Erika duduk di atas ranjang tempatnya terbangun untuk pertama kalinya. Kedua manik mata coklat gadis itu, terus menatap sekelilingnya.
Ruangan mewah dengan interior kuno. Sama persis seperti yang sering dia lihat di buku komik bertema kerajaan.
"Terakhir kali aku ingat jelas kalau tertabrak mobil. Tapi kenapa tiba-tiba ada di sini? Aneh sekali,” celetuknya, tempat menoleh ke arah pintu saat seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam kamarnya dengan ekspresi senang.
Wajah asing, senyuman ramah yang tampak gelisah, langkah kaki pelan yang terlihat sangat anggun dan tubuh tinggi menjulang serta wajah yang awet muda.
"Anda sudah bangun. Syukurlah, saya kira Anda tidak akan bisa bangun." Lelaki itu berusaha tetap ramah dan tidak membuat Erika merasa canggung.
Tapi karena sikap itulah, Erika merasa semakin aneh dengan kondisinya. "Anda yang membawa saya ke sini?" tanyanya, dengan ekspresi wajahnya yang terlihat dingin.
"Ya, saya yang menyelamatkan Anda dari kematian. Senang bisa melihat Anda bernapas kembali. Saya sudah melakukan semua yang terbaik untuk membuat tubuh Anda tetap sehat. Anda senang, bukan?" ucap lelaki paruh baya itu, menatap tubuh Erika dengan tatapan penuh rasa syukur.
Erika menundukkan kepalanya sejenak, melihat keadaan tubuhnya yang bertambah kurus dan ramping tapi tidak ada luka sekecil apa pun yang tertinggal. Padahal seharusnya, kepala Erika memiliki luka yang besar karena jatuh dari ketinggian.
"Di mana teman saya? Saya harap Anda tidak berbohong, karena di saat terakhir saya melihat Anda membawa kami berdua. Berkata jujurlah, Tuan," sergah Erika, beranjak turun dari ranjang dan berdiri di depan lelaki itu.
"Anda tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Tuan itu. Dia sudah bangun tiga hari lebih cepat dari Anda. Sekarang beliau sudah ada di rumahnya dan menjalani aktivitas seperti biasa," ucap lelaki itu, berusaha tetap ramah walaupun jantungnya sudah tak terkontrol.
Dia baru pertama kali melihat seorang remaja dengan tatapan setajam elang. Sorot mata yang dingin dan tegas itu, selayaknya milik tatapan kepala prajurit saat berada di medan perang.
"Rumah?" Erika memiringkan sedikit kepalanya. "Rumah apa yang Anda maksud? Tidak mungkin sekarang dia berada di rumah yang sedang ada di dalam pikiran saya. Kakak saya tidak mungkin meninggalkan saya di sini!” tegasnya, dengan tatapan horor.
Erika mendekat dua langkah dan membuat jarak dia dengan lelaki itu hanya berjarak 5 cm. "Di mana dia?!" tanyanya, dengan intonasi tajam.
"Saya akan membawa Anda ke sana setelah kita berdua berdiskusi. Saya harap Anda tidak melakukan pemberontakan yang sia-sia. Kalau begitu saya akan keluar sekarang dan menunggu Anda di ruang keluarga. Tolong segera keluar setelah Anda bersiap," ucap lelaki paruh baya itu, langsung melenggang pergi meninggalkan Erika di dalam kamar tersebut.
Pintu kembali tertutup, Erika yang ditinggal sendirian langsung mengacak rambutnya dengan kasar dan membuat penampilannya berantakan.
"Astaga Nona, apa yang sedang Anda lakukan?! Anda merasa sakit?" tanya seorang perempuan, berlari masuk ke dalam ruangan itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Erika mengerutkan keningnya dalam dan melihat lawan bicaranya dengan tatapan tak senang. "Siapa Anda?" tanyanya, seketika menjaga jarak di antara mereka berdua.
Kening perempuan itu berkerut samar, ekspresinya yang khawatir dan gelagatnya yang resah, menunjukkan jika dia sedang cemas.
"Anda tidak mengingat saya? Saya pelayan setia Anda. Nama saya adalah sabrina. Anda tidak mengingatnya?" tanya wanita bernama sabrina itu, menatap gelisah pada sang Tuan, yang seperti telah kehilangan ingatannya.
Erika menghela napas lelah. "Lalu siapa nama saya di sini?"
Sabrina mengerutkan keningnya dalam. "Di sini?" batinnya, tanpa kebingungan. "Nama Nona adalah Nathaniela Ellworth. Nona Nathania. Anak ketiga dari keluarga Ellworth. Anda juga memiliki tiga orang saudara. Satu kakak laki-laki, satu kakak perempuan, dan satu lagi adik laki-laki. Anda juga tidak mengingat mereka?" tanya Sabrina, benar-benar terlihat resah saat ini.
"Nathania?" gumam Erika, seakan mengingat nama tersebut agar dia tidak kesulitan beradaptasi di lingkungan itu.
"Benar, Nona. Anda adalah Nona Nathania. Putri kedua dari Duke Carlin. Semoga Anda masih mengingat kedua orang tua Anda juga," cicit sabrina, terlihat benar-benar sedih.
Erika kembali mendengus kasar dan berusaha menerima kenyataan pahit ini. "Aku membuang perusahaan aku yang besar untuk jadi anak Duke di sini? Konyol, Paman Niran pasti suka menguasai semua harta keluarga aku," gumamnya, tampak muak dengan realita ini.
Sabrina terus memperhatikan Nathania yang dari tadi terus bergumam, dengan ekspresi kesal dan kecewa. "Anda tidak boleh terlalu banyak pikiran, Nona. Nanti Anda tidak bangun lagi. Tolong jaga kesehatan Anda," ucapnya, masih dengan ekspresi sedih.
Erika melirik ke arah orang yang mengaku sebagai pelayan setianya itu, dengan tatapan lelah. "Duke meminta saya bersiap. Bisa tolong bantu saya pergi ke kamar mandi? Sepertinya kamar ini tidak memiliki kamar mandi dalam. Di mana kamar mandinya? Saya harus mandi dan ganti baju, kan?"
"Ah ... sebaiknya Anda tidak perlu mandi dulu, Nona. Saya akan membantu Anda mengelap tubuh Anda dengan handuk basah. Silakan berbaring di tempat tidur saja," ucap sabrina, terlihat sedikit panik saat mendengar Tuannya yang sedang tidak sehat itu, ingin mandi.
"Jangan berlebihan. Saya bisa membersihkan diri saya sendiri. Tolong tunjukkan kamar mandinya!" seru Erika, dengan intonasi dingin yang membuat sabrina tidak berani membantah.
"Baiklah, saya akan mengantar Anda pergi. Silakan ikuti saya, Nona."
Nathania keluar dari ruang kamarnya dan mengikuti langkah Sabrina menuju sebuah ruangan yang ada tepat di samping kamarnya.
Sudah ada tiga orang pelayan lain yang berpakaian seperti maid, yang berdiri di depan pintu ruangan itu.
"Baiklah, terima kasih." Nathania masuk ke dalam ruangan itu dan tidak membiarkan seorang pelayan pun menemani dirinya.
"E-eh ... Nona, Anda tidak membiarkan kami membantu?" tanya Sabrina, berujar dari depan pintu ruangan yang telah ditutup Nathania dari dalam.
"Ya, saya bisa mandi sendiri. Tidak perlu cemas! Aku ini sudah berusia 18 tahun," sahut Nathania, dari dalam ruangan.
Sabrina dan beberapa pelayan yang berjaga di depan ruangan itu, merasa sedikit khawatir dan gelisah karena sikap Nonanya sangat aneh.
"Nona Sabrina, saya dengar Nona Nathania mengalami cedera di kepalanya akibat jatuh dari pohon. Apa beliau benar-benar kehilangan ingatannya? Sikapnya terlalu aneh dan tidak biasa. Saya merasa beliau seperti orang asing," ucap pelayan bernama Netty, terlihat gelisah.
"Aku juga tidak tahu Netty, Nona memang sedikit berubah sejak bangun. Caranya melihat dan berbicara serta cara jalannya juga. Walaupun sedikit kurang ajar, tapi aku masih bisa memakluminya. Yah, kita pantau dulu saja Netty. Semoga Nona kita baik-baik saja," ucap Sabrina, berusaha menenangkan pelayan Nathania yang lain, yang juga sama-sama mencemaskan keadaan Nathania seperti dirinya.
"Eh? Di mana pakaian gantinya?!" tanya Nathania, berteriak dari dalam ruangan.
Sabrina menoleh pada Netty yang menggenggam pakaian ganti Nona mereka. "Saya akan membawanya masuk. Tolong buka pintunya, Nona."
"Tinggalkan saja di gagang pintu. Dan kenapa kalian masih ada di sana? Kalian tidak punya pekerjaan untuk di kerjakan?!" celetuk Nathania, membuka sedikit pintu dan mengulurkan tangannya untuk mengambil pakaian ganti dari tangan Netty.
Dan semua pelayan langsung terkejut melihat sebagian tubuh Nathania yang telanjang terlihat jelas dari balik pintu.
"Yang Mulia! Apa yang telah Anda lakukan!!!" teriak para pelayan, kalang-kabut berusaha menutupi bagian depan pintu tersebut.
Setelah selesai mandi, Nathania di bawah kembali ke kamar dan dibantu para pelayan untuk bersiap. Maksudnya, berias dan mempercantik dirinya dengan beberapa pernak-pernik yang terbuat dari permata atau berlian.
"Yang Mulia, saya harap Anda tidak bertingkah di depan Duke nanti," tutur Sabrina, memohon dengan sopan sambil menutupi wajahnya yang masih memerah mengingat kelakuan Nathania terakhir kali.
Nathania yang mendengar teguran itu, melirik Sabrina dengan tatapan datar. "Haruskah aku mendengarkan perkataan pelayan?' tanyanya, tanpa menggunakan nada angkuh.
Sabrina yang mendengar itu langsung terkejut. Dia segera meminta maaf karena perlakuannya yang tidak sopan. Dia lupa kalau Nathania sedang mengalami lupa ingatan, dan mungkin saja sikap alami bangsawan yang tidak ingin dibenarkan oleh kedudukan orang yang lebih rendah darinya, telah terpampang.
Sabrina sedikit menundukkan kepalanya, dan berkata, "Maaf atas ketidaksopanan saya, Yang Mulia. Saya tidak berhati-hati dalam berucap. Dengan-"
"Saya hanya bercanda, Nona Sabrina. Anda tidak perlu tegang begitu," celetuk Nathania, membuat kepala Sabrina kembali mendongak menatap pantulan wajah Nathania dari cermin.
"Anda tidak marah?" tanya Sabrina, terlihat canggung dan merasa kalau sikap Nathania cukup aneh untuk sekedar disebut sebagai candaan.
Nathania menatap pantulan sosok Sabrina dari cermin. "Ah ... maaf, sepertinya saya tidak pandai bercanda."
Sabrina mengerjapkan matanya beberapa kali, memperlihatkan ekspresi bodoh dan membuat Nathania merasa semakin bersalah karena telah mempermainkannya.
Tok ... tok ....
Pintu kamar Nathania di ketuk dengan pelan, membuat dua orang wanita yang sedang merasa canggung satu sama lain, menoleh ke arah sumber suara.
"Saya akan membuka pintunya," ucap Sabrina, bergegas menuju ke arah pintu dan melihat siapa yang ada di depan sana.
"Tuan Carlos? Apa yang Anda lakukan di sini?' tanya Sabrina, berbicara dengan seorang lelaki berusia 22 tahun, yang tengah berdiri di depannya saat ini.
"Aku dengar Nathania sudah bangun. Apa aku tidak boleh masuk?" Seorang pria dengan rambut pirang melongok masuk dan melihat perawakan adik perempuannya, sedang duduk di depan kaca. "Kakak tidak boleh masuk?" ucap lelaki itu lagi, seakan berbicara dengan Nathania.
Nathania yang tidak mengetahui siapa itu, melirik ke arah Sabrina dan seakan meminta penjelasan tentang identitasnya.
"Beliau adalah anak pertama dari Duke, Nona. Beliau adalah Kakak lelaki Anda. Namanya-"
"Carlos Ellworth. Kamu tidak mengingatku juga?" Carlos berhasil menerobos masuk dari si penjaga gawang, yaitu Sabrina yang berdiri di depan pintu, untuk menghalangi jalannya.
Nathania berdiri dan mendekat pada Carlos. "Anda suksesor dari keluarga ini? Calon kepala keluarga generasi kedelapan?" celetuknya, terlihat canggung dan asing.
Carlos menoleh ke arah Sabrina dengan tatapan masam. "Dia benar-benar tidak mengenaliku, kan?"
Sabrina yang mendengar itu, langsung mengulas senyuman masam dan mengangguk kecil. "Seperti yang Anda lihat, Yang Mulia. Nona Nathania tidak mengingat apa pun tentang dirinya."
Carlos mengangguk mengerti setelah mendengar penjelasan Sabrina. Walau sebenarnya dia sudah mendengar hal tersebut dari Ayah dan tabib di kediaman mereka, tapi setelah melihat keadaan Nathania secara langsung, Carlos kini benar-benar yakin kalau adiknya mengalami lupa ingatan setelah mengalami sakit keras beberapa hari yang lalu.
Carlos meraih kedua tangan Nathania dan menggenggamnya dengan lembut. "Tidak apa, Nathania. Cepat atau lambat kamu akan mendapatkan ingatanmu kembali," ucapnya, dengan ekspresi sedih dan ada suara yang sangat lembut.
Nathania yang diperlakukan seperti itu, merasa sedikit canggung karena di kehidupannya sebagai "Erika" tak pernah ada seorang lelaki yang berani lancang melakukan kontak fisik seperti ini kecuali tempat orang sahabatnya.
"Em ... ya, baiklah. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Nathania, tenang suara canggung dan ekspresi yang terlihat kaku. "Jadi, bisakah Anda melepaskan tangan saya? Jika terlalu lama di genggam, tangan saya akan berkeringat dan itu tidak nyaman," celetuknya, dengan suara lirih.
Carlos yang mendengar itu langsung melepaskan kedua tangannya dari tangan sang adik dan meminta maaf dengan sopan. "Maaf kalau aku sudah bertindak sesukaku. Aku harap kamu tidak marah, Nathania."
Nathania mengangguk ambigu. "Ba-baiklah, saya tidak akan marah, Ka-Kakak?"
Carlos tersenyum saat mendengar Nathania memanggilnya dengan sebutan "Kakak" sambil menunjukkan ekspresi canggung dan tak yakin.
"Ya, kamu bisa memanggilku seperti itu untuk sekarang. Semoga kamu cepat mengingat panggilan 'kesayangan' yang kamu buat untukku, Nathania."
***
Nathania berjalan satu langkah di belakang Sabrina yang sedang menuntun jalannya menuju ruangan Duke Carlin. Orang yang di sebut sebagai "Ayah" dari Nathania yang di perankan oleh Erika saat ini.
Sabrina melirik ke arah Nathania melalui ekor matanya. Dia melihat Nathania yang dari tadi terus melihat sekelilingnya tanpa bosan.
"Anda sedang menghafalkan jalan, Nona?" celetuk Sabrina, membuat Nathania mengalihkan fokusnya pada pelayan perempuan itu.
"Itu juga termasuk. Aku hanya ingin melihat-lihat rumah baruku," jelas Nathania, singkat.
Tapi lagi-lagi, perkataan Nathania membuat Sabrina merasa sedikit bingung saat mendengarnya.
"Ini memang rumah Anda, Yang Mulia. Kediaman ini adalah milik keluarga anda. Jadi ini bukan rumah baru Anda," ucap Sabrina, dengan ekspresi sedih dan nada murung.
"Ya, untuk orang yang mengingat semua hal seperti kamu. Tentu saja, kediaman ini menjadi seperti rumah. Tapi untukku, orang yang kehilangan ingatannya secara utuh! Rumah ini terasa seperti rumah baru. Terasa cukup asing dan dingin, karena aku seakan tidak mengenal siapa pun dan di paksa hidup di tempat ini. Aku harap kamu tidak salah paham dengan itu," jelas Nathania, dengan suara tegas dan ekspresi dingin.
Sabrina tidak menjawab, dia hanya sedikit menundukkan kepalanya dan menunjukkan ekspresi muram yang lebih dominan ke arah rasa sedih.
"Kita sudah sampai, Yang Mulia." Sabrina memberitahu saat mereka berdua tiba di sebuah ruangan dengan pintu yang besarnya dua kali lipat lebih lebar dari pintu kamar Nathania.
"Ini ruangan kerja, Duke?" tanya Nathania, menatap pintu besar dengan ukiran kuno di hadapannya ini, dengan menelisik tanpa mengeluarkan ekspresi sedikit pun.
"Ya, Yang Mulia. Saya akan meminta izin masuk untuk Anda terlebih dahulu. Tolong tunggu di sini sebentar," ucap Sabrina, berbicara pada seorang penjaga pintu dengan pakaian seperti ksatria.
Ksatria itu mengangguk dan menatap pada Nathania sekilas. Ketika kedua matanya bertatapan langsung dengan mata Nathania, ksatria muda itu menunduk hormat dan segera berjalan masuk ke dalam ruangan untuk meminta izin agar Nathania bisa masuk.
Clek ....
Pintu dibuka dari dalam setelah beberapa saat ksatria itu masuk ke dalam sana. Tapi anehnya, bukan ksatria itu yang membuka pintu melainkan seorang anak lelaki berusia 15 tahun.
Anak lelaki itu terlihat sedih. Tapi saat kedua matanya memandang ke arah Nathania, senyuman yang seakan dipaksakan untuk terbit dari bibirnya, terlihat dengan jelas.
"Anda sudah sadar, Yang Mulia. Senang melihat Anda sudah sehat," ucap pemuda lelaki itu, sambil menunduk hormat dan menunjukkan sikap sopan.
"Siapa nama Anda?" tanya Nathania, dengan suara lembut dan intonasi yang sopan.
Pemuda lelaki itu langsung menatap ke arah Sabrina, menunjukkan ekspresi bingung karena dia tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Kakak perempuannya ini.
"Maaf Pangeran Azel. Sepertinya Anda belum mendengar berita tentang Nona Nathania yang kehilangan ingatannya karena Anda baru pulang dari akademik," jelas Sabrina, dengan wajah masam.
"Apa? Kakak hilang ingatan?"
Sabrina menundukkan kepalanya, menunjukkan sikap hormat pada Pangeran termuda di kediaman Ellworth.
"Maaf Pangeran Azel. Sepertinya Anda belum mendengar berita tentang Nona Nathania yang kehilangan ingatannya, karena Anda baru pulang dari akademik," jelas Sabrina, dengan wajah masam.
Mendengar itu, Azel langsung terperangah sambil memandang ke arah Nathania yang terus memandangnya dengan intens. "Apa? Ka-Kakak hilang ingatan?"
Nathania yang mendengar itu langsung mengangguk singkat sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut.
"Jadi Kakak tidak ingat siapa pun? Tidak ingat dengan Ayah dan Ibunda juga?" tanya Pangeran Azel, seperti tidak percaya dengan kenyataan tersebut.
Nathania kembali mengangguk dan mengulas senyuman lembut. "Jika saya berbohong, apa saya harus bertanya tentang siapa nama Anda, Pangeran?"
Pangeran Azel melirik ke arah lain. Berusaha menenangkan pikirannya yang langsung kacau saat itu juga. "Tunggu dulu, kalau keadaannya sangat buruk, kenapa orang-orang hanya berkata kalau Kakak hanya sakit kepadaku? Apa tujuan mereka berbohong?!" geramnya, terlihat cukup kesal.
Sabrina menundukkan kepalanya. Dia juga merupakan salah satu orang yang bisa disebut sebagai pembohong, karena dirinya juga ikut berbohong kepada Pangeran Azel tentang keadaan Tuannya.
"Mungkin karena saat itu Anda mengalami situasi yang membuat mereka semua berbohong," celetuk Nathania, membuat pandangan Pangeran Azel jatuh padanya.
"Maksud Anda?" tanya Pangeran Azel, dengan intonasi suara yang naik satu oktaf.
Nathania melirik ke arah Sabrina. Dan Sabrina yang paham dengan hal itu, langsung buka suara.
"Maafkan kelancangan kami, Pangeran. Saat itu kami melakukan tindakan tersebut karena Anda sedang masa ujian untuk lulus dari akademik. Karena itulah kami sepakat berbohong kepada Anda, agar Anda tidak merasa cemas dan semua urusan Anda di akademik menjadi lancar," ucap Sabrina, berusaha menjelaskan sebaik mungkin.
Tapi tampaknya, Pangeran Azel masih cukup kesal karena faktanya dia tetap di bohongi oleh semua orang.
"Tetap-"
Clek ....
Suara pintu yang dibuka dari dalam, membuat perkataan Pangeran Azel terhenti dan pandangan ke tiga orang itu beralih pada sosok lelaki yang keluar dari ruangan tersebut.
"Yang Mulia, Anda diperbolehkan masuk oleh Duke. Silakan yang mulia," ucap ksatria muda itu, mempersilakan Nathania masuk ke dalam ruangan sang Ayah.
"Sampai jumpa lagi, Pangeran Azel. Kita sambung pembicaraan kita nanti, setelah aku bertemu dengan Ayah. Beristirahatlah," ucap Nathania, sambil berjalan masuk ke dalam ruangan Duke.
Pangeran Azel yang mendengar itu, langsung mengusap rambutnya dengan kasar dan menatap Sabrina dengan tatapan bengis.
Lelaki berusia 15 tahun itu mendekat ke arah Sabrina dengan langkah cepat, dan berdiri tepat di depannya dengan tatapan tajam.
Sabrina langsung menundukkan kepalanya, tidak berani melihat ekspresi Pangeran Azel yang terlihat sangat menyeramkan.
"Maaf-"
"Aku tidak membutuhkan maafmu Sabrina! Sekarang ikut denganku pergi ke taman dan jelaskan semua yang terjadi kepada Kakak. Aku tidak peduli lagi! Lagi pula, semua usaha kalian tetap saja gagal karena aku tidak berhasil lolos ujian. Persetan dengan perkataan Ayah yang memintaku untuk tidak memikirkan apa pun kecuali belajar. Sekarang ayo pergi, agar aku bisa mendengar penjelasanmu!" ucap Pangeran Azel, menyeret tangan Sabrina dengan kasar dan membawanya pergi.
Ksatria muda yang melihat hal itu hanya bisa terdiam, karena mereka semua tahu kalau temperamen Pangeran Azel akan semakin buruk jika ada orang lain yang ikut campur dalam masalahnya.
"Maafkan aku Sabrina. Aku tidak bisa membantumu," gumam ksatria muda itu, merasa bersalah.
Sementara itu di dalam ruangan ...
Nathania sudah berdiri di hadapan Duke Carlin yang masih setia duduk di singgasananya. Kedua manik mata cokelatnya tidak melepaskan perawakan lelaki paruh baya yang memiliki rambut pirang yang persis dengan Pangeran Carlos, anak pertama di kediaman Ellworth.
"Kamu sudah sarapan? Bagaimana kalau kita duduk dan minum teh sambil membahas permasalahan kita?" tanya Duke Carlin, memandang putrinya yang terus menatapnya lekat dengan tatapan dingin, tanpa ekspresi.
"Sedikit kurang tepat kalau disebut sebagai masalah kita. Bukankah ini hanya masalah Anda? Karena Anda yang sudah menyeret saya masuk ke tempat ini." Nathania menatapnya dengan dingin dan tegas. "Sebelum masuk ke dalam permasalahannya, bisakah Anda menjelaskan kenapa saya dibawa ke sini dan untuk alasan apa saya menjadi putri Anda? Sebab saya harus tahu awal mulanya, untuk bisa melanjutkan kehidupan ini, kan?" ucapnya, dengan intonasi yang tegas.
Duke Carlin yang tak pernah mendapatkan perlakuan tidak sopan seperti ini, merasa sedikit kesal saat tahu ada seorang gadis kecil yang berani menentang keputusannya.
Tapi apalah daya? Jika wanita ini mengungkap kebenarannya di depan publik, semuanya akan menjadi lebih gawat untuknya. Sementara dia juga tidak bisa menghabisi perempuan ini, sebab dia membutuhkan usahanya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarganya.
Carlin bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati sofa. "Mari kita duduk dan berbicara sambil minum teh. Tidak sopan kalau membiarkan seorang Lady terus berdiri seperti itu, saat pembahasan kita cukup panjang."
Nathania berjalan mendekati sang Ayah dan duduk tepat di hadapan lelaki itu. "Baik, saya sudah duduk, kan? Sekarang kita bisa masuk langsung ke intinya?"
Carlin menganggukkan kepalanya pelan dan menatap wajah Nathania yang terus memperhatikannya dengan sorot mata tegas. Seakan mengingatkannya pada sosok wanita yang sudah berulang selama 10 tahun yang lalu.
Duke Carlin tersenyum masam dan mengambil cangkir tehnya, lalu menyesap seduhan kelopak bunga krisan itu dengan anggun.
"Saya memiliki seorang istri yang sudah meninggal cukup lama. Mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Dia sangat mirip dengan wajah Anda. Begitu pula dengan anak saya yang tiba-tiba menghilang di malam pertunangannya dengan putra mahkota."
"Wajah saya mirip dengan istri Anda?" tanya Nathania, sambil mengerutkan keningnya samar.
Duke Carlin mengangguk pelan dan menunjuk sebuah foto yang di bingkai dengan pigura yang terbuat dari emas, yang dia pajang tepat di belakang kursi singgasananya.
Nathania menoleh pada foto itu dan terdiam kaku. "Mama?" gumamnya, dengan ekspresi wajah yang tidak terkontrol.
"Anda mengenal beliau?" tanya Carlin, menatap Nathania yang sudah berjalan mendekati foto itu dan terus memandangnya dengan ekspresi kaget dan setengah cemas.
"Ya, saya kenal dengan wanita di foto ini. Saat menikah dengan Anda, berapa usia beliau?" tanya Nathania, spontan menoleh ke arah Carlin.
"18 tahun. Dia mengandung di usia muda. Di usianya ke-19 tahun. Lalu sayangnya, saat usianya 21 tahun dia meninggal. Tapi sebenarnya tidak begitu," ucap Carlin, mengundang kerutan di wajah Nathania.
"Apa maksud Anda?" tanya Nathania, berjalan mendekat ke arah Carlin dan kembali duduk di posisinya.
"Sebenarnya istri saya itu menghilang saat malam bulan purnama, tempat di saat usianya beranjak 21 tahun. Saya sudah mencarinya ke seluruh benua tapi tetap tidak ada seorang pun yang pernah mengenal atau bahkan melihatnya. Karena itulah, saya menyatakan kalau dia sudah meninggal," jelas Duke Carlin, sedikit menundukkan kepalanya dan mengulas senyuman pedih.
Nathania menarik tubuhnya ke belakang, bersandar di kepala sofa dengan kedua tangan yang sudah di lipat di depan dada.
"Mama menikah dengan Ayah saat usianya 22 tahun. Itu berarti, setelah 1 tahun menghilang dari dunia ini. Mama menikah dengan Ayah." Erika mengerutkan keningnya semakin dalam. "Apa mungkin, mama berpindah dimensi seperti aku? Mangkanya itu, aku juga bisa masuk ke dunia ini dengan mudah?"
Ekspresi wajah Erika yang terlihat berpikir keras, sedikit mengusik ketenangan Duke Carlin.
Tentu saja ada yang menjanggal di hati sang Duke. Anak perempuan yang di bawanya dari dimensi berbeda, ternyata mengenali sosok istri pertamanya.
"Jangan-jangan, apa mereka memiliki ikatan darah?" pikir Duke Carlin, mulai sedikit curiga tentang identitas Erika yang sebenarnya. "Sebenarnya, siapa dia?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!