“Ceraikan Philip. Aku akan mencarikan suami kaya untukmu.”
Layaknya santapan sehari-hari, jika ibunya datang, tidak ada dialog yang lebih pantas untuk memulai pembicaraan selain merendahkan suaminya, Philip Sherburne.
“Mom, aku tidak mau.” Flores menolak mentah-mentah.
Awalnya dia terus berusaha meyakinkan ibunya ini, tetapi lama kelamaan dia muak. Cukup menjawab dengan kata ‘tidak’, maka semuanya akan selesai.
“Berapa banyak yang Philip berikan untuk bulanan, Flo?” Myah tidak akan menyerah sampai dia membuat putri satu-satunya ini mau menceraikan suaminya. “Itu cukup untuk hidup kalian?”
Flores Lottie Smith adalah namanya, pewaris tunggal dari perusahaan brand perhiasan ternama di Los Angeles, Lottie Harlow. Sebenarnya Flores bukan satu-satunya keturunan dari perusahaan induk Lottie Holding, dia putri yang paling muda. Harapan terakhir Myah dan Mr. Shem untuk mengembangkan kekayaannya.
Ya, pernikahan bisnis antar keluarga kaya.
“Kau dan Elisa, putrimu itu.” Myah menanggapi tatapan Flores dengan santai.
Flores mendesah kasar. “Itu bukan urusanmu, Mom,” jawabnya ketus. Flores datang membawa satu nampan teh hijau untuk Myah. “Itu urusanku dan Philip.”
Myah tertawa. “Philip hanya tukang bengkel,” katanya. Lagi-lagi Flores mendengar ucapan itu merendahkan suaminya.
“Memangnya kenapa jika dia tukang bengkel?” Flores marah. Dia meletakkan nampan itu dengan kasar. “Dia tidak membunuh orang, mencuri, atau bahkan ... korupsi.”
“Dia mencoret nama baik keluarga, Flo!” Myah semakin tegas. “Dia mempermalukan kita.”
Flores memunggungi ibunya, dia mengusap wajahnya frustasi. Sebenarnya, Flores tidak ingin menerima ibunya bertamu Selasa ini, tetapi mau bagaimana lagi? Myah adalah ibunya.
“Aku sudah mengatur kencanmu dengan ....”
“Aku tidak mau!” Flores menolak mentah-mentah. Pandang matanya menembak posisi Myah. “Jangan paksa aku, Mom!”
“Philip tidak punya masa depan!” Myah semakin gila. Dia beranjak. “Bukan tentang kau, Flo. Ini tentang Elisa.”
Flores pun tidak yakin. Dia menikah dengan Philip hanya karena cinta. Alasan itu membutakan segalanya. Fakta bahwa Philip tanpa latar belakang jelas, mereka bertemu hanya karena kesalahan takdir.
Myah menunjuk putrinya. “Kau sekarang punya Lottie Harlow,” katanya. Tatapan itu mengintimidasi Flores. “Jika begini terus, Perusahaan Lottie Harlow harus pindah ke tangan kakakmu, Alice, Flo.”
“Aku bisa mengelola Perusahaan Lottie Harlow dengan baik,” jawab Flores dengan lirih. Dia penuh keyakinan. “Perusahaan Lottie Harlow baik-baik saja selama ini di tanganku.”
Myah menyeringai. Dia mengambil tasnya. Secangkir teh hanya formalitas. Dia tidak sudi meminum apa pun dari rumah ini, tidak ada yang tahu teh itu dibeli dengan uang Philip atau bukan.
“Lelakimu itu tidak berpenghasilan, rendahan, tanpa pendidikan dan latar belakang yang jelas.” Myah terus menghinanya sembari berjalan menjauhi Flores. Dia hendak keluar dari ruangan.
Sebelum menarik gagang pintu, dia menoleh pada Flores. “Lelaki seperti itu mana bisa diandalkan, Flo? Kau yang akan menyesal nanti!”
“Dia tidak punya harga diri!” Myah terus menerus. “Dia tidak tahu malu, huh!” Myah menghinanya dengan tawa ringan. “Bisa-bisanya menumpang di rumah ini dan hidup sebagai parasit!”
“Mom, hentikan,” sahut Flores, berjalan mendekati ibunya. “Jika Philip dengar, dia akan sakit hati.”
“Biarkan saja!” Myah membentak. “Dia memang tidak tahu malu.”
Myah menyusuri setiap sudut ruangan dengan tatapannya. “Lihatlah! Sekarang di mana dia?”
“Dia menjemput Elisa di sekolah.” Flo menjawab tanpa ragu. “Dia membantuku karena ....”
“Kau sebut pria itu suamimu?” Myah menyela. Tawanya terdengar lagi. “Dia lebih pantas jadi pembantumu!”
Myah menutup kalimatnya. Flores hendak menimpali, tetapi ketika Myah membuka pintu dia begitu terkejut. Entah sejak kapan, Philip berdiri di depan pintu. Namun, tidak bersama Elisa.
“Honey?” Flores melirih. Dia melirik Myah yang salah tingkah, berusaha menghindari pandangan Philip. Semua kepercayaan diri wanita tua itu hilang begitu saja.
“Sorry, Honey.” Philip tersenyum seadanya. “Elisa main bersama temannya di taman sekolah. Jadi, aku berpikir untuk pulang dulu.”
Flores tidak mampu berbicara, dia tak yakin sejauh mana Philip mendengar kalimat hinaan Myah tadi.
“Aku pulang dulu,” sahut Myah. Dia langsung melenggang pergi.
Namun, Philip menghentikannya. “Mom. Makanlah sesuatu sebelum pergi. Aku akan ....”
“Kau pikir perutku mau menerima makanan dari uang hasil membengkel?” kekehnya. “Tidak ada yang tahu, seberapa kotornya makanan itu.”
“Mom!” Flores membentak. Dia hendak mengomel, sebelum akhirnya Philip mencegahnya.
“Aku sudah mencuci tangan sebelumnya, jadi ....”
Myah menyeringai lagi. “Makan saja sendiri. Kalau aku ikut makan, nanti makanannya kurang,” katanya ketus. “Kau pikir gajimu cukup untuk memberi makan kita berempat?”
Myah pergi begitu saja, tidak peduli seberapa besar luka yang dia torehkan untuk Philip.
“Honey,” Flores memanggilnya. “Maafkan ibuku, dia selalu saja begitu.”
Sakit hati? Tentu saja. Philip tidak membawa apa-apa untuk pernikahannya dengan Flores selain tekat dan harga diri. Sekarang, harga dirinya sudah hancur.
Philip masuk ke dalam rumah. “Tidak masalah.” Dia menjawab seadanya. “Ibumu memang begitu.” Lelaki itu tertawa kecil.
Flores mengikutinya masuk ke dalam rumah. Langkah kaki suaminya berhenti ketika melihat secangkir teh yang masih utuh. Selalu saja begitu.
“Mommy tidak suka teh hijau,” kata Flores beralasan. “Aku yang memaksa untuk membuatnya.”
Philip manggut-manggut, lalu menghela napas tanda kecewa. Dia melirik Flores. “Kalau begitu biar aku yang minum, aku suka sekali teh buatanmu,” kekehnya.
Philip duduk di ruang tengah. Dia melepas kaus kakinya yang sudah berlubang.
“Mau aku belikan baru?” tanya Flores. Dia menunjuk lubang di ujung jempol kaki Philip. “Atau pakai punyaku saja?”
Philip menggelengkan kepalanya. “Uangmu adalah uangmu, uangku adalah uangmu.” Dia selalu saja tertawa, entah luka sebesar apa yang sedang dipalsukan lewat tawa itu.
Flores duduk di depan Philip. Dia hanya punya cinta, tidak peduli kekurangan suaminya.
“Mommy datang untuk mengundang kita makan malam,” ucapnya pada Philip.
Sesuai dugaan, Philip terkejut. Sebenarnya Flores tidak ingin jujur. Namun, terakhir kali membohongi suaminya tentang alasan ibunya datang, Flores dan Philip bertengkar hebat. Cukup orang tua Flores yang tidak menghargai Philip, dia jangan.
“Aku sudah beralasan agar kita tidak ....”
Philip tersenyum. “Kita harus datang,” jawabnya tegas. “Keluargamu mengundang kita, bukankah itu kabar baik untuk kita, Flo?” tanyanya.
Flores menunduk.
“Apa yang kau khawatirkan?” tanya Philip. Dia menarik dagu Flores perlahan-lahan. “Semuanya akan baik-baik saja,” ucapnya. Lelaki itu hanya bisa membius Flores dengan kata-kata, tidak dengan harta dan tahta.
“Aku tidak yakin, Philip.” Flores mencemaskan Philip, bukan dirinya. Jika sudah masuk kandang itu, Flores tidak bisa melakukan apa pun selain menerima dan mendengar penghinaan untuk Philip Sherburne.
Philip duduk di sampingnya, mengusap pundak Flores. “Aku pun akan baik-baik saja. Aku janji, aku akan mengimbangi keluargamu, Honey.”
Flores mendesah kasar. Entahlah, terakhir kali pertemuan keluarga, Philip dilempari sampah oleh kakak tertuanya.
Next.
Jay’s Brother. Los Angeles, Amerika Serikat.
Philip mengagumi bangunan megah ini. Jay’s Brother adalah tempatnya. Philip memang tak sering berkunjung, tetapi sebab dia adalah sohib Jayde, maka hampir semua orang mengenalnya di sini.
“Hei, Brother!” Suara Jayde menggema di ruangan. Dia keluar dari lift yang baru saja terbuka.
Philip menatap datangnya Jayde. Dia tersenyum kuda, merentangkan tangan, meleburkan rindu di antara mereka.
“Lama sekali kau tak datang, Philip.” Jayde memandang penampilan Philip. Seperti biasa, klasik dan sederhana. “Biar aku tebak, apa yang membawamu datang ke sini, Brother!” Jayde menggosok-gosok rahangnya.
Philip tersenyum. “Memangnya apa lagi jika tidak meminta bantuanmu, Jayde.”
Jayde manggut-manggut. “Ini yang aku tunggu-tunggu, Philip!” Pria itu merangkul Philip. “Bagaimana jika bicara di kantorku saja?”
Philip menatap keadaan sekitarnya, memang benar, ramai lalu lalang orang tak baik untuk dirinya. Philip terlalu malu jika ada yang tahu apa tujuannya mengganggu waktu sibuk sohibnya ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Philip duduk di ujung sofa. Desain interior ruang kerja Jayde memang tak pernah salah. Dia menghias ruangan ini sedemikian rupa, membuatnya nampak mempesona. Begitu nyaman dipandang mata.
“Bagaimana kabar Flo, Philip?” Jayde menawarkan secangkir teh. “Elisa juga,” imbuh Jayde lalu duduk di depan Philip.
Philip menerima uluran Jayde, kepalanya manggut-manggut saja.
“Kalau kau dan keluargamu, Jayde?” Philip membalas. Formalitas sopan santun yang wajib. Meskipun Philip sudah tahu jawabannya. Tidak baik.
Jayde menyilangkan kaki, tubuhnya bersandar miring di sisi sofa. “Begitulah,” katanya. Jayde tak banyak bicara soal keluarga. “Kau tahu sendiri, Philip,” kekehnya.
Philip sekali lagi mengangguk. Jayde hanya sukses karena warisan kakeknya. Hubungannya dengan orang tuanya tergolong rusak parah. Bukan tidak bisa memperbaiki, pria keriting ini hanya tidak mau.
“Come on, katakan bantuan apa yang bisa aku berikan, Brother?” Jayde nampak antusias.
Philip mengusap gagang cangkir dalam genggamannya, sedikit ragu pastinya.
Mendapati Philip yang tak kunjung bicara, Jayde berdiri dan mendekatinya. “Katakan saja. Kau ini selalu saja begitu.”
“Aku banyak merepotkan dirimu, Jayde.” Philip mengerutkan dahi. “Sedangkan aku tidak bisa memberi apapun padamu.”
Jayde malah tertawa. “Jika kau tidak menyelematkan aku malam itu, mungkin Jayde’s Brother tidak akan pernah berdiri sesukses ini, Philip.”
Malam yang dingin itu, Philip mempertaruhkan nyawa untuk Jayde. Sekelompok pembunuh bayaran dikirim untuk Jayde, tetapi Philip mengorbankan lengannya hampir patah karena dia.
“Katakan. Apapun akan aku beri, Philip.”
Philip menatapnya. “Aku hanya ingin meminjam setelan jas mahalmu, Jayde.”
Jayde mengerutkan kening.
“Sepatu dan jam tangan juga,” imbuh Philip melirih.
Jayde tertawa. “Hanya itu?” Dia menepuk pundak Philip. “Akan aku berikan. Dua atau tiga ... tidak masalah, Philip.”
“Atau mau aku belikan yang baru?” Jayde menawari. Lagi-lagi, Philip menolak. Lelaki berkumis tipis itu menggelengkan kepala.
“Hanya untuk besok malam, aku ingin meminjamnya,” jawab Philip.
Jayde tak bisa memaksa Philip, jadi dia manggut-manggut.
“Keluarga Lottie mengundangku untuk makan malam, Jayde. Aku tidak bisa mengecewakan dan mempermalukan Flores dan Elisa.” Kata-kata Philip menyentuh hati Jayde. “Aku juga tidak bisa membuat Flores berbohong hanya karena melindungiku.”
Jayde mengusap punggung Philip. “Kau selalu direndahkan, Philip.”
Keduanya saling pandang.
“Kenapa tidak bercerai saja dari Flores?” tanya Jayde. “Aku tahu kau mencintainya, tetapi itu menyakitimu, bukan?”
Philip diam. Dia menunduk, bermain dengan jari jemarinya. “Aku tidak ingin Elisa sedih karena dia tidak punya ayah.”
“Kau tetap jadi ayahnya, Philip. Hanya saja, kau bukan suami Flores lagi.” Jayde hanya ingin yang terbaik untuk Philip. “Aku akan mencarikan perempuan yang ....”
“Cukup pinjami aku setelan jasmu saja, Jayde.” Philip langsung menyela. Ditatapnya Jayde yang sedikit kaget karenanya. “Maafkan aku, aku membentakmu.”
Jayde menggelengkan kepala. “Aku juga salah, Philip.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kuda besi membawa Philip mengelilingi jalanan padat Los Angeles. Sepulang dari gedung Jay’s Brother, hari ternyata sudah gelap. Arloji tuanya menunjukkan pukul delapan malam.
Philip hanya pria miskin tanpa identitas, tetapi Jayden Halmuth menjamin hidupnya sebagai walinya selama ini. Entah bagaimana, Philip adalah anak panti yang terpaksa luntang-lantung di jalanan setelah panti tempatnya tinggal selama 15 tahun habis dilahap si jago merah. Tiga tahun tanpa tujuan, sebelum akhirnya dia bertemu dengan Jayden. Jaydenlah yang menjadi perantara cinta Philip dan Flores Lottie.
“Tolong!" Seorang perempuan berteriak dari sisi jalanan, cukup jauh dari keberadaan Philip. Dia melambai, berharap Philip datang padanya.
“Tuan, tolong aku!” Perempuan itu berlari mendekati Philip.
Philip membelokkan stang motor dan menepikan motornya di pinggir jalan. Didekati wanita itu kemudian.
“Tuan! Tolong aku.” Perempuan itu terengah-engah.
Philip meraih pundaknya. Dia berusaha menenangkan wanita itu. “Tenanglah, Nyonya. Bisa katakan padaku apa yang membuatmu berlarian dan panik begini?”
Perempuan itu menujuk ke salah satu gang kecil yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tak berselang lama, gerombolan pria berbadan besar muncul dari sana dan berlari ke arah Philip berada.
“Mereka mengejarku!” Perempuan itu bergidik ngeri. “Tolong aku.” Dia memohon pada Philip.
“Hei! Kita belum selesai!” Salah seorang pria bertubuh kekar menunjuk-nujuk ke arah perempuan yang sekarang sedang bersembunyi di belakang tubuh kekar Philip.
Philip mengerutkan kening. Tanpa penjelasan, dia dibuat bingung dengan keadaan yang terjadi di sini.
“Aku minta maaf.” Philip mencoba menengahi. “Ada masalah apa kau dengannya?”
Para pria di depan Philip tertawa dan saling memandang satu sama lain. Sangat jelas bahwa Philip tengah diremehkan.
“Ini bukan urusanmu, Tuan!” Pria itu mendekati Philip, berjalan dengan gagah dan percaya diri, seolah tidak ada yang bisa mengalahkannya. “Minggir sebelum aku pukul wajahmu.”
Philip mengangguk pasti. Dia mulai memahaminya, apapun itu, wanita ini dalam bahaya.
“Bagaimana bisa segerombolan pria menyerang wanita yang berpergian tanpa senjata?” Philip membalas tawa mereka. “Kalian cemen!”
Kalimat terakhir yang Philip lontarkan seakan menjadi semburan api untuk mereka. Emosi meningkat begitu saja, kemarahan jelas menggebu-gebu. Philip tak seharusnya cari masalah malam ini.
“Hey, Tuan!” Pria itu menarik kerah baju Philip. “Pergi dalam hitungan ketiga dan serahkan wanita itu padaku, atau ... kau mati di tangan kami malam ini?” bisik pria itu pada Philip.
Philip menoleh ke arah gerombolan pria di depannya. Masing-masing melengkapi diri mereka dengan persenjataan, belati, kapak kecil, dan semacamnya.
“Wah, kalian mengejar wanita dengan membawa semua itu?” Philip menyeringai tajam. “Kalian menyebut diri kalian seorang pria?”
Philip sukses memancing emosi pria-pria di depannya. Satu pukulan mendarat tepat di wajah Philip. Luka gores kecil mengeluarkan darah di sudut bibirnya.
“Seharusnya kau pergi setelah aku menyuruhmu untuk pergi, Tuan!”
Philip menghela napasnya panjang. Dia bukan tak bisa berkelahi, tetapi Philip memegang teguh janjinya pada Flores untuk tidak menggunakan kekerasan fisik pada orang-orang di sekitarnya ketika dia marah.
Janji itu dibuat setelah Flores menyaksikan Philip diambang kematian hanya karena bertengkar dengan lelaki yang menggoda Flores kala itu.
“Kau tidak akan melawan kami?” Pria itu terus mendesak Philip. Dia mendorong dada Philip. “Jika tidak bisa berkelahi seharusnya ....”
Sayangnya, Philip telah kehabisan kesabarannya. Dia membalas perlakuan pria itu dengan menarik kerah bajunya. “Aku bisa membunuhmu jika aku mau,” ucap Philip dengan tatapan tajam.
Pria itu terkekeh, dia memberi isyarat pada teman-temannya untuk bergegas menyerang Philip secara bersamaan. Namun, ketika hendak menyingkirkan tangan Philip dari hadapannya, pria itu tak sengaja melihat tato di pergelangan tangan Philip.
“Ta—tato ini?” Pria itu gagap seketiga. Dia gemetar ketika Philip menatapnya lagi. “K—kau ....”
Pria itu mendorong tubuh Philip dan menjauh darinya.
Sekilas Philip menatap tato di pergelangan tangannya.
“Kau masih hidup rupanya, Black Joe!” Pria itu mulai ketakutan sembari memberi kode pada teman-temannya untuk mengambil langkah dan buru-buru kabur dari sini.
Philip jelas tak mengerti, dia bahkan tak tahu arti tato di pergelangan tangannya. Menurutnya, itu semacam tanda lahir yang dia dapatkan setelah lahir.
“Kenapa, Brox?” Salah satu pria menyahut ketika melihat temannya ketakutan sembari menunjuk-nujuk Philip.
Philip berjalan mendekati mereka, seiring dengan langkah kaki mereka yang mundur serempak. Jelas sekali mereka ketahukan setengah mati.
“B—black J-oe!” Pria itu berteriak. “Dia Black Joe! Si badai dari timur!”
Tanpa penjelasan yang berarti, sekelompok pria itu pergi begitu saja meninggalkan Philip yang kebingungan di tempatnya.
“Black Joe?” Philip mengusap tato di pergelangan tangannya. “Sepertinya nama itu tidak asing. Aku pernah mendengarnya?”
Wanita yang ada di belakang Philip menepuk pundaknya. Philip baru sadar dia telah menyelamatkan seseorang.
“Terimakasih, Tuan.” Dia tersenyum manis. Sedangkan Philip hanya manggut-manggut seadanya.
Philip menimpali. “Kalau begitu saya pergi dulu, Nyonya. Hati-hati di jalan,” ucap Philip kemudian.
Saat hendak pergi, wanita itu menarik lengan Philip. Tentu saja membuat Philip kembali menatapnya.
“Kau ... benar-benar dari Black Joe?” Pertanyaannya mengandung kengerian di raut wajah wanita itu. “Kau benar-benar bagian dari mereka?”
Philip nampak ragu untuk menjawab, pasalnya dia tidak tahu siapa itu Black Joe.
“Memangnya siapa Black Joe?” tanya Philip dengan wajah innocent-nya. “Semacam kelompok orang?”
Wanita itu menyeringai tipis. “Mereka adalah iblis dari timur.”
Next.
Makan malam keluarga Harlow.
Camdens Luxury Hotels, Los Angeles, Amerika Serikat.
Flores hanya tidak yakin jika rasa percaya dirinya dan Philip akan menyelematkan mereka malam ini. Sebenarnya bukan kali pertama, Philip Sherburne menghadiri acara makan malam keluarga besar Harlow. Namun, perasaan tidak kunjung baik-baik saja dan terbiasa. Seperti siklus yang akan terus berulang, beginilah rasanya.
“Flores datang.” Jake Horison adalah kakak kedua Flores Lottie. Satu-satunya lelaki yang tak pernah lelah menyerang Philip dan merendahkannya, dia juga enggan memberi dukungan pada suami Flores itu.
Flores menyapa dengan senyum seadanya. Pandangan matanya menyapu setiap sudut meja. Hidangan jauh lebih mewah dari biasanya, seperti akan menyambut seseorang untuk datang.
“Duduklah, Flo, Philip,” ucap Maya, istri dari Jake. Dia mempersilakan Flores duduk di bangku kosong, tepat di hadapannya. Sedangkan Philip, duduk bersebelahan dengan Jake.
“Apa kabar ayah baik-baik saja?” Philip berusaha akrab pada lelaki tua yang duduk memimpin di ujung meja. “Aku senang melihat ayah malam ini.”
Pria itu tidak menjawab. Memang, Mr. Shem Harlow tidak pernah menunjukkan kebencian pada Philip lewat kata-kata. Sejak Flores bersikeras menikahi Philip, dia sama sekali tidak pernah berbicara dengan menantunya itu.
“Bukankah seharusnya kami yang tanya kabarmu?” Myah yang mewakili berbicara. Senyumnya mengundang kegelisahan di wajah Flores.
Secepat inikah keluarganya akan membantai mental Philip?
Philip tersenyum ringan. “Aku baik-baik saja, Mom.”
“Keadaan yang cukup baik untuk menceraikan Flores, ‘kan?” Myah menyahut. Kalimatnya hampir mendapat jawaban dari Flores, tetapi Philip menahannya.
Philip menggelengkan kepalanya. “Tidak ada hari seperti itu, Mom.” Dia melirik Flores. Kecintaannya pada Flores terlalu besar. “Aku tidak akan meninggalkan Flores. Dia cinta pertamaku dan terakhirku.”
Cukup menyentuh. Jika saja ini panggung opera, Philip akan mendapat tepuk tangan yang meriah.
Myah memalingkan wajah. Tidak seru jika diteruskan. Philip selalu saja berhasil menguasai keadaan.
Semuanya mulai menyantap hidangan yang ada. Setumpuk daging mahal berkualitas menjadi hidangan utama di pertemuan malam ini.
Flores mengambilkan satu porsi steak daging panggang untuk Philip. “Biar aku yang menggendong Elisa, Honey.”
Philip menoleh. “Makan saja. Jangan pikirkan aku,” jawab Philip berbisik sembari mencubit pipi putrinya. “Aku yang akan menyuapi Elisa.”
“Jake, bagaimana bisnismu?” Suara Rares, kakak tertua Flores, datang dari seberang meja. “Aku dengar kau akan membangun wilayah utara Kota Wellym Point. Apa itu lancar?”
Jake mengangguk sembari memasukkan daging ke dalam mulutnya.
“Jake kehilangan 100.000 dollar minggu ini, Rares!” Maya menertawai suaminya. “Sudah aku bilang untuk berhenti berinvestasi di tempat itu, dia tetap keras kepala.”
Rares ikut tertawa. “Benarkah adikku sebodoh itu?”
Jake menoleh. Ditatapnya Rares kemudian. “Kesalahan adalah guru terbaik, bukan?”
“Uang segitu hanya debu untuk Jake!” Jennifer menimpali. Dia adalah kembaran dari Flores. Hanya saja, wajah mereka memang tak identik. “Dia bisa menghasilkan uang lebih banyak dari itu hanya dalam sekejap mata!”
“Kau benar!” Rares menunjuk Jennifer. “Dia memberi hadiah tas buatan Italia untuk ulang tahun putriku kemarin,” ucapnya. “Kau memang paman yang baik, Jake!”
“Kalian luar biasa!” Myah menimpali. Pandangan matanya membanggakan putra dan putrinya malam ini.
“Aku juga ingin dengar tentang Lottie Harlow, perusahaan perhiasan milikmu, Flores.” Myah memandang Flores yang hendak menyantap makan malamnya.
Flores memandang kakak-kakaknya. Dia adalah anak termuda, tetapi dia tidak bisa menjadikan kesempatan itu sebagai berkat dalam hidupnya.
Flores terjebak bersama Philip di lingkaran ini. Namun, atas cintanya yang besar, Flores tak akan pernah beranjak dari posisinya.
“Usahamu bangkrut, Sister?” Rares menimpali ketika Flores hanya diam. Dia adalah si mulut besar yang tak pernah memahami perasaan orang lain.
Flores meletakan garpu dan pisau makannya. “Semuanya baik-baik saja.” Flores menjawab dengan yakin.
Diraihnya tangan Philip, Flores menatap suaminya dan tersenyum. “Philip membantuku banyak.”
“Apa yang dia bisa?” Rares menyahut lagi. “Dia hanya tukang bengkel.”
Philip hendak membuka mulut, setidaknya dia harus membantu istrinya. Akan tetapi, Flores yang mengungguli sekarang.
“Bantuan bagimu hanya soal uang, Rares?” Flores menyeringai tajam. “Hanya itu yang bisa dilakukan istrimu?” Flores menatap wanita berambut pendek di samping Rares. “Nyonya Parlmer hanya bisa mendukung dengan uang dari keluarganya?”
“Flores!” Myah hendak menengahi.
“Biarkan aku berbicara, Mom!” Flores memandang Myah dengan jeli. “Malam ini saja,” gumamnya.
Philip berusaha menyadarkan Flores. Sepertinya Flores hendak memberi gertakan sekarang. Selama ini dia hanya diam, membiarkan harga diri Philip diinjak-injak.
“Aku berani taruhan, jika kau bangkrut maka Caroline akan langsung meninggalkan dirimu.” Flores menghina dengan senyumnya. “Pernikahan kalian hanya seharga bangunan perusahaan, bukan?”
“Flores!” Mr. Shem kali ini angkat bicara.
“Memangnya kenapa jika Philip tukang bengkel?” Flores menatap satu persatu keluarganya. “Dia tidak pernah mengemis pada kalian. Dia mandiri!”
“Dia hanya pria tidak jelas asal usulnya, Flo!” Jake menandaskan. “Dia tidak punya masa depan.”
Flores terkekeh. “Pilihlah kata-kata sendiri, Jake! Kau selalu saja menyalin kata-kata mommy!”
Flores menggebrak meja di depannya. “Kita sudah selesai makan malamnya. Kalian silakan teruskan dengan bualan dan omong kosong menjijikan itu!”
Wanita itu berdiri, dia mengajak Philip dan Elisa untuk pergi dari tempatnya.
“Suamimu bisu?” Myah tidak akan melepaskan Flores begitu saja.
Philip menoleh bersama dengan Flores di sampingnya. Dia melihat senyum puas terlukis di wajah Myah.
“Suruh dia bicara sendiri, Flo.”
“Dia tidak akan ....”
“Maafkan kami, Mom.” Philip akhirnya membuka suara. Dia membungkukkan badan. “Flores sudah tidak sopan pada kalian.”
Flores menatap suaminya dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia hendak menangis, hatinya sakit.
“Kalau begitu duduklah. Habiskan daging itu.” Myah menunjuk kursi kosong milik Flores. “Aku yakin kau tidak mampu makan enak di rumah karena gajimu tidak cukup untuk membeli semua ini.”
Philip mengangguk. Dia hampir datang, tetapi Flores mencegahnya. “Kami akan pergi, Mom.”
“Biarkan dia, Flo!” Mr. Shem menyeru. “Suamimu ingin di sini.”
“Daddy juga ikut-ikut?” Flores memandang ayahnya. Dia mengusap wajahnya frustasi. “Kalian ini benar-benar ....”
Philip mengusap punggung Flores. Kepalanya mengangguk, memberi isyarat bahwa dia tidak apa-apa, meskipun harga dirinya terluka berat.
Philip hendak berjalan mendekat. Baru juga ingin menarik kursi di depannya, suara Maya mendiamkan Philip. “Jam tangan itu ....”
Philip menatap jam tangannya. “Ah! Ini milik Jayde.”
“Seperti jam tangan pelanggan VVIP di hotel ini,” imbuh Maya.
Philip berusaha menyembunyikan pergelangan tangannya. Namun, Jake menariknya dengan kasar, dia memaksa untuk melepaskan jam tangan Philip.
Flores yang mengetahui itu, hendak membalas perlakuan Jake, tetapi dia terlambat. Jam tangan itu terlepas dari pergelangan tangan Philip. Jake dan Maya dengan cermat mencari tanda di sana.
“Benar! Mr. Jayden!” Maya tersenyum pada Jake. “Pemilik Jay’s Brother, Love.”
Jake ikut tersenyum jahat. Pandangan matanya kembali pada Philip setelah menemukan nama Jayden Halmuth di belakang jam tangan itu. Jake berjalan mendekati Philip, berdiri di depannya. Pria kerempeng itu menatap Philip dari atas sampai bawah.
“Kalau dipikir-dipikir, jasmu begitu mahal, Philip.” Jake menarik bahu Philip, mengendusnya. “Namun, aroma tubuhmu murahan.”
Philip tak memakai wewangian ber-merk. Dia benci menghamburkan uang hanya untuk sebotol cairan wangi yang akan hilang kalau dia mandi.
Jake menunduk. “Sepatumu juga buatan brand ternama ....” Dia menoleh pada Flores. “Flores yang membelikannya?”
Flores hendak menyahut.
“Kau minta uang pada putriku lagi?” Myah ikut menimpali. Pandangannya penuh api. “Sampai kapan kau akan memeras putriku, Philip?”
Flores mendesah panjang. “Mom ....”
“Dia pasti meminjam milik Jayden.” Rares mengikuti pembicaraan sembari menunjukkan ponselnya. “Aku baru saja mendapat ini dari temanku.”
Semua pandangan mata tertuju pada ponsel Rares.
“Dia tertangkap kamera CCTV datang ke Jay’s Brother kemarin,” imbuh Rares tersenyum puas.
Philip mengangguk. “Aku meminjamnya. Aku tidak meminta uang pada Flores.”
Jake tertawa terbahak-bahak. “Dasar sampah!”
“Hanya untuk setelan jas saja kau meminjam?” kekeh Rares ikut menertawai. “Philip ... Philip!”
Jujur saja, Flores pun terkejut. Dia tidak tahu tindakan suaminya.
Rares ikut mendekati Philip. Dia mengambil semangkuk sup di sampingnya dan menyiramkan itu di pundak lebar Philip, membuat jas mahalnya kotor dan bau.
“Rares!” Flores berteriak.
“Bagaimana ini?” Rares menghinanya. “Kemeja dan jasnya pasti rusak jika dicuci sembarangan.”
Flores mendengus. Dia hendak mendekati kakaknya, tetapi Philip mencegah.
“Kau bisa membeli yang baru, Philip?” tanya Rares mengintimidasi. “Gajimu sebagai tukang bengkel bisa membelinya?”
Philip hanya diam. Tidak ada yang bisa dia lakukan.
“Pergi cari orang tuamu. Minta bantuan pada mereka, merengeklah,” kekeh Rares lagi.
Flores meronta-ronta, dia hendak menampar kakaknya sekali saja.
Rares berbisik di telinga Philip. “Atau jual harga dirimu padaku, Philip.”
“Bersihkan sepatuku dengan lidahmu. Aku akan membelikan sepuluh setelan jas dengan merk yang sama,” kekehnya sembari berbisik.
Bukan Flores yang menonjoknya, tetapi Philip. Akhinya pria itu melepaskan kemarahannya juga. “Bajingan!”
Next.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!