"Ibu..." suara anak gadis cantik datang memeluk tubuh wanita paruh baya yang saat ini masih terbaring di tempat tidurnya.
Menderita stroke membuat sosok Aseh tak bisa melakukan apa pun bahkan untuk sekedar berbicara ia pun tak sanggup. Inka, adalah anak satu-satunya yang ia miliki dari hasil pernikahannya dengan Ferow sang suami. Sudah berjalan empat bulan lamanya ia tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Dan kini Inka yang baru pulang dari kuliah menangis memeluk sang ibu yang tak ia sangka separah ini sakitnya.
"Ayah tidak memberi tahu Inka jika ibu seperti ini. Maafkan Inka, Bu. Inka baru bisa pulang setelah wisuda." Ia menangis sangat sedih melihat keadaan ibunya yang sangat menyedihkan.
Aseh hanya bisa menjatuhkan air mata saja tak sanggup harus bicara dengan sang anak.
Dengan lembut Inka mengusap air mata sang ibu. Gadis itu tampak menghubungi sang ayah namun beberapa kali ponsel itu terhubung panggilannya tak juga mendapatkan jawaban. Inka merasa gelisah setidaknya ia harus tahu keadaan sang ibu dari ayahnya.
Hingga di panggilan terakhir, sang ayah pun akhirnya mengangkat panggilan anak gadisnya itu. "Ayah, segera pulang yah? aku sudah di rumah."
Tanpa bisa mengelak, Ferow pun bergegas pulang mendengar sang anak kesayangannya sudah tiba di rumah. Sesibuk apa pun ia di kantor, jika mengenai sang anak tak ada kata tidak baginya. Sembari menunggu kedatangan sang ayah, Inka terus menceritakan kisahnya kuliah di luar negeri dengan sang ibu. Ia tak ingin ibunya terus sedih jika ia sedih juga.
Hingga tak lama kemudian, Inka mendengar lankah kaki sang ayah yang mendekat ke kamar sang ibu. Gadis itu berlari bersembunyi di balik pintu dan mengejutkan sang ayah. Ia memeluk tubuh Ferow erat, dan sang ayah pun mencium kening putrinya.
"Inka, maaf ayah tidak bisa datang ke wisuda mu, Nak." tuturnya dengan raut wajah bersalah.
Inka hanya bisa mengangguk paham. Ia tahu jika sang ayah tidak akan mungkin berbuat hal seperti itu tanpa ada alasan yang kuat. Tanpa keduanya sadari, Aseh yang memperhatikan keceriaan sang anak akhirnya meneteskan air mata terakhirnya. Ia tak lagi menarik napas setelah menghembuskan dengan tenang.
Belum ada yang menyadari hal itu.
Inka masih seru bercerita dengan sang ayah lalu keduanya pun kini mendekati Aseh.
"Ayah, ibu kok pucat?" tanyanya yang sadar jika wajah sang ibu berubah saat itu.
"Tunggu sebentar..." Ferow pun mendekati sang istri. Memegang tangannya dan keningnya secara bersamaan. Matanya bergenang cairan saat menyadari jika sang istri sudah tak ada lagi.
"Ibumu sudah pergi, Inka." lirih pria paruh baya itu.
Sontak Inka menggeleng tak percaya. Ia berteriak histeris dan naik ke atas tempat tidur sang ibu. Gadis itu terus memeluk erat tubuh sang ibu berusaha membangunkan namun tak ada hasil. Ferow turut sedih melihat tangisan sang anak. Ia menunduk merasa bersalah namun semua sudah terjadi.
"Ayah, ini tidak mungkin. Inka baru pulang, ibu tidak mungkin meninggalkan kita." Gadis itu terus menangis beralih memeluk tubuh sang ayah.
Kepulangannya dari luar negeri berharap bisa menampilkan senyum bahagia di wajah kedua orangtuanya, termasuk sang ibu yang kerap kali bolak balik keluar negeri demi menjenguk sang anak, hingga satu tahun terakhir ini tak ada lagi datang menjenguk. Tentu saja Inka merasa sangat rindu. Sayang kedatangannya justru di sambut dengan keadaan sang ibu yang jatuh sakit dan saat ini sudah tak lagi bernyawa.
Tangisan yang masih menggema di dalam kamar kala itu terhenti begitu saja. Sejak dari pemakaman hingga tiba di rumah, Inka tak sekali pun menampakkan wajah pada orang-orang yang datang ke rumah sebagai kerabat dari sang ibu dan ayah. Ia hanya bisa berbaring menangis di dalam kamar memandang foto sang ibu. Sungguh begitu terasa menyakitkan baginya, kepergian yang begitu cepat. Bahkan ia belum banyak bercerita tentang akhir perjuangannya dimasa kuliah.
“Bu, kenapa secepat ini? Kenapa semuanya tiba-tiba? Ibu sakit kenapa tidak mengatakan padaku, Bu? Kenapa?” Gadis itu menjambak rambutnya sendiri frustasi.
Kebersamaan dengan sang ibu yang berjalan-jalan di luar negeri setiap sang ibu datang menjenguk begitu terasa sangat sakit baginya. Aseh sungguh sosok ibu yang sangat ceria, ia begitu mudah membaur dengan teman-teman sang anak.
Tanpa di sadari Inka, dari arah pintu kamar terbuka ada sosok wanita yang tengah berdiri dengan seorang gadis cantik. Mereka saling pandang dan kemudian melangkah masuk ke kamar Inka.
“Inka,” panggilan pertama dengan suara lembut wanita itu lontarkan.
Inka kaget, ia menoleh dan menghapus air matanya. Keningnya mengerut dalam sebab merasa tak kenal dengan wanita di depannya ini.
“Anda siapa?” tanya Inka berdiri dari pembaringan.
Senyuman lebar wanita itu berikan pada Inka. Tangannya yang semula menggantung begitu saja segera bergerak menarik tubuh gadis rapuh di depannya ini.
“Kamu yang sabar yah? Saya teman ayah kamu. Saya kesini untuk memberikan dukungan ke kamu. Kenalkan saya Kasih, dan ini anak saya Anggun.” tuturnya dengan lembut.
Mendengar jika ia adalah teman dari sang ayah, entah mengapa rasanya Inka merasa ada yang tak nyaman di hatinya. Bergegas ia melepaskan pelukan dan menatap dalam wanita di depannya. Usia yang tidak sepantaran dengan sang ayah rasanya terlalu aneh. Kulitnya lebih muda dari sang ayah dan ibu.
Lama Inka mencermati wanita bernama Kasih itu. Hingga akhirnya suara sang ayah pun terdengar menggema di depan pintu.
“Ternyata kalian di sini? Oh Inka, lihat teman ayah ini sangat baik bukan?” Ferow nampak tersenyum di depan sang anak yang merasa sangat kehilangan sang ibu.
Pelan Inka memperhatikan tatapan keduanya dengan bergantian. Sejenak ia berusaha berpikir positif hingga akhirnya tangan Ferow mendarat di kepala Kasih. Sentuhan yang jelas ada maknanya bagi Inka. Itu bukan sentuhan sekedar teman biasa.
“Apa ini, Ayah?” tanya Inka dengan penuh selidik.
“Kamu terlalu sedih di kamar sendirian, makanya ayah minta mereka kesini temani kamu. Ini Anggun yang akan jadi teman kamu. Anggun, temani Inka yah? Kami akan menyambut tamu di luar sana.” Tanpa mengatakan apa pun lagi Ferow berlalu begitu saja meninggalkan sang anak yang menggeleng tak percaya.
Sang ibu baru saja di makamkan, bagaimana mungkin sang ayah begitu sangat tenang bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
“Enak yah kamar lu?” Anggun mulai berjalan memperhatikan seisi rumah Inka. Ia menuju balkon kamar Inka dan memperhatikan pemandangan yang mengarah pada taman bunga anggrek.
Tampak memanjakan mata tentunya. Namun, Inka yang merasa terganggu sangat tak suka. Feelingnya sudah mulai curiga ada hal yang tak beres.
“Tolong keluar dari kamar saya.” ujarnya lemah.
Kali ini Inka tak memiliki tenaga untuk berdebat. Ia hanya ingin ketenangan. Sayang, semua itu mustahil ia dapatkan. Sebab keadaan yang sesungguhnya adalah tak ada lagi ketenangan.
“Keluar? Apa-apaan ngusir saudara tiri seperti ini? Rumah ini kan rumah kita bersama.” Kedua mata Inka membulat sempurna saat mendengar ucapan Anggun.
Tubuhnya menegang hebat. Inka melangkah mendekati Anggun dengan wajah penuh amarah yang siap meledak kapan saja.
“Saudara tiri apa maksudmu?” tanya Inka penasaran.
Anggun justru tersenyum mengejek. Ia menggeleng dan membawa tangannya di depan dada untuk ia lipat. Posisi itu sungguh seolah sedang mengejek Inka yang malang.
“Apa ini hasil lulusan luar negeri? Saudara tiri masih belum tahu artinya?” ledeknya benar-benar menguji kesabaran Inka.
“Kita, kita ini saudara tiri. Dan aku tinggal di rumah ini juga mulai saat ini.” Inka tak percaya. Ia menggeleng menjatuhkan air mata tak percaya.
Segera gadis itu berlari keluar mencari sang ayah. Namun, entah kemana pria itu pergi. Inka tak mendapati keberadaan sang ayah dimana pun. Air matanya terus saja berjatuhan membasahi pipi. Sungguh takdir hidup apa yang sedang ia jalani saat ini? Belum pulih rasa syok dengan kepergian sang ibu, kini Inka harus di hadapkan dengan kenyataan gila jika sang ayah ternyata telah memiliki wanita lain.
“Tidak. Ini pasti tidak benar. Ayah tidak mungkin seperti ini. Ayah sangat mencintai Ibu. Tidak mungkin secepat ini kan?” Gadis itu terus mengelilingi rumah hingga akhirnya ia mendapati sang ayah yang tengah duduk bersama wanita tadi di temani beberapa keluarga dari sang ayah.
Inka tak ingin bersabar lagi. Ia pun datang mendekati mereka semua. Jelas ia melihat wajah sang ayah yang nampak baik-baik saja.
“Kenapa ayah melakukan ini pada ibu?” Pertanyaan Inka yang membuat semuanya menoleh padanya dengan raut wajah tak suka.
Paman, bibi dan para sepupu Inka begitu tak suka dengan apa yang Inka tanyakan pada Ferow.
"Inka..." Ferow yang melihat tatapan tak suka sang anak padanya dan wanita di sampingnya segera meninggalkan Kasih dan mendekati sang anak.
Ia berniat untuk mengatakan sesuatu dengan pelan pada sang anak agar tak terjadi hal yang tak di inginkan. Sayangnya, belum saja sempat Ferow membuka mulut suara Kasih lebih dulu terdengar.
"Jadi kau sudah tahu semuanya, Nak? Kami memiliki hubungan?" tanyanya dengan wajah begitu tenang. Seolah ekspresi wajah Kasih tengah mengejek-ejek Inka saat ini.
Sungguh Inka sangat murka mengetahui ini semua. Ia menggeleng tak percaya menatap wajah sang ayah. Inka meneteskan air mata kecewa. Pria yang begitu ia sayangi dan kagumi sangat berbeda dari prasangkanya selama ini. Begitu kejam rasanya sang ayah melakukan ini semua sedangkan pemakaman sang ibu baru saja usai. Hingga perlahan Inka tersadar dari sesuatu.
"Jadi ini hal yang membuat Ibu sakit dan pergi? Ayah begitu tega menyakiti wanita yang sangat mencintai Ayah? Di mana hati ayah yang baik? Dimana ayah yang selalu mengutamakan keluarga? Ibu sakit pasti karena menderita dengan perbuatan ayah kan?" Inka terus memberondong pertanyaan pada Ferow.
Pria itu tergagap bingung harus menjelaskan apa padanya saat ini. "Inka, ibumu sudah merestui pernikahan kami dan dia memilih untuk mundur. Ayahmu tidak bersalah." bela Kasih kembali mengambil alih ucapan Inka.
Mendengar hal itu Inka berdecih jijik. Bagaimana sang ayah yang hanya diam sungguh membuatnya muak. Wanita di sampingnya saat ini begitu pandai menguasai sang ayah hingga tak ada suara apa pun yang ia dengar.
"Inka, masuklah ke kamarmu. Kau dan Anggun saat ini saudara jadi baik-baiklah padanya. Ayahmu sedang butuh hiburan." pintah Kasih dengan tidak tahu dirinya mengatur Inka yang menjadi pemilik rumah sesungguhnya. Inka terkekeh mendengar perintah wanita itu.
"Oh...jadi sekarang kau beralih menjadi penguasa rumah ini dan mengaturku? Tidak akan pernah. Jangan bermimpi bisa mengendalikan aku. Mulai saat ini juga aku akan meninggalkan rumah ini." Inka bergegas pergi dari sana.
"Inka!" teriakan dari Ferow tak lagi di hiraukan dengan sang anak. Pria paruh baya itu hendak berlari mengejar anaknya sayang, Kasih lagi-lagi mencegah pergerakannya.
"Biarkan dia tenang dulu. Suruh orang untuk mengawasi pergerakannya saja di luar yang terpenting aman." pintah Kasih seolah ingin membuat keduanya benar-benar jauh.
Masuk ke dalam kamar, Inka menangis tersedu-sedu sembari mengambil koper. Keberadaan Anggun tak ia perdulikan lagi. Yang jelas saat ini Inka hanya ingin menjauh dari orang-orang jahat di rumah ini. Bagaimana mungkin keadaan yang seharusnya masih berduka justru membuat mereka seolah tengah berpesta atas kepergian sang ibu. Bahkan Ferow tak menampakkan wajah penyesalan sedikit pun dengan membawa selingkuhannya datang ke rumah.
Di sudut kamar itu Anggun menonton aksi Inka yang menangis sembari menata pakaiannya. Ia terkekeh sinis sembari menikmati minuman di gelasnya. Pelan ia pun melangkah mendekati Inka beberapa saat setelah menjadi penonton.
"Mau pergi kemana? Kamu yakin mau keluar dari rumah ini lagi? kepergianmu satu kali sudah bisa membuat satu orang pergi. Bagaimana jika berikutnya adalah....ayahmu?" lirih Anggun menyebut nama sang ayah.
Inka yang mendengar sontak berdiri dari duduknya. Ia berdiri berhadapan dengan Anggun yang menurutnya begitu kurang ajar. "Jangan pernah lakukan apa pun pada keluargaku. Atau kalian akan menyesal."
Bukannya takut, Anggun hanya menganggap remeh ucapan dari Inka. Hingga akhirnya Inka pun menarik koper untuk meninggalkan kamar itu dan keluar dari rumah yang sudah lama ia tinggalkan.
Sekali lagi ia menoleh menatap bangunan megah di depannya. Air matanya kembali menetes mengingat bayangan masa lalu ketika keluarganya masih utuh dan hidup bahagia. Inka sangat rindu momen kebersamaan dengan sang ayah dan ibunya. Tangannya pun bergerak mengusap air mata dan melangkah pergi.
"Aku harap Ayah akan segera sadar dan meminta maaf pada ibu." gumamnya.
Kepergian Inka nyatanya membuat Ferow seketika murung. Ia pergi menjauh dari para kumpulan keluarga termasuk sang istri. Bagaimana pun Inka adalah anak kesayangannya. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan sang anak membencinya. Melihat hal itu Kasih tak ingin tinggal diam. Dia terus mendekati sang suami tanpa memberinya celah untuk memikirkan sang anak yang sudah pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!