Bab 1 - Pengusaha Muda yang Cantik
"Kita harus segera pergi malam ini, Na," ujar Risawati, gadis bertubuh mungil dengan tinggi 155 cm itu terlihat gelisah. Sesekali dia membetulkan posisi kacamata miliknya di atas hidung bangir itu.
"Kamu udah pesen tiket, kan, Sa?" tanya Ana.
Perempuan bernama lengkap Rizkina Bunga Kusuma dengan tinggi 165 cm menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia takut juga jika ada yang mengawasi. Padahal bangunan tersebut sangat luas sekitar dua ribu meter persegi. Setiap ruangan bahkan terpisah oleh halaman dan taman kecil. Namun, karena banyaknya abdi dalem dan beberapa pengawal, Ana takut mereka sedang diawasi.
"Aku udah pesen tiket online. Oh iya, kamu bawa perhiasan mas kawin kamu, kan?" Rambut yang dicat cokelat itu terlihat mengusik wajah kala angin menerpa.
"Udah beres. Kamu dapat emasnya?" tanya Ana.
"Beres!" Risa mengangguk.
"Ya udah, aku mau siap-siap dulu. Nanti jam sembilan kita ketemu di halaman belakang sana. Kita kabur malam ini, kalau bisa langsung cabut ke Jerman, oke?" Ana melayangkan ibu jarinya.
"Oke." Risa pun membalas serupa. Keduanya lantas berpisah menuju kamar masing-masing.
Risa menuju kamar tamu, sementara Ana menuju kamar pengantinnya.
...***...
Malam itu, Ana merapikan semua pakaiannya. Rambut hitam legam sebahu itu dia kuncir kuda. Jaket hitam berhoodie sudah terpasang rapi di tubuh sintalnya. Ana menatap ke arah foto sepasang suami istri dengan pakaian adat jawa yang kemudian dia simpan di dalam laci lemari riasnya. Belum genap satu hari usia pernikahannya, Ana lebih memilih menjadi janda ketimbang menjadi istri seorang pocong.
"Maaf ya, Jaya, aku nggak bisa hidup seperti ini. Aku janji kalau anak ini lahir, aku akan serahkan dia ke kerajaan ini buat kamu." Ana mengusap perutnya. Di dalam sana ada janin berusia enam minggu.
Ana menggendong tas ranselnya, lalu mengendap-endap hendak menuju taman belakang. Di sana, Risa pasti sudah menunggunya. Gagang berlapis emas dia turunkan perlahan dan dia tarik daun pintu itu pelan-pelan agar tak berderit. Sepasang mata lentik itu terpejam seraya menarik napas dalam menenangkan diri.
"Selamat tinggal, Garuda!" lirihnya seraya membuka mata.
Ana terperanjat kala melihat sosok dalam bungkusan kain kafan di hadapannya. Bagian dada bidangnya tersingkap. Perut six pack itu terpampang sempurna. Sosok yang kerap disebut pocong itu tersenyum lebar pada Ana. Sosok itu menarik ikat kepalanya bagai hoodie sebuah jaket yang ia turunkan, menggantung di leher.
"Ana! Ini aku, Jaya!" ucapnya.
..."Po-po-po-pocoooooong!" ...
Ana tergeletak tak sadarkan diri kemudian.
...***...
Dua bulan sebelumnya.
Pukul tujuh malam di rooftop gedung Heavenly Boutique.
“Kita sambut ratu pesta kita malam ini, penerima award top ten pengusaha muda terbaik tahun ini. Please welcome the one and only, Rizkina Bunga Kusuma!”
Suara pria bernama Tomi menggema di tengah keriuhan pesta glamour di atas rooftop. Butik milik Rizkina. atau yang sering dipanggil Ana, berlantai lima bertuliskan Heavenly Boutique. Rooftop tersebut sudah disulap menjadi area pesta pribadi.
Ketika Ana datang, sontak saja semua tamu undangan langsung terdiam terpana. Wanita muda berusia dua puluh lima tahun itu tampak sempurna. Mengenakan dress merah menyala tanpa lengan serta belahan tinggi ke arah paha kanannya, melangkah anggun menaiki tangga panggung tempat Tomi berada. Rambut hitam, legam, dan halus bak sutra, dihiasi jepitan mutiara dia gerai. Memancarkan aura kecantikan seorang dewi.
“Wow, Ana! Kau cantik sekali seperti biasanya,” puji Tomi si pria gemulai yang sudah menjadi sahabat Ana sejak di bangku SMA itu.
“Terima kasih, Tomi.” Lesung pipi perempuan itu menambah senyumnya yang menawan.
“You are welcome, My Queen!”
Semua pasang mata kini tertuju pada Ana yang memberikan sepatah dua patah kata di atas panggung, dekat dengan meja seorang Disc Jockey bernama DJ Barbara.
“Terima kasih untuk kalian yang selalu mendukungku. Malam ini bukan hanya anniversary Heavenly Boutique yang kelima yang akan kita rayakan, tetapi juga kemenangan atas terpilihnya diriku yang pintar, cantik, dan sukses ini dalam kategori pengusaha muda terbaik tahun 2022. Tepuk tangan semuanya!" Ana bertepuk tangan penuh antusias dan disambut tepukan pula oleh para tamu.
“Hmmm, sudah kuduga. Ana tetaplah teman kita yang paling narsis,” gumam Risa yang kini berdiri bersama Tomi dan Mia. Mereka merupakan sahabat Ana sekaligus tim sukses dari butik tersebut.
“Jadi, angkat gelas kalian dan mari kita bersulang untuk kesuksesan Heavenly Boutique di tahun mendatang! Let’s get the party started!” seru Ana.
Suara riuh tamu undangan dan denting gelas kristal yang beradu, langsung menyambut teriakan kegirangan milik Ana. DJ Barbara juga sudah memulai memainkan musik dan membuat suasana pesta makin meriah.
Ana kembali ke pada para sahabatnya.
“Sudah kubilang jangan terlalu banyak minum, Na! Kau lupa, ya? Setiap kali kau mabuk, kau hilang kendali.” Risa meraih gelas kristal di tangan Ana secara paksa.
“Ayolah, Risa! Aku baru minum tiga gelas. Lagi pula kau akan selalu bisa mengatasi semua masalahku dengan para pria itu." Ana terkekeh.
"Ana, please!"
"Sa, kau adalah sahabat terbaikku yang akan selalu menjemputku kala aku mabuk, kan?” Ana memeluk Risa dari samping. Tubuhnya mulai agak limbung.
“Tunggu dulu, tadi kau bilang apa? Tiga gelas katamu?! Kau juga selalu berakhir di hotel yang berbeda dengan model-model kita.”
“Ssssttt! Jangan ribut, Risa. Baru lima model saja, kok,” bisik Ana.
“Tetap saja kau tidur dengan mereka. Kau harusnya tahu julukan Cassanova Woman itu, kan? Dan itu menjijikkan!"
"Kau juga seharusnya tahu kalau aku benci laki-laki. Mereka hanya ada untuk dipermainkan, bukan?" Ana merapikan tata riasnya sekilas dengan pantulan gelas di tangan Risa.
"Ana, kau pasti trauma karena Bram, ya?"
Ana langsung membekap mulut sahabatnya. Dia tak ingin nama lelaki itu kembali terdengar.
“Aku mau ke toilet dulu, ya,” ucap Ana.
"Ana! Kau menyebalkan!" pekik Risa yang lipstik di bibirnya dibuat belepotan oleh Ana.
Ana yang berusaha menghindari Risa, tak sengaja bertabrakan dengan pria tampan bernama Raden Jayanegara Mangkulangit. Tubuh atletis dan tinggi 180 cm itu memang terlihat seperti model pria. Lesung pipi dan dagu terbelah itu menggoda Ana untuk menyapa.
“Kau model baru di sini, ya?” tanya Ana.
“Bukan, Nona. Perkenalkan nama saya Jaya, pemilik Batik Garuda. Asisten saya sudah menghubungi Anda, kan, seminggu yang lalu?" Jaya mengulurkan tangannya.
"Oh, kau investor baru pemilik batik itu, ya? Halo, namaku Rizkina, panggil saja Ana." Ana menyambut uluran tangan Jaya.
"Apa saya datang di waktu yang salah? Sepertinya Anda sedang berpesta?" Jaya menaikkan nada suaranya karena beradu dengan dentuman musik dari DJ Barbara.
"Oh, tentu tidak! Kau datang di waktu yang tepat. Mau berdansa dan minum-minum denganku?" Ana menggoda Jaya.
...*****...
...Bersambung…...
Bab 2 - Investor Batik Garuda
“Ana, sudahlah! Jangan ganggu dia! Maaf ya, Tuan Jaya, maaf kalau Ana suka bertindak seenaknya. Sebaiknya Anda kembali saja besok pagi," ucap Risa menarik tangan Ana yang hampir mendarat di bahu Jaya.
"Tapi, saya harus pergi pagi-pagi sehingga saya sengaja menemui Nona Ana malam ini," ucap Jaya.
“Aduh, bagaimana ini? Baiklah, Anda sebaiknya tunggu di lantai bawah, ruang pemotretan. Ada contoh desain yang sudah Ana buat untuk batik Anda. Tunggulah di sana," pinta Risa.
Jaya menoleh pada sang asisten yang bernama Panji. Pria yang lebih dewasa dan lebih kekar dari Jaya serta berkuncir kuda itu mengangguk.
"Baiklah, aku akan tunggu di sana."
"Ayo, aku antar kau ke toilet! Perbaiki dirimu!” ajak Risa.
“Tidak usah, Sa, aku masih bisa sendiri. Lihat di sana ada Richard, dia sedang menatapmu, tuh!”
Ana sukses membuat pipi Risa bersemu. Namun tak bisa dipungkiri, Risa dan Richard memang sedang melakukan pendekatan satu sama lain. Sehingga Risa langsung tergoda untuk menghampiri Richard.
“Apa kau yakin bisa sendiri?” tanya Risa memastikan.
“Tentu, aku hanya ke toilet sebentar. Sudah sana, jemput pangeranmu!” Ana mendorong punggung Risa pelan.
“Baiklah, baiklah.” Risa menjauh.
Ana lalu meninggalkan Risa menuju ke toilet di lantai empat. Namun sebelum itu, Ana meraih satu botol tequila dan membawanya diam-diam. Dia akan menghabiskan botol itu tanpa sepengetahuan Risa.
...***...
Di lantai empat tepat di studio pemotretan, seorang fotografer masih berkutat dengan file presentasi di laptop-nya. Konsep batik nusantara itu harus selesai malam itu juga, karena besok Ana memintanya untuk bahan presentasi pada investor.
Namanya Bima, pria tinggi, kurus, dan berkacamata itu berusia 30 tahun. Bima pernah berkencan dengan Ana, tetapi hanya satu minggu. Bima mendapati Ana berselingkuh dengan seorang model di sebuah pesta. Namun, Bima tak tega jika meninggalkan pekerjaannya di Heavenly Boutique. Semua karena Ana, tetapi pria itu mengaku bertahan di butik itu demi Risa dan teman-teman lainnya.
Seorang office boy membawakan secangkir kopi milik sang fotografer yang bernama Bima.
“Mas Bima yakin tidak ingin ikut berpesta di sana?” tanya Udin si office boy.
“Aku nggak minat, Din! Tugasku masih banyak. Enak saja dia berpesta di sana tetapi dia menuntut konsep dan foto ini selesai esok hari,” keluh Bima.
“Oh, maksud Anda, Nona Ana itu?"
“Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Aku heran, Din, kenapa wanita seperti dia bisa memenangkan penghargaan sepuluh besar pengusaha muda terbaik di kota ini? Aneh, kan?"
"Ya, karena Nona Ana berbakat, Mas. Nona Ana cantik, seksi lagi." Udin terkekeh.
“Hadeh, masih kurang istri kamu yang udah dua itu? Masih aja genit liat Ana," cibir Bima.
"Namanya juga laki-laki normal, Mas. Siapa, sih, laki-laki yang nggak akan tergoda kalau liat Nona Ana?" ucap Udin.
"Saya, Din," sahut Bima berbohong.
"Oh iya ya, hehehe."
"Kamu boleh pergi, Din, terima kasih kopinya," kata Bima menyeruput sejenak lalu berteriak, "****!"
“Kopinya kepanasan ya, Mas? Apa nggak enak?" Udin lantas merasa bersalah.
“Bukan, Din. Aku lupa mengambil gambar si Jhonny," pekik Bima sampai membuat Udin menoleh.
“Oh, saya pikir karena kopinya."
"Duh, cari model di mana jam segini?" Bima terlihat cemas.
"Ini, di depan Mas Bima ada saya." Udin berkacak pinggang dan berlagak layaknya model pria.
"Hah, kamu itu, ya. Nanti bisa dibakar saya sama si Ana," tukas Bima. Dia lalu menghubungi Risa, meminta untuk dicarikan model pria.
"Mosok Nona Ana sekejam itu. Ya, kali aja saya bisa jadi model, Mas." Pria kurus, pendek berusia lima puluh tahun itu terkekeh.
Udin menutup pintu ruangan pemotretan tersebut. Pria itu sempat berpapasan dengan Jaya dan Panji.
"Den Jaya, Ratu Melati meminta dibelikan obat nyeri untuk paduka raja. Apa tidak apa-apa jika saya meninggalkan Anda di sini?" tanya Panji menahan Jaya sejenak sebelum masuk.
"Jika itu perintah ibunda, laksanakan saja. Aku akan menghubungimu nanti jika urusanku sudah selesai di sini," titah Jaya.
"Baik, Den." Panji pamit meninggalkan sang pangeran.
Jaya memasuki ruangan pemotretan dan mendapati Bima di sana.
“Gila! Keren banget si Risa langsung dapat model begini!" seru Bima. Dia menyambut Jaya dan langsung meraih jas milik pria itu.
"Eh, apa-apaan ini?!" pekik Jaya.
"Udah jangan pakai basa-basi. Saya mau kerja cepet, nih. Tolong bantu saya sekarang. Lagian saya hanya butuh tubuh kamu,” pinta Bima.
“Apa?! Tubuh saya?! Kamu jangan kurang ajar, ya, sama saya. Kamu belum tahu siapa saya, ya?" Jaya sampai menutup dada bidangnya dengan kedua tangannya.
“Heh, jaga pikiranmu! Saya bukan penyuka sesama jenis tau! Maksud saya tuh, saya hanya butuh tubuh kamu untuk memakai pakaian batik itu. Lalu, aku akan mengubah wajahmu menjadi wajahnya Jhony. Ayolah, ini demi Batik Garuda. Saya nggak mau Ana dan pemilik batik itu kecewa!" seru Bima.
Mendengar kata Batik Garuda yang amat Jaya banggakan, membuatnya tak bisa menampik.
"Baiklah kalau begitu," ucap Jaya.
Bima tersenyum puas kala mendengar jawaban dari Jayanegara. Dia memakaikan tubuh Jaya dengan kemeja batik. Mereka lantas melakukan pemotretan yang hanya berlangsung sepuluh menit.
"Terima kasih, ya, Risa akan mengurus bayaranmu!" ucap Bima merapikan file untuk presentasi lalu mematikan laptop-nya. Kemudian, Bima menyerahkan sebotol scoth pada Jaya sebagai tanda terima kasih.
“Apa ini? Saya nggak pernah minum alkohol. Ini dilarang di Kerajaan Garuda," ucap Jaya.
“Hahaha, Kerajaan Garuda? Ini Kota Semanggi, Bro! Itu kerajaan adanya di pulau sana. Nah, kamu sendiri ada di ibukota, Bro!" Bima terkekeh.
"Tapi, Mas–"
"Cobain, deh! Itu scotch terenak yang pernah aku rasakan.”
“Ndak, Mas, saya nggak akan tergoda," ucap Jaya bersikeras.
Bima hanya tersenyum. Dia mempersilakan Jaya untuk berganti pakaian.
...***...
Tiga puluh menit berlalu, Ana baru saja menghabiskan minumannya. Dia berjalan sempoyongan menuju keluar toilet. Saat berada di depan lift, dia melihat Bima yang bersiap untuk pulang.
“Hai, Mas Bima! Bagaimana hasil kerjamu untuk presentasi besok?” tanya Ana seraya memeluk Bima dari belakang.
“Ana lepaskan! Semua sudah beres. Saya mengirimkan semua file untuk presentasi iklan itu ke email Anda. Permisi, saya mau pulang. Istri saya sudah menunggu di rumah.” Bima melepaskan pelukan Ana.
"Anda? Kau sebut aku "Anda"? Wow, amazing!" Ana mengernyit.
Bima tahu kalau perempuan itu tengah mabuk sama seperti pria yang masih duduk sambil tertawa di ruangannya.
“Jaga sikapmu, Mas Bima! Apa kau mau aku pecat?” tantang Ana.
“Kau selalu mengancamku tentang itu, Na. Tapi, kau tak pernah mau dan bisa melepaskan aku, kan? Tak akan ada fotografer yang kuat bekerja sama denganmu, kecuali aku.” Pria berusia 30 tahun itu lantas memasuki lift dan meninggalkan Ana begitu saja. Ada hati yang kini harus dia jaga.
"Cih, semenjak menikah, Mas Bima jadi galak, ya?" Ana kembali melangkah sempoyongan sambil bersenandung.
Pandangan perempuan mabuk itu kini tertuju pada sosok di dalam ruangan.
...*****...
...Bersambung…...
Bab 3 - Terjebak
Ana masih terhenyak. Lalu, mengamati dengan saksama bertopang dengan tubuh limbungnya. Sosok pria yang Ana kenal, tengah duduk di alas hijau untuk pemotretan dalam ruangan tersebut. Pria itu hanya memakai ****** ***** dan kemeja yang semua kancingnya telah terbuka.
“Wah, bukankah itu Tuan Jayalah Selamanya? Eh … namanya Jaya apa tadi, ya?" Ana mengetuk dagu berkali-kali.
Lalu, wanita yang dirundung mabuk itu masuk ke dalam ruangan fotografer.
"Tuan Jaya? Bukankah aku hanya memintamu untuk menungguku? Kenapa sekarang kau–" ucapan Ana terhenti karena terkesima dengan tubuh atletis Jaya.
Setelah berdecak kagum, ia lanjutkan kata-katanya kembali, "oh, aku mengerti. Kau sedang bermimpi untuk menjadi model seksi, ya?” cibir Ana seraya berkacak pinggang.
"Hei, Nona Ana! Saya bukan bermimpi atau ngarep, ya. Mas Bima tadi yang minta saya jadi model," ucap Jaya.
Pria itu mencoba bangkit tetapi kepalanya terasa pusing. Dia limbung seraya memijit dahinya sendiri.
"Ha-ha, lucu sekali Anda ini! Seorang investor yang memiliki keinginan terpendam dan ingin menjadi model batiknya sendiri." Ana menyentuh dahi Jaya dengan ujung jari telunjuknya. Dia puas sekali mencemooh pria itu. Perlakuan superiornya terhadap laki-laki memang tak diragukan lagi.
"Jaga mulut Anda, Nona Ana!" Jaya yang kesal tak sadar sampai menarik tangan Ana sampai jatuh duduk di hadapannya.
"Ouch! Aku menjaga mulutku, kok. Nih...."
Ana sengaja menyodorkan bibir sensualnya pada Jaya.
Perempuan itu sempat terkesiap saat tubuh seksi milik sang pangeran terlihat sempurna dengan perut ala roti sobek yang menggoda di hadapannya. Perempuan bertubuh sintal itu menyentuh dada bidang milik pria itu.
"Ummm, ternyata kau memiliki tubuh seorang model juga. Bagaimana bisa kau seseksi ini?" tanya Ana dengan nada menggoda.
"Jangan sentuh aku, Nona Ana! Tak ada wanita yang pernah menyentuhku, ingat itu! Lagi pula aku ini seorang pangeran Kerajaan Garuda. Aku yang paling tampan di kerajaanku, wajar kalau kau akan tergoda," kata Jaya yang tengah mabuk terus meracau dengan tetap percaya diri akan ketampanannya.
"Kau itu lucu sekali, ya. Kau membuatku gemas." Ana yang juga dalam pengaruh alkohol menatap Jaya seraya terkekeh.
Entah kenapa tanpa diduga dan terjadi begitu saja, Ana menarik wajah Jaya mendekat. Mengecup bibir milik lelaki tampan itu dengan ganas.
"Hei, Nona Ana! Hmmmpppp, su-sudah kubilang ... jangan sentuh aku! Aku tak akan segan–"
Ana memotong ucapan Jaya lagi. Dia mendaratkan bibir sensualnya kembali ke benda kenyal nan menggoda milik pria tampan itu. Bibir bagian bawah yang terbelah itu sangat menggemaskan.
Cerebrum lelaki itu memerintahkan untuk berhenti. Namun, tubuhnya tak bisa bereaksi menerima titah tersebut. Malam itu kali pertama ada seorang wanita yang menyentuhnya.
Lukisan pemandangan di ruang pemotretan milik Bima, menjadi saksi bagaimana Ana meluluhlantakkan Jaya di atas alas hijau tersebut. Tanpa mereka sadari, camcorder milik Bima masih menyala dan mengabadikan semua kegiatan kedua insan yang seolah tengah mabuk asmara malam itu dalam kepalsuan pengaruh alkohol.
...***...
Sinar matahari yang mengintip dari celah tirai menerpa wajah cantik Ana. Mata cantik dengan iris coklat itu mulai terbuka. Wanita itu masih memeluk Jaya yang masih terlelap. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi keduanya.
"Di mana ini, ya?" gumam Ana seraya mencerna keadaan sekitar.
Dia bangkit dan merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya.
"****! Kenapa Risa selalu saja benar! Duh, harusnya aku tidak mabuk!" Ana meraih pakaian miliknya yang berserakan.
Namun, dia meraih ****** ***** pria motif Batik Garuda milik Jaya. Dia mencoba mengamati ****** ***** yang aneh tersebut. Tak mungkin ada seorang model yang memakai ****** ***** bermotif aneh seperti itu, batinnya.
Setelah berpakaian lengkap, Ana mencoba mendekati tubuh si pria. Rasa pusing yang hebat masih dia rasakan. Tubuhnya juga masih sempoyongan saat akan bangkit. Akhirnya, wanita itu memutuskan untuk merangkak. Ana mendekati tubuh si pria yang wajahnya menoleh ke arah lain.
"Siapa pria ini, ya? Apa dia model milik Bima? Bisa gawat nanti jika dia mengadu pada Bima," lirih Ana.
Ana lalu meraih punggung Jaya yang masih terlelap itu. Dia menariknya untuk membalikkan tubuh pria itu ke arahnya. Betapa terkejutnya Ana, kedua mata lentik itu terperanjat kala wajah itu dia kenal.
"Apa?! Bu-bukankah dia si investor Batik Garuda? Aduh, bisa-bisanya aku tidur dengan klien ku sendiri." Ana mencoba menggali lebih dalam pikirannya.
Samar-samar cuplikan kejadian panas nan erotis malam tadi melintas di kepalanya. Apalagi dia sedikit mengingat kalau dia yang bekerja dominan dalam pertarungan malam tadi.
"Aduh! Ini gawat! Risa pasti akan memarahiku habis-habisan. Tidak! Bukan cuma Risa, seluruh pegawai di sini pasti akan mencibirku." Ana menarik-narik rambutnya sendiri dengan kesal.
Jaya terjaga dan merentangkan kedua tangannya. Ia menguap dan sepertinya pria itu merasa sedang di rumah saja. Perlahan dia bangkit untuk duduk lalu mengerjap. Pandangannya tertuju pada Ana yang masih menggerutu dengan kalut.
"No-nona Ana? Apa yang kau lakukan–"
Jaya menyadari kalau dirinya terbangun tanpa busana.
"Aaaaaaaaaaaa!"
Jaya langsung berteriak dan menyeret bokongnya mundur.
"Jangan berteriak! Nanti semuanya tau kalau kita di sini!" Ana langsung membekap mulut Jaya.
Pria itu menepis tangan Ana.
"Kau memperkosa aku, ya?" tuding Jaya.
"Iyuh! Untuk apa aku memperkosamu?! Kau yang memintaku untuk tidur denganmu, apa kau tak ingat?! Dasar pria idiot!" cibir Ana.
Jaya mencoba mengingat kejadian semalam. Dia awalnya menolong Mas Bima untuk menjadi model pemotretan. Namun, Mas Bima terus menggodanya untuk mencicipi produk scotch terbaru tersebut. Bima senang menggoda Jaya yang terlihat sebagai pria polos. Lalu, timbul keinginan Bima untuk menjahili Jaya. Sampai akhirnya Jaya tergoda untuk minum lalu mabuk. Sialnya, dia juga bertemu Ana yang tengah mabuk.
"Kau menodaiku, Nona Ana! Kau merenggut keperjakaan yang aku pertahankan untuk istriku nanti!" seru Jaya.
Jaya memeluk dirinya sendiri untuk menutupi dada bidangnya dari tatapan Ana. Kedua iris nya sudah mengkilap. Wajahnya sangat memelas. Ia benar-benar merasa seperti korban pelecehan. Mungkin jika tidak ada Ana, ia ingin menangis.
"Dasar pria bodoh! Heh, harusnya kau bangga bisa tidur denganku! Banyak pria yang mencoba mendekatiku tau. Asal kau tahu, ya, aku pemilih tau. Sudahlah, sekarang pakai bajumu itu!" pinta Ana seraya buru-buru menutup pintu ruangan yang dia lihat masih terbuka tersebut.
Untungnya setelah pesta semalam tadi, semua pegawai diliburkan hari itu. Jadi, tak ada siapa pun yang akan melihat Ana dan Jaya. Kecuali, penjaga keamanan gedung dan Mang Udin. Semoga saja mereka belum ke ruangan Bima, begitu batin Ana memohon.
"Duh, bagaimana ini? Aku meninggalkan tas di pesta semalam. Apa aku harus ke rooftop, ya?" Ana berjalan mondar-mandir di hadapan Jaya.
Pria itu telah selesai mengenakan pakaiannya. Rasa sakit dan perih di bagian junior-nya masih membuatnya meringis.
"Aku tak menyangka kalau aku akan berakhir kehilangan masa depanku dengan wanita sepertimu," lirih Jaya penuh penyesalan.
"Heh, otak udang!" pekik Ana.
...*****...
...Bersambung dulu, ya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!