaklah. Gavin bakal jadi suami aku nanti." seru Yaya pasti. Iya memiliki keyakinan kalau suatu hari nanti Gavin akan menjadi suaminya, dan dia menantikan hari itu.
Bintang takjub menatapnya. Ia merasa Yaya benar-benar sudah terobsesi pada sahabatnya. Nakutin juga lama-lama. Kasian nasib Gavin, pikirnya merinding.
Sepulang sekolah Yaya tidak berhasil menemui Gavin hanya untuk sekedar melihat pria itu. Cowok itu sudah buru-buru pulang. Entah sibuk atau memang sengaja mau menghindarinya. Tapi ya sudahlah, setidaknya tadi mereka sudah makan bareng dikantin, meski Gavin tidak makan apa-apa. Zuin merapikan ranselnya dan berjalan keluar kelas. Ia memilih naik bus pulang ke rumahnya.
Sebenarnya tak ada seorang pun yang tahu perasaan Yaya dibalik sifat ceria dan bawelnya yang selalu ia tunjukkan didepan Gavin dan teman-teman cowok itu. Mereka tidak tahu kalau ia hanyalah seorang gadis kesepian yang merindukan kasih sayang. Ia tidak punya siapa-siapa, papanya menikah lagi setelah mamanya meninggal, mama tiri dan kakak tirinya tidak suka padanya, kakak kandungnya pergi dari rumah memutuskan tinggal sendiri dan tidak mau peduli padanya lagi. Intinya, tak ada satu orang pun yang peduli padanya. Ia sendirian. Tidak ada lagi orang yang menyayanginya di dunia ini. Hidupnya sungguh menyedihkan.
Yaya menatap kosong ruangan kamarnya. Dinding berwarna hitam itu mengekspresikan kehidupannya yang gelap. Ia sengaja mengubah warna cat dinding kamarnya untuk mencari perhatian papanya, sayangnya tak ada seorang pun dari mereka yang ia harapkan datang menginjakkan kaki mereka di kamar itu. Gadis itu tertawa miris.
Dulu waktu mamanya baru meninggal, hampir tiap hari gadis itu menjalani hari-harinya seperti mayat hidup. Bahkan dia pernah mencoba bunuh diri beberapa kali.
Pandangannya berpindah ke sebuah ruangan lain yang hanya bisa dimasuki lewat kamarnya. Ruangan itu adalah tempat rahasia yang sengaja dibuat kakaknya ketika mereka masih dekat dulu. Ruangan itu dibuat agar dia bisa melukis karena dirinya suka melukis dan hobinya itu hanya kakaknyalah yang tahu, makanya ruangan itu adalah ruang rahasia mereka berdua.
Sebuah senyum merekah terbit di wajah Yaya. Ia berjalan perlahan memasuki ruangan itu. Pandangannya lurus menatap ke beberapa lukisan yang sudah selesai dibuatnya. Disebelah kiri ada dua lukisan lengkap dirinya dan keluarganya, dan disebelah kanan ruangan itu ada sekitar empat lukisan dengan wajah yang sama. Seorang lelaki tampan yang selalu menghiasi senyumnya tiap kali ia melihatnya.
Gavin...
Satu-satunya pria yang membuatnya bangkit dari keterpurukannya dan berusaha memandang kehidupan ini dengan cara yang lebih baik. Pria itu seperti cahaya yang terus meneranginya. Gavin adalah kekuatannya untuk bertahan hidup.
Yaya ingat waktu pertama kali dia bertemu Gavin. Saat itu dia sedang di rawat di RS karena percobaan bunuh diri. Umurnya masih lima belas tahun waktu itu.
Yaya pernah ingin melompat sekali lagi dari atap RS tapi seseorang menyelamatkannya, kebetulan orang itu adalah Gavin. Pria itu berteriak padanya dan memarahinya habis-habisan, tapi sesudah itu Gavin menenangkannya seperti orang dewasa, padahal mereka mungkin saja seumuran. Satu hal yang tak akan pernah ia lupa adalah kata-kata Gavin saat itu.
"Nggak ada orang yang nggak punya masalah di dunia ini, sesulit apapun hidupmu, kamu harus tetap kuat, jangan menjadi lemah. Karena kalau kamu berhasil melewatinya, kamu akan menyadari betapa berharganya hidup ini. Satu hal lagi, kalau kamu masih sulit tersenyum, tatap aku dan bayangkan wajahku seperti spongbob."
Yaya lagi-lagi tertawa mengingat pertemuannya dengan Gavin di masa lalu. Sifat Gavin ketika pertama kali mereka bertemu di rumah sakit itu sangat berbeda 180 derajat dengan sifatnya sekarang. Lagi, Gavin bahkan tidak ingat sama sekali kalau Yaya adalah gadis yang pernah dia tolong itu di rumah sakit waktu itu.
Yaya sering berpikir apakah karena waktu itu mereka bertemu di malam hari jadi pria itu lupa, berarti ingatan Yaya sangat bagus karena ia bisa mengingat dengan sangat jelas wajah Gavin sekalipun mereka hanya bertemu sekali. Atau mungkin karena ia langsung melukis wajah Gavin setelah pertemuan itu.
Beberapa bulan setelah pertemuan dengan Gavin itu, Yaya masuk SMA. Secara kebetulan ia menemukan pria yang terus menerus ada dalam benaknya itu yang ternyata satu sekolahan dengannya, mereka bahkan sekelas.
Saat mengetahui hal itu, Yaya melompat-lompat kegirangan dan membulatkan tekat untuk mengejar pria yang disukainya tersebut. Lelaki yang sampai sekarang terus memenuhi pikirannya dan membuatnya punya semangat hidup lagi.
"Aku rindu Gavin yang dulu." gumam Yaya menatap salah satu lukisan Gavin yang pertama kali di lukisnya. Di lukisan tersebut Gavin tersenyum lebar, berbeda jauh dengan pria itu sekarang.
Gavin yang sekarang entah kenapa selalu bersikap dingin pada semua orang kecuali sahabatnya Bintang, tentu saja. Gavin yang sekarang jarang sekali tersenyum, bahkan tidak pernah sekalipun Yaya melihatnya senyum. Bukan berarti gadis itu tidak suka Gavin sekarang, hanya saja ia lebih menyukai pria itu yang lembut dan hangat seperti pertama kali mereka bertemu, ketika pria itu menolongnya.
"YAYA KELUAR KAMU !"
Terdengar suara teriakan seseorang sambil menggedor-gedor kuat pintu kamarnya. Yaya menghembuskan nafas lelah lalu berbalik keluar dari ruang rahasianya. Ia kenal suara itu. Itu suara papanya. Hanya ada satu hal yang membuat papanya akan datang kekamarnya, meski tidak pernah masuk. Tentu saja kalau pria tua itu mau memarahinya. Ya ampun, apalagi sekarang. Pikir Yaya jengah. Tak ada seharipun di rumah ini situasi yang akan membuat dia merasa tenang.
"Ngapain kamu masuk ke ruang kerja papa? Laptop papa juga kamu rusakin!"
Semprot papanya ketika ia membuka pintu kamarnya.
Alis Yaya terangkat bingung. Kapan ia masuk ke ruang kerja papanya? Orang dia juga baru sampai rumah. Mana ada coba orang yang baru sampai rumah terus nyempetin diri masuk ke ruangan orang lain, ngerusakin laptop pula. Nggak masuk akal. Buat apa juga dia ngerusakin laptop papanya. Aneh.
Alis Yaya terangkat bingung. Kapan ia masuk kantor papanya? Orang dia juga baru sampai rumah.
Pandangannya berpindah ke seseorang yang berdiri disebelah papanya. Dia adalah Sara, kakak tirinya. Yaya tersenyum sinis, ia mengerti sekarang. Pasti cewek itu yang bikin ulah dan sengaja bawa-bawa namanya. Ia tahu sekali sifat buruk Sara karena sudah berkali-kali gadis itu memfitnahnya.
"Udah Ya, minta maaf aja sama papa."
Ucap Sara sok polos. Yaya mendengus keras.
"Ngapain gue minta maaf kalo lo yang bikin salah." balasnya ketus.
"Yaya jaga mulut kamu." sergah papanya.
"Tapi pa,.."
"Jangan nuduh orang lain kalau kamu yang salah."
Loh, bukannya kebalik ya? Yang salah itu kan Sara, kenapa malah jadi dia. Yaya menatap papanya kesal.
"Sebenarnya yang anak papa itu Yaya atau dia sih pa? Kenapa papa lebih percaya sama dia?" balasnya marah.
Papanya menghembuskan nafas kasar.
"Karena kamu memang tidak bisa dipercaya, mama kamu juga meninggal karena kecerobohan kamu kan?"
Gadis itu terdiam. Ini nih yang paling membuatnya kecewa. Ketika papanya mengait-ngaitkan masalah kecil dengan kematian mamanya. Tanpa aba-aba gadis itu berbalik mengunci pintu kamarnya dan melemparkan diri diatas tempat tidurnya.
"Yaya, tidak sopan kamu ya. Buka pintunya!" teriak papanya lagi dari luar dengan luapan emosi yang menyala-nyala tapi gadis itu diam saja tak mau dengar.
Dari dalam ia bisa dengar suara Sara yang menenangkan papanya. Beberapa menit kemudian tidak terdengar suara papanya lagi. Mereka mungkin sudah pergi. Gadis itu mendengus kesal.
Tanpa sadar airmatanya terjatuh di pipinya tapi cepat-cepat dihapusnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi kuat. Tidak ada yang boleh melihat kelemahannya. Gadis itu memilih membenamkan dirinya ke bawah bantal sampai tertidur.
***
Besoknya Yaya tidak punya mood berangkat sekolah, meskipun ia tetap pergi. Gimana mau senang kalau dari pagi sudah disemprot papanya dengan kemarahan sih pria tua itu, jajannya bahkan hanya dikasih 50rb seminggu. Sangat tidak masuk akal, mana cukup uang segitu buat seminggu, orang miskin saja dikasih segitu pasti tidak akan cukup buat tiga hari.
Ia ingat dulu waktu masih ada mamanya, jaman-jaman dia SMP. Semua anggota keluarganya selalu manjain dia dan jajannya tidak pernah kurang. Sekarang, papanya mikir banget buat ngasih dia uang jajan. Sara doang yang dikasih. Segitu teganya papanya sama dia.
"Aarghh...."
Yaya menjerit pelan saat merasakan sesuatu yang dingin membasahi seragamnya dan menusuk sampai ke sekujur tubuhnya. Ketika ia mendongak kedepan, tatapannya bertemu dengan sepasang mata hitam pekat yang sedang menatapnya tajam, membuatnya merasa terintimidasi.
Cara berpakaian orang itu asal-asalan dan sekarang kemejanya pun basah karena jus gadis itu. Satu hal yang ada dibenak gadis itu, tatapan itu sungguh menakutkan.
"A..aku yang nabrak yah?" gumamnya menatap cowok itu dengan suara terbata sambil tersenyum kikuk. Cowok itu masih menatapnya tajam.
"Ganti."
Satu kata yang keluar dari mulut cowok itu. Suaranya datar, penuh penekanan dan amat mengintimidasi.
Yaya menatap cowok itu bingung.
"Lo udah rusakin buku perpustakaan."
Cowok itu menunjuk sebuah buku cetak yang sudah tergeletak dilantai dengan keadaan basah dan robek. Yaya mengikuti arah pandang cowok itu dan sukses membuat bola matanya membulat besar.
Ia merutuki kecerobohannya. Aduh, gimana ia harus menggantinya, dia kan tidak punya uang sebanyak itu. Dilihat dari ketebalan buku itu, harganya pasti lebih dari 200 ribuan.
Pandangannya kembali berpindah ke cowok yang tingginya sebelas dua belas sama Gavin itu. Pokoknya dirinya hanya akan mencapai bahu kalau berdiri ditengah-tengah mereka.
"A.. aku nggak punya uang sebanyak itu, gimana dong?" ucapnya ke cowok itu takut-takut.
Cowok itu mendekat selangkah dan menatapnya intens, membuat Yaya menelan ludahnya.
"Bener aku nggak bohong deh. Suer."
Tambah Yaya lagi mengangkat dua jarinya yang menunjukkan huruf V tanda ia tidak berbohong.
Cowok itu mencibir.
"Gue nggak mau tahu, lo harus ganti kalo lo nggak mau gue rontokin semua gigi lo." ancam cowok itu berhasil membuat nyali Yaya ciut seketika.
Ekspresi cowok itu tampak tidak main-main, wajahnya terlihat sangar meski tampan. Kulitnya putih bersih dan tampak terurus di balik cara berpakaiannya yang awut-awutan, sangat jauh dari kata rapi. Ini pertama kalinya Yaya melihat cowok itu disekolah dan langsung tobat seketika bertemu dengan cowok semacam itu, sekalipun wajahnya ganteng banget.
Tobat deh tobaaat.
Gadis itu merutuki nasib sialnya.
"Heh, lo denger gue kan?" sentak cowok itu lagi mengagetkan Yaya dari lamunannya.
"I..iya.." sahut cewek itu takut-takut.
"Huh, dasar gembel." ucap cowok itu dengan nada merendahkan sebelum akhirnya berlalu dari depan Yaya.
Yaya menatap kepergian cowok menakutkan yang ia tidak tahu siapa namanya itu dengan wajah cemberut. Ia memang tidak punya uang, tapi bukan berarti dia gembel kan. Gadis itu tidak terima dikatain gembel. Papanya kan punya perusahaan besar. Katanya dalam hati lalu pergi dari situ. Untung tidak ada orang yang liat, kalau tidak dia akan dipermalukan banget pastinya, mengingat banyak banget orang disekolah ini yang tidak menyukainya.
Dikelas, pekerjaannya hanya melamun. Ancaman cowok yang ditabraknya tadi terus menerus terngiang-ngiang dalam benaknya. Pikirannya jadi kalut.
"Yaya. YAYA!"
Yaya refleks menatap kedepan kelas saat namanya dipanggil. Seisi kelas menatapnya jengah. Dia lagi, dia lagi. Pasti itu yang ada dalam pikiran mereka.
"Kamu bengong kenapa?" tanya bu Via guru matematika mereka.
Yaya kelabakan mencari alasan.
"Eh, nggak kenapa-napa bu." sahutnya sambil menyengir kuda.
"Kamu tuh ya bengong mulu kerjaannya kalo belajar. Berdiri didepan sekarang."
tegas bu Via lagi memberi hukuman.
Mau tidak mau Yaya berdiri dari bangkunya dan melangkah kedepan di samping papan tulis. Beberapa teman sekelasnya yang tidak suka padanya tersenyum puas.
Dari bangku belakang Gavin sesekali mengamati Yaya. Ia merasa tingkah gadis itu agak berbeda hari ini. Walau ia senang karena daritadi sih makhluk aneh itu tidak mengganggunya tapi ia cukup penasaran apa yang terjadi dengan gadis itu. Ekspresi wajahnya terlihat seperti sedang berpikir keras. Gavin jadi ingin tahu apa yang dipikirkan gadis itu sekarang.
"Kenapa lo? Nggak tega pacar lo dihukum?" ledek Bintang disebelahnya.
Gavin balik menatap cowok itu dongkol.
"Ngawur." balasnya lalu kembali fokus mencatat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!