Sekolah menengah atas Nusantara, memiliki peringkat kedua sekolah terbaik di kota tersebut. Semua siswa dan siswi hasil didikan SMA Nusantara memiliki segudang prestasi yang dapat mengharumkan nama sekolah. Namun di tahun ajaran kali ini mereka terpaksa memasukkan murid yang sudah lima kali berganti seragam dalam tiga semester. Murid tersebut ialah Reagan Lorencius Havelaar, anak dari Filio Havelaar yang cukup terkenal oleh berbagai produk hasil Havelaar Grup yang cukup di gemari di kota tersebut.
Senin pagi para petugas OSIS mulai menertibkan para siswa dan siswi untuk berbaris di lapangan karena lima menit lagi upacara akan berlangsung. Murid-murid yang datang terlambat segera berlari masuk ke area sekolah karena tidak ingin terlambat dan mendapatkan hukuman.
Saat bel berbunyi para petugas upacara sudah siap untuk memulai upacara bendera. Upacara pagi itu berjalan lancar sampai pada pembacaan doa selesai, kini waktunya laporan pemimpin upacara.
Bianca Demetri Havelaar yang berdiri di barisan paling depan melihat pria yang ia kenal berjalan dengan langkah santainya bersama guru piket menuju ke sisi lapangan.
Pemimpin upacara melanjutkan tugasnya hingga selesai, banyak orang-orang yang berbisik saat melihat Reagan.
“Dia ganteng banget,” ucap seorang siswi kepada temannya yang berada di samping Bianca. Cukup jelas terdengar ke telinga Bianca.
Mata Bianca kembali meneliti penampilan Reagan. Apa yang di katakan siswi tersebut memang benar. Sorot mata tajam milik Reagan terlihat istimewa. Hidungnya yang mancung membuatnya terlihat sempurna. Gaya rambut yang terlihat sedikit acak-acakan membuat ketampanannya semakin bertambah, namun sayangnya upacara hari senin tidak memakai topi adalah sebuah pelanggaran. Di seluruh wajah Reagan tidak ada menunjukkan kekurangan sedikit pun, tidak salah jika beberapa orang langsung suka melihat wajah rupawan Reagan. Kerah kemeja tanpa dasi terbuka cukup lebar memperlihatkan sedikit bagian dada Reagan yang membuat wanita mana saja ingin memeluknya. Belum lagi kemeja sekolah Reagan yang tidak di masukkan membuatnya terlihat seperti pria pemberani, lebih tepatnya berani untuk menyalahi aturan di sekolah. Apalagi di lakukan secara terang-terangan di hari senin tepat saat upacara.
“Aku enggak salah liat kan, itu Reagan saudaramu?” ujar Anisa yang berdiri di belakang Bianca. Pipi Anisa bersemu dengan merah wajahnya terlihat sangat bahagia bisa melihat secara langsung pria yang di gandrungi wanita. Nama Reagan cukup terkenal di kalangan remaja karena sering membuat onar dan tidak pernah mengikuti aturan sekolah. Gosip itu menyebar luas di kota tersebut, sehingga banyak orang yang ingin melihat Reagan secara langsung.
“Iya, itu Reagan,” jawab Bianca. Ia melirik ke kanan dan ke kiri. Sepertinya semua orang sudah tidak fokus pada upacara bendera. Melainkan dengan terang-terangan melihat ke arah Reagan.
“Kepada pembina upacara hormat gerak!”
Kali ini beberapa murid yang terpesona dengan Reagan terlambat memberikan hormat.
“Upacara selesai, pasukan di bubarkan.”
Panasnya terik matahari membuat murid-murid bergerombol untuk kembali ke kelas masing-masing. Namun ada beberapa wanita yang secara terang-terangan menatap ke arah Reagan. Seakan-akan Reagan seorang bintang yang tidak akan pernah mereka jumpai lagi.
Bianca memperhatikan Reagan yang di bawa oleh pak Dikta, guru piket menuju tiang bendera. “Hormat selama satu jam, ini hukuman buat kamu!”
Reagan mengikuti perintah guru piket. Setelah kepergian guru piket Bianca tidak meninggalkan lapangan melainkan menghampiri Reagan.
Tangan Bianca membuka topi yang ia pakai dan memindahkannya ke kepala Reagan. “Membuat ulah di hari pertama, apa kamu enggak kasihan sama Tante Sahira?” tanya Bianca.
Reagan membuka topi yang menempel di kepalanya dan melemparkannya asal hingga jatuh ke lantai. Mata Reagan menatap Bianca sebentar lalu berjalan pergi meninggalkan lapangan.
Bianca menghela nafasnya. Ia memandang punggung Reagan yang menjauh. Hingga saat ini meskipun bersaudara Bianca tidak pernah bisa akrab dengan Reagan, lebih tepatnya Reagan yang sangat tertutup meskipun saudara dan sering bertemu di acara keluarga. Namun hingga kini umur Bianca tujuh belas tahun ia tidak pernah berbincang sedikit pun dengan Reagan. Belum lagi Reagan mengabaikan akun Instagram Bianca yang mengikuti Reagan. Sampai detik ini pria itu tidak kunjung mengikuti balik Bianca. Mengingatnya saja membuat Bianca sedikit kesal. Bianca mengambil topi miliknya dan pergi menuju kantin sebelum ke kelas.
Keadaan kelas cukup ramai, kelas sebelas D bukan kelas unggulan hingga tak aneh jika mereka tidak seperti kelas A unggulan. Di kelas A terdapat murid-murid yang berprestasi dan mengharumkan nama baik sekolah.
Bianca duduk di kursinya yang bersebelahan dengan kursi milik Anisa. “Ke mana aja, kok lama?” Tanya Anisa.
Bianca menunjukkan botol minum yang ia beli dari kantin. Melihat minuman yang di tunjukan Bianca sudah menjadi jawaban untuk Anisa.
Bianca mengeluarkan buku miliknya, lima menit lagi pelajaran akan di mulai. Suara gaduh dari dalam kelas hening seketika saat pintu terdengar di buka dari luar.
Bianca pikir gurunya sudah datang, namun saat melihat ke arah pintu bukan guru bahasa Indonesia yang datang melainkan Reagan. Pria yang seharusnya sedang menerima hukuman berdiri memberi hormat di lapangan kini masuk ke kelas dengan wajah santainya membawa tas yang di sampaikan di sebelah pundaknya berjalan melewati Bianca dan duduk tepat di bangku kosong yang berada di belakang Bianca.
Bianca melihat wanita teman sekelasnya yang tampak gembira secara terang-terangan menatap ke arah Reagan. Bianca menengok ke belakang dan bertatap langsung dengan mata elang milik Reagan. Wajah Reagan tampak tetap tenang dan tidak terusik meskipun mendapat tatapan kesal dari Bianca.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa guru Bahasa Indonesia.
Bianca segera memutar Kepala dan tubuhnya kembali ke depan. Ia tidak ingin kena semprot Bu Aini.
Bu Aini guru bahasa Indonesia mengedarkan pandangannya dan langsung bertemu dengan Reagan. “Bukankah hukumanmu belum selesai?”
Reagan tidak bereaksi terhadap ucapan Aini. Ia masih terlihat santai dengan punggung yang bersandar.
“Kembali ke lapangan!”
Bianca memperhatikan Reagan yang berjalan melewati Aini dan keluar dari kelas.
Aini sedikit kesal dengan tingkah Reagan yang tidak ada sopan santunnya. Namun mengingat jika Ayahnya Reagan pemilik sekolah, membuatnya tidak bisa berbuat banyak.
Bukannya berjalan menuju lapangan Reagan malah berjalan ke arah kantin dan memesan makanan untuk sarapan pagi. Sembari menunggu pesanannya datang Reagan mengeluarkan bungkus roko dari saku kemejanya. Ia menyalakan rokok, menyesapnya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya secara perlahan.
***
Halo semuanya balik lagi bersamaku
Kali ini aku buat cerita Reagan saat masih SMA, semoga kalian suka. Dan jangan lupa subscribe agar dapatkan notifikasi update terbaru. Serta dukung aku dengan cara like, komentar, dan permintaan update.
Jangan lupa follow Instagramku, Riska Almahyra. Ayok kenal aku lebih dekat di sosial media
Dikta berkeliling ke segala penjuru untuk memastikan seluruh murid berada di dalam kelas. Langkahnya menyusuri setiap lorong sekolah. Dari kejauhan ia melihat Reagan yang duduk seorang diri di kantin.
Langkah cepat Dikta sampai di depan Reagan. Ia mengambil rokok yang di sesap Reagan, lalu membuangnya ke lantai dan menginjaknya. “Reagan Lorencius Havelaar kembali ke lapangan!” tegur Dikta.
Reagan mengacuhkan Dikta, ia mengambil es teh dingin pesanannya dan meneguknya dengan perlahan. Perbuatan Reagan seolah sengaja membuat Dikta semakin naik pitam.
“Reagan,” panggil Dikta dengan suara tegasnya.
Mata Reagan melirik ke arah Dikta.
“Kembali ke lapangan, dan jangan pernah merokok di area sekolah lagi,” ucap Dikta memberikan peringatan.
Reagan mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusnya dan menyalakannya di depan Dikta. Tidak hanya itu Reagan menghembuskan asap rokoknya tepat ke wajah Dikta. “Merokok seperti ini maksud bapak?”
Dua orang siswa yang melihat dari kejauhan tampak kegirangan bisa melihat wajah Reagan yang mengerikan membuat Reagan terlihat lebih tampan dengan bibir yang menyeringai. “Aaaa ganteng banget Reagan,” teriak mereka.
Dikta menengok ke belakang. “Masuk ke kelas!” titahnya pada dua siswi tersebut.
Mendapat tatapan tajam dari Dikta mereka segera masuk ke dalam kelasnya.
Dikta tidak heran dengan sikap Reagan, ia pikir dirinya mampu menahan emosi saat berhadapan dengan Reagan. Tapi nyatanya Dikta tidak bisa menahan emosinya. “Sepertinya saya harus menghubungi Ayahmu,” ancam Dikta.
“Silahkan saja.”
Harapan Dikta pupus, bukannya takut Reagan malah mempersilahkan. “Kalau mau berulah jangan pas di hari gue piket bisa enggak sih,” ketus Dikta.
Reagan duduk saat pesanan sarapan paginya sampai. Ia menikmati makanan tersebut tanpa memedulikan Dikta.
Dikta duduk di kursi yang berhadapan dengan Reagan. Tangannya dengan lancang mengambil satu potong ayam milik Reagan. “Kalau sampai gue di pecat, tanggung jawab Lo!”
Reagan mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah Dikta yang sangat berisik.Sikap humble Dikta yang tanpa ragu di luar dugaan Reagan. Ia pikir mata-mata yang di pilih Filio akan kolot dan tegas seperti sebelum-sebelumnya.
***
Jam mata pelajaran terakhir sudah selesai. Beberapa murid mulai meninggalkan kelas. Bianca mengemasi barang-barang miliknya.
“Bianca aku duluan ya,” pamit Anisa.
Bianca mengangguk. Ia mengecek ponselnya, ternyata ada panggilan masuk. “Ada apa?” Tanya Bianca.
[Nona Luisa mendadak minta di antar ke kampus. Tidak apa-apa jika nona menunggu sekitar satu jam saja di sekolah?]
Bianca sedikit kesal mendengar kabar tersebut. “Ya sudah aku naik taksi saja,” jawab Bianca. Ia menutup teleponnya dengan cepat karena kesal.
Bianca bangkit dari duduknya dan melihat tas Reagan yang masih ada di kursinya. Pandangan Bianca menatap ke segala penjuru, ternyata kelas sudah kosong hanya menyisakan dirinya.
Bianca mengambil tas Reagan dan menentengnya. Bagaimana pun Reagan saudaranya, ia tidak bisa begitu saja meninggalkan tas Reagan. Seharian ini Bianca tidak menemukan keberadaan Reagan.
Bianca berjalan keluar dari dalam kelas. Ia melihat pak Dikta yang berjalan di lorong. “Pak Dikta,” panggil Bianca.
Dikta menghentikan langkahnya. “Iya, ada apa Bianca?”
“Bapak melihat Reagan?”
“Reagan sedang di UKS, sakit perut,” jawab Dikta. Jelas-jelas Dikta tahu jika Reagan baik-baik saja, hanya saja pria itu beralasan agar tidak perlu mengikuti pelajaran.
“Terima kasih Pak,” ujar Bianca. Ia berjalan menuju UKS.
Bianca masuk ke dalam UKS, ada penjaga di sana. Bianca tersenyum ramah “Reagan ada Bu?”
“Ada di dalam, masuk saja,” jawab guru tersebut.
Bianca masuk ke dalam, ia melihat di ujung dengan tirai tertutup. Bianca mendekat dan membuka ruangan, ia melihat tubuh Reagan yang terlentang dengan mata tertutup.
Mata Bianca melihat ke meja kecil yang terdapat nampan berisi obat dan air minum yang masih utuh. “Kamu pura-pura sakit ya,” tuduh Bianca.
Reagan membuka matanya. “Kalau iya kenapa?”
Bianca menaruh tas milik Reagan di atas tempat tidur. “Enggak kenapa-napa sih, kayaknya kamu sudah biasa bolos juga di sekolah lama.”
Reagan bangkit dari tidurnya, ia turun melangkah meninggalkan Bianca.
Bianca cukup kesal di tinggal sendirian oleh Reagan, apalagi pria itu tidak berterima kasih sama sekali padahal Bianca sudah membawakan tas Reagan.
Bianca berjalan menuju gerbang depan sekolah menunggu taksi. Namun tidak ada yang lewat, akhirnya Bianca mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online. Namun suara motor berhenti di depannya membuat perhatian Bianca teralihkan. Kepalanya terangkat dan menatap wajah Reagan yang ada di depannya.
“Naik,” ucap Reagan. Ia memasangkan helm pada kepala Bianca.
Bianca seolah terhipnotis dengan ucapan Reagan dan menerima saja tawaran Reagan. Bianca naik ke atas motor Reagan.
Reagan membawa motor sport kesayangannya dengan kecepatan cukup tinggi seperti biasanya.
Bianca yang sedikit ketakutan karena jarang naik motor, dengan ragu memilih berpegangan pada jaket Reagan.
Tepat di jalanan yang cukup sepi arah menuju rumah Bianca, Reagan menghentikan laju motornya. “Turun,” titah Reagan.
Bianca turun dari motor Reagan. “Ada apa?” tanya Bianca dengan nada polosnya.
“Pinjam handphonemu,” jawab Reagan.
Bianca memberikan ponsel miliknya kepada Reagan. “Untuk apa?”
Reagan mengambil ponsel Bianca dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Alis Reagan terangkat sebelah, dengan bibir tersenyum yang tertutup helm full face sehingga Bianca tidak bisa melihatnya. Ia menutup kaca helmnya dan melajukan motornya secepat mungkin meninggalkan Bianca sendirian.
Bibir Bianca terbuka cukup lebar melihat Reagan yang begitu saja meninggalkannya di tempat sepi. “Reagan sialaaaaan!” teriak Bianca.
Bianca membuka helm yang di pakaikan Reagan dan melemparkannya begitu saja ke jalanan. Bianca celingukan mencari kendaraan umum yang bisa membawanya pulang. Tapi tempatnya berdiri bukan jalanan besar yang di lewati banyak kendaraan, apalagi kini ponselnya di bawa Reagan. Bianca tidak bisa menelepon orang rumah untuk menjemputnya. Matahari cukup terik siang itu, Bianca tidak ingin kulit wajahnya terbakar. Ia mengeluarkan topi sekolahnya agar dapat menutupi wajahnya. “Tahu begini aku naik taksi aja. Dasar Reagan sialan, tidak tahu diri, aku sumpahin enggak ada cewek yang mau jadi pacar kamu!”
Dengan keras Bianca menendang-nendang kerikil yang ada di depannya, meluapkan emosinya yang kesal pada Reagan.
Sudah setengah jam berlalu, kaki Bianca pun rasanya sudah kebas berdiri terus menerus. Tapi tidak ada taksi atau mobil yang ia kenal melewat. “Apes banget punya saudara kayak Reagan,” lirih Bianca.
Bianca memilih duduk di trotoar karena kakinya sudah sangat pegal, lalu menyelonjorkan kakinya. Bianca merasa sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya. “Momm tolong aku,” gumam Bianca.
Filio menghentikan mobilnya saat melihat Bianca yang duduk di trotoar. Ia keluar dari mobil untuk melihat keadaan keponakannya. Wajah Bianca tampak berkeringat, dan tampak lesu. “Kamu sedang apa Bianca?”
Bianca sangat senang mendengar suara Filio. “Om Filioooo,” teriak Bianca kegirangan. Ia seperti mendapat malaikat yang akan menolongnya dari kesengsaraan ini.
Bianca bangkit dari duduknya, membersihkan roknya yang terkena debu jalanan. “Om mau pulang ke rumahkan? Bianca nebeng ya,” pinta Bianca.
Filio mengangguk, jarak rumahnya dengan rumah Fiona tidak terlalu jauh. “Ayo.”
Bianca masuk ke dalam mobil Filio, ia duduk di kursi samping kemudi.
“Itu helm kamu enggak di bawa?” tanya Filio sebelum menutup pintu mobilnya.
“Enggak perlu om, itu helem murahan ini. Udah rusak juga,” jawab Bianca enteng. Dia tidak tahu helm yang ia tinggalkan begitu saja harganya dua digit rupiah.
Filio menutup pintu mobilnya, dan mulai melajukan mobilnya. “Tidak di jemput sopir?” Tanya Filio penasaran. Ia merasa tidak mungkin Fiona membiarkan anak gadisnya sendirian di pinggir jalan.
“Tidak, sopirnya lagi antar ka Luisa. Terus Bianca di tawari nebeng sama Reagan. Tapi malah di kerjai, di turunkan di jalan. Mana ponsel Bianca juga di bawa Reagan lagi,” ucap Bianca. Mengeluarkan unek-uneknya. “Om Filio kenapa sih milih Reagan jadi anak om? Kayaknya dia enggak bisa di banggakan sama sekali, hari pertama masuk sekolah saja sudah bolos kelas dengan alasan sakit perut. Padahal hanya menumpang tidur di UKS.”
Filio hanya tersenyum menanggapi ucapan Bianca yang terdengar sangat menggebu-gebu.
“Kayaknya Reagan enggak pantas jadi anak om deh, menyusahkan saja. Sudah keluarkan saja dari kartu keluarga,” saran Bianca.
Filio melirik ke arah Bianca. “Om percayakan Reagan sama Bianca deh. Soalnya om sudah kehabisan rasa sabar buat hadapi tingkah Reagan.”
“Loh kok jadi Bianca?”
“Bukannya Bianca satu kelas ya sama Reagan?”
Kepala Bianca mengangguk. “Iya, om sengaja ya?”
Filio menggelengkan kepalanya. “Tidak, bahkan om baru dapat laporan kalau kalian satu kelas.”
“Bianca enggak mau ah jagain Reagan. Bikin repot Bianca yang ada,” ungkap Bianca sejujurnya.
Filio mengangguk setuju, anak itu memang susah di atur. Filio sudah ingin angkat tangan dalam mengurus anak itu. “Iya tidak apa-apa, kamu fokus belajar saja. Mau di antar ke rumah atau mampir dulu? Tante Sahira sudah menyiapkan makan siang.”
“Mampir dulu Om, Bianca mau ambil ponsel dulu.” Bianca tidak mungkin membiarkan ponselnya di bawa Reagan, ia tidak bisa satu jam saja tanpa ponsel. Akan sangat membosankan rasanya.
Filio memarkirkan mobilnya masuk ke dalam halaman rumah. Filio dan Bianca keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu utama. Di sana Sahira berdiri dengan senyuman untuk menyambut kedatangan suaminya.
“Tante Sahira,” sapa Bianca dengan senyuman manis di bibirnya.
Sahira melihat Bianca yang tampak ceria dan manis seperti biasanya. “Sudah lama ya enggak main ke mari.”
“Iya Tante, Bianca sibuk,” ucap Bianca beralasan dengan senyuman malu-malunya.
“Ayo masuk, makan siang bersama,” ajak Sahira.
Bianca berjalan mengikuti langkah Sahira yang menuju ruang makan.
Sementara Filio mengambil data penting yang ada di brankas miliknya. Lalu menyusul ke ruang makan.
Bianca duduk di salah satu kursi yang berdampingan dengan Sahira.
“Ayo makan,” ajak Sahira.
Bianca tidak pernah menampakkan wajah malu-malu jika pada saudara. Ia mengambil nasi serta beberapa lauk.
Sahira bangkit dari duduknya saat melihat Filio masuk ke ruang makan. Sahira mengambil tas bekal yang sudah ia siapkan. “Reagan ke mana?” Tanya Filio.
“Belum pulang,” jawab Sahira. Bianca yang hendak menikmati makanannya menengok ke samping.
“Ada apa?” Jawab Reagan yang baru saja masuk ke ruang makan. Ia duduk di hadapan Bianca.
Filio tidak ingin ambil pusing atas tindakan Reagan di hari pertama sekolahnya. “Aku kembali ke kantor ya,” pamit Filio.
“Aku akan mengantarmu sampai depan,” usul Sahira.
Bianca menatap kepergian orang tua Reagan segera menatap Reagan dengan tatapan kesalnya. “Reagan berengsek, kembalikan ponselku,” ucap Bianca dengan suara kesalnya.
Reagan menuangkan air mineral ke dalam gelas miliknya hingga terisi penuh. Lalu tangannya merogoh ke dalam sakunya. Ia mengeluarkan ponsel milik Bianca. Bukan memberikannya pada sang pemilik, tangan Reagan dengan santainya mencelup-celupkan ponsel Bianca ke dalam gelas yang berisi air seolah sedang mencelupkan benda tidak berharga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!