NovelToon NovelToon

Istri Tengil Tuan Presdir

Bab 1. Perjodohan

Seorang wanita cantik menuruni anak tangga dengan riang. Wajah berseri dan juga mata berbinarnya menunjukkan bahwa hari ini dia benar-benar sangat bahagia. Kiara Aleema Jaleela, 25 tahun, seorang pengangguran yang sangat suka menghamburkan uang. Sifat manja dan juga kepribadiannya yang sedikit kekanakan membuat Kiara sering disebut sebagai anak bungsu dari keluarga Amzar.

Kiara sebenarnya adalah wanita yang sangat cantik, cerdas dan cekatan. Namun, di suatu waktu juga dia bisa menjadi wanita yang bodoh dan sedikit lemot. Moto hidupnya adalah 'nikmati apa pun yang kamu miliki selagi kamu hidup. Karena, jika kamu sudah mati, kamu tidak akan bisa menikmatinya'. Kalimat yang sangat bagus jika diucapkan oleh seseorang yang sudah memiliki penghasilan sendiri. Namun untuk Kiara, sepertinya ini agak keliru.

"Morning Ayah, Sayang!" sapa Kiara mengecup pipi Amzar sekilas. "Morning Ibu Sabina yang cantik."

Sabina hanya mengangguk seraya tersenyum. Sabina bukan ibu kandung Kiara, jadi ketika Kiara memujinya, dia tahu kalau Kiara hanya sedang mengolok-oloknya saja.

"Kamu kalau pakai baju yang bener dikit dong, Kia! Masa beli baju kurang bahan terus, paha kamu itu lihat! Masa mau keluar rumah telanjang kayak gitu." Amzar mendelik melihat tampilan anaknya yang urakan seperti ini. Berpakaian layaknya seorang penyanyi di acara hajatan.

"Ini mode, Ayah. Mode. Masa Ayah gak ngerti sih, gak asyik tahu."

"Kamu itu bukan cuma pamerin tubuh kamu kalau berpakaian seperti ini. Tapi juga ngajak ayah masuk neraka," Amzar kembali mendengus.

Amzar, lelaki paruh baya yangmemiliki perusahaan properti terbesar di kotanya. Perusahaan raksasa tersebut memiliki cabang di mana-mana. Amzar memiliki 3 orang putri, anak pertamanya adalah Kiara, anak kandungnya bersama dengan istri pertamanya. Sedangkan dua yang lain adalah anaknya bersama dengan istri kedua, Sabina.

"Lihat adik-adik kamu. Mereka berdua sangat baik, Kiara. Mau menutup aurat, dan selalu mematuhi apa yang ayah katakan. Umur mereka itu lebih kecil daripada kamu. Tapi kenapa kamu gak ngerti-ngerti."

"Terus aja terus, bandingin aja terus. Ayah, kalau ayah emang sayang sama mereka, silakan aja. Kia gak larang kok. Tapi jangan bandingkan Kia dengan mereka seperti ini. Ayah itu keterlaluan."

"Kamu yang keterlaluan Kia, sebagai seorang ayah. Ayah sedih liat kamu kayak gini. Ibu kamu juga pasti sangat kecewa."

Brak!

Semua orang yang ada di meja itu terperanjat kaget kerena Kiara yang tiba-tiba menggebrak meja makan. Namun, tidak dengan Amzar, entah karena sudah terbiasa atau bagaimana, tapi dia terlihat sangat santai dan malah melanjutkan sarapan seolah tidak ada apapun yang terjadi.

"Kiara tahu Kiara salah, Yah. Tapi jangan bawa-bawa Ibu. Ibu udah tenang di sana. Kalau Ayah gak mau ngurus Kiara lagi, ya sudah ... gak usah, Kiara juga gak butuh."

Amzar menarik ujung bibirnya, dia masih sama seperti itu. Fokus menyantap sarapan, tetapi sudah ada bom yang siap dia ledakkan.

"Baik, Ayah akan menendangmu dari rumah ini."

"Sayang ...!" Sabina menyentuh punggung tangan Amzar seraya menggelengkan kepala. Tetapi, Amzar malah mengangkat tangan meminta Sabina untuk tidak ikut campur.

"Menikahlah dengan laki-laki pilihan Ayah Kiara, dia laki-laki yang baik, sudah dewasa, sudah mapan dan yang paling penting, dia sudah berpengalaman."

"What?" pekik Kiara dengan alis tertaut. "Maksud Ayah, Kiara harus nikah? Berpengalaman? Maksud Ayah bagaimana?"

"Dia adalah seorang duda, istrinya meninggal dua hari setelah pernikahan mereka berlangsung."

Kiara melotot tajam. Tidak percaya dengan apa yang ayahnya katakan. Jika laki-laki itu masih muda dan juga belum pernah menikah mungkin Kiara akan mempertimbangkan demi kelangsungan hidup. Namun, jika seperti ini, Kiara tidak mau. Selain tua, dia juga duda. Di tinggal mati setelah menikah dua hari? Jangan bilang ....

"Ayah sepertinya sakit," cicit Kiara menatap ayahnya heran. "Kia gak mau, Kia akan menikah jika Kia sudah menemukan laki-laki yang cocok. Ayah itu mau menjadikan Kia tumbal atau bagaimana. Laki-laki itu pasti memiliki pesugihan, dia menumbalkan istrinya supaya harta dia makin banyak."

"Kiaraaaaa~~." Amzar menatap manik mata Kiara dengan tatapan tajam. Namun, orang yang ditatap seperti tidak perduli.

"Pokoknya Kiara gak mau nikah, kalau Ayah mau menikahkan anak Ayah, nikahkan saja mereka!" tunjuk Kiara pada dua anak gadis di samping Sabina. "Kiara akan pergi dari rumah ini, lebih baik Kiara hidup sendiri daripada harus menikah dengan bandot tua. Kiara gak mau."

Kiara beranjak dari duduknya, mengambil tas dan juga kunci mobil. Akan tetapi, baru beberapa langkah, Kiara sudah dihentikan oleh Amzar. Yang memanggil namanya.

"Taruh semua barang-barang kamu. Kunci mobil dan juga uang. Ayah sudah membekukan semua rekening kamu Kia. Jika memang kamu tidak ingin menuruti ayah, keluar dari rumah ini, jika perlu, jadi gembel sekalian."

Kiara mendengus keras, helaan napas kasar terdengar. Kedua tangan Kiara terkepal mendengar apa yang Amzan katakan padanya. Ayahnya ini benar-benar sudah gila.

Bughhhhh!

Hampir saja tas yang Kiara lemparkan mengenai kepala Amzar jika seorang pelayan di rumah itu tidak menangkisnya.

"Dasar orang tua gak ada akhlak. Ayah lihat saja, Kiara gak akan pulang, Kiara akan menjadi orang sukses dan gak akan pernah ketemu sama Ayah lagi."

Amzar mengangkat kedua bahunya acuh. Dia sudah habis kesabaran karena anak sulungnya ini selalu berbuat ulah, tongkrongannya bukan tongkrongan orang baik-baik. Terlebih, Kiara sangat suka mengajak teman laki-lakinya main ke club malam. Amzar mungkin bukan ayah yang baik, tapi apa pun yang Kiara lakukan, dia tahu karena Kiara tidak pernah lepas dari pantauan.

"Mas ...!" Sabina menatap suaminya dengan tatapan sendu.

"Sudah tidak apa-apa. Akan ada orang yang mengawasinya. Besok juga dia akan pulang. Mana tahan anak itu tinggal di luar tanpa uang, semua teman-teman Kiara sudah saya boikot. Kiara gak akan bisa kemana-mana selain luntang-lantung di jalanan."

Sabina mengembuskan napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Amzar dan Kiara cekcok, hampir setiap hari mereka ribut. Terkadang, Sabina merasa bersalah, dia seperti menjadi duri untuk Kiara dan Amzar. Namun, mau bagaimana lagi. Sabina tidak mungkin mundur, kedua anaknya masih sekolah, mereka masih sangat membutuhkan Amzar.

"Lalu bagaimana dengan makan malam nanti, Mas. Bukankah kita sudah membuat janji dengan keluarga calon suami Kiara? Apa yang harus kita katakan?" Sabina terlihat khawatir, karena calon suami Kiara bukan orang sembarangan.

"Saya akan menjelaskan semuanya pada mereka. Kau tidak perlu khawatir. Saya tahu apa yang harus saya lakukan."

....

"Brengsek! ... Ayah mau jodohin gue sama bandot tua. Ya kali, gue gak mau lah. Mana ada cewek secantik dan semodis gue nikah sama kakek-kakek. Mending menjomblo seumur hidup daripada kayak gitu."

Kiara terus menggerutu sepanjang perjalanan kaki yang dia lakukan. Selain pakaian dan ponsel, tidak ada yang dia bawa karena semua barang yang dia punya adalah milik ayahnya.

"Ekh anjir ... kalian cuma deketin gue pas gue lagi banyak duit doang. Giliran kayak gini, pada gak aktif lo pada. Stress emang!"

Hati dan otak Kiara semakin panas saat melihat ponsel dan mencoba untuk menghubungi teman-temannya namun tidak ada yang menyahut. Mereka semua seperti tertelan bumi. Menghilang dalam sekejap mata.

"Jadi gue beneran ngegembel nih," cicit Kiara dengan wajah sendu dan langkah yang semakin gontai. Padahal dia belum jauh dari rumah, tapi rasanya dia sudah ingin pulang.

"No, Kiara, Lo gak boleh kalah. Meskipun Lo harus jadi gembel, jadilah gembel elit. Jangan balik ke rumah, oke! Lo bisa Kiara, bisa!"

Bab 2. Perjodohan 2

Habibie Kazeem Alqais adalah seorang pemimpin di perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Perusahan itu adalah perusahaan warisan dari ayahnya. Namun, Habibi sudah menekuni bidang itu lebih dari 10 tahun, jadi sang ayah sudah menyerahkan perusahaan kepadanya.

Habibie adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Dua adik laki-lakinya masih menempuh pendidikan sambil kerja di Kairo dan juga di Turki. Hanya sesekali mereka pulang, oleh karena itu Habibie sangat sibuk sehingga jarang memiliki waktu senggang. Mungkin karena itu juga Habibi menjadi acuh tak acuh pada pasangan hidup. Cintanya kepada Aisyah membuatnya tidak ingin menikah lagi.

"Habibie pergi ke kantor dulu Bi. Ummi kemana?"

"Ummi pergi ke rumah kerabatnya di Bandung. Mau Abi antar ditolak. Katanya gak lama, cuma mau nengok kakek, nenek kamu di sana."

"Abi itu kebiasaan. Harusnya Abi maksa dong biar bisa nemenin Ummi. Gak gentleman banget."

"Hush! Udah sana berangkat. Yang belum memiliki pengalaman gak usah nasehatin senior."

Habibie mengangkat kedua bahunya acuh, setelah mengucapkan salam, dia keluar dari rumah besarnya. Di sana, sudah ada asisten pribadi yang selalu siap siaga menemani Habibie kemanapun dia pergi.

"Assalamualaikum, Tuan Muda."

"Wa'alaikumssalam, Haikal."

Habibie masuk ke dalam mobil mewah mengkilap dengan senyum tipis. Sangat tipis karena Habibie bukan tipe orang yang suka menebar senyum. Bukan karena apa, namun sikap tertutupnya membuat orang-orang segan saat bertemu dengan laki-laki ini. Hanya orang-orang tertentu yang berani bertegur sapa dengan Habibie.

Tiga puluh menit setelah perjalanannya, Habibie mengerutkan kening saat melihat seorang wanita duduk di depan toko pakaian sembari mengacak-acak rambut.

"Jaman sekarang, banyak orang yang stres, Kal. Padahal mereka masih sangat muda. Kasihan mereka."

Haikal melirik Habibie sekilas tetapi dia langsung fokus lagi ke jalanan karena tidak ingin terjadi sesuatu pada mereka. "Banyak orang-orang seperti itu, Tuan. Lalu apa yang harus kita lakukan agar terhindar dari hal tersebut?"

"Resepnya cuma satu, Kal. Ingat Tuhan. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja."

Haikal mengangguk. Betapa sempurnanya bos di jok belakang. Dia sangat tampan, karena ayahnya masih keturunan orang Timur Tengah, tubuh tinggi tegap, dengan jenggot yang sangat rapi. Terlebih dia sangat taat agama. Hanya satu kekurangan Habibie, laki-laki ini sangat anti perempuan dan selalu gagal move on dari istri pertamanya.

....

"Benaran ikh, punya temen gak ada yang mau bantu. Apa mungkin Ayah larang mereka buat angkat telpon gue, tapi ya gak mungkin lah ... eishhh Ayah ... kau itu benar-benar keterlaluan."

Kiara terus menggerutu sembari menggaruk rambut panjangnya sampai rambut itu mengembang seperti rambut singa. Dia berbalik ke belakang, wajahnya berbinar. Kiara sangat ingin membeli baju-baju itu, tapi sekarang dia tidak punya uang.

"Hei ... jangan mengotori tempat ini. Jika tidak mau beli, pergilah!"

Kiara mendelik ke arah pelayanan yang meneriakinya. Wanita itu berdiri dengan gerakan yang sangat pelan.

"Awas lo ya. Kalau gue udah balik ke rumah, gue beli ini toko. Tar liat aja, lo bakal habis di tangan gue."

Kiara melengos setelah menggerakkan jempol tangannya keleher seperti orang yang sedang menyembelih kambing.

"Wooooh. Dasar orang gila. Ngaku-ngaku jadi orang kaya, tapi tampilan kayak gitu. Mana ada orang kaya bertingkah seperti gembel."

Kiara terus melangkahkan kakinya seperti orang linglung. Dia bingung mau pergi ke mana. Hari sudah semakin sore, dan dia tidak memiliki uang. Perutnya sudah lapar. Tapi tidak ada apapun yang bisa dia makan. Langkah kakinya berhenti di depan sebuah restoran di pinggir jalan. Orang-orang di sana makan dengan lahapnya membuat Kiara menjilat bibir dan meneguk ludahnya sendiri.

"Sabar anak-anak ku. Mama belum punya uang," cicit Kiara sembari mengusap perutnya yang keroncongan. Dia kembali berjalan menjauh dari restoran tersebut. Matanya berbinar ketika dia merogoh sesuatu di dalam saku jaketnya, dia menarik lembaran itu dengan mata terpejam. Setelah lebaran itu dia pegang di depan wajah, Kiara membuka mata. Seketika senyum di wajahnya hilang. Itu hanya struk belanja. Dia pikir itu uang, ternyata bukan.

"Ya salam ... cuma sampah. Terus giaman dong gue makan. Gue laper."

Kiara terus berjalan menyusuri toko demi toko di area tersebut. Hari sudah semakin malam karena satu per satu toko mulai tutup. Karena sudah sangat lelah, Kiara mendekat ke arah salah satu toko, dia celingukan mencari sesuatu untuk alas dia tidur, dan saat menemukan kardus bekas, Kiara menggelar salah satu kardus, kemudian mengambil kardus lain untuk menutupi tubuhnya.

"Pak, apa tidak sebaiknya kita ajak Non Kiara pulang? Kasihan Non Kiara Pak."

Amzar menggelengkan kepala. "Kamu kasih lah nasi bungkus ini di samping dia Rus. Jangan sampai dia tahu kalau kamu datang. Nanti kalau ada pemilik toko,bilang kalau kita akan bayar sewa karena dia tidur di situ."

"Bapak mau tidur di sini juga?" tanya Rusdi sang sopir.

"Saya tidak mungkin membiarkan anak perempuan saya luntang-lantung sendirian di sini. Cepat kamu kasih nasi sama air itu. Kasihan dia, Rus."

Rusdi mengangguk. Dia langsung turun membawa kantong keresek hitam berisi nasi bungkus dengan sebotol air. Dia berjalan mengendap-endap seperti maling karena takut ketahuan, dan ketika dia sampai di dekat Kiara. Dia simpan kantong keresek itu perlahan.

"Selamat makan, Non." Rusdi membatin, setelah itu dia kembali ke adalam mobil.

Merasa ada yang melewatinya. Kiara langsung bangun. Dia mengusap mata membuat wajahnya semakin kotor karena tangan yang dia gunakan untuk mengusap matanya itu berdebu.

"Wuahhh ... ada makanan," ujar Kiara setelah mengintip isi keresek hitam didepannya. Namun ketika dia hendak melepaskan karet pada bungkus nasi tersebut, Kiara tiba-tiba ragu untuk memakan nasi itu.

"Apa ada orang yang kasih nasi ya? Tapi siapa?"

Kepalanya celingukan mencari-cari orang yang mungkin saja masih ada di sekitaran sana. Saat yakin tidak ada siapapun. Kiara kembali fokus pada bungkus nasi itu.

"Akh sudahlah, udah gak kuat ini perut minta di isi."

Kiara mencuci tangan dengan air minumnya sedikit, dia mulai menyantap nasi bungkus itu lahap. Padahal biasanya Kiara tipe anak yang pilih-pilih makanan, namun sekarang dia menyantap nasi yang hanya ditambahkan telor dadar dan tempe goreng dengan begitu nikmat.

"Itu anak saya kan Rus, kenapa dia terlihat seperti gembel?"

Hidung Rusdi kebang kempis menahan senyum. Ya, majikannya yang terbiasa berpenampilan hedon kini malah terlihat sangat lusuh karena baju yang dia kenakan kotor. Terlebih wajahnya juga cemong bekas usapan tangan. Mungkin karena make up yang luntur juga, alhasil dia benar-benar terlihat seperti seorang pengemis.

Setelah kenyang, Kiara membuang kantong keresek itu ke tempat sampah, dia kembali duduk di tempat semula. Namun saat dia hendak minum, dia mengingat sesuatu.

"Aku tadi lupa baca bismillah, apa jangan minum dulu ya biar setannya keselek?"

Kiara menggelengkan kepala. Dia menutup botol air itu lagi.

"Kenapa dia gak jadi minum Rusdi? Apa kamu beli air kadaluarsa?"

Rusdi menggeleng cepat. "Tidak Tuan, itu air baru kok. Mungkin di tabung untuk besok."

Amzar mengangguk. "Tapi itu pasti seret Rusdi."

Rusdi tak mengindahkan apa yang bosnya katakan. Ya dia mau menjawab apa, masa dia harus berlari mendekati Kiara dan menyuruhnya untuk minum, kan aneh.

"Ekh, tunggu. Kalau tadi pas makan gak bismillah, harusnya pas minum tinggal bismillah aja ya kan, jadi itu setan gak bakal ikut minum," cicit Kiara. "Bego Lo emang Kia."

Setelah beberapa saat selepas meminum air, Kiara memutuskan untuk tidur. Meskipun hanya beralas dan berselimut kardus, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar ...."

Kiara menutup mata setelah mengucapkan doa sebelum tidur 'pikirnya'.

....

Hari terus berlanjut. Ini adalah sore ke 2 setelah Kiara meninggalkan rumah. Tampilan semakin kucel, dan tidak terurus. Rambutnya acak-acakan dan ada beberapa daun kecil yang tersangkut pada rambutnya tersebut.

"Apa Abi tidak salah mau menjodohkan ku dengan orang tidak berakal seperti dia?" monolog Habibie ketika melihat gambar yang ada di ponselnya. Gambar itu memang foto Kiara yang diberikan oleh Amzar dan meminta Amzar untuk menemui putrinya.

Habibie menggelengkan kepala, dia melepaskan rem tangan bermaksud ingin pergi. Tetapi, saat melihat sesuatu, Habibie kembali menarik rem tangan mobilnya dan memperhatikan apa yang Kiara lakukan di depan toko tersebut.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Bab 3. Menerima

Habibie mengembuskan napas pelan. Dia menguatkan hatinya dan bertekad untuk menjalani kehidupannya sesuai ketetapan. Jika memang dia harus melewati semuanya, InsyaAllah dia siap.

Kiara mendongak, dia yang sudah menggigil menatap orang yang sedang berdiri didepannya dengan tatapan bingung. Jaket dia telah dia pakai untuk menyelimuti anak-anak kucing di lantai toko itu, sementara dia hanya bisa memeluk dirinya sendiri.

Habibie menaruh payung yang dia pakai kemudian melepaskan coatnya untuk menutupi tubuh Kiara.

"Apa malaikat maut setampan ini!" gumam Kiara masih tidak melepaskan tatapan matanya pada Habibie. Dia tersenyum, tetapi, detik berikutnya Kiara ambruk dalam dekapan laki-laki yang seigap menahan bahunya.

"Astaghfirullah. Kau itu sangat bodoh dan ceroboh!"

Habibie celingukan mencari seseorang. Barangkali ada yang ingin membantunya untuk memegangi payung agar mereka tidak basah. Sayangnya, saat itu suasana di sana sangat sepi. Mungkin karena hujan lebat membuat semua orang enggan untuk keluar dari rumah.

Menembus hujan di sore hari sebetulnya tidak terlalu buruk namun tidak bisa dikatakan baik juga. Habibie mendudukkan Kiara di kursi depan, karena jika membaringkannya di belakang, Habibi takut kalau Kiara akan menggelinding ke bawah jok. Dia merapatkan coat depan dada wanita itu berusaha untuk menutup auratnya dengan baik.

"Bismillah," ucap Habibie meyakinkan hatinya.

....

Semua orang di rumah Habibie menatap heran ke arah lelaki dewasa yang sedang berjalan seraya menggendong perempuan. Habibie masuk ke kamar tamu, meletakan Kiara di sana kemudian menutup tubuh Kiara dengan selimut.

"Bi!" panggil Habibie pada asisten rumah tangga.

"Iya, Tuan!" jawab Bi Arum, sedikit membungkuk ke arah majikannya.

"Tolong urus dia ya Bi. Saya akan memanggil dokter. Jika dia ingin mandi atau apa, tolong disiapkan kebutuhannya."

Bi Arum mengangguk mengiyakan. Wanita itu melirik Kiara sekilas kemudian keluar dari kamar itu untuk mengambil beberapa pakaian bersih yang mungkin bisa Kiara pakai.

"Dia itu siapa, ya. Kenapa Tuan bawa dia ke rumah ini. Terus, kenapa atuh tampilannya kayak gitu. Masa Tuan masukin gembel ke rumah."

Bi Arum bergidik negeri membayangkan fakta-fakta yang mungkin saja terjadi.

"Bi, kenapa atuh kayak gitu? Kesetrum?" tanya Devi yang juga asisten rumah tangga di kediaman Habibie. Devi sebenarnya masih sangat muda. Mungkin usianya baru 19 tahun. Namun, karena mereka sudah lama bekerja di rumah yang sama, Devi dan Bi Arum menjadi sangat dekat. Bahasa yang mereka gunakan pun tidak formal meski usia mereka berbeda 20 tahun.

"Itu atuh, Dev. Tuan, dia teh bawa perempuan. Tapi meni lecek pisan, jaba raremong beungutna teh. (Mukanya cemong). Pikarunyaeun pokona mah (Kasian)."

"Ari Bibi, meni kayak cucian aja atuh lecek. Hati-hati Bi, jangan ngomong sembarangan. Nanti Tuan denger, bisa-bisa kita di tendang dari sini. Devi masih harus nyicil HP. Kalau dipecat sama Tuan Habibie, gimana caranya Devi bayar hutang."

Bi Arum terkekeh kecil. Dia menarik Devi untuk pergi ke kamar mereka. Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan. Dan Bi Arum membutuhkan bantuan temannya itu.

Sebenarnya ada masih ada juru masak, dan beberapa pekerja pria dia sana. Tetapi yang paling sering berkeliaran adalah BI Arum dan Devi. Ada satu lagi si Agus, tapi sepertinya dia sudah pergi ke mesjid untuk shalat magrib.

"Iya dokter, tolong datang ke rumah saya sebentar. Iya, terima kasih. Assalamualaikum!"

Habibie menaruh ponselnya di atas nakas. Dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera bersiap karena dia harus pergi ke mesjid. Ada sebuah mesjid besar di perumahan yang dia tempati, dan itu tidak terlalu jauh. Masih enak kalau berjalan kaki.

Selepas mengucapkan salam, Habibie tak lantas beranjak, dia terus melafazkan nama-nama Allah dan segala sesuatu yang bisa menenangkan hatinya. Mengambil tanggungjawab seperti ini agaknya sangat sulit. Amzar memberikannya waktu satu minggu untuk berpikir, tapi ... sepertinya dia harus mendatangi Amzar malam ini juga.

Setelah shalat Isya, Habibie tak langsung pulang, karena tadi hujannya sangat lebat, Habibie ke mesjid membawa mobil kesayangannya, dia merubah arah di map yang ada pada layar di dashboardnya untuk pergi ke rumah sang ayah dan berlanjut ke rumah Amzar.

....

Pukul 9 malam, Habibie baru sampai dirumahnya. Perasaannya lebih lega dan lebih tenang. Mungkin, karena satu beban di pundaknya sudah dia lepaskan, semuanya terasa lebih baik.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumssalam, Tuan!" jawab Bi Arum yang membukakan pintu untuk Habibie.

"Apa dokter sudah datang, Bi?" tanyanya.

"Sudah, Tuan. Tapi, karena tadi beliau buru-buru, beliau hanya sebentar disini. Ada catatan yang beliau tinggalkan di atas meja kerja Tuan."

Habibie mengangguk. "Apa 'dia' baik-baik saja?" tanya Habibie lagi.

"Mbaknya baik-baik saja Tuan, sudah bersih-bersih dan sudah makan juga. Tadi, dia mengatakan ingin melihat-lihat rumah ini."

Habibie kembali mengangguk. Dia meninggalkan Bi Arum lalu naik ke lantai atas menunju kamarnya. Rumah yang sagat besar itu memang sepi. Tetapi, rumah inilah yang paling nyaman untuk Habibie tinggali.

"Astaghfirullah!" Habibie terbelalak dan langsung memalingkan wajah saat melihat pemandangan tak biasa di depannya. Seorang wanita sedang berdiri di ambang pintu sembari tersenyum, bukan senyum wanita itu yang membuat Habibie berpaling. Namun, pakainya.

"Tuan!" sapa Kiara pada Habibie. Wanita itu berdiri tepat di depan Habibie, menelisik wajah Habibie karena laki-laki itu terus berpaling darinya.

"Bi Arum!" teriak Habibie meminta pertolongan. "Bi!"

"Iya, Tuan, aya naon?" tanya Bi Arum takut sekaligus terkejut.

Kiara menautkan alis melihat gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Habibie.

"Bi, apa gak ada baju lain yang bisa dia pakai? Kenapa Bibi kasih baju kayak gitu?" tanya Habibie tanpa menoleh ke arah Kiara.

Kiara menunduk, memperhatikan penampilannya takut jika ada yang salah. Namun, saat ditelisik, semuanya aman. Pikir Kiara, menipiskan bibir dengan kedua bahu yang terangkat.

"Anu, Tuan. Sebenarnya begini ...."

Dua jam yang lalu, Kiara mengerejapkan mata saat merasakan tangan seseorang sedang meraba-raba lengannya. Ia langsung terduduk seraya menarik selimut sampai ke dada karena terkejut melihat seorang laki-laki tua ada di ruangan yang sama dengannya.

"Apa aku sedang berada di neraka? Kenapa malaikat pencabut nyawa sangat tampan, yang ini enggak. Apa salahku sampai aku harus dihukum kayak gini." Kiara terus bergumam di dalam hatinya. Kedua matanya berkaca-kaca. Kiara tidak menyangka jika umurnya akan sependek itu.

"Apa Anda baik-baik saja? Adakah keluhan yang Anda rasakan?" tanya dokter kepada Kiara.

"Anjir, tunggu ... harusnya gue di tanya man robbuka. Kenapa jadi kayak gini?" Kiara kembali membatin.

"Mbak!" panggil dokter Sutomo mengibaskan tangan di depan wajah Kiara.

"Akh, iya. Saya baik-baik saja. Anda siapa?" tanya Kiara balik.

Dokter itu tersenyum. "Saya adalah dokter pribadi keluarga Pak Habibie. Anda baik-baik saja, tidak ada demam, tapi tidak tahu kalau nanti malam. Saya akan meninggalkan catatan, pereda nyeri dan antibiotik. Semoga lekas sembuh ya," ucap dokter itu. Dia langsung beranjak dan mengusap hidungnya sembari menggelengkan kepala.

"Apa aku bau?" tanya Kiara pada dirinya sendiri. "Tapi tunggu. Pak Habibie itu siapa, Kakek gue, Om gue, atau Paman gue. Perasaan gak ada yang namanya Habibie."

"Mbak sudah bangun ya?" tanya bi Arum pada Kiara. "Mbak mandi dulu, ya. Saya sudah siapakan air hangat. Ayok Mbak!"

Bi Arum menggandeng lengan Kiara dan memasukkan wanita itu ke kamar mandi.

"Mbak, bajunya saya simpan di atas ranjang ya!"

Kiara tidak menyahut. Dia masih bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya, tapi ... daripada memusingkan itu, lebih baik Kiara mandi, mungkin saja sekarang Kiara sedang bermimpi di alam ghoib.

"Astagaaa ... ini baju atau karung goni, kenapa panjang dan gede banget!"

Kiara memutar tubuhnya di depan cermin. Bibirnya meringis menahan ngilu, seorang Kiara, memakai pakaian seperti itu, bisa hancur reputasinya.

Melihat sebuah gunting di atas meja, Kiara tersenyum. Ide cemerlang terlintas di otak cerdasnya.

Kiara mulai memotong gamis yang menutupi mata kakinya, sampai sebatas paha, wanita itu tersenyum, akhirnya dia bisa kembali menjadi Kiara.

"Astaghfirullah, Mbak. Kenapa di pendekin gini bajunya? Nanti kalau Tuan marah bagaimana." Bi Arum terlihat sangat terkejut dan panik.

"Tuan?" tanya Kiara menatap Bi Arum bingung.

"Iya, Tuan. Tuan Habibie, majikan saya yang punya rumah ini. Yang tadi bawa Mbaknya ke sini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!